Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

ETIKA KOMUNIKASI DAN MASALAH PORNOGRAFI Pertemuan 11

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "ETIKA KOMUNIKASI DAN MASALAH PORNOGRAFI Pertemuan 11"— Transcript presentasi:

1 ETIKA KOMUNIKASI DAN MASALAH PORNOGRAFI Pertemuan 11
FILSAFAT DAN ETIKA ILMU KOMUNIKASI ETIKA KOMUNIKASI DAN MASALAH PORNOGRAFI Pertemuan 11

2 Argumen penolakan pornografi/etika minimal
Tiga (3) alasan penolakan pornografi: 1). Melindungi kaum muda dan anak-anak 2). Mencegah pengrendahan martabat perempuan 3). Mencegah aspek subversif pornografi yang cendrung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga/masyarakat Menurut Etika Minimal: pornografi melukai pihak lain Tiga pilar etika minimal: a). Sikap netral tentang konsepsi yang baik b). Prinsip menghindar dari merugikan pihak lain c). Prinsip menempatkan nilai yang sama pada setiap orang (manusia bukan sarana tapi tujuan pada dirinya sendiri) Bina Nusantara University

3 Hukum represif yang Korbankan Perempuan
Menurut teori peniruan, semakin orang menonton pornografi, semakin ia terdorong untuk melakukan demikian Hukum yang melarang pornografi tak boleh mengorbankan perempuan (bahayanya bentuk aturan seperti cara berpakaian, tampilan dan seni justru membidik dan membatasi perempuan) Pornografi merendahkan nilai seksualitas perkawinan (tidak menghargai cinta penuh perasaan dua insan dengan lebih menekankan afirmasi hasrat seksual) Kecendrungan media menampilkan hal yang sensasional mempengaruhi insan media untuk tergoda mempresentasikan pornografi karena mudah memancing kehebohan Insan pers butuh pemahaman akan masalah etis-moral Bina Nusantara University

4 Pornografi dan Erotisme
Gambar pornografi memberikan semua yang ingin diketahui dan langsung tanpa membutuhkan saat untuk merenung (gambar harus jelas, sederhana, sesuai dengan yang asli bahkan lebih dari nyata/hiper-realitas) dengan menonjolkan aspek ketubuhan Dampak dari prinsip pornografi semua harus kelihatan: a). Depersonalisasi tubuh (objektivasi tubuh) b). Tiadanya tuntutan kebenaran (proses pembodohan) c). Tirani terhadap diri (subjektivitas dilucuti) d). Estetika buruk muka (tiada keprihatinan akan estetika) Dalam erotisme lebih mengungkapkan hasrat seks daripada penonjolan tubuh telanjang Semua erotisme berisiko menjadi pornografi Karena pornografi itu urusan moral, pelarangan atasnya tak boleh diatur sepihak oleh negara, tapi perlu partisipasi masyarakat) Bina Nusantara University

5 paTERNALISME NEGARA Campur tangan negara dalam hal moralitas perorangan syarat dilema. Di satu pihak campur tangan itu mempersempit kebebasan warga, di lain pihak jika kebebasan pribadi merugikan orang lain, maka campur tangan negara sulit ditolak Sikap paternalistik negara biasa atasnamakan tujuan luhur: = Menjaga keteraturan dan kepantasan publik dengan melindungi anak-anak atau mereka yang belum dewasa = Melindungi perempuan agar tidak dijadikan objek pornografi, pelecehan atau kekerasan seksual = Mencegah/menghukum semua yang terkategori langgar batas moral Bina Nusantara University

6 Walau paternalisme negara bertujuan luhur, ada keberatan:
= Tujuan itu mempertanyakan otonomi moral (negara jadi polisi moral yang berlebihan dan membatasi kreativitas masyarakat) = Prinsip subsidiaritas tak dihormati (akan melemahkan peran civil society dan inisiatif dari bawah karena semua diurus negara) = Paternalisme ini elitis dan diskriminatif Landasan pelarangan pornografi menjadi menarik ketika argumen kelompok yang memperjuangkan nilai tradisional mengarah ke titik yang sama dengan kaum liberal. Tradisional menganggap pornografi mengancam nilai keluarga, sedangkan kaum liberal memandang manusia dari sisi instrumental, hedonis, dan mengacaukan makna cinta Dalam pornografi tercipta hubungan antara subjek dengan pribadi imaginer gambar orang dalam layar/kertas. Orang tercabut dari realitas, dari altruisme ke egoisme. Akibatnya hanya ada penonjolan hasrat seksual dan cinta dikalahkan oleh kepuasan dorongan nafsu seks Bina Nusantara University

7 Legalisme versus toleransi
Campur tangan negara dalam bentuk hukum artinya mementingkan dimensi institusional etika. Institusi (undang- undang, hukum dan aturan) membantu menjamin stabilitas tindakan seseoreang dari luar diri pelaku dengan berperan mengorganisasi tanggung jawab Kelemahan legalisme yakni mengabaikan internalisasi motivasi yang mengandaikan penerimaan kritis, refleksi, diskusi demi mempertajam makna tanggung jawab dan membiasakan diri pada tindakan yang baik sehingga terbentuk keutamaan Sedangkan mengutamakan pemaksaan dari luar akan membentuk orang munafik Maka semangat toleransi perlu diwujudkan untuk lawan moralisme legal (berlakukan norma tanpa perhitungkan ada/tidaknya bahaya). Maka tiap aktivitas orang perorangan yang tak ancam warga negara lain atau tak ganggu tatanan dan kepantasan publik hendaknya dihindarkan dari pengaturan hukum pidana Bina Nusantara University

8 Tindak represif hukum bisa dibenarkan jika dalam kerangka melindungi eksploitasi/pembusukan pihak yang masih rentan misalnya anak-anak dan kaum muda Jadi fungsi hukum bukan mencampuri urusan kehidupan pribadi warga negara dan bukan pula untuk memaksakan pola perilaku tertentu kepada mereka Kedua hal ini harus tetap menjadi ranah moralitas pribadi dan jangan sampai diurus oleh hukum positif Dengan menghargai prinsip itu berarti mendukung sikap toleransi dan melawan sikap represif-moralistik yang akan semakin membatasi pergaulan, kreativitas dan membuat hubungan masyarakat berpola seperti polisi moral Bina Nusantara University

9 Kontrol negara dan bahaya diskriminasi hukum
Jika negara mengontrol semua aspek kehidupan, sulit menerima prinsip dasar adanya ruang kebebasan individu dalam suarah hati, kebebasan berekspresi dan gaya hidup. Sedangkan kecendrungan yang berkembang yakni tirani mayoritas (agama dan publik) yang mengacam dan mempersempit pilihan moral perorangan Negara perlu pikirkan kepentingan masyarakat berjangka panjang yakni berkembangnya individu anggota masyarakat. Negara perlu mengekang diri untuk tidak cepat membuat pelarangan melalui hukum untuk membungkam kritik. Masyarakat akan semakin kuat jika memberi tempat cukup bagi individu karena dasar kohesi sosial bukan pertama-tama karena kelemahan dan kebutuhan perlindungan pihak lain, tapi karena sinergi kekuatan yang membuat masyarakat semakin produktif Bina Nusantara University


Download ppt "ETIKA KOMUNIKASI DAN MASALAH PORNOGRAFI Pertemuan 11"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google