Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat"— Transcript presentasi:

1 Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat
Presented by: Ridho Al-Hamdi

2 An Introduction Presentasi ini disarikan dari tulisan Taufiq Tanasaldy dalam karya Politik Lokal di Indonesia. Menjelaskan munculnya politik identitas di Kalimantan Barat, terutama Dayak dan Melayu, sejak awal kemerdekaan dan pertentangan politik yang terjadi pada dua etnis besar dalam percaturan politik lokal. Menjelaskan pertentangan dua etnis sejak masa kolonialisme, awal kemerdekaan, rezim Oder Baru yang menutup kran politik lokal hingga pasca-Soeharto yang kembali membangkitkan gairah baru politik etnis di Kalbar.

3 DAYAK VERSUS MELAYU: POLITIK ETNIS SEBELUM ORDE BARU

4 Pembentukan Identitas
Menurut data sensus, Kalimantan Barat memiliki dua etnis terbesar, Dayak dan Melayu. Kemudian disusul oleh etnis Jawa, Cina, Madura, dan Bugis. Istilah “Dayak” lebih menunjukkan pada suku asli di Kalbar. Sedangkan istilah “Melayu” lebih ditunjukkan pada orang Pantai Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Lalu mereka menyebarkan agama di Kalbar. Sehingga ketika ada orang Dayak yang menganut agama Islam dianggap sebagai orang Melayu atau disebut sebagai Senganan. Pra-kemerdekaan, orang-orang Dayak selalu dikucilkan di berbagai Kesultanan Melayu. Mereka tidak diperbolehkan untuk bekerja di birokrasi Kesultanan, terkadang terjadi pelecehan sosial pada mereka, dihalang-halangi untuk melanjutkan pendidikan. Bahkan orang-orang Dayak tidak turut serta dalam gerakan politik pra-kemerdekaan.

5 Jatuh Bangunnya Perpolitikan Dayak
Situasi berubah pasca-Perang Dunia II berakhir. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) melakukan emansipasi pada orang-orang Dayak untuk tidak didiskriminasikan dari lingkungan Melayu, mendorong orang Dayak untuk berpendidikan tinggi, serta berusaha agar orang Dayak dapat bekerja di birokrasi lokal. Kebijakan ini membuat posisi orang Dayak menjadi sejajar dengan orang Melayu. Sejak tahun 1945, Persatuan Dayak (PD) berperan penting terutama pada Pemilu 1955 dan 1958 dengan berhasil meraih kursi di dewan Kabupaten dan Provinsi. Kemudian seorang Dayak terpilih menjadi Gubernur dan 4 orang lainnya sebagai Bupati.

6 Namun PD mengalami kemunduran setelah ada kebijakan dari pemerintah pusat untuk mengurangi partai politik daerah dan akibat adanya konflik di tubuh internal partai. Pada tahun 1960-an, PD mengalami perpecahan dan menjadi dua faksi. Faksi pertama dikomandoi oleh Gubernur Oevaang Oeray yang didukung oleh Partindo (partai nasionalis sayap kiri). Faksi kedua dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung mayoritas guru Katholik dan bergabung dengan Partai Katholik. Perpolitikan Dayak di bawah Partindo mengalami kemunduran tahun Lalu atas inisiatif komando militer setempat, Partindo bergabung dengan IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), partai yang didominasi orang-orang Melayu. Adanya fusi itu membuat orang Melayu terancam, karena orang-orang Dayak mulai menguasai struktur. Lalu tiba-tiba, pada tahun 1968 ada kebijakan bahwa orang-orang eks Partindo di IPKI harus dibubarkan. Tetapi permintaan itu ditolak oleh pengurus IPKI pusat. Sejak saat itu, hubungan antara Dayak dan Melayu menjadi retak. Sebagian orang Dayak dibujuk ke Golkar.

7 Politik Melayu: Sebuah Tanggapan
Sikap politik Melayu terintegrasi dengan kebijakan perpolitikan nasional, yaitu pro negara kesatuan dan cenderung nasionalis. Sedangkan politik Dayak mendukung kebijakan federalis Pemerintah Belanda. Ketegangan sempat terjadi: Orang Melayu pernah menjadi korban orang Dayak di Landak, terjadi juga kekacauan di Pontianak akibat kehadiran orang Dayak pedalaman. Sejak 1945 – 1950 setelah pemerintah belanda dibubarkan, para elit Dayak dan Melayu sering terjadi perbedaan pandangan politik. Tahun 1950 hampir terjadi konflik terbuka di kabupaten Kapuas Hulu. Orang Melayu menuduh Oeray (Gubernur dari suku Dayak) melakukan tebang pilih dalam perekrutan pegawai negeri, bahkan Oeray dituntut untuk mundur dari jabatannya karena dituduh menciptakan perpecahan etnis.

8 KEOTORITERAN ORDE BARU

9 Marginalisasi Politik Lokal
Rezim Orde Baru memiliki ketakutan jika politik lokal kuat, maka akan terjadi kekuatan pemimpin lokal yang mengarah pada gerakan separatisme. Antisipasi tersebut dilakukan dengan cara mendatangkan sebanyak mungkin pegawai nasional dari Jakarta. Agar tidak terjadi koalisi dengan kekuatan lokal, harus terjadi rotasi pejabat kunci seperti komando militer. Pada tahun 1999, mayoritas kepala bagian dan kepala departemen bukan asli orang pribumi yang merupakan akibat kebijakan Orde baru. Memusatkan rekruitmen pegawai negeri untuk lokal di satu tempat. APDN (Akademi Pemerintah Dalam Negeri) dihapus pada tahun 1992 dan diganti dengan STPDN yang bekedudukan di Bandung.

10 Mendahulukan kepentingan nasional daripada kepentingan lokal
Mendahulukan kepentingan nasional daripada kepentingan lokal. Karena itu, cara pengambilan kebijakan harus dilakukan di Jakarta, sebagai contoh sistem pemilihan Bupati. Pemerintah Pusat sudah memiliki calon, lalu pada saat pemilihan dilakukan monitoring, bahkan mengintervensi kepada semua pihak agar calonnya menang. Militer mengambil peran-peran strategis yang awalnya dipegang oleh sipil, seperti jabatan gubernur, bupati, dan ketua DPRD. Padahal sebelum rezim Orba, hanya ada 1 bupati militer (Hercan Yamani). Namun pada tahun 1968, 5 dari 7 bupati dan walikota adalah perwira militer. Rezim Orba berhasil memperlemah para birokrat lokal dan partai-partai yang dulu berpengaruh. Semua partai selain Golkar (tahun ) mendapat stigma buruk. Intervensi pemerintah semakin memperlemah parpol, seperti yang terjadi pada pimpinan PDI Cabang Kalbar yang ditekan untuk mengambil kebijakan yang berlawanan dengan massa konstituennya.

11 Nation Building & Budaya Lokal
Setelah Orba runtuh, rezim otoriter itu dituduh telah menghilangkan budaya lokal. Orang Dayak telah kehilangan Rumah Panjang-nya. Pemerintah Orba saat itu tidak pernah memberikan bantuan untuk budaya lokal. Ikon-ikon lokal yang mengancam persatuan nasional dilenyapkan. Istana-istana para sultan dialihkan menjadi museum atau dibiarkan rusak. Rumah Panjang (simbol kehidupan komunal dan persatuan Dayak), juga semakin punah. Banyak anak-anak Dayak di perkotaan tidak lagi berbahasa Dayak, mereka lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia atau melayu yang menurut mereka lebih bergengsi.

12 Kepepimpinan tradisional juga dirubah oleh Orde Baru
Kepepimpinan tradisional juga dirubah oleh Orde Baru. Posisi Kades oleh pemimpin lokal yang dihormati, diganti oleh pegawai negeri yang lebih muda tapi kurang berwibawa di mata masyarakat. Dengan hilangnya pemimpin lokal, masyarakat kehilangan pegangan, lalu beralih kepada aparatur modern seperti polisi yang didukung kekuasaan negara. Terjadinya transmigrasi menyebabkan banyak nama tempat dan lokasi pedalaman Kalbar mirip dengan nama-nama daerah di Jawa atau tempat lainnya.

13 SARA dan Politik Etnis Pada tahun 1980-an, para politisi Dayak di Kab. Sanggau menuntut beberapa posisi di birokrasi. Mereka mengancam Golkar akan kalah pada pemilu 1982 jika tuntutan mereka tidak dipenuhi . Tahun 1993, tiga politisi Dayak menulis kepada gubernur termasuk juga presiden, untuk mengangkat sedikitnya 3 orang Dayak jadi bupati. Tuntutan ini merupakan pembuka bagi 2 kasus politik etnis Orde Baru yang sangat penting di Kalimantan Barat, yaitu pemilihan Bupati Sintang (1994) untuk kemenangan Melayu dan Kapuas Hulu (1995) untuk kemenangan Dayak penuh skenario elit. Konflik Dayak dan Madura yang terjadi tahun 1997 tidak dapat diredam oleh pemerintah Orba saat itu. Korban selalu jatuh dari suku Dayak, yang kemudian memicu pembalasan. Hal tersebut dipicu karena orang-orang Madura semena-mena dengan orang sekeliling mereka.

14 Politik Etnis Pasca-Orde Baru
Corak gerakannya mulai cenderung damai. Terjadinya pemekaran lebih disebabkan faktor pemisahan etnis, seperti pemekaran Bengkayang dan Landak (mayoritas penduduknya Dayak) dari Sambas dan Pontianak (mayoritas Melayu). Mendahulukan pemekaran di daerah rawan konflik, seperti Kab. Bengkawang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada Singkawang yang sebenarnya lebih siap dulu namun keadaannya tenang. Terjadinya pemekaran agar tercipta power sharing dan tidak terjadi konflik ulang seperti pada tahun 1997 dan hal ini telah berhasil diwujudkan.

15 Jika ada kabupaten dengan komposisi etnis seimbang, misal di Ketapang dan Kapuas Hulu, maka yang diharapkan adalah kepemimpinan campuran. Pada saat terjadi persaingan perebutan kursi utusan Daerah untuk MPR RI tahun 1999 dan Kalbar mendapat jatah 5 kursi, maka dibuat kesepakatan informal pembagian kursi Dayak-Melayu-Cina dengan formula Namun, hasilnya tidak sesuai kesepakatan. Dayak hanya mendapat 1 kursi. Masyarakat Dayak melakukan demonstrasi menolak keputusan itu. Tapi orang Melayu tidak mau kalah begitu saja. Justru mereka membuat pernyataan perlawanan sehingga terjadi bentrok antara kedua etnis di depan DPRD Provinsi tahun 1992, sesuatu yang sebelumnya belum pernah terjadi sejak merdeka. Identitas etnis dikonsolidasikan lagi dalam bentuk halus, seperti orang Dayak Sanggau memasukkan hukum adat Dayak ke dalam perda kampung yang disahkan DPRD II dan orang Melayu yang menghidupkan kembali festival-festival di Kab. Landak yang dulu pernah punah.

16 Peranan Lembaga Etnis Majelis Adat Dayak (MAD), yang lahir di era Orba (1994) dan masih dalam tekanan pemerintah saat itu, hanya berfungsi menjalankan tugas-tugas pemerintah seperti mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah ke masyarakat lokal. MAD mendapat peran yang sangat penting saat konflik 1996 & 1997 ketika pemerintah saat itu tidak dapat menyelesaikannya. MAD menjadi perantara antara orang-orang Dayak, pemerintah, dan orang-orang Madura. Momen ini digunakan MAD untuk melobi pemerintah agar posisi yang kosong diberikan pada orang Dayak, seperti diangkatnya I. Lyong sebagai Kabiro SDM Provinsi tahun 1997. Pada tahun 1997, MAD mereorganisasi fungsinya sebagai organisasi yang mengacu pada kepentingan-kepentingan Dayak. MAD berhasil mengangkat 2 bupati Dayak di Sanggau dan Pontianak.

17 Peranan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM)
Saat 1950-an, peranan adat Melayu tidak terlalu kuat karena mereka sudah merasa nyaman berada di birokrasi. Kesadaran muncul setelah berdiri MABM tahun 1997 yang bertujuan antara lain: Mewakili kepentingan orang Melayu di tingkat Provinsi, meningkatkan ekonomi orang Melayu, membangkitkan budaya Melayu yang dulu pernah hilang, dan untuk menandingi gerakan politik Dayak terutama saat tahun Di awal berdirinya, MABM lebih bersikap bersahabat pada Dayak, seperti menghadiri festival-festival yang diadakan orang Dayak dan berpartisipasi pada forum-forum rekonsiliasi yang diorganisir orang Dayak. Selama krisis 98 di Kalbar, MABM mengangkat isu kepentingan solidaritas dan persatuan antar etnis, bahkan dimuat oleh media lokal.

18 Pada perkembangan selanjutnya, MABM mengalami kesenjangan dengan orang Dayak karena MABM mulai berani membangun Rumah Melayu, mendorong orang-rang Melayu untuk berbusana telok belanga pada setiap event agama, serta mendorong pemerintah untuk menggunakan simbol-simbol melayu pada setiap bangunan pemerintah. Di Landak, MABM menolak penerapan hukum ada. Menurut mereka, hukum yang harus diutamakan adalah hukum nasional. MABM memelihara hubungan kuat dengan semua pihak untuk membangun koalisi lebih kuat dalam menghadapi lobi orang Dayak.

19 A Conclusion Sepanjang sejarah Kalbar (kecuali selama Orba), politik etnis identik dengan politik elit. Orang Dayak satu-satunya segmen masyarakat Kalbar yang sering terlibat menggunakan sentimen etnis. Sebagian besar dari mereka menghendaki representasi birokrasi lebih besar diakibatkan sejarah panjang marjinalisasi terhadap mereka. Selama Orba, politik etnis fakum karena perampingan partai. Politik etnis kembali muncul di akhir masa Orba dan elit Dayak berhasil menekan pemerintah untuk memilih dua bupati Dayak. Elit Melayu yang terancam dengan kebangkitan politik Dayak, akhirnya membentuk sebuah organisasi etnis (MABM) tahun 1997 dan setelah konflik antara Melayu dan Madura tahun 1999, orang Melayu mulai menjawab tantangan yang disodorkan orang Dayak.

20 Setelah 1999, dinamika politik orang Dayak berubah
Setelah 1999, dinamika politik orang Dayak berubah. MAD yang dulu berperan penting pada tahun mulai kehilangan pengaruh. Mereka kehilangan posisi kunci, khususnya kedudukan bupati, yang sekarang secara institusional dibagi antara Melayu dan Dayak. Banyak orang Dayak merasa bahwa `mendukung dan bekerjasama dengan LSM-LSM Dayak seperti Pancur Kasih akan mendatangkan lebih banyak manfaat daripada mendukung MAD. Identitas etnis akan terus memaninkan peranan penting dalam politik Kalbar, tetapi dengan cara damai. Setelah 1999, politisasi etnis tinggi antara Dayak dan Melayu tidak mengakibatkan konflik etnis di antara mereka. Politik etnis sekarang dimainkan secara sadar oleh orang Dayak dan Melayu dengan cara “berbagi kekuasaan” antaretnis, tidak hanya berhasil mencegah adanya kekerasan, tetapi juga telah tercipta proses pembelajarn sipil dan demokratis di Kalbar.


Download ppt "Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google