Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Larangan Bagi Pelaku Usaha

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Larangan Bagi Pelaku Usaha"— Transcript presentasi:

1 Larangan Bagi Pelaku Usaha
Oleh : Soemali

2 Aturan Larangan Pelaku Usaha
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : 1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan per-aturan perundang-undangan; 2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto,dan jumlah dalam hitungan sebagai-mana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

3 Lanjut … 3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, tim-bangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; 4. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keis-timewaan atau kemanjuran sebagaimana dinya-takan dalam label, etiket atau keterangan ba-rang dan/atau jasa tersebut; 5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, kompo-sisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

4 Lanjut … 6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan da-lam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa; 7. tidak mencantumkan tanggal kedaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; 8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dican-tumkan dalam label; 9. tidak memasang label atau membuat penje-lasan barang yang memuat nama barang, ukur-an, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan

5 Lanjut … Pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterang-an lain untuk penggunaan yang menurut keten-tuan harus dipasang/dibuat; 10. tidak mencantumkan informasi dan/atau pe-tunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indo-nesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Pelaku usaha dilarang memperdagangkan ba-rang yang rusak, cacat atau bekas, dan terce-mar tanpa memberikan informasi secara leng-kap dan benar atas barang dimaksud.

6 Lanjut … Pelaku usaha dilarang memperdagangkan se-diaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan be-nar. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran ter-hadap ketentuan tersebut di atas, dilarang mem-perdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran (Pasal 8 UU 8/1999)

7 Lanjut … Pada intinya ketentuan Pasal 8 tersebut di atas, terdapat 2 substansi, yaitu : larangan mempro-duksi barang dan/atau jasa, dan larangan mem-perdagangkan barang dan/ atau jasa. Larangan yang dimaksudkan ini, pada hakekatnya untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kuaitas sesuai informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lainnya.

8 Standar Mutu Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan larangan tersebut berkaitan dengan standar mutu terhadap barang dan/atau jasa.

9 Lanjut … Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, menyatakan pemerintah menetapkan standar untuk bahan baku dan ba-rang hasil industri dengan tujuan untuk menja-min mutu hasil industri serta untuk mencapai da-ya guna produksi. Standar industri adalah keten-tuan-ketentuan terhadap hasil produksi industri yang di satu segi menyangkut bentuk, ukuran, komposisi, mutu dan lain-lain serta di segi lain menyangkut cara mengolah, cara menggambar, cara menguju dan lainnya.

10 Lanjut … Standardisasi industri adalah penyeragaman dan penerapan dari standar industri. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1985 menyatakan barang siapa dengan sengaja me-lakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 19, di-pidana penjara selama-lamanya 5 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp ,- (dua puluh lima juta rupiah) dengan hukuman tambahan dicabut izin usaha industrinya.

11 Lanjut … Standardisasi diatur dalam Peraturan Pemerin-tah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardi-sasi Nasional. Pasal 15 menyatakan bahwa pe-laku usaha yang menerapkan Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib, ha-rus memiliki sertifikat dan atau tanda SNI. Pasal 18 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau mengedarkan barang atau jasa yang tidak memenuhi dan atau tidak sesuai dengan SNI yang telah diberlakukan se-cara wajib.

12 Lanjut … Pelaku usaha yang barang dan atau jasanya te-lah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda Standar Nasional Indonesia dari lembaga serti-fikat produk, dilarang memproduksi dan menge-darkan barang dan atau jasa yang tidak meme-nuhi SNI. Pasal 24 mengatur mengenai sanksi. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran Pasal 18 dikenakan sanksi administratif dan atau sanksi pidana. Sanksi administratif berupa pencabutan sertifikat produk dan atau pencabutan hak peng-gunaan tanda SNI, pencabutan ijin usaha, dan

13 Lanjut … Atau penarikan barang dari peredaran. Sanksi pencabutan sertifikat produk dan atau hak penggunaan tanda SNI dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk. Sanksi pencabutan ijin usaha dan atau penarikan barang dari peredaran ditetapkan oleh ins-tansi teknik yang berwenang dan atau pe-merintah daerah. Sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang ber-laku.

14 Lanjut … Pasal 10 Peraturan Menteri Perindustrian No-mor 19/M-IND/PER/5/2006 tentang Standardi-sasi, Pembunaan dan Pengawasan Standar Nasional Bidang Industri menyatakan bahwa produsen yang memproduksi barang dan atau jasa yang diberlakukan SNI Wajib, wajib meme-nuhi persyaratan SNI. Produsen yang mempro-duksi barang dan atau jasa, wajib memeiliki SPPT SNI untuk SNI Wajib yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi produk. Produsen yang melanggar ketentuan ini dikenai sanksi adminis-tratif sesuai Pasal 31 dan sanksi pidana sesuai

15 Lanjut … Sesuai Pasal 34, menyatakan produsen yang melanggar Pasal 10 yang tetap berproduksi dan membubuhkan tanda SNI pada barang dan atau jasanya dikenakan sanksi pidana sesuai pera-turan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Ta-hun 1999, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp ,- (dua milyar rupiah) dan dapat dijatuhi hukuman tambahan berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, penghentian kegiatan,

16 Lanjut … Penarikan barang dari peredaran, atau penca-butan ijin usaha sesuai Pasal 63. Pemberlakuan SNI merupakan usaha pening-katan mutu, yang di samping menguntungkan produsen juga menguntungkan konsumen. Hal ini karena standar mutu internasional, yaitu, de-ngan telah diadopsinya ISO 9000 oleh Dewan Sandardisasi Nasional dengan Nomor Seri SNI , di mana ISO sendiri pada umum-nya :

17 Lanjut … 1. mengatur semua kegiatan dari perusahaan dalam hal tehnis, administrasi dan sumber daya manusia yang mempengaruhi mutu produk dan jasa yang dihasilkannya; 2. memberikan kepuasan kepada para pelang-gan dan pemakai akhir; 3. penerapan konsep penghematan biaya de-ngan cara pelaksanaan pekerjaan yang benar pada setiap saat; 4. memberikan petunjuk tentang koordinasi an-tara manusia, mesin dan informasi untuk men-capai tujuan standar;

18 Lanjut … 5. mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen mutu untuk mencapai tujuan mutu dari perusahaan. Sasaran ISO 9000 mencakup kebutuhan dan kepentingan perusahaan, yaitu, untuk mencapai dan memelihara mutu yang diinginkan dengan biaya yang optimum, yaitu, dengan mengguna-kan sumber daya (teknologi, bahan dan manu-sia) yang tersedia secara terencana dan efisien. Sasaran lainnya, untuk kebutuhan dan harapan pelanggan, yaitu, kepercayaan terhadap ke-mampuan perusahaan untuk menghasilkan

19 Lanjut … Mutu yang diinginkan dan pemeliharaannya se-cara konsisten. ISO 9000 akan menunjang pro-gram perbaikan mutu untuk mencapai mutu yang memenuhi keinginan konsumen di seluruh dunia. Dengan diadopsinya ISO 9000 ini diha-rapkan dapat mengubah pola pikir pengusaha di negara berkembang yang pada umumnya ber-pendapat bahwa barang yang baik dan seragam tidak menguntungkan perusahaan-nya, karena penerapan standar mutu yang tinggi akan me-naikan ongkos produksi, penekanan atas mutu suatu produk akan mengurangi produktifitas,

20 Lanjut … Dan konsumen di dalam negeri tidak kritis de-ngan standar mutu. Pemenuhan standar sebenarnya sangat diper-lukan dalam transaksi perdagangan, karena menjamin keseragaman tingkat kualitas barang yang diperdagangkan. Demikian pula pemenuh-an standar juga dapat mengurangi sengketa tentang kualifikasi dan kualitas barang yang di-ekspor atau diimpor.

21 Lanjut … Standar mutu ini memberikan konsekwen-si komoditi ekspor dan impor berlaku ke-tentuan bahwa standar komoditi ekspor tidak boleh lebih rendah daripada SNI, yang berarti standar komoditi ekspor mempergunakan SNI atau dengan spesi-fikasi tambahan non mandotory bila diper-lukan, dan standar komoditi impor minimal harus memenuhi SNI dan standar nasional negara yang bersangkutan.

22 Berat dan Ukuran Pasal 8 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 me-nyatakan bahwa pelaku usaha dilarang mem-produksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto dan jumlah dalam hitungan seba-gaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut, dan ukuran, takaran, dan jumlah hitungan menurut ukuran sebenarnya. Untuk melindungi kepentingan konsumen perlu adanya jaminan kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metoda pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya. Dalam melaksanakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

23 Lanjut … Satuan yang digunakan untuk besaran panjang adalah meter, besaran massa adalah kilogram, besaran waktu adalah sekon, besaran arus listrik adalah amper, besar-an termodinamika adalah kelvin, besaran kuat cahaya adalah kendela, dan besaran kuantitas zat adalah mole (Pasal 3). Standar-standar untuk satuan-satuan dasar disebut Standar Nasional. Alat-alat ukur, takar, timbang dan per-lengkapannya wajib ditera dan ditera ulang, dibebaskan dari tera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya, dan syarat-syaratnya harus dipenuhi.

24 Lanjut … Jenis-jenis tanda tera adalah tanda sah, tanda batal, tan-da jaminan, tanda daerah, dan tanda pegawai yang ber-hak. Tanda sah dibubuhkan dan atau dipasang pada alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang disah-kan pada waktu ditera dan ditera ulang. Tanda batal di-bubuhkan pada alat-alat ukur, takar, timbang dan per-lengkapannya yang dibatalkan pada waktu ditera atau ditera ulang. Tanda jaminan dibubuhkan dan atau dipa-sang pada bagian-bagian tertentu dan alat-alat ukur, takar, timbang atau perlengkapannya yang sudah disah-kan untuk mencegah penukaran dan atau perubahan.

25 Lanjut … Tanda daerah dan tanda pegawai yang berhak dibubuh-kan pada alat-alat ukur, takar, timbang atau perlengkap-annya agar dapat diketahui di mana dan oleh siapa pe-neraan dilakukan. Tanda sah dan tanda batal yang tidak mungkin dibubuhkan pada alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya diberikan surat keterangan tertulis sebagai peng-gantinya. Semua barang dalam keadaan terbungkus yang diedar-kan, dijual, ditawarkan atau dipamerkan wajib diberitahu-kan atau dinyatakan pada bungkus atau pada labelnya dengan tulisan yang singkat, benar dan jelas mengenai nama barang dalam bungkusan itu, dan ukuran, isi, atau berat bersih barang dalam bungkusan dengan satuan atau lambang.

26 Lanjut … Pada tiap bungkus atau label wajib dicantumkan nama dan alamat perusahaan yang membung-kus. Semua barang yang dibuat atau dihasilkan oleh perusahaan yang dalam keadaan tidak terbung-kus dan diedarkan dalam keadaan terbungkus, perusahaan yang melakukan pembungkusan diwajibkan melaksanakannya serta menyebut-kan nama dan tempat kerjanya. Tulisan harus dengan angka Arab dan huruf la-tin di samping huruf lainnya yang mudah dibaca

27 Lanjut … Dilarang mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai atau menyuruh memakai alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapanyan yang bertanda batal, tidak bertanda tera sah yang berlaku atau tidak disertai kete-rangan pengesahan yang berlaku, tanda teranya rusak, terdapat perubahan dan tidak disahkan oleh pegawai yang berhak, menyimpang dari nilai yang seharusnya daripada yang diizinkan untuk tera ulang, dan lainnya sesuai Pasal 25, dan bagi yang melanggarnya dapat dipidana penjara selama-lamanya 1 tahun dan denda setinggi-tingginya satu juta rupiah (Pasal 32)

28 Lanjut … Dilarang menawarkan untuk dibeli, menjual, me-nawarkan untuk disewa, menyewakan, menga-dakan persediaan untuk dijual, disewakan, atau diserahkan tau memperdagangkan secara ba-gaimanapun juga alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang bertanda tera batal, yang tidak bertanada tera sah yang berla-ku atau tidak disertai keterangan pengesahan yang berlaku, dan tanda jaminannya rusak. Bagi yang melanggar dipidana 1 tahun dan denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.

29 Lanjut … Dilarang menggunakan sebutan dan lambang satuan selain yang berlaku, pada pengumuman tentang barang yang dijual dengan cara diukur, ditakar, ditimbang, baik dalam surat kabar, ma-jalah atau surat tempelan pada etiket yang dile-katkan atau disertakan pada barang atau bung-kus atau pada bungkurnya sendiri, maupun pemberitahuan lainnya yang menyatakan ukur-an, takaran atau berat. Bagi yang melanggar dipidana enam bulan dan denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah.

30 Lanjut … Dilarang pada tempat-tempat untuk menentukan ukuran atau timbangan untuk kepentingan umum, di tempat usaha, di tempat melakukan penyerahan, di tempat me-lakukan pungutan atau upah yang didasarkan pada ukuran dan timbangan, memakai atau menyuruh mema-kai alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya dengan cara lain atau dalam kedudukan lain daripada yang seharusnya; alat-alat ukur, takar, timbang dan per-lengkapannya untuk mengukur, menakar atau menim-bang melebihi kapasitas maksimumnya; alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapanya untuk mengukur, menakar, menimbang atau menentukan ukuran daripada batas terendah. Bagi pelanggarnya dipidana penjara sa-tu tahun dan denda satu juta rupiah.

31 Lanjut … Dilarang menjual, menawarkan untuk dibeli atau memperdagangkan dengan cara apapun juga semua barang menurut ukuran, takaran, tim-bangan atau jumlah selain menurut ukuran yang sebenarnya, isi bersih, berat bersih atau jumlah yang sebenarnya. Barang siapa melakukan perbuatan ini, merupa-kan pelanggaran dipidana penjara selama enam bulan dan denda sebesar lima ratus ribu rupiah

32 Lanjut … Dilarang membuat, mengedarkan, membungkus atau menyimpan untuk dijual atau menawarkan untuk dibeli semua barang dalam keadaan ter-bungkus yang ukuran, isi bersih, berat bersih atau jumlah hitungannya kurang daripada yang tercantum pada bungkus atau labelnya, atau menyimpang. Barang siapa melakukan perbuatan tersebut di-pidana selama-lamanya enam bulan atau denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah.

33 Lanjut … Perbuatan tersebut di atas merupakan kejahat-an, dan barang yang menjadi bukti kejahatan dan atau pelanggaran dapat dirampas untuk ke-pentingan negara. Suatu perbuatan kejahatan atau pelanggaran tersebut di atas diancam hukuman apabila dila-kukan oleh suatu badan usaha, maka tuntutan dan atau hukuman diajukan kepada pengurus apabila berbentuk badan hukum; sekutu aktif apabila berbentuk persekutuan; pengurus apa-bila berbentuk yayasan; wakil atau kuasanya di indonesia, apabila kantor pusatnya diluar negeri.

34 Lanjut … Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 ten-tang Label dan Iklan Pangan, Pasal 23 dinyatakan bah-wa berat bersih atau isi bersih harus dicantumkan dalam satua metrik dengan ukuran isi untuk makanan cair, de-ngan ukuran berat untuk makanan padat, dan dengan ukuran isi atau berat untuk makanan semi padat atau kental. Pangan yang menggunakan medium cair harus disertai pula penjelasan mengenai berat bersih setelah dikurangi medium cair (Pasal 24). Label yang memuat keterangan jumlah takaran saji ha-rus memuat keterangan tentang berat bersih atau isi bersih tiap takaran saji (Pasal 25)

35 Lanjut … Setiap orang yang melanggar Peraturan Penerintah No-mor 69 Tahun 1999, sesuai Pasal 61 dikenakan tindakan administratif, meliputi : 1. peringatan secara tertulis; 2. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran; 3. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; 4. penghentian produksi untuk sementara waktu; 5. pengenaan denda paling tinggi lima puluh juta rupiah; 6. pencabutan iijin produksi atau ijin usaha.

36 Lanjut … Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pa-sal 30 ayat (2) menyatakan bahwa label memuat sekurang-kurang-nya keterangan mengenai : 1, nama produk; 2. daftar bahan yang digunakan; 3. berat bersih dan isi bersih; 4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; 5. keterangan tentang halal; 6. tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa; Sesuai Pasal 58, barang siapa memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia oangan yang dikemas untuk diperdagang-kan tanpa mencantumkan label seperti dalam Pasal 30 dipidana de-ngan pidana penjara 3 tahun atau denda tiga ratus enam puluh juta rupiah.

37 Kondisi, Jaminan, Keistimewaan dan Kemanjuran
Pasal 8 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperda-gangkan barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagang-kan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi. Pasal 21 menyatakan bahwa setiap orang dilarang mengedarkan pa-ngan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, mengandung cemaran, bahan yang dilarang, bahan kotor, busuk, tengik dan la-innya dan pangan yang kedaluarsa.

38 Lanjut … Pasal 26 menyatakan bahwa setiap orang dilarang memperdagangkan pangan tertentu apabila tidak meme-nuhi standar mutu yang ditetapkan, pangan yang mutu-nya berbeda atau tidak sesuai dengan mutu pangan yang dijanjikan, dan pangan yang tidak sesuai dengan sertifikasi mutu pangan. Pasal 33 menyatakan bahwa setiap label dan iklan ten-tang pangan yang diperdagangkan harus memuat kete-rangan mengenai pangan dengan benar dan tidak me-nyesatkan. Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan tersebut di atas dapat dipida penjara 1 tahun dan denda seratus dua puluh juta rupiah, dan tiga tahun atau denda tiga ratus enam puluh juta rupiah.

39 Lanjut … Pasal 26 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981, menyatakan dila-rang menawarkan untuk dibeli, menjual, menawarkan untuk disewa, menyewakan mengadakan persediaan untuk dijual, disewakan atau diserahkan atau memperdagangkan secara bagaimanapun juga alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengakapannya yang tan-da jaminannya rusak. Pasal 31 menyatakan dilarang membuat, mengedarkan, membung-kus atau menyimpan untuk dijual atau menawarkan untuk dibeli se-mua barang dalam keadaan terbungkus yang ukuran, isi bersih, be-rat bersih atau jumlah hitungannya kurang daripada yang tercantum dalam labelnya. Dapat dipidana 1 tahun dan denda satu juta rupiah, dan terendah dipidana 6 bulan dan denda lima ratus ribu rupiah

40 Lanjut … Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, Pasal 98 me-nyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu dan ter-jangkau. Pasal 109 menyatakan bahwa setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta men-distribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia dan lingkungan. Setiap orang yang melanggar Pasal 98 dipidana dengan pidana penjara 10 tahun dan denda satu milyar rupiah.

41 Mutu, Komposisi, Proses Pengolahan, Gaya, Mode
Pasal 8 huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu se-bagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan ba-rang dan/atau jasa tersebut. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pa-ngan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.

42 Lanjut … Pasal 30 menyatakan bahwa setiap orang yang mem-produksi atau memasukan pangan ke wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib men-cantumkan label pada, di dalam, atau dikemasan pa-ngan. Label harus memuat daftar bahan yang digunakan atau komposisi bahan yang digunakan. Setiap label atau iklan tentang pangan yang diperda-gangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. Barang siapa yang melanggar dapat dipidana selama 3 tahun atau denda tiga ratus enam pulu juta rupiah.

43 Lanjut … Pasal 98 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 me-nyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu dan terjangkau. Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengo-lahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi. Pasal 111 menyatakan bahwa makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Setiap makanan dan minuman yang diekmas wajib diberi tanda atau label yang berisi daftar bahan yang digunakan.

44 Janji Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa. Pelaku usaha yang tidak melaksanakan janji sesuai de-ngan apa yang terdapat dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa ber-arti melakukan wanprestasi dan/atau melakukan perbu-atan melanggar hukum, dan dalam hukum pidana dapat diduga melakukan penipuan atau perbuatan curang.

45 Lanjut … Pasal 1234 KUH Perdata, menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan se-suatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Apabila hal ini tidak dilaksana-kan atau karena kelalaiannya, maka dapat di-anggap wanprestasi. Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap per-buatan melanggar hukum yang membawa kerugian ke-pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salah-nya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian ter-sebut.

46 Lanjut .. Pasal 378 KUHP menyatakan bahwa barang-siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoednigheid) palsu; dengan tipu muslihat, atau-pun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau upaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena peni-puan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

47 Lanjut … Pasal 382 bis KUHP menyatakan bahwa barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas debit perdagangan tau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika kare-nanya dapat timbul kerugian bagi konkiren-konkirennya tau konkiren-konkiren orang lain itu, karena persaingan curang, dengan pidana pen-jara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

48 Kedaluarsa Pasal 8 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahunn 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak mencantumkan tanggal kedaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menya-takan bahwa setiap orang yang memproduksi dan me-masukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau dikemasan pangan. Label memuat sekurang-kurangnya :

49 Lanjut … a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. keterangan tentang halal; f. taggal, bulan dan tahun kedaluarsa. Keterangan pada label ditulis atau dicetak atau ditam-pilkan secara tegas dan jelas, sehingga dapat mudah dimengerti oleh masyarakat. Keterangan pada label ditulis dan dicetak dengan meng-gunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin.

50 Lanjut … Setiap orang dilarang mengganti, melabel kembali, atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa pangan yang diedarkan. Setiap label dan/atau iklan pangan yang diperdagang-kan harus memuat keterangan mengenai pangan de-ngan benar dan atau tidak menyesatkan. Pasal 58 menyatakan barang siapa yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan tanpa mencan-tumkan label tersebut di atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling ba-nyak tiga ratus enam puluh juta rupiah.

51 Lanjut … Pasal 111 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi : 1. nama produk; 2. daftar bahan yang digunakan; 3. berat bersih atau isi bersih; 4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan makanan dan minuman ke dalam wilayah Indonesia; 5. tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa. Pemberian tanda atau label harus dilakukan secara benar dan akurat.

52 Lanjut … Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wi-layah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencan-tumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pa-ngan. Pencantuman label dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Label berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.

53 Lanjut … Keterangan mengenai pangan yang bersangkutan sekurang-kurangnya meliputi : 1. nama produk; 2. daftar bahan yang digunakan; 3. berat bersih atau isi bersih; 4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; 5. tanggal, bulan dan tahun kedaluarsa. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa wajib dicantumkan secara jelas pada label. Pencantuman tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa dilakukan se-telah pencantuman tulisan “ Baik Digunakan Sebelum “ sesuai de-ngan jenis dan daya tahan pangan yang bersangkutan.

54 Lanjut … Dalam hal produk pangan yang kedaluarsanya lebih dari 3 bulan, diperbolehkan untuk hanya mencantumkan bu-lan dan tahun kedaluarsa saja. Dilarang memperdagangkan pangan melampaui tang-gal, bulan, dan tahun kedaluarsa sebagaimana dican-tumkan pada label. Setiap orang dilarang menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali pangan yang diedar-kan. Setiap orang dilarang menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa pangan yang diedarkan. Setiap orang yang melanggar dikenakan tindakan admi-nistratif sesuai ketentuan Pasal 61 Peraturan Pemerin-tah Nomor 69 Tahun 1999

55 Halal Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 menyatakan :
1. Setiap orang yang memproduksi atau mema-sukkan pangan yang di kemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyata-kan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran per-nyataan tersebut dan wajib mencantumkan ke-terangan atau tulisan halal pada label. 2. Pernyataan tentang halal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label.

56 Lanjut … Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diper-dagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakredita-si sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

57 Lanjut … Pencantuman keterangan halal atau tulisan halal pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam. Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempu-nyai arti yang sangatpenting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam agar ter-hindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Kebenaran suatu pernyaaan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tam-bahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan

58 Lanjut … dalam proses produksinya.
Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat suka-rela. Namun, setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakannya sebagai produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya. Untuk menghindarkan tim-bulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap kebe-naran pernyataan halal tadi fdan dengan demikian juga untuk kepentingan kelangsungan atau kemajuan usaha-nya sudah pada tempatnya bila pangan yang dinyata-kannya sebagai halal tersebut diperiksakan terlebih da-hulu pada lembaga yang lebih terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).

59 Lanjut … Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk mem-berikan ketentraman keyakinan umat Islam bah-wa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama. Lembaga keagamaan yang memberikan akre-ditasi halal adalah Majelis Ulama Indonesia. Pedoman ini bersifat umum dan antara lain meli-puti persyaratan bahan, proses atau produknya. Setiap orang yang melanggar dikenakan sanksi administratif.

60 Lanjut … Pasal 30 UNdang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menya-takan bahwa setiap orang yang memproduksi atau me-masukkan ke dalam wilayah indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau kemasan pangan kete-rangan tentang halal. Keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas me-meluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasuk-kan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperda-gangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam.

61 Lanjut … Keterangan tentang halal dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Dengan pencantuman halal pada label pangan, diang-gap telah terjadi pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan itu. Barang siapa yang memberikan pernyataan atau kete-rangan yang tidak benar dalam iklan atau label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut pernyataan agama atau kepercayaan tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak tiga ratus enam puluh juta rupiah.

62 Lanjut … Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8 terse-but di atas, sesuai Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun ataupidana denda paling banyak dua milyar rupiah. Terhadap sanksi pidana tersebut dapat dijatuhkan hu-kuman tambahan berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebab-kan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran dan pencabutan izin usaha. Alhamdulillah, terima kasih atas perhatiannya, harap materi diskusi ini dibaca dan dipahami secara ikhlas.


Download ppt "Larangan Bagi Pelaku Usaha"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google