Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Novelet Candi di Kotaraja

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Novelet Candi di Kotaraja"— Transcript presentasi:

1 Novelet Candi di Kotaraja
Baca

2 (Oleh : Hadiyah Marowati)
Kembali Candi di Kotaraja (Oleh : Hadiyah Marowati) “Selamat siang, anak-anak,” sapa Bu Risti memasuki ruang OSIS. “Siang, Bu!” jawab para siswa serempak. Sabtu siang anggota redaktur majalah sekolah dan mading mengadakan rapat guna membahas tema bulan depan. Bu Risti memberikan evaluasi pada terbitan bulan ini. Para siswa antusias mendengarkan penjelasan dari Bu Risti. Bu Risti berhenti bicara ketika pandangannya menangkap dua orang cowok yang sedari tadi asyik berdiskusi di bangku belakang. Rupanya Revan dan Doni tidak menyadari kehadiran Bu Risti. Keduanya masih asyik membicarakan film yang mereka tonton semalam. “Menurutku film Final Destination 3 tuh alur ceritanya sama dengan 2 film sebelumnya. Adegannya hampir serupa cuma beda karakter tokohnya aja. Ceritanya masih berkutat pada halusinasi trus terjadi kecelakaan beneran trus lari-larian menghindari kecelakaan. Pokoknya isi ceritanya adegan kematian yang sadis deh,” ucap Revan layaknya komentar handal. “Aku setuju tuh. Tapi tetap ngeri juga ya, biarpun nggak ada setannya film itu tetap horor, hii ... serem,” sahut Doni. “Pepatah mengatakan semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak,” kata Bu Risti yang telah berdiri di samping Revan. “Kalian paham makna pepatah itu?” “Paham!” jawab seisi ruangan serempak. Selanjutnya >

3 Kembali Semua mata tertuju pada kedua cowok itu. Revan dan Doni tertunduk malu. Keduanya tak sanggup berkata-kata di hadapan Bu Risti. Seantero sekolah mengenal Bu Risti sebagai guru Bahasa Indonesia yang mahir menyampaikan kalimat ironi. Perkataan beliau halus tapi cukup nylekit di hati. Dan tanpa dikomando seisi ruangan diam sembari mendengar petuah panjang Bu Risti. Dua jam penuh, kuping Revan dan Doni memerah mendengar petuah Bu Risti. Merekalah sasaran kalimat ironi Bu Risti. Di akhir petuah, beliau memberi tugas istimewa pada Revan dan Doni. Revan mendapat tugas membuat artikel yang berjudul “Kisah nyata Final Destination di Indonesia”. Sedangkan Doni memperoleh tugas membuat resensi film dokumenter sebanyak 5 buah. Tugas itu harus diserahkan pada Bu Risti paling lambat Senin pekan depan. Berarti mereka hanya punya waktu 8 hari untuk menyelesaikan tugas itu. Sepulang sekolah Revan kelabakan mencari informasi dan narasumber untuk artikelnya. Sore itu juga, ia bergegas ke warnet. Menjelajahi beragam situs dan jejaring sosial untuk mencari informasi. Hasilnya nihil. Dia tak menemukan satupun petunjuk. Dengan agak ragu, Revan mengunjungi facebook Bu Risti. Revan menyampaikan permintaan maaf dan meminta petunjuk tentang narasumber untuk artikelnya. Selanjutnya >

4 Kembali Bu Risti belum juga membalas Revan. Satu jam telah berlalu. Revan masih di depan komputer menunggu pesan balasan Bu Risti. Menjelang Maghrib, Revan menerima sebuah dari Bu Risti. Dalam itu, Bu Risti menyuruh Revan menemui Dokter Husada di Rumah Sakit Jiwa. Narasumber itu bernama Nofiani. Pasien RSJ yang telah 2 tahun dirawat karena depresi setelah menyaksikan kematian orang-orang terdekatnya secara beruntun. * * * Minggu pagi, Revan memacu sepeda motornya menuju Rumah Sakit Jiwa tempat Nofiani dirawat. Satu jam kemudian, Revan telah sampai di tempat tujuan. “Kamu Revan, murid Bu Risti kan? Kenalkan saya Dokter Husada,” kata seorang laki-laki 50 tahunan. Revan menjabat tangan Dokter Husada. “Iya Pak, saya Revan. Ini kartu pelajar dan Surat Keterangan dari sekolah. Saya bermaksud mewancarai salah satu pasien di sini,” jawab Revan. Dokter Husada mengajak Revan ke ruangannya. Revan membaca biografi Nofiani yang diberikan Dokter Husada. Nama lengkapnya Nofiani Sapta Indra. Gadis kelahiran Jambi 20 tahun silam. Lulus SMA dua tahun lalu dan berniat melanjutkan kuliah di Jogja. Sempat tercatat sebagai mahasiswa semester pertama di salah satu Perguruan Tinggi Negeri, ia kena Drop Out karena sering absen. Selanjutnya >

5 “Apa dia berbahaya? Sering histeris dan menyerang orang?” tanya Revan.
Kembali “Apa dia berbahaya? Sering histeris dan menyerang orang?” tanya Revan. “Tidak. Dia gadis yang baik. Kondisinya telah pulih sejak setahun yang lalu. Dan dia sendiri yang sukarela bertahan di sini karena merasa lebih nyaman berada di sini daripada kembali ke Jambi,” jawab Dokter Husada. “Bolehkah saya menemuinya?” “Tentu, mari!” dokter Husada mengajak Revan menemui Nofiani. Dokter Husada membawa Revan menemui seorang gadis yang sedang duduk di bawah pohon. Gadis itu sedang menekuni sulaman kristiknya. Parasnya cantik, rambutnya panjang diikat ke belakang seperti boneka barbie. Memakai daster motif bunga berwarna cerah. “Selamat pagi dokter,” sapa gadis itu sambil tersenyum manis. “Pagi Fifi, kenalkan ini Revan, pelajar SMA yang ingin mewawancaraimu. Dia mendapat tugas dari sekolah untuk menulis artikel tentang dirimu.” “Artikel semacam apa itu?” tanya Nofiani. “Saya ingin menulis tentang kisan anda dua tahun silam. Kisah kecelakaan tragis yang menimpa keluarga anda.” * ** Selanjutnya >

6 Kembali Nofiani berfikir sejenak. Lalu menatap dokter Husada. Dokter Husada membalas tatapan itu dengan anggukan kepala seolah mengiyakan agar Nofiani menceritakan kisahnya. Nofiani bersedia melakukan wawancara. Dokter Husada pamit meninggalkan keduanya di bawah pohon beringin. Revan mengaktifkan perekam mini. Nofiani mulai bercerita. Matanya menerawang langit biru. Terbayang olehnya kejadian dua tahun yang lalu. “Kejadian itu bermula dari mimpi-mimpi yang kualami menjelang Ujian Nasional dua tahun yang lalu.” Aku mengalami mimpi yang serupa tiap malam. Dalam mimpi itu aku berada di suatu kerajaan Jawa Kuno. Aku temukan banyak ukiran aksara Jawa disekitarku. Di sana aku menjadi pelayan istana. Ketika menatap cermin, aku mendapati penampilanku yang berbeda. Aku mengenakan kemben, berkain batik dan bersanggul. Sebuah selendang tersampir menutupi pundak hingga bagian depan tubuhku. Aku mengambil sebuah cawan besar berisi kuntum-kuntum bunga. Ada mawar, melati, kenanga, kanthil dan bermacam bunga lain yang ada semerbak harum. Aku menata bebungaan pada cawan sesaji yang ada di tiap sudut ruangan. Tiap ruangan mempunyai kombinasi kuntum bunga berbeda. Anehnya, aku hafal jenis bunga yang ditata tiap cawan. Padahal aku belum pernah melakukan hal itu sebelumnya. Selanjutnya >

7 “Itu sudah kewajiban hamba sebagai pelayan Tuanku.”
Kembali Seorang pemuda balasan tahun menghampiriku. Aku meletakkan sesaji dan menghaturkan sembah padanya. Pemuda berparas tampan. Penampilannya mewah layaknya seorang pangeran. Pemuda itu memintaku duduk disampingnya. Aku menurut. “Bla bla bla”. Pemuda itu menmgucapkan namaku. Tiga suku kata. Aku melihat bibirnya bergerak tapi aku tak mendengar perkataannya. “Aku rindu padamu bla bla bla.” Namaku disebut lagi, tapi aku tak bisa membaca gerak bibirnya. Berulang kali namaku disebut tapi aku tak bisa mendengarnya. Aku tak pernah tahu siapa namaku disana. “Tuanku, ada apa gerangan Tuanku datang menemui hamba? Bukankah seharusnya Tuanku berada di istana memilih calon permaisuri?” tanyaku. “Tidak bla bla bla, kamulah permasuriku. Satu-satunya pilihan hatiku. Mereka hanyalah wanita pilihan ibu suri yang terpaksa kunikahi. Hanya sebagai persyaratan agar aku bisa menikahimu,” jawab pemuda itu. “Mereka lebih pantas mendampingi Tuanku daripada hamba yang hanya seorang pelayan dari trah Sudra.” Pemuda itu meletakkan jari telunjukknya di depan bibirku. Dia menggeleng. “Hanya kamu wanita yang benar-benar mengerti aku. Kamu selalu ada setiap aku butuhkan. Sejak kita masih kanak-kanak hingga saat ini, kamu selalu setia bersamaku.” Pemuda itu mengenggam jemariku. “Bahkan ketika aku terkena penyakit kutukan bintik merah yang membuat semua menjauh. Hanya kamu yang masih setia mendampingiku hingga aku sembuh.” “Itu sudah kewajiban hamba sebagai pelayan Tuanku.” “Bla bla bla. Aku ingin menikahimu. Ayo ikut aku menemui kakek Purwaraja di perbukitan suci. Aku ingin menikahimu di sana di depan para Dewa.” pemuda itu antusias. “Ampuni hamba tuanku, hamba tak berani melanggar larangan Raja muda,” jawabku. Selanjutnya >

8 Kembali “Aku adalah Putra Mahkota kerajaan ini, tidak ada yang boleh melarangku menemui kakek biarpun itu ayahku, Rajamuda sekalipun!” jawab pemuda itu mantap. Aku dan Putra Mahkota berkereta kuda menuju perbukitan suci. Tempat para Brahmana bertapa. Termasuk raja Purwaraja yang telah turun tahta. Beliau memilih bertapa di perbukitan setelah menyerahkan tampuk kekuasaan pada raja Mudaraja, putranya. Sepeninggalnya Purwaraja, Mudaraja merombak sistem pemerintahan di kerajaan. Sistem trah diterapkan demi mempertahankan kemuliaan golongan bangsawan atau trah kesatria. Trah kesatria menguasai segalanya. Sedangkan trah sudra dijadikan budak. Ketuhanan juga diabaikan. Trah kesatria memboyong trah brahmana beserta arca dewa ke perbukitan jauh dari gemerlap kotaraja. Sebagai gantinya didirikan sebuah bangunan candi baru. Candi itu dibangun oleh kaum sudra yang bermandi keringatan. Kaum kesatria menempatkan algojo-algojo keji untuk mengawasi jalannya pembangunan candi. Mereka tak segan-segan melayangkan cambuk pada tubuh-tubuh kelelahan para pekerja. Perayaan digelar ketika candi telah megah berdiri. Sebuah lambang keangkuhan kaum kesatria bukan tempat pemujaan ataupun peribadatan. Tak ada arca dewa di candi itu. Hanya ada sebuah meja batu. Meja yang panjangnya dua meter dan lebar satu meter. Tingginya setinggi dada orang dewasa. Ada sebilah pedang yang tertancap di tengah batu. Bilah pedang tanpa gagang yang ujung runcingnya mengarah ke atas. Berkilat kala diterpa sinar mentari. Selanjutnya >

9 Setelah kembali tenang, Nofiani melanjutkan ceritanya.
Kaum kesatria menyebutnya meja keadilan. Tapi kaum sudra menyebutnya meja pembantaian. Hampir tiap hari meja itu memakan korban. Bila ada kaum sudra yang menolak dijadikan budak maka akan divonis sebagai pendosa. Hukuman bagi pendosa adalah kematian. Kematian yang tragis di atas meja keadilan. Seorang algojo akan mengangkat tubuh pendosa itu tinggi-tinggi di atas meja. Kemudian akan dihempaskan di meja tanpa ampun. Maka darah segar akan mengalir ketika bilah pedang itu menembus uluh hati sang pendosa. Tepuk tangan trah kesatria riuh terdengar bebarengan dengan tangisan dan rintihan kaum sudra. Air mata menggenang di pelupuk mata Nofiani. Dia berhenti bercerita. Revan merinding mendengar cerita Nofiani. Terbayang olehnya tindakan biadab masa lampau yang tak tercatat dalam buku sejarah. * * * Setelah kembali tenang, Nofiani melanjutkan ceritanya. “Sesampainya di perbukitan suci, putra mahkota segera menemui kakeknya. Purwaraja tinggal di sebuah kuil. Di depan kuil terdapat sebuah kolam yang ditumbuhi teratai. Air kolam tampak bening hingga terlihat ikan-ikan yang berenang di bawah naungan teratai. “Kakek, kembalilah memimpin Kotaraja. Kerajaan kacau balau di bawah pemerintahan ayahanda Mudaraja,” bujuk Putra Mahkota. Selanjutnya >

10 “Sangat, mimpi itu terus mengusik sepanjang malam.” jawab Nofiani.
Kembali “Tidak bisa cucuku. Aku sudah tidak berminat dengan urusan keduniaan lagi. Sebaiknya kalian kembali ke Kotaraja. Sebelum hal buruk akan menimpa kalian bisa berlama-lama di sini. Purwaraja kembali melanjutkan pertapaannya. Rombongan kereta kuda Putra Mahkota meninggalkan perbukitan menuju Kotaraja. Ketika sampai di gerbang istana, beberapa orang prajurit menyeretku, mendorongku masuk ke sebuah ruangan pengap hingga aku jatuh tersungkur. Seketika aku terbangun dari tidurku. Keringat membasahi seluruh tubuhku. “Apakah mimpi itu terus berulang dan mengganggu kehidupan Anda?” tanya Revan. “Sangat, mimpi itu terus mengusik sepanjang malam.” jawab Nofiani. “Lalu apa yang Anda lakukan untuk mengatasi hal itu?” “Aku berbagi cerita dengan seorang teman di dunia maya. Namanya Aji. Cowok asal Jogja yang semula mengaku anak seorang psikolog. Ternyata ia putra bungsu Dokter Husada. Kami telah berteman selama 3 tahun lewat jejaring sosial. Sejak masih SMP.” “Apa yang Anda ceritakan pada Aji, teman Anda itu?” Pada Aji bercerita tentang mimpiku itu termasuk tentang aksara Jawa yang kulihat dalam mimpiku. Selanjutnya >

11 “Kamu bisa membacanya?” tulisku di dinding facebook Aji.
Kembali Aku men-scan tulisan aksara Jawa yang kutulis pada selembar kertas ke komputer. “Kamu bisa membacanya?” tulisku di dinding facebook Aji. “Tulisan itu dibaca KUTOARJO. Kamu yakin bentuk aksara Jawanya seperti itu?” Itu aksara murdha atau huruf besar. Setahuku hanya digunakan untuk menulis nama raja, ratu dan kerabat keraton, nama orang penting dan kata-kata asing,” balas Aji. “Ya, tulisannya memang seperti itu. Tulisan itu terukir di gerbang istana. Apa di Jawa ada tempat atau daerah yang namanya Kutoarjo?” tulisku. “Ada. Sebuah kota kecil di barat Jogja,” balas Aji. “Kalau aku di Jogja kamu mau gak anterin aku ke Kutoarjo?” pintaku. “Boleh. Kapan kamu ke Jogja?” “Setelah pengumuman kelulusan. Aku berniat kuliah di Jogja.” “Sendirian?” Selanjutnya >

12 Kembali “Bareng kakakku. Aku nggak brani ke Jogja sendirian. Kebetulan Kak Huri mau ngelanjutin pendidikan pasca sarjananya di UGM.” “Kalo gitu sampai jumpa di Jogja ya. Maaf nih mungkin sebulan ini aku bakal off line, soalnya lagi persiapan Ujian Nasional. Di situ udah UN belum?” “Sama, di Jambi juga lagi Ujian Nasional. Met belajar ya. Semoga kita lulus dengan nilai yang memuaskan. Sampai jumpa di Jogja, kawan.” *** Setamat SMA, aku melanjutkan kuliah di Jogja. Aku diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri. Setelah urusan penerimaan mahasiswa rampung, aku dan Kak Huri mengajak Aji ketemuan. Kami sepakat bertemu di sebuah restoran cepat saji, Aji datang sendirian. Dia orang yang ramah dan simpatik. Tanpa buang waktu kami segera meluncur ke Kutoarjo. Sebuah kota kecil di barat Jogja, masuk Kabupaten Purworejo. Sampai di Pasar Kutoarjo, Aji mengajak kami menemui temannya yang bernama Valen. Valen tinggal di utara pasar itu. Valen memberitahu sebuah tempat berupa runtuhan makam yang letaknya di area persawahan. Tempat itu dianggap angker oleh warga setempat. Konon ceritanya di tempat itu, sering muncul banaspati setiap menjelang malam. Banaspati adalah sejenis bola api yang melayang-layang di udara, Tidak ada warga yang bersedia ke tempat itu. Valen juga menolak sewaktu diajak menemani kami. Selanjutnya >

13 Kembali “Gini aja, nanti kalian jalan lurus saja ke timur. Kira-kira 200 meter dari sini ada Rumah Sakit, nah kalian berhenti di depan Rumah Sakit itu. Trus di kiri jalan ada jembatan yang membujur ke utara. Kalian jalan kaki aja menyebrang jembatan itu. Kemudian 50 meteran dari jembatan ada sebuah ladang di tengah persawahan. Ladang itu ditumbuhi pohon randu alias kapas, nah itulah tempatnya.” Valen memberikan gambaran tempat itu. Kami mengikuti arahan Valen. Kak Huri memarkirkan mobil di depan Rumah Sakit, selanjutnya kami berjalan kaki menuju ladang di tengah area persawahan. Sebuah ladang yang ditumbuhi pepohonan liar. Tempat itu terasa sunyi dan dingin. Suara burung hantu sempat membuatku merinding. Seperti yang dikatakan Valen, di tempat itu memang terdapat reruntuhan makam. Tapi tidak jelas entah itu Makam Cina, Belanda atau makam Jawa. Hanya bongkahan-bongkahan batu berukir berserakan di tempat itu. Batu-batu usang yang berlumut. Ada beberapa pohon kapas tumbuh di tempat itu, tingginya bisa mencapai 5-7 meter. Buah-buah kapas siap petik bergelantungan di pohon. Beberapa tampak merekah dan adapula yang berserakan di tanah. Hembusan angin membuat gumpalan-gumpalan kapas-kapas itu beterbangan di sekitarku membuatku teringat pada taburan bunga di Kotaraja. Selanjutnya >

14 “Tuanku, hamba mohon keluarlah” pintaku.
Kembali Mendadak di sekelilingku berubah menjadi pemandangan di Kotaraja. Gumpalan kapas menjadi taburan bunga. Taburan bunga menyambut kedatangan iring-iringan sang mempelai wanita. Aku berada diantara iring-iringan itu. Tapi bukan sebagai mempelai wanita, melainkan sebagai dayang pengiring. Hari ini, hari pernikahan Putra Mahkota. Seorang putri darinegri seberang terpilih sebagai pendamping sang Putra Mahkota. Aku duduk di sebelah pelaminan, memegang kipas. Putri itu tampak sangat cantik. Mengenakan gaun sutera dan perhiasan gemerlapan. Prosesi pernikahan belum juga dimulai karena sang Putra Mahkota belum berkenan hadir. Seorang dayang dan membisikkan sesuatu pada ibu Suri, lalu dayang itu menghampiriku dan mencengkeram kedua pundakku dengan kasar. Dayang itu membawaku ke kediaman putra mahkota. Sang putra mahkota mengunci diri dalam kamar dan menolak menghadiri pernikahan itu. “Tuanku, hamba mohon keluarlah” pintaku. Pintu kamar terbuka. Putra mahkota lansung memelukku. “Aku takut kehilangan kamu lagi, cintaku.” kata sang putra mahkota. Suara dering ponsel membuyarkan lamunanku. Pemandangan tempat itu berubah menjadi ladang. Selanjutnya >

15 “Fifi, coba liat ini” Aji menemukan bongkahan batu berukir huruf Jawa.
Kembali “Halo. Assalamu’alaikum,” sapa Kak Huri pada penelepon di seberang sana. “Halo...Halo...” Huri memanggil-manggil tapi tak ada jawaban dari seberang sana. “Sinyalnya jelek banget sih. Mana lowbat lagi” gerutu Huri. “Fifi, aku ke mobil dulu ya. Mau charge Hp” pamit Huri. *** “Fifi, coba liat ini” Aji menemukan bongkahan batu berukir huruf Jawa. “Apa kau pernah melihat ukiran ini dalam mimpimu?” tanya Aji “Iya, itu ukiran di meja keadilan. Apa bunyinya?” “Entahlah kurang jelas.” Aji mengambil sekop kecil dari tasnya. Aji menggali tanah di sekitar bongkahan tanah itu. Sebuah meja batu muncul ke permukaan. Ada bongkahan di atas meja itu. Aku ngeri membayangkan apa yang ada di balik bongkahan batu itu. Bisa jadi jasad manusia. Aji menyingkirkan gumpalan tanah dengan teliti dan hati-hati. Beberapa saat kemudian aku histeris melihat ada kerangka manusia di atas batu itu. Sebuah benda runcing menembus ulu hati kerangka itu. Lututku lemas. Aku bersimpuh di depan meja itu. Aku hampir tak percaya bila yang dihadapanku itu nyata. Aku tak menyangka tempat yang selama ini hanya ada dalam mimpiku bisa kutemukan. Selanjutnya >

16 Kembali Tiba-tiba angin berhembus kencang. Hembusan angin itu mengikis dan mengerus gumpalan tanah yang menempel pada kerangka itu. Kini kerangka itu nampak jelas olehku. Ada helaian rambut panjang pada tengkoraknya. Jasad seorang wanita. Entah darimana datangnya, kabut tebal mendadak menyelimuti tempat itu. Sesaat aku tak bisa melihat apapun di sekitarku. Ketika kabut itu sirna, aku mendapati pemandangan yang sangat mengejutkan. Pemandangan di Kotaraja. Terlihat banyak prajurit di sekelilingku. Seorang algojo berbadan kekar bagai raksasa bersiap di meja keadilan. Dua orang prajurit menyeretku ke meja keadilan. Tidak, itu bukan aku. Aku masih bersimpuh di depan meja. Yang mereka seret adalah seorang gadis yang ada di tempatku dan bayangannya menembus tubuhku. Ya, mereka semua hanya bayangan. Wajah gadis itu mirip benar denganku, seperti kembarku. Tak jauh dariku aku melihat sang Putra Mahkota. Dia meronta, dua orang prajurit memegang badannya. Dia berlutut dengan tangan terbelenggu di belakang. Bila diperhatikan wajahnya mirip Aji. “Hari ini kita akan menyaksikan hukuman bagi seorang pendosa. Tahukah kau apa kesalahanmu?” kata seorang punggawa kerajaan. “Tidak. Dia tidak bersalah. Hentikan pengadilan konyol ini!” ronta Putra Mahkota. Selanjutnya >

17 “Kedua, kamu telah lancang membaca kitab keramat trah kesatria.”
Kembali “Sadarilah kesalahanmu sebelum kematian menjemputmu. Pertama, kamu telah menghasut Putra Mahkota untuk melakukan kudeta pada kerajaan.” “Kedua, kamu telah lancang membaca kitab keramat trah kesatria.” “Ketiga, kamu telah berani menulis kutukan bagi kerajaan.” Punggawa itu membentangkan kain batik yang bermotif aksara Jawa. “Dan aku ingatkan pada kalian semua trah sudra, kalian hanyalah budak. tak pantas untuk belajar, menulis, membaca ataupun melukis. Jangan bermimpi untuk setara dengan trah kesatria.” “Hukuman bagi sudra yang melakukan kesalahan adalah kematian. Algojo! Laksanakan tugasmu!” perintah punggawa itu. Tanpa belas kasihan, algojo menghempaskan tubuh gadis itu ke atas meja. Darah segar mengalir ketika bilah pedang menembus ulu hati gadis itu. Aku berusaha memalingkan muka dari pemandangan sadis itu. Tapi aku tak bisa. Ada suatu kekuatan yang mengendalikan tubuhku. Tatapan mata kami bertemu. Dari bola matanya aku melihat gambar Kak Huri tergeletak di jalan bersimbah darah. Aku mendengar suara gemuruh disertai guncangan hebat di sekitarku. Gempa bumi. Aji bergegas meraih tanganku dan mengajakku meninggalkan tempat itu. Kami berlari melewati pematang sawah dengan terhuyung-huyung. Selanjutnya >

18 ”Apa kamu melihat apa yang aku lihat?” tanyaku.
Kembali Orang-orang yang berada di persawahan memandang kami dengan tatapan aneh. Mereka tak beranjak dari aktifitas menanam padi. Rupanya mereka tidak merasakan guncangan gempa. Dan memang waktu itu tidak terjadi gempa bumi. Aku dan Aji kembali ke tempat itu. Bongkahan batu berukir itu telah amblas ditelan bumi. Aji mengambil sekop yang tergeletak di dekat bongkahan batu. Sekop itu berlepotan tanah yang masih basah. * * * ”Apa kamu melihat apa yang aku lihat?” tanyaku. “Iya, aku melihat semuanya,” sahut Aji. “Apa maksud dari semua itu?” tanyaku. “Kita akan cari tahu nanti. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini sebelum lebih banyak kejadian aneh yang akan menimpa kita.” Aji mengajakku menemui Kak Huri. Dari jembatan, aku melihat Kak Huri sedang menelepon sambil bersandar di mobil. Mendadak Aji terjatuh sembari memegangi kepalanya. Dia nampak kesakitan. “Kamu kenapa Ji?” tanyaku cemas. “Tetap di sini.” pinta Aji dengan suara berat menahan sakit. Tangan kanannya meremas jemariku erat. Sedangkan tangan kirinya masih memijiti dahinya. Selanjutnya >

19 Kembali Kak Huri bergegas menyeberang jalan sambil menelepon. Tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju kencang menyerempet Kak Huri. Dia terjatuh. Ketika hendak bangkit, mendadak sebuah sedan merah menyambar tubuh Kak Huri. Mobil berkecepatan tinggi itu terus melaju membiarkan Kak Huri tergeletak bersimbah darah. Kak Huri mengalami cedera patah dan koma. Kami segera memindahkannya ke rumah sakit ternama di Jogja karena kondisinya memburuk. Malam itu aku menginap di rumah sakit. Aji dan Dokter Husada menemaniku menunggui Kak Huri. Keluargaku baru tiba di Jogja esok hari. Malam itu aku bermimpi bertemu gadis itu, kembaranku. Aku melihat dia sedang melukis kain batik. Dia masih melukis motif aksara Jawa. Dia meletakkan canting yang dipegangnya, lalu memintaku mendekat. Aku menurut. Dia menatap mataku lekat-lekat. Aku tak bisa menghindar dari tatapannya. Dari bola matanya, aku melihat kejadian buruk yang akan menimpa orang-orang yang dekat denganku termasuk Aji dan Dokter Husada. Satu per satu anggota keluargaku meninggal secara tragis. Mimpi buruk itu terwujud jadi kenyataan. Aku dan Aji berusaha mencegah kejadian buruk itu terwujud. Tapi usaha kami sia-sia, kematian tetap menjemput mereka. * * * Selanjutnya >

20 Kembali Siang itu, hari ke-empat Kak Huri koma. Aji mengajakku ke perpustakaan umum. Berjam-jam kami menekuni buku-buku sejarah mencari informasi tentang Kotaraja. Hasilnya nihil. Tak satupun buku yang menyebutkan adanya kerajaan kecil di barat kota Jogja. Dalam cerita legenda dan mitos juga tak ada yang mengisahkan Kotaraja. Aji juga menjelajahi dunia maya, berselancar di berbagai situs dari jejaring sosial. Tapi tetap nihil. Sempat terpikir olehku bila yang terjadi saat itu merupakan sebuah kutukan bagiku. Karena setelah kuingat-ingat, aku pernah melihat kain batik itu sebelumnya. Kain batik bermotif aksara Jawa yang kulihat dalam halusinaku. Kira-kira 3 bulan sebelum Ujian Nasional, aku beserta keluargaku pergi ke Kebumen. Kami menghadiri acara pernikahan sepupuku. Di sanalah, tanpa sengaja aku menemukan selembar kain batik lusuh yang terselip di lemari pakaian. Aku tertarik pada motifnya yang unik. Lalu kucuci batik itu dan kupakai pada acara pernikahan itu. Aku sampirkan batik itu di pundak semacam kerudung. Aku merasa tampil lebih cantik mengenakan kain batik sebagai aksesories kebaya. Usai acara, aku kembalikan batik itu pada sepupu iparku. Ketika hendak pulang ke Jambi, aku mengutarakan niatku meminta kain batik itu. Aku ingin membawanya pulang sebagai cenderamata. Tapi aku tak mendapatkannya. Sepupuku bilang kain batik itu telah hilang. Selanjutnya >

21 “Apa yang kamu lihat tentang ayahku?” tanya Aji.
Kembali Setelah mendengar ceritaku tentang kain batik, Aji terdiam sejenak. Sepertinya ia ragu akan bercerita padaku. Kemudian ia menceritakan kejadian yang dilihatnya di Kutoarjo. Ceritanya agak berbeda dengan kejadian yang aku lihat. “Aku lihat putra Mahkota selamat dari musibah gempa bumi itu. Sebelum pergi ia sempat berpesan agar aku melindungimu segenap jiwaku. Dari bola matanya, aku melihatmu tergeletak bersimbah darah di jalanan. Makanya aku sempat menahanmu di jembatan. Aku tak menyangka bila Kak Huri yang mengalami kecelakaan itu.” kata Aji. “Gini aja, coba kamu ingat-ingat lagi urutan kematian yang kamu lihat dalam mimpimu. Mungkin kita bisa berusaha mencegahnya. Siapa orang yang jadi korban selanjutnya?” “Pertama Kak Huri, lalu kakak sulungku dan anaknya, terus Kak Mita, sepupuku dan Dokter Husada. Ayahmu dalam bahaya Ji,” kataku. “Apa yang kamu lihat tentang ayahku?” tanya Aji. “Ada pisau yang menancap di dadanya,” jawabku. Aji menelpon ayahnya. Tersambung. “Halo, ayah di mana sekarang?” “Di rumah, akan berangkat ke Rumah Sakit. Ada apa, Ji?” “Ayah tolong tunggu di rumah sebentar. Ada hal penting yang harus kusampaikan. “Baiklah. Ayah tunggu di rumah.” Dokter Husada menutup telepon. Selanjutnya >

22 Kembali Kami bergegas menemui Dokter Husada. Kami berusaha menahan Dokter Husada di rumah selama mungkin. Hingga kami menerima kabar mengejutkan dari RSJ melalui telepon. Pihak RSJ mengabarkan seorang pasien tiba-tiba mengamuk dan menikam seorang pengunjung hingga tewas. Dan pengunjung itu adalah Tante Yanti, adik mamaku. * * * Seminggu kemudian, kondisi Kak Huri berangsur membaik. Dia mulai menggerak-gerakkan ujung jarinya walaupun ia belum sadarkan diri. Sepertinya Kak Huri mulai merespon kehadiran kami. Dan ada kemungkinan Kak Huri bisa mendengar perkataan kami. Aku sering mengajaknya bicara dan Kak Huri merespon dengan menggerakkan ujung jari tangannya. Itu cukup melegakan bagiku dan keluargaku. Harapan kesembuhan Kak Huri semakin besar. Dalam rentang 7 hari, sudah 8 orang yang jadi korban. Dan hanya Kak Huri yang masih selamat. 7 korban lainnya meninggal dengan cara yang tragis. Kakak sulungku dan anaknya yang berumur 8 tahun tewas ketika sebuah mobil menabrak warung makan tempat mereka sarapan. Kak Mita, sepupuku tewas ketika naik motor berboncengan. Lehernya terjerat selendang yang tersangkut pada roda motor yang melaju kencang. Tante Yanti tewas ditikam pisau oleh pasien RSJ. Terus Om Toni, suami Tante Yati tewas setelah terjatuh dari balkon rumah sakit. Kemarin, Kak Edo dan istrinya tewas dalam kecelakaan mobil. Menurut Anis, anak Kak Edo yang selamat dari kecelakaan itu, mengatakan bahwa sebuah mobil sedan merah menabrak mobil Kak Edo yang diparkir di depan minimarket. Selanjutnya >

23 “Hai, mau pulang sekarang?” kata Aji.
Kembali Pada waktu kejadian, Anis sedang berada di dalam minimarket. Dia sedang membeli majalah, ketika ia dikejutkan oleh suara benturan keras dari parkiran. Dia bergegas keluar dan mendapati mobil orang tuanya ringsek ditabrak mobil sedan merah. Anehnya, Anis sempat melihat sedan merah itu langsung melaju kencang tanpa lecet sedikitpun. Mobil sedan merah tanpa plat nomor itu seakan menghilang diantara deretan mobil di lampu merah. Hari itu aku masuk kuliah. Tubuhku di dalam kelas tapi pikiranku melayang tak tentu arah. Tak satupun materi kuliah yang nyangkut di otakku. Aku masih duduk di bangku meski kuliah telah usai. “Hai, mau pulang sekarang?” kata Aji. “Ke perpustakaan kampus dulu,yuk!” sahutku. Aku masih berharap bisa menemukan sebuah buku usang yang bisa menjelaskan kejadian yang sedang kualami. Aku menemukannya, sebuah buku usang bersampul tulisan aksara jawa. “Aji, kamu bisa baca tulisan ini?” aku menyodorkan buku itu pada Aji. Aji tak menjawab. Dia menatapku lekat-lekat. Tatap mata kami bertemu. Dari bola matanya aku melihat gambar Kak Huri yang mengalami kejang-kejang. “Fi. Fifi. Bangun Fi, ayo kita pulang!” Suara Aji mengagetkanku. Rupanya aku tertidur di bangku usai kuliah tadi. Aku masih linglung. Bingung membedakan antara kenyataan dan halusinasi. Aji mengguncangkan tubuhku. Selanjutnya >

24 “Nofikasi, sadar!” Aji menepuk-nepuk pipiku.
Kembali “Nofikasi, sadar!” Aji menepuk-nepuk pipiku. “Aji, kita harus ke Rumah Sakit. Kak Huri... dalam Huri... dalam bahaya!” kataku histeris. Aji menuruti permintaanku. Kami bergegas ke Rumah Sakit mengendarai sepeda motor. Sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit, Aji tampak memilih-milih jalan seakan menghindari sesuatu. Dari arah tak terduga muncul mobil sedan merah berkecepatan tinggi ke arah kami. Dengan sigap Aji menghindar dari terjangan mobil itu. Tapi terlambat, mobil itu sempat menyenggol sepeda motor kami hingga oleng. Sepeda motor kehilangan keseimbangan dan menabrak pembatas jalan. Seketika aku tak sadarkan diri. Kepalaku membentur jalanan dengan keras. Ketika sadar aku telah berada di ruang Gawat Darurat. Kepalaku diperban. Aku memaksakan diri bangkit dari ranjang. Dengan terhuyung-huyung aku berjalan ke ruang rawat Kak Huri. Aku benar-benar syok saat mendapati Kak Huri telah meninggal dunia. Air mataku tak terbendung lagi. * * * Nofiani terisak. Masih banyak pertanyaan yang ingin Revan sampaikan tapi ia tak tega melihat keadaan Nofiani. Revan menunggu hingga Nofiani kembali tenang. “Bagaimana dengan Aji? Apa ia selamat dari kecelakaan itu?” tanya Revan. Selanjutnya >

25 “Ini, bacalah.” Nofiani memberikan selembar kertas.
Kembali “Beberapa hari kemudian, aku baru mengetahui bila Aji tewas akibat kecelakaan itu. Dokter Husada memberi sepucuk surat yang ditulis Aji sehari sebelum kecelakaan itu terjadi,” jawab Nofiani. “Apa isi surat itu?” “Ini, bacalah.” Nofiani memberikan selembar kertas. “Fifi, bila kamu membaca surat ini, itu berarti aku telah tiada. Sebenarnya aku ingin mengatakan hal ini langsung padamu tapi aku tak bisa. Aku tak tahu gimana menjelaskan semua ini padamu. Ini terlalu rumit dijelaskan, sangat rumit. Aku memang bukan cenayang yang bisa meramalkan masa depan. Tapi dari bola matamu aku melihat pilihan yang sulit yang harus kujalani. Aku harus memilih antara hidupmu dan hidupku. Dan sudah kuputuskan untuk memilih hidupmu. Akan kulakukan apapun untuk melindungimu. Aku akan melindungimu dengan segenap jiwaku. Salam sayang dariku Wismoaji Putra Mardihusada” Bunyi tulisan itu. “Apakah setelah kecelakaan itu anda masih diganggu mimpi-mimpi aneh?” “Masih. Aku terkadang bermimpi sedang diajari membatik oleh gadis itu.Tapi aku tak berani menatap matanya. Aku fokus pada motif batiknya”. “Karena aku tidak bisa membatik maka aku menyalin motif batik itu pada sulaman kruistik ini” Nofiani membentangkan sulaman kruistik bermotif aksara jawa. “Kapan terakhir kali anda bermimpi bertemu dengan gadis itu?” “Semalam. Dia mengajariku melukis aksara Jawa seperti ini.” Nofiani menunjukkan tiga buah Aksara Jawa pada ujung kain kruistik. Selanjutnya >

26 Kembali “Apa kamu bisa membacanya?” tanya Nofiani. “Maaf saya tidak hafal “hanacaraka”, saya tidak bisa membacanya”. jawab Revan “Semalam. Gadis itu mengatakan bahwa tulisan itu adalah namanya. Dia juga memaksaku melihat matanya” kata Nofiani. “Apa yang Anda lihat?” “Cahaya merah berkelebat lalu gelap. Itu saja,” jawab Nofiani. “Apakah wawancaranya sudah selesai?” kata Dokter Husada. “Sudah Dokter. Saya ucapkan terima kasih atas kesediaan anda melakukan wawancara ini.” kata Revan mengahkiri wawancara. “Revan, tunggu!” cegah Nofiani. “Tolong kamu bawa ini, tolong bantu aku menterjemahkan Aksara Jawa dalam sulaman ini,” pinta Nofiani “Baiklah akan saya usahakan sesegera mungkin,” sahut Revan Tanpa sengaja tatapan mata Revan bertemu dengan Nofiani. Keduanya terdiam sejenak. “Sudrati...” kata Nofiani lirih seperti sedang membaca tulisan yang tergambar di bola mata Revan. * ** Sepeda motor Revan berhenti di lampu merah. Dia merasa lega telah menyelesaikan tugas dari Bu Risti. Mendadak Revan teringat sesuatu yang belum ia kerjakan. Dia memeriksa isi tasnya. Rupanya ia belum memotret Nofiani. Dia belum memperoleh foto cewek cantik itu. Selanjutnya >

27 Kembali Revan menyeberang jalan dan berbalik arah. Dia memacu motornya kermbali ke Rumah Sakit Jiwa. Di depan RSJ ia melihat orang sedang berkerumun. Dia berbaur dalam kerumunan. Sontak ia terkejut mendapati Nofiani tergeletak bersimbah darah Dokter Husada memeriksa denyut nadi gadis itu. Nofiani telah meninggal dunia. Revan segera menjepret Nofiani dengan kamera digitalnya. Lengkap sudah artikel yang diminta Bu Risti dengan akhir cerita kematian sang tokoh utama secara tragis. Menurut saksi mata di tempat kejadian, Nofiani tewas setelah ditabrak mobil sedan merah tanpa plat nomor. Semula Nofiani menolong seorang bocah yang hendak menyeberang jalan. Malangnya sebuah mobil berkecepatan tinggi langsung menyambar tubuh gadis itu. Mobil itupun langsung kabur. Cerita Nofiani memang telah usai. Tapi kisah candi di Kotaraja masih berlanjut. Usai menyerahkan artikelnya pada Bu Risti, Revan menunjukkan sulaman Nofiani pada bu Risti. Bu Risti sangat tertarik pada sulaman itu kemudian mengajak Revan menemui Pak Erha, seorang guru bahasa Jawa. Dengan bantuan Pak Erha, sulaman aksara jawa itu dapat terbaca. Selanjutnya Bu Risti menyusun kembali tulisan yang semacam puisi itu. Dalam bentuk puisi bahasa Indonesia. Selanjutnya >

28 <<Kembali Ke Awal
Candi di Kotaraja Alkisah candi di Kotaraja Candi megah trah kesatria Dibangun dengan keringat sudra Tiada arca dewa di sana Para Brahmana memboyong arca ke gunung Jauh dari gemerlap Kotaraja Hanya ada meja batu sesembahan disana Sebilah pedang menancap di tengahnya Bilah runcing yang siap menembus ulu hati para pendosa Korban bagi keangkuhan manusia Siapa pendosa itu? Mereka para sudra yang menolak dijadikan budak Sudra yang berjuang demi kesetaraan Namun tiada kesetaraan di sana Keangkuhan yang berkuasa Dan aku percaya tak ada yang kekal di dunia Tirani akan binasa Murka Sang Maha Kuasa akan tiba Meluluhlantakan Kotaraja Hingga tiada tersisa kisah candi di Kotaraja Ditulis oleh Sudrati *T A M A T* <<Kembali Ke Awal


Download ppt "Novelet Candi di Kotaraja"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google