Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Profil Kasus Pemukiman RMK Makassar

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Profil Kasus Pemukiman RMK Makassar"— Transcript presentasi:

1 Profil Kasus Pemukiman RMK Makassar
UPC – KPRM 2013

2 Kampung Pisang Terletak di RT 04 RW 05 Kel. Maccini Sombala Kec. Tamalate, kampung pisang termasuk dalam kawasan pengembangan real-estate GMTD (Gowa Makassar Tourism Develovepment). Dihuni 240 jiwa (43 KK) atau sekitar 2% dari total jumlah penduduk kel. Maccini Sombala sebanyak jiwa Warga mulai mendiami Kampung Pisang sejak tahun 2002 dengan menimbun lahan yang dibeli dan dicicil dari penggarap tanah (Daeng Maro). Bukti kepemilikan atas tanah berupa kwitansi jual-beli antara warga dengan penggarap Lahan yang dikuasai warga seluas m² atau sekitar 10% dari 3,7 Ha luas lahan sengketa Seluruh warga kampung ini bekerja di sektor informal sebagai tukang becak, buruh bangunan, penjahit sepatu, tukang cuci, jualan, beternak, dan lain-lain

3 Profil Kasus Sengketa bermula tahun 2004 antara warga dengan pihak yang mengaku ahli waris tanah dari Andi Pammussureng, yakni Hj. Subaedah. Pada tahun 2004, H. Wahid melakukan pemagaran lahan dbantu aparat kepolisian. H. Wahid dibantu Lurah Maccini Sombala menawarkan relokasi kepada warga, yakni ke Barombong, sekitar 5 km dari kampung pisang, Namun lahan yang disiapkan Lurah tidak cocok dengan keinginan warga karena masih bermasalah. Pada tahun 2007, kepemilikan tanah berpindah tangan ke pengusaha properti bernama Soedirjo Aliman alias Jen Tang, direktur PT Bumi Anugerah Sakti. Namun, bukti kepemilikan sah (sertifikat) atas tanah tersebut hingga kini belum pernah dilihat oleh warga. Pada tahun 2008, sengketa pemukiman ini dimediasi oleh Walikota Makassar dengan penawaran Berbagi Lahan (Land-sharing) untuk menghindari penggusuran secara paksa yang merugikan warga. Pada tahun 2011, pemerintah kota menfasilitasi workshop kampung upgrade, yang menjadikan kampung pisang sebagai lokasi percontohan. Warga yang difasilitasi oleh jaringan arsitek komunitas dan Rujak Center melakukan pemetaan dan membuat desain upgrading kampung secara partisipatif. Sebagai tindaklanjutnya, sebanyak 13 KK memindahkan rumahnya sebagai konsekuensi dari tuntutan lang-sharing seluas 7000 m². Pada tahun 2012, Walikota Makassar menyatakan bahwa pengusaha hanya sanggup menyediakan lahan 3000 m² berupa empang yang tidak jauh dari pemukiman warga. Hal ini ditolak warga karena luasnya tidak mencukupi untuk sebuah pemukiman yang layak. Selain itu, status kepemilikan lahan tersebut belum jelas dan membutuhkan timbunan yang cukup besar. Pada awal bulan Mei 2013, pihak pengusaha mulai melakukan penimbunan di dalam lokasi sengketa. Warga kemudian mempertanyakan hal tersebut kepada Walikota. Namun, walikota menyarankan agar warga menerima kemauan pengusaha pemilik tanah, sambil mengusahakan kekurangannya.

4 Kampung Bontoduri Terletak di RW 13 RT 06, 07, 08 dan RW 14 RT 02, 03, 06 Kel. Parang Tambung Kec. Tamalate. Lahan yang dikuasai warga dan bersengketa seluas 5,7 Hektar. Dihuni oleh 800 KK atau sekitar 8 % dari total jumlah penduduk kel. Parangtambung sebanyak jiwa Sebagian besar warga kampung ini bekerja di sektor informal sebagai tukang becak, buruh bangunan, pedagang, sopir, tukang cuci, beternak, dan lain-lain. Warga mulai mendiami Kampung Bontoduri antara tahun an dan tahun 2000-an dengan cara membeli dan mencicil dari 4 penjual/penggarap tanah. Bukti kepemilikan atas tanah berupa Rincik, akte jual beli dan kwitansi jual-beli antara warga dengan penggarap/penjual.

5 Profil Kasus Antara tahun an, kampung Bontoduri merupakan daerah rawa dan areal persawahan yang dimiliki oleh empat orang penggarap/tuan tanah, yakni Ahmad Mansyur, Hj. Andi Rosdiana, Dolo Bin Sampara, dan Dg. Ngawing. Warga membeli tanah langsung dari ahli waris dengan bukti pembayaran berupa kwitansi. Pada tahun 90-an, dibangun BTN Tirta Mas (real-estate). Dari situlah awalnya listrik masuk kampung dengan cara menyambung dari penghuni real-estate. Sekitar 1996/1997 semakin banyak warga yang menggarap lahan dan membangun rumah-rumah panggung. Baru pada tahun 2000-an mulai banyak warga membangun rumah permanen. Antara tahun 2002 hingga 2006, status pemukiman warga digugat oleh pengusaha real-estate dan ketua REI Sulsel, yakni H. Idris Manggabarani, adik kandung mantan Kapolda Sulsel tahun Pengusaha menggugat 120 warga dari 800 KK penduduk bontoduri. Namun, gugatan tersebut ditolak oleh PN Makassar pada tahun 2008/2009. Penggugat kemudian melakukan banding, yang hingga kini belum diketahui hasilnya.

6 Kampung Kassi-kassi Lokasi sengketa dihuni 65 KK (400 jiwa) dari KK ( jiwa) penduduk kelurahan Kassi-kassi. Mereka menempati rumah-rumah semi permanen, dan rumah panggung. Terletak di RT 05 RW 10 Kel. Kassi-kassi Kec. Rappocini. Pemukiman ini dibangun di atas tanah rawa-rawa. Pemukiman ini dikelilingi oleh perumahan mewah, sehingga tidak mudah mengaksesnya. Warga membeli tanah melaui ahli waris pemilik/penggarap tanah pada tahun Sebagian lagi mulai membeli lahan di lokasi sengketa tahun 2004, pasca penggusuran di Karuwisi tahun Kini warga masih menguasai lahan seluas 2 hektar, yang seperempatnya masih berupa rawa-rawa. Sebagian besar warga kampung ini bekerja di sektor informal sebagai tukang dan buruh bangunan, pedagang, sopir, tukang cuci, beternak, dan lain-lain. Pada awal sengketa, ada separuh jumlah warga yang menerima ganti rugi dari orang-orang pengusaha karena tidak tahan diintimidasi. Mereka yang masih tersisa kemudian digugat oleh pengusaha. Pada tahun 2005, Rizal Tandiawan, pengusaha automotif Suzuki dan pengusaha properti menggugat warga dengan tuduhan penyerobotan atau Perbuatan Melawan Hukum nomor perkara: 13/Pdt.G/2007/PN. Mks. Namun, pengadilan negeri dan Mahkamah Agung memenangkan warga. Warga berharap agar tanah mereka segera disertifikasi agar tidak ada lagi pihak yang mengklaim tanah mereka.

7 Profil Kasus Bahwa pihak warga (Para Tergugat) menempati dan menguasai objek tanah sejak tahun 1996, 1997 dan 1998, dimana kondisi tanah saat itu masih berupa rawa-rawa, yang kemudian ditimbun menjadi pemukiman. Warga membeli tanah dari pemilik awal yakni (alm) Andi Muda Daeng Serang melalui dua orang kuasanya, yakni Petta Indare dan S. Daeng Tarring dengan cara mngangsur. Bukti pembelian berupa perjanjian jual beli dan kwitansi pembayaran. Pada September 2006, Rizal Tandiawan (pengusaha/pemilik PT Sinar Galesong Pratama) mengklaim tanah yang dikuasai warga merupakan bagian dari lokasi yang dibeli melalui Lelang sesuai risalah lelang Nomor: 345/ 1995–96 pada kantor Lelang Ujung Pandang. Sebelumnya lahan tersebut terdaftar sebagai hak milik No: 1183/Rappocini atas nama Andi Nurhani Sulolipu, yang pernah diagunkan di Bank Bumi Daya Jakarta. Dari hasil pembelian di Balai Lelang Negara itu, Rizal Tandiawan meminta perubahan Sertifikat sehingga berubah menjadi SHM No. 6208/ Rappocini Surat Ukur Nomor: 1973 tanggal 28 Maret 1996, dan terakhir berubah lagi menjadi Sertifikat Hak Milik No / Kassi-kassi Surat ukur Nomor: 01364/ 2006 tanggal 05 Juli 2006 Atas nama Rizal Tandiawan. Rizal Tandiawan melaporkan warga dan ahli waris ke Polresta Makassar Timur dengan tuduhan Penggelapan Hak dan tindak pidana penyerobotan. Namun, laporan tersebut dianggap tidak cukup bukti. Selanjutnya, Rizal Tandiawan melakukan upaya perdata di PN Makassar. Pada 11 September 2007, PN Makassar mengabulkan eksepsi terggugat (warga). Upaya banding dan kasasi yang ditempuh Rizal tandiawan gagal. Sehingga warga dinyatakan berhak atas tanah sengketa.

8 Kampung Buloa Buloa adalah pemukiman nelayan pesisir utara kota Makassar. Letaknya di RW 02 RT 08 Kel. Buloa Kec. Tallo. Pemukiman ini dihuni sekitar jiwa (300 KK) atau 12% dari totak penduduk kel. Buloa sebesar jiwa. Kampung Buloa sangat strategis, berdampingan dengan pelabuhan tradisional Paotere. Dengan kondisi itu, PT Pelindo akan membangun megaproyek pelabuhan baru (New Port Makassar). Pada saat yang sama pemerintah kota merancang proyek revitalisasi/normalisasi sungai Tallo, yang bertalian langsung dengan pengembangan pelabuhan. Tahap pertama, pemerintah kota memberikan izin kepada pengusaha, yakni Jen Tang alias Soedirdjo Aliman untuk melakukan reklamasi pantai Buloa. Hal ini berakibat penggusuran paksa terhadap 24 rumah penduduk sekitar lokasi penimbunan. Warga juga dipaksa menerima ganti rugi Rp 10 juta oleh H. Ros yang mengaku memiliki sertifikat hak milik dari BPN No. 347 tahun 1995, yang merupakan pecahan dari sertfikai induk nomor 441 tahun Atas dasar itu pula pada bulan Mei 2012, H. Ros dengan menggunakan preman bayaran melakukan pemagaran secara paksa, sehingga menutup akses jalan warga di dalam lokasi sengketa. Teror, intimidasi dialami warga selama pemagaran berlangsung. Laporan warga kepada kepolisian (Polres) tidak digubris, sehingga diduga kuat aparat Polres sudah dibayar oleh pengusaha untuk tidak membela warga.

9 Profil Kasus Warga sudah bermukim di lokasi sengketa sejak tahun 1980-an dengan cara membangun rumah di atas tanah tumbuh (sedimen) di pesisir. Mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan, petambak, dan pedagang ikan. Pada tahun 2008, kasus Buloa sudah mencuat ketika warga menolak adanya reklamasi pantai yang dilakukan oleh Jen Tang. Namun, protes warga yang disampaikan kepada anggota DPRD Makassar hanya menghentikan sementara penimbunan tersebut. Antara April - Mei 2012, pihak Hj. Ros yang mengaku memiliki sertifikat hak milik bernomor 347 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Negara bertahun 1995 dari sertifikat induk nomor 441 bertahun 1994 seluas m² - melakukan pemagaran lokasi dan pemaksaan ganti rugi dengan menyuruh preman (orang bayaran) terhadap 300 KK warga Buloa. Ada belasan warga yang dengan terpaksa menerima ganti rugi. Mereka yang bertahan kemudian didampingi oleh KPRM, LAW Unhas dan YLBHM untuk berdialog dengan Camat, DPRD, dan Polda Sulsel. Namun, aksi-aksi premanisme masih berlangsung. Persoalan ini kemudian dilaporkan kepada Provost agar pihak kepolisian tidak memihak dan menjamin rasa aman warga dari teror dan intimidasi. Hingga akhir tahun 2012, penimbunan di lokasi sengketa telah dihentikan. Intimidasi dari preman bayaran pun berhenti. Sehingga warga yang menolak ganti rugi bisa bekerja seperti biasa lagi. Salah seorang pengusaha yang terlibat dalam sengketa, yakni Jen Tang sejak bulan April 2013 diusut oleh Kejaksaan Tinggi Makassar dengan tuduhan terlibat dalam reklamasi pantai ilegal. Jen Tang bersama pelaksana reklamasi dalam status tersangka.

10 Kampung Lepping Kampung Lepping terletak di jalan Muh. Thamrin Lorong I RW/RT Kel. Jongayyya Kec. Tamalate. Kampung ini dihuni oleh 450 KK yang sudah menetap antara tahun 1980-an hingga tahun 2000-an. Di dalam kampung ini terdapat eks pabrik gelas peninggalan Jepang, menjadi bukti pemukiman ini sudah lama ada. Bukti kepemilikan warga umumnya berupa kwitansi dan akte jual beli. Warga juga memiliki sebuah surat perjanjian penggunaan tanah dengan pemerintah setempat.

11 Profil Kasus Pada tahun 2009, pemerintah propinsi Sulsel melalui Perusda (Perusahaan Daerah) meminta warga pindah dengan alasan tanah pemukiman tersebut akan dibangun Rumah Susun untuk PNS. Alasan Perusda menyatakan bahwa warga hanya berhak pakai sementara, sesuai dengan surat perjanjian yang dipegang warga. Namun, warga membantah bahwa surat perjanjian. Menurut warga, surat perjanjian tersebut diperoleh Lurah dengan cara meminta warga menandatangani lembaran yang katanya untuk penerima Sembako. Pada tahun 2010, warga didampingi KPRM, aktivis LSM LAPAR, dan aktivis mahasiswa PMII berdialog dengan pihak Perusda di kantor Camat.

12 Kampung Baraya Kampung Baraya, disebut juga Kandea terletak di RW 1 sampai RW 6 Kel. Baraya Kec. Bontoala. Kampung ini terdiri dari 22 RT, yang dihuni 800 KK. Warga menempati pemukiman sejak tahun 1970-an. Sebagian besar warga memiliki bukti kepemilikan berupa kwitansi jual beli. Warga yang ingin membuat sertifikat harus menyediakan dana minimal Rp 25 juta.

13 Profil Kasus Pihak Tombong Siang mengklaim tanah seluas sekitar 5 hektar. Tanah tersebut telah ditempati warga sekitar 70-an tahun, sedang Tombong Siang mensertifikasi tanah tersebut baru 40 tahunan. Selama ini warga rutin membayar pajak (PBB). Warga telah berupaya untuk mensertifikasi tanah yang mereka tempati, namun menolak untuk membeli pada Tombong Siang. Warga hanya berkeinginan membayar kepada negara dengan alasan harga pembebasan tanah lebih murah, yaitu 30 ribu/meter daripada membeli kepada pihak Tombong Siang yang mematok harga 100 ribu/meter. Pemilik sertifikat saat ini berdomisili di Bali. Pengurusan tanah dilimpahkan kepada kuasa hukumnya dr. Arifuddin Djuana.

14 Komplek Jongayya Komplek Penderita Kusta Jongayya terletak di jalan Dangko RW 04 Kel. Balang Baru Kec. Tamalate. Komplek ini dibangun oleh Hindia pemerintah Belanda pada tahun 1935 di atas tanah wakaf milik bangsawan Gowa, Karaeng Bonto Biraeng. Komplek ini dihuni oleh 451 KK penderita kusta. Mereka hidup sudah berbaur dengan penduduk lainnya sejak tahun 1970-an di atas lahan seluas 11 hektar. Saat ini ada 700 KK atau sekitar 2000 jiwa yang menetap di komplek Jongaya RW 04. Mereka mengharapkan adanya kejelasan status (sertifikasi) tanah yang mereka tempati lewat kepemilikan tanah bersama Pada tahun 1992, pemerintah propinsi Sulsel menerbitkan SK No. 1121/X/1992 tentang tunjangan sosial bagi penderita kusta sebesar Rp dan 15 Kg beras sebulan. Sebagian besar keluarga mantan penderita kusta mengemis di pinggiran jalan. Beberapa di antara mereka menjadi tukang parkir dan penjahit.

15 Posisi Kasus Tanah seluas 11 hektar adalah tanah wakaf yang diberikan karaeng Bonto Biraeng kepada penderita kusta yang dilokalisasi di tempat tersebut sejak tahun Terdapat bukti surat dan penandatangan hibah. Tanah tersebut kemudian diklaim oleh pemerintahan propinsi Sulsel sebagai tanah negara melalui Sertifikat Hak Pakai No. 37 (GS No seluas M² tertanggal 8 Agustus 1991). Seluas m² dimanfaatkan menjadi Rumah Sakit Kusta, yang kemudian berubah nama menjadi RS Umum Haji. Tanggal 30 April 1992, warga yang diwakili kuasa hukumnya M. Kasim Usemahu, SH dan pemprov Sulsel yang diwakili Drs. H. Darwis Wahab (asisten Sekwilda Pemporv) menandatangani Kesepakatan Bersama Kelanjutan Pembangunan Rumah Sakit Haji. Akibatnya, 21 warga penderita kusta dievakuasi ke Rumah Sakit Kusta Daya untuk dirawat secara medis. Selanjutnya, warga bersepakat menyetujui dan mendukung kelanjutan pembangunan rumah sakit dengan catatan: (1) pemda membangun tempat pelayanan medis bagi penderita kusta di belakang RS Haji.; (2) membuat dapur umum/gudang; (3) menyiapkan lantai bangsal dan lantai licin bagi penderita kusta; (4) warga mantan penderita kusta tidak akan dipindahkan sebelum dibangunkan tempat yang lebih memadai. Pada tanggal 01 Pebruari 2006 dan 01 Desember 2010, warga yang diwakili Mustari Lotong (ketua RW) menyampaikan surat keberatan kepada BPN dan gelar perkara di kantor BPN sehubungan dengan terbitnya sertfikat tersebut. Namun, warga dianggap tidak cukup bukti. Beredar kabar bahwa para mantan penderita kusta akan direlokasi ke desa Kampili kabupaten Gowa. Warga menolak relokasi. Selain itu, warga desa Kampili pun menolak adanya mantan penderita kusta masuk desa. Selanjutnya, para mantan penderita kusta dibantu warga sekitarnya melakukan protes menghalangi pembangunan rumah sakit. Pemerintah mendatangkan Satpol PP dan aparat kepolisian menghalau pengunjuk rasa. Saat ini warga masih tinggal di dalam kompleks Jongayya. Stigma dan pengucilan masih sering mereka alami. Sementara tunjangan sosial dari pemerintah tidak lancar, dan jumlahnya tidak sebanding dengan kebutuhan hidup dewasa ini. Terakhir, warga yang tergabung dalam PERMATA (Persatuan Mantan Penderita Kusta) dan YCMJ (Yayasan Cipta Manta Jongayya) memprotes ceramah seorang ustads di Trans TV yang mendiskreditkan keberadaan mereka.

16 Kampung Bulogading Kampung Bulogading Kel. Bulogading Kec. Ujungpandang berada di kawasan niaga Somba Opu dan pantai Losari. Rumah-rumah pangung dan rumah permanen di kampung ini saling berhimpitan, tetapi tertata dengan baik. Pemukiman ini dihuni oleh 75 KK (220 jiwa), yang umumnya sudah menetap sebelum kemerdekaan. Diperkirakan pemukiman ini mulai dihuni tahun 1926 dan mulai padat pada tahun Sebagian dari mereka adalah ahli waris pendudukan pertama yang menetap di Bulogading. Umumnya warga bekerja di sektor informal di sepanjang jalan Somba Opu dan Pantai Losari. Kampung ini adalah salah satu pemukiman tua di kota Makassar. Sejarah mencatat pada tahun 1950, kampung ini terbakar akibat pemberontakan Andi Azis (peristiwa KNIL). Jaraknya kurang dari 1 km dari Benteng Fort Rotterdam. Di kampung Terdapat sumur tua berdiameter 2 m, yang airnya tidak pernah kering, dan menjadi sumber air bersih warga. Di kampung ini pula kantor Kelurahan berada.

17 Profil Kasus Tanah pemukiman di kampung Bulogading merupakan peninggalan pemerintah Hindia Belanda (ex Eigendom Verponding) No. 937 dengan surat ukur No. 162 tahun 1901 seluas 2475 m². Pada tahun 1960 terbit sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No. 273 a.n NV Handeling Hasjim yang dibeli melalui Lelang. Dalam perkembangannya, status tanah Bulogading menjadi Tanah Negara, berdasarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah No. 428 tanggal 11 Oktober 1973 yang ditandatangani Andi Sjukur selaku Kepala Sub. Direktorat Agraria. HGB tersebut dinyatakan berakhir masa berlakunya pada tahun Sesudah itu, BPN Kota Makassar tidak pernah lagi memperpanjang sertifikat HGB tersebut karena sudah ada 7 orang warga yang memiliki sertifikat. Pada tahun 2008, warga digugat oleh Hj. Sadiah yang mengaku ahli waris Hasjim Dg. Manappa (No. Perkara 131). Dan, pada 23 Oktober 2009, Pengadilan Negeri Makassar mengabulkan gugatan Penggugat. Akibatnya, warga terancam digusur.

18 Kampung Pandang Raya Berlokasi di RT 02/RW 03 Jalan Pandang II dan Jalan Pandang V Kelurahan Pandang Kecamatan Panakukkang Kota Makassar. Kampung seluas m² ini termasuk dalam kawasan Panakkukang Plan yang dimulai pada tahun 90-an. Tahun 1982 warga sudah mulai membeli tanah kapling dengan nomor persil 52.a.SI dan No kohir 1241 CI dari H. Hapid, yang diperolehnya dari Saleng Bin Saidong dengan AJB No.994/VIII/1980 tertanggal 21 Agustus 1980.Tanah yang dibeli oleh warga dijadikan pemukiman sampai sekarang Tahun 1998, Drs. Goman Wisan mengklaim tanah seluas m² yang dikuasai warga miliknya yang dibeli dari Aziz Bunta, yang bersumber dari Kadere Bin Sumana, dengan keterangan persil 52.a.S II dan Kohir 2160.C1. Warga digugat oleh Goman Wisman di PN Makssar. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar melalui putusan No. 28/Pdt.G/1998/PN.Uj.Pdg tanggal 12 Nopember 1998, menjatuhkan amar tidak menerima gugatan Penggugat dengan alasan error in objecto (abscure in lible), kemudian Penggugat banding ke Pengadilan Tinggi Sul-Sel. Tahun 1999 Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Makassar, dengan putusan No 174/PDT/1999/PT.UP membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 28 /Pdt.G/1998 PN Ujung Pandang Tanggal 12 November 1998 dan menerima pemohonan banding Drs.Goman Wisan. Atas putusan tersebut warga Pandang Raya melalui kuasa hukumnya mengajukan permohoan kasasi, namun Majelis Hakim Kasasi dengan putusan No: 1440.K/pdt/2000 menjatuhkan vonis memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Makassar sebelumnya tanpa amar kondemnatoir.

19 Posisi Kasus Berulangkali pihak Goman Wisman dibantu preman dan aparat kepolisian melakukan penggusuran paksa. Warga Pandang Raya bersama aktivis mahasiswa melakukan perlawanan sengit. Tanggal 28 April 2009 Pengadilan Negeri Makassar mengeluarkan Penetapan Eksekusi No. 51 EKS/2007/PN Mks. Hal ini ditolak warga berdasarkan fakta bahwa objek tanah mereka berdiri di atas tanah dengan keterangan persil dan Kohir 52.a SI dan 1241 CI, beralamat Jalan Pandang II dan Pandang V. Sementara tanah yang dijadikan obyek gugatan Goman Wisan adalah SHM No. 3631, yakni kohir dan persil 52 A SII dan terletak di Jalan Hertasning. Selain itu, luas keseluruhan tanah berdasarkan Akte Jual Beli dari 20 warga Tergugat adalah M2. Sedangkan luas lahan yang digugat Gosman Wisman hanya Warga melalui LBH Makassar sebagai kuasa hukum, mendesak Ketua PN Makassar agar mengambil langkah berkordinasi dengn pihak terkait untuk segera diadakan pengembalian batas atas Objek yang akan dieksekusi, kemudian Membuat Penetapan Tidak Dapat Dieksekusinya (Nonexecutable) putusan No. 665 K/Pdt/2006. Namun, pihak Gosman dan PN Makassar tetap memerintahkan pengosongan lokasi. Hal ini mendapat perlawan keras dari warga. Perlawanan terakhir terjadi tanggal 25 Maret Warga dan mahasiswa berhasil mengusir preman. Akibat bentrokan ini mobil patroli polisi dirusak massa. Aparat kepolisian kemudian menangkap 22 pengunjuk rasa. Anggota DPRD kota Makassar turut memediasi kasus ini dengan meminta Lurah dan Camat menelusuri data status kepemilikan tanah yang merupakan sumber sengketa.

20 Kampung Ujung Tanah Objek tanah sengketa terletak di jalan Satando Lorong Masjid Fatima Kel. Ujung Tanah Kec. Ujung Tanah Kota Makassar. Awalnya merupakan tanah adat milik H. M. Siddik Dg.Lanti seluas 700 m² sejak pertengahan tahun 1940-an berdasarkan bukti surat kepemilikan: (1) Surat dari VERTEGENWOORDIGER VAN HET NEDERLANDCH – INDISCH BEHEERSINSTITUUT, No. 428/N., Hal Tanah, Tertanggal 20 Maret Sisi surat ini menjelaskan bahwa lokasi tanah pekarangan yang terletak di Kampung Ujung Tanah yang digunakan oleh BPM (PN Pertamina) dan menurut keterangan dari Kepala Distrik Ujung Tanah adalah benar tanah milik H. Muhammad Siddik Daeng Lanti; (2) Dua Lembar Surat Ketetapan Pajak Hasil Bumi, tercatat atas nama LANTI HADJI Bin MUH. SALEH HADJI, No. 2i CI, yang ditandatangani oleh kepala Kantor Pajak Hasil Bumi Cabang Makassar masing-masing atas nama SAPA Dg. NAGA dan PA’LAMBANGAN.

21 Posisi Kasus Sekitar tahun 2002, PT. PELINDO IV CABANG MAKASSAR mengklaim lokasi tanah pemukiman warga sebagai bagian dari lokasi tanah yang dimaksud dalam Sertifikat HPL No. 98/HPL/BPN/1993 tanggal 31 Mei 1993, dengan luas tanah keseluruhan 19, 95 Ha. Pihak PT. PELINDO IV CABANG MAKASSAR memerintahkan karyawannya melakukan Pengamanan aset-aset tanah HPL-nya dengan melakukan pembebasan bangunan rumah milik warga yang menempati lokasi areal tanah tersebut. Pihak warga, dalam hal ini Abd. Azis Bin Latif selaku ahli waris dan 5 warga selaku pembeli tanah, tetap mempertahankan lokasi tanah tersebut dengan membantah klaim PT. PELINDO IV Cab. Makassar. Pihak PT. PELINDO tetap berupaya mengklaim lokasi tersebut dengan mendekati keluarga (alm) LATJEMBETTA alias CAMBETTA, yakni 5 penyewa tanah yang idak memiliki bukti kepemilikan, agar mau menerima biaya ganti rugi bangunan, dan pengosongan lokasi. Sedangkan pihak ABD. AZIS BIN LATIF selaku kuasa ahli waris beberapa kali mengikuti pertemuan dengan Lurah, Camat dan pihak PT. PELINDO dijanjikan ganti rugi pembebasan tanah. Namun, kesepakatan tidak terjadi karena ganti rugi yang ditawarkan dinilai terlalu rendah. Pada tahun 2007, Abd. Azis Latif memagari lahan yang telah ditinggalkan para penyewa. Pihak Pelindo melalui perwakilannya Ady Sutrisno melaporkan Abd. Azis Latif kepada kepolisian sektor pelabuhan (KP3) dengan tuduhan penyerobotan tanah dan perbuatan yang tidak menyenangkan. Tanggal 29 Agustus 2009, Abd. Azis Latif ditetapkan sebagai tersangka oleh Pengadilan Negeri Makassar dengan register perkara pidana No. 1225/Pid.B/2009/PN.Mks atas dakwaan melanggar Pasal 167 ayat (1) KUHP. Putusan PN Makassar dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Makassar yang menyatakan perbuatan Terdakwa bukan tindak pidana dan oleh karenanya harus dibebaskan dari segala tuntutan. Belakangan, pihak Pelindo melaporkan 9 warga lainnya kepada POLDA Sulselbar. Namun, pihak POLDA tidak menindaklanjutinya karena warga melalui Kuasa hukum LBH Makassar memperlihatkan putusan berkekuatan hukum tetap dari PT Makassar. Belajar dari kasus ini, maka semakin penting artinya reformasi lembaga peradilan. Warga yang tidak mampu mengharapkan adanya peradilan yang profesional, independen, dan berkeadilan.


Download ppt "Profil Kasus Pemukiman RMK Makassar"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google