Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Bab 6 Logika Deduktif.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Bab 6 Logika Deduktif."— Transcript presentasi:

1 Bab 6 Logika Deduktif

2 Logika Deduktif: Istilah
Ada sejumlah istilah yang digunakan oleh logika deduktif Ungkapan (pernyataan) Kelompok (suku) Kuantifikasi Cakupan Validitas Gabungan di antara mereka

3 Logika Deduktif Istilah: Ungkapan
Ungkapan adalah pernyataan Ungkapan dapat benar dan dapat juga palsu Ada tiga macam ungkapan: kategoris, hipotetis, disjunktif/alternatif Ungkapan Kategoris Ungkapan untuk satu kategori dari sesuatu yang memiliki kepastian tunggal Contoh Susi pergi ke pasar Budi menulis surat Ungkapan ini bisa benar dan bisa juga palsu

4 Logika Deduktif Istilah: Ungkapan
Ungkapan Hipotetis Ungkapan yang memiliki syarat Berlaku jika syaratnya dipenuhi dan tidak berlaku jika syaratnya tidak dipenuhi Biasanya berbentuk “jika” dan “maka” Contoh Jika tidak pergi kuliah, maka Susi pergi ke pasar Jika sedang santai, maka Budi menulis surat Ungkapan Disjunktif/Alternatif Ungkapan dengan dua pilihan Berbentuk “atau” (exclusive or) dan bukan “dan/atau” (inclusive or) Susi pergi ke pasar atau pergi ke kuliah Budi sibuk belajar atau menulis surat

5 Logika Deduktif Istilah: Kelompok
Kelompok dalam pengertian himpunan atau kelas Kelompok adalah sekumpulan sesuatu yang memiliki ciri sama sebagai identitas kelompok Contoh: mahasiswa, penduduk, penyanyi Letak Kelompok Kita menggunakan dua letak kelompok dengan menamakan mereka “suku” Ada “suku kiri” yang terletak di sebelah kiri Ada “suku kanan” yang terletak di sebelah kanan Menggunakan kelompok normal

6 Logika Deduktif Istilah: Kelompok
Kelompok Normal dan Nonnormal Ada kelompok normal dan ada kelompok nonnormal Kelompok nonnormal adalah kelompok yang tidak dapat dipastikan identitasnya Contoh 1: Saya adalah pembohong (Saya termasuk kelompok pembohong atau kelompok bukan pembohong?) Contoh 2: Saya hanya mencukur orang yang tidak mencukur diri sendiri (Yang mencukur diri saya termasuk kelompok saya atau kelompok bukan saya?)

7 Logika Deduktif Istilah: Kelompok
Kelompok Normal dan Nonnormal Contoh 3: Ada toko A, B, C, D di satu jalan. Mereka mempromosikan toko mereka dengan tulisan Toko A: Toko terhebat di kota ini Toko B: Toko terhebat di negara ini Toko C: Toko terhebat di seluruh dunia Toko D: Toko terhebat di jalan ini (Toko mana yang termasuk kelompok toko terhebat?) Di dalam logika deduktif, kita hanya menggunakan kelompok normal dan tidak menggunakan kelompok nonnormal

8 Logika Deduktif Istilah: Kuantifikasi
Menyatakan banyaknya sesuatu Kuantifikasi dapat direduksi menjadi dua jenis (1) “semua” (total) atau “tiada” serta (2) “sebagian” (parsial) Kuantifikasi Semua (total) “Semua” atau “ total” berarti meliputi semua sesuatu yang disebut “Tiada” juga termasuk ke dalam “semua” Bentuk lain: setiap, selalu, seluruh, segala, tidak pernah, tidak, kosong Ada kalanya tanpa penyebutan, misalnya: Kucing bukan hewan melata Dosen hadir di upacara wisuda (Ini berarti semua kucing dan semua dosen)

9 Logika Deduktif Istilah: Kuantifikasi
Kuantifikasi Sebagian (parsial) “Sebagian” atau “ parsial” berarti tidak meliputi semua yang disebut Bentuk lain: terbanyak, 60%, separuh, setengah, seperempat, ada kalanya, kadang-kadang, sedikit Contoh: Sebagian dosen hadir di upacara wisuda Separuh mahasiswa sedang ujian Sedikit karyawan tidak hadir di pekerjaan Contoh Kuantifikasi Semua siswa naik kelas Tiada pegawai yang boleh meminjam uang Sebagian anak bermain gundu

10 Logika Deduktif Istilah: Cakupan
Cakupan berkenaan dengan keanggotaan kelompok Ada dua kemungkinan: tercakup dan tidak tercakup Tercakup (Inklusi) Termasuk menjadi anggota kelompok Notasi:  Diagram: Tidak Tercakup (Eksklusi) Tidak menjadi anggota kelompok Notasi:  Diagram: x x

11 Logika Deduktif Istilah: Benar dan Betul
True dan Right Ada ungkapan yang true atau false Ada ungkapan yang right atau wrong Diperlukan padanan di dalam bahasa Indonesia Benar atau Palsu Benar adalah padanan true (truth) Palsu adalah padanan false Betul atau Salah Betul adalah padanan right Salah adalah padanan wrong Valid (sahih) atau tidak valid

12 Logika Deduktif Kelompok dan Cakupan
Hubungan Kelompok dengan Cakupan Kelompok suku kiri dihubungkan dengan kelompok suku kanan Hubungannya berbentuk cakupan (inklusi atau eksklusi) Hubungan Inklusif Suku Kiri  Suku Kanan Hubungan Eksklusif Suku Kiri  Suku Kanan

13 Logika Deduktif Kelompok, Cakupan, Kuantifikasi
Empat Macam Hubungan Kelompok, Cakupan, dan Kuantifikasi Notasi sejak zaman dahulu: A, E, I, O Bentuk A: inklusi total Bentuk E: eksklusi total Bentuk I: inklusi parsial Bentuk O: eksklusi parsial (A, I dari kata affirmo; E,O dari kata nego) Bentuk A: Inklusi Total Contoh: Semua macan sangat berbahaya Semua penduduk Jakarta adalah penduduk Indonesia

14 Logika Deduktif Istilah: Hubungan Kelompok
Bentuk E: Eksklusi Total Contoh: Semua kelinci tidak berbahaya Semua wanita bukan pria Bentuk I: Inklusi Pasial Sebagian gajah sangat berbahaya Sebagian mahasiswa menonton film

15 Logika Deduktif Istilah: Hubungan Kelompok
Bentuk O: Eksklusi Parsial Contoh Sebagian ular tidak berbahaya Sebagian dosen tidak hadir di wisuda Contoh Lainnya Semua parkir tidak diperkenankan di sini Sebagian pegawai adalah sarjana Tiada maling yang mengaku maling Sebagian mahasiswa tidak lulus ujian Semua pekerjaan selesai dikerjakan bSetiap anak wajib bersekolah

16 Logika Deduktif Istilah: Distribusi
Distribusi dan Tidak Terdistribusi Berlaku untuk suku kiri dan suku kanan Aturan untuk suku kiri berbeda dengan aturan untuk suku kanan Suku Kiri Semua atau tiada : terdistribusi (T) Sebagian : tidak terdistribusi (TT) Suku Kanan Eksklusi : terdistribusi (T) Inklusi : tidak terdistribusi (TT)

17 Logika Deduktif Istilah: Terdistribusi
Contoh T  TT Semua penduduk Jakarta adalah penduduk Indonesia T  T Semua kucing bukan hewan melata TT  TT Sebagian mahasiswa pergi menonton film TT  T Sebagian dosen tidak hadir di upacara wisuda

18 Logika Deduktif Premis dan Konklusi
Bentuk Logika Deduktif Dimulai dari premis (sesuatu lebih dahulu) Satu atau lebih premis Sampai ke konklusi Premis Konklusi Premis dan Konklusi Premis adalah sesuatu yang telah diketahui dan diterima (teori, hukum, asumsi) Konklusi adalah hasil pemikiran (hipotesis)

19 LOGIC Logic is the study of propositions and of their use in argumentation. This study may be carried on at a very abstract level, as in formal logic, or it may focus on the practical art of right reasoning, as in applied logic. Valid arguments have two basic forms. Those that draw some new proposition (the conclusion) from a given proposition or set of propositions (the premises) in which it may be thought to lie latent are called deductive. These arguments make the strong claims that the conclusion follows by strict necessity from the premises, or in other words that to assert the premises, but deny the conclusion would be inconsistent and self-contradictory. Arguments that venture general conclusions from particular facts that appear to serve as evidence for them are called inductive. These arguments make the weaker claim that the premises lend a certain degree of probability or reasonableness to the conclusion. The logic of inductive argumentation has become virtually synonymous with the methodology of the physical, social, and historical sciences and is no longer treated under logic. Logic as currently understood concerns itself with deductive processes. As such it encompasses the principles by which propositions are related to one another and the

20 Techniques of thought by which these relationships can be explored and valid statements made about them. In its narrowest sense deductive logic divides into the logic of propositions (also called sentential logic) and the logic of predicates (or noun expressions). In its widest sense it embraces various theories of language (such as logical syntax and semantics), metalogic (the methodology of formal systems), theories of modalities (the analyses of the notions of necessity, possibility, impossibility, and contingency), and the study of paradoxes and logical fallacies. Both of these senses may be called formal or pure logic, in that they construct and analyze an abstract body of symbols, rules for stringing these symbols together into formulas, and rules of manipulating these formulas. When certain meanings are attached to these symbols and formulas, and this machinery is adapted and deployed over the concrete issues of a certain range of special subjects, logic is said to be applied. The analysis of questions that transcend the formal concerns of either pure or applied logic, such as the examination of the meaning and implications of either discipline, is the domain of the philosophy of logic. Logic was developed independently and brought to some degree of systematization in China (5th to 3rd cen-

21 tury BC) and India (from the 5th century BC through the 16th and 17th centuries AD). Logic as it is known in the West comes from Greece. Building on an important tradition of mathematics and rhetorical and philosophical argumentation, Aristotle in the 4th century BC worked out the first system of logic of noun expressions. The logic of propositions originated in the work of Aristotle’s pupil Theophrastus and in that of the 4th-century Megarian school of dialecticians and logicians and the school of the Stoics. After the decline of Greek culture, logic reemerged first among Arab scholars in the 10th century. Medieval interest in logic dated from the work of St. Anselm of Canterbury and Peter Abelard. Its high point was the 14th century, when the Scholastics developed logic, especially the analysis of propositions, well beyond what was known to the ancients. Rhetoric and natural science largely eclipsed logic during the Renaissance. Modern logic began to develop with the work of mathematician G.W. Leibniz, who attempted to create a universal calculus of reason. Great strides were made in the 19th century in the development of symbolic logic, leading to highly fruitful merging of logic and mathematics in formal analysis. Modern formal logic is the study of inference and

22 proposition forms. Its simplest and most basic branch is that of the propositional calculus (PC). In this logic, propositions or sentences form the only semantic category. These are dealt with as simple and remained unanalyzed; attention is focused on how they are related to other propositions by propositional connectives (such as “if … then,” “or,” “it is nor the case that,” etc.) and thus formed into arguments. By representing propositions with symbols called variables and connectives with symbolic operators, and b y deciding on a set of transformation rules (axioms that define validity and provide starting points for the derivation of further rules called theorems(, it is possible to model and study the abstract characteristics and consequences of this formal system in a way similar to the investigations of pure mathematics. When the variables refer not to whole propositions but to noun expressions (or predicates) within propositions, the resulting formal system is known as a lower predicate calculus (or LPC). Changing the operators, variables, or rules of such formal systems yields different logics. Certain systems of PC, for example, add a third “neuter” value to the two transitional possible values—true or false—of propositions. A major step in modern logic is the disco-

23 very that it is possible to examine and characterize other formal systems in terms of the logic resulting from their elements, operations, and rules of formation; such is the study of the logical foundations of mathematics, set theory, and logic itself. Logic is said to be applied when it systematizes the forms of sound reasoning or a body of universal truths in some restricted fields of thought or discourse. Usually this is done by adding extra axioms and special constants to some preestablished pure logic such as PC or LPC. Examples of applied logics are practical logic, which is concerned with the logic of choices, commands, and values; epistemic logic, which analyzes the logic of belief, knowing, and questions; the logics of physical application, such as temporal logic and mereology; and the logics of correct argumentation, fallacies, hypothetical reasoning, and so on. Varieties of logical semantics have become the central area of study in the philosophy of logic. Some of the more important contemporary philosophical issues concerning logic are the following: What is the relation between logical systems and the real world? What are the limitations of logic, especially with regard to some of the assumptions of its wider senses

24 and the incompleteness of first-order logic
and the incompleteness of first-order logic? What consequences stem from the nonrecursive nature of many mathematical functions?

25 Logika Deduktif Premis dan Konklusi
Hasil Pemikiran Deduktif Ada dua hal penting di dalam hasil pemikiran deduktif yakni benar dan valid Benar atau Palsu Benar atau palsu berkenaan dengan materi logika (berhubungan dengan ilmu) Misalnya: Semua kucing makan batu Benar atau palsu adalah urusan ahli kucing dan ahli makanan Valid atau Tidak Valid Valid atau tidak valid berkenaan dengan jalan pikiran pada logika deduktif Pada tiap macam logika, ada aturan untuk valid

26 Logika Deduktif Premis dan Konklusi
Jenis Logika Deduktif Ada dua jenis logika deduktif yang dibahas Jenis satu premis dan jenis dua premis Jenis Satu Premis Inferensi segera Konversi Obversi Jenis Dua Premis Silogisme kategoris Silogisme hipotetis Silogisme disjunktif Silogisme alternatif

27 Deduction in logic, a rigorous proof, or derivation, of one statement (the conclusion) from one or more statements (the premises)—i.e. a chain of statements, each of which is either a premise or consequence of a statement occurring earlier in the proof. This usage is a generalization of what Aristotle called the syllogism, by a syllogism is now recognized as merely a specific case of a deduction. Also, the traditional view that deduction proceeds “from the general to the specific” or “from the universal to the particular” has been abandoned as incorrect by most logicians. Some experts regard all valid inference as deductive in form and for this and other reasons reject the supposed contrast between deduction and induction.

28 Logika Deduktif Inferensi Segera
Kita melihat premis A, E, I, dan O Kalau salah satu benar, bagaimana lainnya Bentuk Pertama Premis A benar (Semua mobil dipajak) Konklusi E palsu (Semua mobil tidak dipajak) I benar (Sebagian mobil dipajak) O palsu (Sebagian mobil tidak dipajak)

29 Logika Deduktif Inferensi Segera
Bentuk Kedua Premis E benar (Semua toko tidak dipajak) Konklusi A palsu (Semua toko dipajak) I palsu (Sebagian toko dipajak) O benar (Sebagian toko tidak dipajak) Bentuk Ketiga I benar (Sebagian dosen terlambat) A ragu (Semua dosen terlambat) E palsu (Semua dosen tidak terlambat) O ragu (Sebagian dosen tidak terlambat)

30 Logika Deduktif Inferensi Segera
Bentuk Keempat Premis O benar (Sebagian siswa tidak hadir) Konklusi A palsu (Semua siswa hadir) E ragu (Semua siswa tidak hadir) I ragu (Sebagian siswa hadir) Kesimpulan Hanya dua yang valid A benar I benar E benar O benar Dapat digunakan di dalam kerangka berpikir dengan A atau E sebagai premis dan I dan O sebagai hipotesis

31 Inference in logic, derivation of conclusions from given information or premises by any acceptable form of reasoning. Inferences are commonly drawn by deduction, which, by analyzing valid argument forms, draws out the conclusions implicit in their premises; by induction, which argues from many instances to a general statement; by probability, which passes from frequencies within a known domain to conclusions of stated likelihood; and by statistical reasoning, which concludes that, on the average, a certain percentage of set of entities will satisfy the stated conditions.

32 Logika Deduktif Konversi
Bentuk Konversi Premis: Semua A adalah B Konklusi: Semua B adalah A (A dan B bertukar tempat) Aturan Konversi Ada dua aturan pada konversi: Mempertahankan kualitas asli (tetap inklusi atau tetap eksklusi) Suku terdistribusi pada konversi harus terdistribusi juga pada premis

33 Logika Deduktif Konversi
Bentuk A (Inklusi Total) Premis T  TT Semua mahasiswa adalah manusia Konklusi TT  TT Sebagian manusia adalah mahasiswa Bentuk E (Eksklusi Total) T  T Semua kucing tidak bertanduk T  T Semua yang bertanduk bukan kucing

34 Logika Deduktif Konversi
Bentuk I (Inklusi Parsial) Premis TT  TT Sebagian pegawai adalah sarjana Konklusi TT  TT Sebagian sarjana adalah pegawai Bentuk O (Eksklusi Parsial) TT  T Sebagian mahasiswa tidak lulus ujian Tidak ada konversi (meragukan)

35 Conversion in syllogistic, or traditional, logic interchanging the subject and predicate of a categorical proposition, or statement. Conversion yields an equivalent proposition (and is hence valid inference) in general only with so-called E and I proposition (universal negatives and particular affirmatives). For example, the converse of the E proposition “No men are immortal” is “No immortals are men” and that of the I proposition “Some man is mortal” is “Some mortal is man.”

36 Logika Deduktif Obversi
Bentuk Obversi Premis : A adalah B Konklusi : A tidaklah tidak B (adalah menjadi tidak serta B menjadi tidak B) Aturan Bentuk cakupan berubah Inklusi menjadi eksklusi Eksklusi menjadi inklusi Suku kanan berubah menjadi lawannya B menjadi tidak B Tidak B menjadi B

37 Logika Deduktif Obversi
Contoh 1 Premis Susi adalah kaya Konklusi Susi tidaklah tidak kaya Contoh 2 Pintu itu tidak terkunci Pintu itu adalah tidak terkunci

38 Obversion in syllogistic, or traditional logic, transformation of a categorical proposition, or statement, into a new proposition in which (1) the subject term is unchanged, (2) the predicate is replaced by its contradictory, and (3) the quality of the proposition is changed from affirmative to negative or vice versa. Thus the obverse of “Every man in mortal” is “No man is immortal.” Because the obverse of any categorical proposition is logically equivalent to it, obversion is a form of immediate inferences.

39 Logika Deduktif Silogisme Kategoris
Bentuk Silogisme Kategoris Memiliki dua premis Bentuk Premis mayor Premis minor Konklusi Premis mayor menggunakan ungkapan kategoris Premis dan Aturan Premis mayor bersifat lebih umum Premis minor bersifat lebih khusus Ada empat aturan untuk menjamin validitas

40 Logika Deduktif Silogisme Kategoris
Aturan Nomor 1 Memiliki tepat tiga suku Setiap suku dipakai tepat dua kali Aturan Nomor 2 Tidak memiliki eksklusi, atau Memiliki dua eksklusi dan satu di antaranya terletak di konklusi Aturan Nomor 3 Suku tengah (yakni suku yang digunakan dua kali di premis) harus terdistribusi paling sedikit sekali Aturan Nomor 4 Suku yang terdistribusi pada konklusi harus juga terdistribusi pada premis

41 Logika Deduktif Silogisme Kategoris
Contoh 1 Premis mayor S1 T  S2 TT Semua pemimpin bisa berbuat salah Premis minor S3 T  S1 TT Semua ketua adalah pemimpin Konklusi S3 T  S2 TT Semua ketua bisa berbuat salah

42 Logika Deduktif Silogisme Kategoris
Contoh 2 Premis mayor S1 T  S2 T Perjanjian judi tidak berlaku di pengadilan Premis minor S3 T  S1 TT Tuntutan ini adalah perjanjian judi Konklusi S3 T  S2 T Tuntutan ini tidak berlaku di pengadilan

43 Logika Deduktif Silogisme Kategoris
Contoh 3 Premis mayor Semua A adalah B Permis minor Semua C adalah B Konklusi Semua C adalah A Logika ini tidak valid. Aturan nomor berapa yang dilanggar?

44 Logika Deduktif Silogisme Kategoris
Contoh 4 Premis mayor Semua anak sehat suka naik sepeda Premis minor Susi adalah anak sekolah Konklusi Susi suka naik sepeda Logika ini tidak valid, aturan nomor berapa yang dilanggar?

45 Logika Deduktif Silogisme Kategoris
Contoh 5 Semua barang langka adalah mahal Kuda putih adalah barang langka Kuda putih adalah mahal Contoh 6 Kuda murah adalah barang langka Kuda murah adalah mahal

46 Logika Deduktif Silogisme Hipotetis
Bentuk Silogisme Hipotetis Memiliki dua premis, premis mayor dan premis minor Premis mayor menggunakan ungkapan hipotetis Memiliki satu konklusi Premis Mayor Berbentuk: jika A maka B A adalah anteseden B adalah konsekuen Premis Minor Menerima anteseden, atau Menolak konsekuen

47 Logika Deduktif Silogisme Hipotetis
Aturan Terdapat hanya dua kemungkinan: Menerima anteseden (modus ponens), atau Menolak konsekuen (modus tollens) Contoh Menerima Anteseden Premis mayor : Jika A maka B Premis minor : A Konklusi : B Contoh Menolak Konsekuen Premis minor : Tidak B Konklusi : Tidak A

48 Logika Deduktif Silogisme Hipotetis
Contoh 1 Premis mayor Jika turun hujan maka air sungai meluap Premis minor Turun hujan Konklusi Air sungai meluap Contoh 2 Air sungai tidak meluap Tidak turun hujan

49 Logika Deduktif Silogisme Hipotetis
Contoh 3 Premis mayor Jika kunci cocok maka pintu dapat dibuka Premis minor Kunci cocok Konklusi Pintu dapat dibuka Contoh 4 Pintu tidak dapat dibuka Kunci tidak cocok

50 Logika Deduktif Silogisme Hipotetis
Contoh 5 Premis mayor Jika Budi tidak di rumah maka ia ada di toko Premis minor Budi tidak di rumah Konklusi Budi ada di toko Contoh 6 Jika Susi tinggal di kota maka ia tidak perlu mobil Susi perlu mobil Susi tidak tinggal di kota

51 Logika Deduktif Silogisme Hipotetis
Kekeliruan Menolak anteseden atau menerima konsekuen adalah keliru Jika turun hujan maka air sungai meluap Menolak anteseden Tidak turun hujan, ada alasan lain yang menyebabkan air sungai meluap (misalnya bendungan bobol), sehingga air sungai bisa saja meluap dan bisa juga tidak Menerima konsekuen Air sungai meluap, penyebabnya bukan hanya hujan (bisa juga karena bendungan bobol), sehingga bisa saja turun hujan dan bisa juga tidak

52 Logika Deduktif Silogisme Hipotetis
Jika dan Hanya Jika Memerlukan dua premis mayor yang saling komplemen Contoh Jika dan hanya jika sehat, maka Susi pergi ke sekolah Kedua premis mayor adalah Jika sehat, maka Susi pergi ke sekolah Jika tidak sehat, maka Susi tidak pergi ke sekolah Bentuk Keseluruhan Ada empat bentuk yakni Dua bentuk menerima anteseden atau dua bentuk menolak konsekuen pada masing-masing premis mayor

53 Logika Deduktif Silogisme Disjunktif
Bentuk silogisme disjunktif Memiliki premis mayor dan premis minor Premis mayor menggunakan ungkapan disjunktif Premis minor menerima salah satu pilihan Memiliki satu konklusi Misal Premis mayor : A atau B Premis minor : A Konklusi : Bukan B Premis minor : B Konklusi : Bukan A

54 Logika Deduktif Silogisme Disjunktif
Aturan Harus menerima salah satu pilihan Contoh 1 Premis mayor Susi pergi ke toko atau pergi ke kuliah Premis Minor Susi pergi ke toko Konklusi Susi tidak pergi ke kuliah Premis minor Susi pergi ke kuliah Susi tidak pergi ke toko

55 Logika Deduktif Silogisme Alternatif
Bentuk Silogisme Alterantif Memiliki premis mayor dan premis minor Premis mayor menggunakan ungkapan alternatif Premis minor menolak salah satu pilihan Memiliki satu konklusi Misal Premis mayor : A atau B Premis minor : Bukan A Konklusi : B Premis mayor : A atau B Premis minor : Bukan B Konklusi : A

56 Logika Deduktif Silogisme Alternatif
Aturan Harus menolak salah satu pilihan Contoh Premis mayor Susi sakit atau bolos kuliah Premis minor Susi tidak sakit Konklusi Susi bolos kuliah Susi tidak bolos kuliah Susi sakit


Download ppt "Bab 6 Logika Deduktif."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google