Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Ada Apa dengan Telingaku? Ruang Kuliah Anatomi, 10 Maret 2010 Kelompok 23 Astari, Oline, Dexan, Faisal, Ihza, Ikhlas, Kasih, Shikin, Nichi, Winda 1.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Ada Apa dengan Telingaku? Ruang Kuliah Anatomi, 10 Maret 2010 Kelompok 23 Astari, Oline, Dexan, Faisal, Ihza, Ikhlas, Kasih, Shikin, Nichi, Winda 1."— Transcript presentasi:

1 Ada Apa dengan Telingaku? Ruang Kuliah Anatomi, 10 Maret 2010 Kelompok 23 Astari, Oline, Dexan, Faisal, Ihza, Ikhlas, Kasih, Shikin, Nichi, Winda 1

2 Pemicu 5 Pak Roni, 40 thn memeriksakan diri karena telinga kanannya sering berdenging dan mendengar suara gemuruh sejak 6 bulan yl. Keluhan ini hilang timbul, berlangsung beberapa detik, muncul kapan saja, dan dapat terjadi 3-4 kali sehari, dalam suasana ramai dan berisik, gejala berdenging ini semakin nyata. Ia juga mengeluh bahwa akhir-akhir ini, isterinya dan orang lain yang diajaknya bicara kadang kala tidak menanggapi bicaranya. Pak Roni bekerja sebagai teknisi mesin (mekanik) di sebuah perusahaan mlgas multinasional di Kalimantan sejak 12 th yI. Dalam bekerja, ia selalu menggunakan helm dan kaca mata pelindung, serta sarung tangan katun. Ketika memperbaiki mesin pompa/kompresor (biasanya butuh waktu 2-3 jam) yang bersuara bising (80-110 dB), ia menggunakan sumbat telinga (earplug), sedangkan ketika melakukan perawatan mesin ia tidak menggunakan alat pelindung itu. Tidak ada riwayat penyakit asma maupun alergi, OM, hipertensi, penyakit jantung, dan paru. Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, tetapi tes berbisik memberikan hasil: menurun pada kedua telinga. Pak Roni terdaftar sebagai peserta Jamsostek oIeh perusahannya. 2

3 Kata Sulit Jamsostek  UU RI No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 3

4 Kata Kunci berdenging gemuruh hilang timbul, kapan saja teknisi sumbat telinga tes berbisik Jamsostek gangguan komunikasi 4

5 Identifikasi Masalah Bapak R mengalami gangguan berupa penurunan pendengaran pada kedua telinga. 5

6 Analisis Masalah Gangguan Pendengaran Aspek MedikolegalPemeriksaan SensorineuralKonduksi Telinga LuarTelinga TengahSentralPerifer Anatomi, Histologi, Fisiologi Pendengaran Normal Pajanan Bising Okupasional NIHL Obat Ototoksik, Kelainan Kongenital, dll 6

7 Hipotesis Bapak R mengalami Noise Induced Hearing Loss (NIHL) akibat pekerjaannya. 7

8 Daftar Pertanyaan Mengapa hanya telinga kanan Bapak R yang berdenging dan bergemuruh, padahal penurunan pendengaran terjadi di kedua telinga? Bagaimana mekanismenya? Bagaimana bising bisa menimbulkan tuli? Mengapa suasana ramai menambah sensasi denging? Apakah yang menyebabkan gangguan komunikasi pada pasien ini? Perlindungan apa yang wajib diberikan oleh perusahaan? Kompensasi apa yang diberikan Jamsostek pada kasus ini? 8

9 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) 9

10 Definisi Gangguan pendengaran sensorineural koklea Kerusakan para reseptor Corti Pajanan bising cukup keras (≥85 dB) dan cukup lama Umumnya bilateral Okupasional atu non-okupasional (sosioakusis) 10

11 Klasifikasi Trauma akustik akut: intensitas >140 dB, durasi <1,5 ms  senapan, petasan Blast injury: intensitas >140 dB, durasi >2 ms,  pajanan gelombang tekanan dari ledakan  ruptur membran timpani NIHL akut/Temporary Treshold Shift (TTS): intensitas tinggi kontinu atau intermiten, beberapa detik (: mesin jet) hingga jam (: konser rock); reversible atau irreversible parsial NIHL kronik/Permanent Treshold Shift (PTS): irreversible; keparahannya tergantung intensitas, durasi, dan faktor individu  bising tempat kerja 11

12 Patofisiologi (1) Hipereksitasi reseptor  reseptor rusak Bising berlebihan  edema stria vaskularis  respon inflamasi koklea  kerusakan sel-sel rambut Corti (mikrotrauma/metabolic exhaustion)  NIHL + gemuruh dan tinitus TTS: – stereosilia OHL kurang kaku – edema ujung saraf auditori – degenerasi sinaps pada nucleus koklear PTS: – fusi/hilangnya stereosilia – kerusakan sel penyokong, duktus koklearis, serat saraf koklearis 12

13 Patofisiologi (2)-OHC Loss & Gemuruh Outer Hair Cell (OHC)  amplifikasi getaran organ Corti, rentan rusak  butuh amplitudo suara > untuk eksitasi Kerusakan reseptor 4 kHz + rangsang 4 kHz: – 30 dB  respons (-) – 60 dB  respon neuron 4 kHZ < neuron 10 kHz  gemuruh – 90dB  respon neuron 4 kHZ normal  persepsi normal 13

14 Patofisiologi (3)-IHC Loss dan Tinitus IHC loss  kehilangan total aktivitas neuron Kerusakan reseptor 4 kHz + rangsang 4 kHz: – Intensitas ↓  respons (-) – Intensitas ↑  respon neuron 10 kHZ  tinitus Keadaan tenang: – kehilangan discharge spontan neuron tertentu + aktivitas elektrik pada neuron lain  kontras dipersepsikan sebagai stimulus  tinitus 14

15 Gejala Auditoral  kurang pendengaran, hilangnya diskriminasi percakapan (cocktail party deafness), tinitus Non-auditorial  gangguan komunikasi, gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur, peningkatan tekanan darah, dsb. 15

16 Diagnosis (1) Kriteria Dobie: –tuli neurosensorik –bilateral –tuli frek. tinggi ≤ 75 dB –tuli frek. rendah ≤40 dB –makin lama, penurunan pendengaran makin cepat –10-15 tahun ekspos stabil  kerusakan terparah pada 3-6 kHZ, takik 4 kHz 16

17 Diagnosis (2) Anamnesis: – lingkungan bising – tidak ada masalah  sulit dengar suara wanita – sulit bedakan dari presbiakusis dan ototoksisitas PF & neuroligis  normal, eksklusi DD Otoskopi  normal, kecuali blast injury 17

18 Diagnosis (3) Tes berbisik: – tuli konduksi  huruf lunak (HL) (b,p,t,m,p) melemah – tuli persepsi  huruf desis (HD) (s,z,ch,shee) melemah 18

19 Diagnosis (4) Tes penala: Tes PenalaKonduktifSensorineuralCampuran WeberLateralisasi ke sisi sakit Lateralisasi ke sisi sehat RinneNegatifPositifNegatif SchwabachMemanjangMemendek 19

20 Diagnosis (5) Audiometri nada murni: – Normal  AC dan BC < 25 dB, Gap (-) – Tuli sensorineural  AC dan BC > 25 dB (terutama pada 3-6 kHz, takik 4 kHz), Gap (-) – Tuli konduktif  BC 25 db, Gap (+) – Tuli campur : BC > 25 dB, AC >BC, Gap (+) Pemeriksaan audiologi khusus  fenomena rekrutmen  telinga tuli sensitif terhadap kenaikan intensitas yang kecil Pemeriksaan lain  tes Impedansi, BERA 20

21 Audiometri Nada Murni NIHL 21

22 Derajat Ketulian Derajat ketulian menurut ISO: – 0 – 25 db: normal – 25 – 40 db: tuli ringan – 40 – 55 db: tuli sedang – 55 – 70 db: tuli sedang berat – 70 – 90 db: tuli berat – > 90 db: tuli sangat berat 22

23 Diagnosis Banding Penyakit autoimun Tuli saraf genetik Ototoksisitas Prebiskusis Tuli mendadak Otosklerosis 23

24 Tatalaksana Tidak ada perawatan efektif  hindari kerusakan lebih lanjut: sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff), dan pelindung kepala (helmet) Akut  tingkatkan kondisi metabolik, mikrosirkulasi, dan suplai oksigen telinga dalam, kortikosteroid Kronik  ABD; psikoterapi; latihan pendengaran; latihan baca bibir, bahasa non-verbal, dan isyarat; rehabilitasi suara; implan koklea 24

25 Komplikasi, Prognosis, Pencegahan Komplikasi utama  tinitus dan derita psikologis Prognosis kurang baik  tidak ada perawatan efektif  utamakan pencegahan Pencegahan  meredam sumber bunyi, alat pelindung bising, screening reguler, penerapan Program Konservasi Pendengaran 25

26 Batas Pajanan Bising-Menaker, 1999 WaktuDurasi/hariIntensitas (dB) Jam2480 1682 291 194 Menit3097 15100 1,88109 0,94112 Detik28,12115 14,06118 7,03121 0,44133 0,22136 26

27 Berbagai Sumber Bising SoundLoudness (dB) Gunshot (peak level)140 to 170 Jet takeoff140 Rock concert, chain saw110 to 120 Diesel locomotive, stereo headphones110 to 120 Motorcycle, lawnmower90 Conversation60 Quiet room50 Whisper30 to 40 27

28 Aspek Medikolegal 28

29 Masalah Terkait ONIHL Ancaman kehilangan pekerjaan  pekerja tetap bertahan pada kondisi auditorik buruk Bunyi bising kontinyu selama beberapa jam dalam sehari dalam bertahun-tahun  tidak nyaman 29

30 Program Konservasi Pendengaran Tujuan Meningkatkan produktivitas kerja dgn melibatkan seluruh unsur dalam perusahaan Aktivitas Survey paparan kebisingan Tes pendengaran Kontrol kebisingan, pemakaian alat pelindung Pendidikan dan motivasi, pencatatan dan pelaporan, serta evaluasi program 30

31 Kewajiban Perusahaan 31

32 Kewajiban Tenaga Kerja 32

33 Penyakit Akibat Kerja Kepres No.22 tahun 1993 ttg Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja: Penyakit yang timbul akibat hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (pasal 1) Mereka yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja berhak memperoleh jaminan kecelakaan kerja (pasal 2) 33

34 34

35 Jaminan Kecalakaan Kerja Hak pekerja dengan gaji > 1 juta/bulan Kewajiban perusahaan dengan > 10 pekerja Mekanisme  asuransi  iuran  klaim maks 2 hari setelah diagnosis atau 3 thn setelah PHK Program jamsostek meliputi: –jaminan kecelakaan kerja: biaya pengangkutan, pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan santunan. –jaminan kematian: biaya pemakaman, santunan berupa uang –jaminan hari tua: > 55 tahun atau cacat total tetap –jaminan pemeliharaan kesehatan untuk tenaga kerja itu sendiri, suami atau istri, dan anak 35

36 Besar Jaminan Santunan Santunan sementara tidak mampu bekerja (STMB): – 4 bulan ke-1 sebesar 100% upah, – 4 bulan ke-2 sebesar 75% upah, dan – bulan seterusnya 50% upah. Santunan cacat: – Cacat sebagian selamanya ( % sesuai tabel x 70 bulan upah) dibayar sekaligus – Cacat total selamanya dibayar sekaligus  70% x 70 bulan upah, dan berkala  200.000 x 24 bulan – Cacat kekurangan fungsi ( % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 70 bulan upah) Santunan kematian: sekaligus 60% x70 bulan upah, santunan berkala 24 bulan x Rp 200 ribu, dan santunan pemakaman sebesar Rp 1,5 juta. Pengobatan dan perawatan sesuai dengan biaya yg dikeluarkan, jasa pengobat tradisional yg memiliki ijin, maksimum Rp 8 juta. Biaya rehabilitasi: biaya alat bantu Pada penyakit akibat hubungan kerja hanya memperoleh butir : A dan B saja. Ongkos pengangkutan dari tempat kecelakaan kerja ke rumah sakit (sesuai jenis angkutan) 36

37 37

38 Kewajiban Dokter Membuat keterangan medis Memberitahukan kepada pihak berwenang (apabila masyarakat berada dalam bahaya atau risiko) Melakukan perawatan dan perlindungan bagi mereka yang menderita penyakit Memenuhi kewajiban lain 38

39 Diskusi (1) Munculnya tinitus dan suara gemuruh tergantung pada berbagai faktor, di antaranya derajat kerusakan organ pendengaran  tergantung pada durasi dan intensitas pajanan, serta kerentanan masing-masing telinga Bising menimbulkan tuli karena dapat merusak organ Corti  teori mikrotrauma/metabolic exhaustion. Pada suasana ramai terjadi perangsangan reseptor lain di sekitar reseptor berfrekuensi sesuai, sehingga sensasi denging dan gemuruh semakin nyata. 39

40 Diskusi (2) Gangguan komunikasi pada Bapak R disebabkan penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi percakapan normal. Perusahaan wajib menyediakan alat perlindungan diri dan tanda peringatan kewaspadaan bagi pekerjanya. Pada kasus ini kompensasi yang diberikan Jamsostek berupa santunan cacat kekurangan fungsi: (berkurangnya fungsi pendengaran / 10 dB x 6 x 70 bulan upah) 40

41 Kesimpulan Bapak R mengalami Noise Induced Hearing Loss (NIHL) akibat pekerjaannya. Perlu dilakukan tes audiometri untuk menentukan derajat ketulian Bapak R. 41

42 Daftar Pustaka Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss). Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku ajar ilmu kesehatan: telinga hidung tenggorokan kepala & leher, edisi ke-6. Jakarta: FKUI, 2007. h. 49-52. Liberman MC. Auditory processing in sensoryneural hearing loss. Dalam: Otolaryngology. Van de Water TR, Hinrich S. New York: Thieme, 2006. h. 344-8. Probst R, Grevers G, Iro H. Inner ear and retrocochlear disorders. Dalam: Basic otorhinolaryngology: a step-by-step learning guide [E-Book]. New York: Thieme, 2006. h. 260-2. Roland PS. Inner ear, noise-induced hearing loss. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/ (Diakses tanggal 7 Maret 2010). http://www.emedicine.com/ Morris MS, Borja LP. Air bag deployment and hearing loss [letter]. Am Fam Physician 1998;57:2627-8. Preventing occupational hearing loss. A practical guide. DHHS (NIOSH) publication no. 96-110, 1996. 42

43 Daftar Pustaka Sampurna, Budi. Aspek Medikolegal dan Kompensasi Penyakit Akibat KerJa. Diunduh dari: http://www.freewebs.com!penyakitaklbatkerla!index.htm (Diakses tanggal7 Maret 2010).http://www.freewebs.com!penyakitaklbatkerla!index.htm Menteri Tenaga Kerja dan Transmlgrasi. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Per.01/MEN/1981 Tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja. Presiden Republlk Indonesia. Keputusan Presiden No.22 Tahun 1993 Tentang Penyakit Yang TImbul Karena Hubungan Kerja. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 Tentang laminan Sosial Tenaga Kerja. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Pemerlntah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2005 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program jaminan Soslial Tenaga Kerja. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Pemerlntah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program laminan Sosial Tenaga Kerja. 43

44 44


Download ppt "Ada Apa dengan Telingaku? Ruang Kuliah Anatomi, 10 Maret 2010 Kelompok 23 Astari, Oline, Dexan, Faisal, Ihza, Ikhlas, Kasih, Shikin, Nichi, Winda 1."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google