Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

KRISIS MONETER TERHADAP SISTEM PERBANKAN

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "KRISIS MONETER TERHADAP SISTEM PERBANKAN"— Transcript presentasi:

1 KRISIS MONETER TERHADAP SISTEM PERBANKAN
Pengantar 1. Bermula dari Krisis Moneter Apabila dilihat dari dari proses terjadinya, maka krisis moneter di Indonesia diawali oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang digambarkan oleh Bank Dunia sebagai economic miracle yang kemudian berkembang dan menandakan adanya bubbles seperti ekspansi di sektor real estates yang besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa seiring dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan.

2 . Dalam kondisi tersebut timbul gejolak yang menyebabkan distress melalui dampak tular (contagion effects) yang kemudian menjadi krisis. Krisis yang semula terjadi di sektor keuangan-perbankan kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik berlanjut menjadi krisis sosial, politik dan puncaknya menjadi krisis kepemimpinan nasional. Depresiasi mata uang Baht Thailand pada awal Juli 1997 memberikan dampak berupa proses penularan ke Negara-negara Asia lainnya seperti Korea, Malaysia dan Philipina dan tidak terkecuali Indonesia. Sementara di Indonesia, krisis tersebut merupakan kombinasi dari adanya gejolak eksternal melalui dampak penularan pada pasar keuangan dengan ekonomi nasional yang mengandung berbagai kelemahan struktural, yaitu pada system perbankan dan sektor riilnya.

3 . Pada saat awal terjadinya krisis dimulai dengan dampak dari proses penularan, dimana Rupiah tertekan di pasar mata uang setelah dan bersamaan dengan apa yang terjadi di Negara-negara lain di Asia, diawali dengan depresiasi yang drastis dari baht Thailand. Tetapi kemudian dengan langkah kebijakan yang dilakukan yaitu pelebaran rentang kurs intervensi, mengubah system nilai tukar dari mengambang terkendali (managed floating) menjadi pengambangbebasan Rupiah (free floating), intervensi BI dan pengetatan likuiditas, terjadi proses menjalar dari proses penularan tersebut, sehingga gejolak kurs Rupiah menjalar menjadi masalah tertekannya perbankan.

4 . Ketidak percayaan terhadap Rupiah menjalar menjadi ketidakpercayaan terhadap perbankan yang menimbulkan krisis perbankan. Dalam kondisi ini, bank tidak hanya ditinggalkan deposan tetapi juga ditinggalkan bank lain, termasuk akhirnya bank-bank mitra usaha di luar negeri, contohnya penolakan L/C dari bank nasional oleh bank luar negeri. Krisis tersebut membawa kepanikan juga kepada para nasabah bank karena mahalnya kredit bank, sehingga sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil (kegiatan produksi, perdagangan, investasi maupun konsumsi). Selanjutnya, perkembangan krisis keuangan ini menjalar menjadi krisis sosial dimana perusahaan yang tidak memperoleh pinjaman bank mulai melakukan PHK tehadap karyawannya, dan kemudian menimbulkan krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan nasional.

5 2. Kondisi Perbankan sebelum dan pada Awal Krisis
Sampai dengan pertengahan tahun 1997, kegiatan perbankan secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat sementara ekspansi kredit tetap kuat, terutama ke sektor properti. Ekspansi berlebihan juga telah menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta asing, khususnya pada bank swasta nasional, meningkat tajam sebagaimana tercermin pada memburuknya posisi devisa neto dan makin besarnya rekening administratif (off-balance sheet) dalam valuta asing perbankan selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, kredit tidak lancar (non performing loans atau NPL) pada beberapa bank nasional cenderung meningkat dan efisiensi usaha memburuk. Perkembangan tersebut menyebabkan tingginya kerentanan (vulnerable) perbankan nasional terhadap guncangan-guncangan yang dapat terjadi di dalam perekonomian pada waktu itu. Kerentanan tersebut tidak terlepas dari berbagai kelemahan fundamental industri perbankan yang sudah terakumulasi sejak beberapa tahun sebelumnya.

6 Terdapat lima faktor yang mengakibatkan kondisi mikro perbankan nasional menjadi rentan terhadap gejolak ekonomi dewasa itu, yakni : a. Relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan penurunan kualitas aset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank. Situasi ini diperburuk pula oleh lemahnya pengawasan dan sistem informasi internal di dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah serta posisi risiko yang berlebihan. Kelemahan ini semakin membatasi kemampuan bank dalam mengantisipasi dan menghadapi gejolak keuangan yang terjadi.

7 , b. Besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu atau kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending) telah mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi bank. c. Adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam industri perbankan sehingga risiko yang dihadapi perbankan sebagai akibat dari kesulitan likuiditas secara praktis tergeser kepada bank sentral.

8 d. Kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah mengakibatkan kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi keuangan suatu bank juga telah melemahkan upaya untuk melakukan kontrol sosial dan menciptakan disiplin pasar (market discipline). Hal-hal tersebut berakibat ikut mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sehingga makin memperbesar risiko sistemik industri perbankan. e. Sistem pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan. Hal ini telah mendorong perbankan nasional mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional mereka. .

9 II. Kebijakan Awal Mengatasi Kesulitan Likuiditas Perbankan Juli 1997 hingga Januari 1998
1. Mengatasi Kesulitan Likuiditas Bank Menghadapi kesulitan perbankan tersebut di atas, sejak pertengahan Agustus 1997 hingga akhir Desember 1997 Bank Indonesia mengambil kebijakan untuk memberikan kelonggaran fasilitas bantuan likuiditas kepada bank-bank berupa : Fasilitas Saldo Debet Giro pada Bank Indonesia, SBI-Repo Khusus, Fasilitas Diskonto (Fasdis), dan fasilitas surat berharga pasar uang (SBPU). Berikut rincian dari pelaksanaan kebijakan tersebut.

10 . Dalam rangka membantu mengatasi kesulitan likuiditas perbankan, Bank Indonesia melalui rapat direksi pada tanggal 15 Agustus 1997 menetapkan kebijakan berupa pemberian dispensasi kepada bank-bank yang memiliki saldo giro negatif (saldo debet) di Bank Indonesia untuk tetap dapat ikut serta dalam kliring. Keputusan ini diterapkan sampai meredanya gejolak pasar uang.

11 2. Upaya Mencegah Peningkatan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada Bank
Karena makin sulit mencari dana dari pasar uang antarbank, bank-bank dalam upayanya untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapi, cenderung menggantungkan diri pada fasilitas saldo debet di Bank Indonesia. Oleh karena itu, Bank Indonesia menetapkan kebijakan pengenaan suku bunga yang tinggi atas saldo debet pada Bank Indonesia serta denda yang berat atas pelanggaran GWM. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong bank-bank berusaha dengan sungguh-sungguh memelihara saldo positif yang cukup pada Bank Indonesia dan sekaligus menghindari terjadinya saldo debet pada Bank Indonesia dengan mengupayakan dana dari sumber-sumber lain. Di samping itu, Bank Indonesia menetapkan penggunaan SBPU Khusus (SBPU-K) untuk penggantikan dan mengonversikan saldo debet, Fasdis I, Fasdis I Repo dan Fasdis II. SBPU-K hanya diberikan satu kali dan setelah itu tidak boleh terjadi lagi saldo debet rekening bank pada Bank Indonesia.

12 3. Kesepakatan Pemerintah Repubik Indonesia dengan IMF untuk Mengatasi Krisis Perbankan
Pemerintah telah melakukan berbagai langkah penanggulangan. Namun, karena masalah yang menimpa perekonomian masih terus meluas, maka pada 8 Oktober 1997 Pemerintah memutuskan untuk meminta bantuan kepada IMF dan menunjuk Profesor Widjojo Nitisastro untuk mengkoordinasikan langkah-langkah penanganan terhadap gejolak ekonomi yang berkembang.

13 . Kesepakatan antara Pemerintah dan IMF bertalian dengan upaya mengatasi krisis dan restrukturisasi perbankan tertuang dalam Memorandum on Economic and Financial Policies yang disampaikan dengan surat Pemerintah kepada Managing Director IMF yang juga disebut Letter of Intent (LoI). Program restrukturisasi perbankan untuk mengembalikan kepercayaan terhadap perbankan yang disusun oleh Pemerintah dengan bantuan teknis dari staf IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB) diawali dengan LoI tanggal 31 Oktober Program restrukturisasi perbankan dan keuangan selain secara rinci disebutkan dalam LoI tersebut, juga dimuat dalam suatu pengkajian program untuk memperkuat rehabilitasi sektor perbankan secara menyeluruh yang disusun oleh IMF.

14 Pemantapan Ketahanan Sistem Perbankan
Keberhasilan mengatasi dampak krisis perbankan melalui berbagai upaya yang diuraikan di atas menjadikan perbankan Indonesia siap melakukan pemulihan kondisi dan memenuhi fungsi sebagai lembaga intermediasi guna memberdayakan perekonomian Indonesia. Awal untuk mewujudkan hal-hal tersebut terlihat sejak Juli 1999 yang ditandai dengan tiga parameter utama untuk mendorong percepatan pemulihan perbankan, yaitu : - Stabilitas kurs rupiah terhadap mata uang asing pada level sekitar Rp 7.000/US Dollar - Penurunan tingkat suku bunga yang mencapai sekitar 15% pertahun untuk deposito berjangka 3 bulan. Perkembangan ini di samping menghilangkan negative spread, juga mendrong perbankan untuk menyalurkan kredit dengan suku bunga yang tidak memberatkan dunia usaha. - Penurunan inflasi yang mendorong perbankan melakukan ekspansi kredit.

15 Namun demikian upaya mengembangkan perbankan di masa datang perlu dirancang dengan baik untuk menghindari berulangnya krisis perbankan melalui pemantapan ketahanan sistem perbankan yang dapat ditempuh antara lain melalui : 1. peningkatan integritas sumber daya manusia perbankan. 2. pemantapan pengawasan bank. 3. penciptaan kondisi lingkungan perbankan yang kondusif. Akhirnya Proses restrukturisasi perbankan yang berjalan sangat lama dan memakan biaya yang sangat besar tersebut telah memberikan pembelajaran kepada Pemerintah dan dunia perbankan Indonesia untuk menjadikan sistem perbankan Indonesia lebih kuat dan hati-hati.

16 KELOMPOK 6 : Abdul gaffar nawawi (2009/20025/MRS)
Setio wahono supadi (2009/20028/MTU) Jordan Dandirwalu (2009/20006/MAF) Sariuni Kedang (2010/20121/MRS) Airon (2010/20011/MAF)


Download ppt "KRISIS MONETER TERHADAP SISTEM PERBANKAN"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google