Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

MATERI TAP MPRS NO XX/1966 Sumber Tertib Hukum

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "MATERI TAP MPRS NO XX/1966 Sumber Tertib Hukum"— Transcript presentasi:

1 MATERI TAP MPRS NO XX/1966 Sumber Tertib Hukum
bentuk peraturan perundang-undangan dengan tata urut sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Ketetapan MPR Undang-Undang/Perpu Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.

2 DASAR PIKIRAN PERUBAHAN TAP MPRS NO. XX/1966
susunan hirarkis peraturan perundang-undangan dirasakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan dewasa ini. masih banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem yang baku sangat dirasakan adanya kebutuhan untuk mengadakan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman munculnya kebutuhan untuk mewadahi perkembangan otonomi daerah di masa depan yang dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya dinamika hukum adat di desa-desa Dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah itu, mulai diperkenalkan adanya perangkat Peraturan Desa yang harus pula dimasukkan ke dalam sistem dan tata urut peraturan perundang-undangan yang baru

3 DASAR PIKIRAN TAP MPR NO.III/2000
dari pengalaman sejarah bangsa dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, prinsip supremasi hukum haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas asas hukum, perlu mempertegas sumber hukum yang merupakan pedoman bagi penyusunan peraturan perunang-undangan Republik Indonesia. untuk dapat mewujudkan supresmasi hukum perlu adanya aturan hukum yang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan tata urutannya. dalam rangka memantapkan perwujudan otonomi daerah perlu menempatkan Peraturan Daerah dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Sumber Tertib Hukum R I dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan RI berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 menimbulkan kerancuan pengertian, sehingga tidak sesuai lagi untuk menjadi landasan penyusunan peraturan perundang-undangan

4 MATERI TAP MPR NO.III/2000 Sumber hukum: (1) Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. (2) Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. (3) Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya.Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah : 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3. Undang-undang; 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu); 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur; 7. Peraturan Daerah.

5 KELEMAHAN TAP MPR NO.III/2000
Pertama, karena naskah Perubahan UUD sekarang dibuat terpisah, maka seharusnya penyebutan UUD 1945 tersebut di atas dilengkapi dengan ‘… dan Perubahan UUD’. Kedua, penyebutan Perpu pada nomer urut keempat di bawah undang-undang dapat menimbulkan penafsiran seakan-akan kedudukan perpu itu berada di bawah UU. Padahal, kedudukan hukum keduanya adalah sederajat. Ketiga, penggunaan nomenklatur Keputusan Presiden yang selama ini dipakai mengandung kelemahan karena tidak membedakan secara tegas antara keputusan yang mengatur (regeling) dengan keputusan yang bersifat administratif belaka (beschikking). Keempat, hanya karena pertimbangan bahwa MPR cukup mengatur mengenai tata urutan peraturan sampai tingkat peraturan yang ditetapkan oleh Presiden, maka bentuk Peraturan Menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut. Padahal, di bawahnya masih disebut Peraturan Daerah yang tingkatannya juga di bawah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden.

6 DASAR PIKIRAN UU NO.10/2004 pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang -undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan. selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat dalam beberapa peraturan perundangundangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaran Republik Indonesia

7 MATERI UU NO.10/2004 Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Neg ara. Penempatan Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara tidak merupakan dasar pemberlakuannya. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

8 MATERI UU NO 1O (LANJUTAN)
Peraturan Daerah dimaksud meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama. dengan kepala desa atau nama lainnya. Ketentuan mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur oleh peraturan daerah Kabupaten/kota yang bersangkutan. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

9 PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG
Perencanaan penyusunan Undang -Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional. Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bi dang legislasi. Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh -menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundangundangan. Ketentuan mengenai tata cara penyus unan dan pengelolaan Program Legislasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

10 PERSIAPAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
PASAL 17 Rancangan undang-.undang baik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional . Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukanrancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional.

11 PERSIAPAN (LANJUTAN) PASAL 18
Rancangan undang -undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, di koordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

12 PERSIAPAN (LANJUTAN) Pasal 19
(1). Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (2). Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.

13 PERSIAPAN (LANJUTAN) Pasal 20
(1). Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. (2). Dalam surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditegaskan antara lain tentang menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat. (3). Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak surat Presiden diterima. (4). Untuk keperluan pernahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperban yak naskah rancangan undangundang tersebut dam jumlah yang diperlukan.

14 PERSIAPAN (LANJUTAN) Pasal 21
(1). Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan dengar: surat pimpinan , Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. (2). Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan undang-undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat diterima. (3). Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundangundangan.

15 PERSIAPAN (LANJUTAN) Pasal 22
(1). Penyebarluasan rancangan undang -undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat. (2). Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden dilaksanakanoleh instansi pemrakarsa Pasal 23 Apabila dalam satu masa sidang, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden menyampaikanrancangan undang-undang mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan undang-undang yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan rancangan undang-undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

16 PEMBENTUKAN PERPU,PP,PERPRES
Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan pem erintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan presiden diatur dengan peraturan Presiden. Pasal 25 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-,Undang harus diajuka n ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peratura n pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang -undang. (3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.

17 PERSIAPAN PEMBENTUKAN PERDA
Pasal 26 Rancangan peraturan daerah dapat berasal lari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-mas ing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten, atau kota. Pasal 27 Ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 28 (1) Rancangan peraturan daerah dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan khusus yang menangani bidang legislasi dewan perwakilan rakyat daerah. (2) Ketentuan mengena tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

18 PERSIAPAN PEMBENTUKAN PERDA
Pasal 29 (1) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau bupati/walikota disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/walikota kepada dewan perwakilan rakyat daerah oleh gubernur atau bupati/walikota. (2) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat daerah disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/’walikota. Pasal 30 (1) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah dilaksanakan oleh Sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah. (2) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur ataubupati/walikota dilaksanakan oleh sekretariat daerah. Pasal 31 Apabila dalam suatu masa sidang, gubernur atau, bupati/walikota dan dewan perwakilan rakyat daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

19 PEMBAHASAN RUU DI DPR Pasal 32
(1) Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. (2) Pembahasan rancangan undang -undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonom lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan mengikutkan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. (4) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh komisi yang membidangi materi muatan rancangan undang -undang yang dibahas. (5) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkattingkat pembicaraan. (6) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata. cara pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada, ayat (6) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

20 PEMBAHASAN RUU DI DPR (LANJUTAN)
Pasal 33 Dewan Perwakilan Rakyat memberitahukan Dewan Perwakilan Daerah akan dimulainya pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2). Pasal 34 Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang ber kaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Pasal 35 (1) Rancangan undang-undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. (2) Rancangan undang-undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

21 PEMBAHASAN RUU DI DPR (LANJUTAN)
Pasal 36 (1) Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang dilaksanakan melalui mekanisme yang lama dengan pem bahasan rancangan undang-undang. (2) Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (3) Dalam hal rancangan undang -undang mengenai penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat. mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.

22 PENGESAHAN UU Pasal 37 (1). Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. (2). Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Pasal 38 (1). Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. (2). Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani ola3h Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. (3). Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengasahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan kete ntuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (4). Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir undang-undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lem baran Negara Republik Indonesia.,

23 PENGESAHAN UU Pasal 39 (1). Peraturan Pemerintah ditetapkan untuk melaksanakan Undang -Undang. (2). Setiap Undang-Undang wajib mencantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut. (3). Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pem erintahan negara tidak atas permintaan secara tegas dari suatu Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

24 PEMBAHASAN RAPERDA DPRD
Pasal 40 (1). Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau bupati/wali kota. (2). Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkattingkat pembicaraan. (3). Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khususmenangani bidang legislasi dan rapat paripurna. (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

25 PEMBAHASAN RAPERDA DPRD
Pasal 41 (1). Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dari gubernur atau bupati/walikota. (2). Rancangan peraturan daerah yang sehingga dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan peraturan daerah diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

26 PENETAPAN PERDA Pasal 42 (1). Rancang an peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. (2). Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) had terhitung sejak tanggal persetujuan bers ama.

27 PENETAPAN PERDA (LANJUTAN)
Pasal 43 (1). Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota deng an membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. (2). Dalam hal rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama, maka rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan Wajib diundangkan. (3). Dalam hal sahnya rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahann ya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. (4). Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah kedalam Lembaran Daerah.

28 PENGUNDANGAN Pasal 45 Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam : a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Berita Negara Republik Indonesia; c. Lembaran Daerah; atau d. Berita Daerah.  Pasal 46 (1). Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi: a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Presiden mengenai : 1) pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan 2) pernyataan keadaan bahaya. d. Peraturan Perundang -undangan lain yang menurut Peraturan Perundangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (2). Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peratura n Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

29 PENGUNDANGAN Pasal 47 (1). Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (2). Tambahan Berita Negara Republik Ind onesia memuat penjelasan peraturan perundangundangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 48 Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilaksanakan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.

30 PENGUNDANGAN Pasal 49 (1). Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah. (2). Peratu ran Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita Daerah. (3). Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilaksanakan oleh sek retaris daerah. Pasal 50 Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

31 PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 51 Pemerintah wajib menyebarluaskan Peratur an Perundang-undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 52 Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran, Daerah dan peraturan di b awahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah. Pasal 53 Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.

32 TINDAK PIDANA KORUPSI PENGERTIAN
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Setiap orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

33 PENGERTIAN Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji, dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut . Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20/2001). Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya (Padal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20/2001).

34 PENGERTIAN Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah terebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20/2001). Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji terebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. (Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20/2001).

35 CIRI-CIRI KORUPSI korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
korupsi pada umumnyamelibatkan kerahasiaan, korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik, yang tidak senantiasa berupa uang; koruptor berusaha menyelubungi perbuatan mereka dengan berlindung dibalik pembenaran hukum; mereka yang terlibat dalam korupsi menginginkan berbagai keputusan yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan tersebut; korupsi mengandung penipuan pada badan publik atau masyarakat umum; korupsi adalah suatu bentuk penghianatan; korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

36 DAMPAK KORUPSI ancam serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum. Meningkatnya tindak pidanan korupsi akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional. Korupsi dalam segala bentuknya sangat merugikan masyarakat karena akan menyebabkan kerusakan moral. biaya produksi menjadi tinggi, seperti terjadi disektor perburuhan dan itu harus dibayar oleh masyarakat dan buruh. waktu menjadi tidak efisien karena habis digunakan untuk melobi. Selanjutnya lagi, biaya administrasi menjadi tinggi yang akibatnya menyebabkan rakyat tidak hormat kepada pemerintah dengan labelisasi korup. Keputusan dipengaruhi oleh uang, akibatnya kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat diabaikan. Hal ini akan berpengaruh terhadap proses pebuatan keputusan pada instansi lain

37 PEMBERANTASAN KORUPSI
Pencegahan (Preventif), untuk kedepan seluruh angota masyarakat harus berupaya mencegah terjadinya kasus-kasus korupsi. Harus disadari, bahwa korupsi terjadi adakalanya juga karena diprakarsai oleh masyarakat. Guna memasyarakatkan pencegahan korupsi itu harus dilakukan penyadaran masyarakat melalui kampanye anti korupsi, menumbuhkan budaya malu korup, dan melakukan tindakan-tindakan terhadap koruptor melalui adat atau budaya. Penindakan (Represif), artinya semua pelaku tindak pidana korupsi yang sudah terjadi harus diadili tanpa pandang bulu, mendesak instansi penyelidik dan penuntut umum untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Kemudian, mengawasi jalannya peradilan (judicial watch) agar dapat berlangsung dengan jujur dan adil.

38 PARTISIPASI MASYARAKAT
hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; hak untuk memperoleh perlindungan hukum.


Download ppt "MATERI TAP MPRS NO XX/1966 Sumber Tertib Hukum"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google