Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

MATA KULIAH DASAR-DASAR AGRIBISNIS

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "MATA KULIAH DASAR-DASAR AGRIBISNIS"— Transcript presentasi:

1 MATA KULIAH DASAR-DASAR AGRIBISNIS
II. DINAMIKA AGRIBISNIS: Fenomena pertanian dan usaha, pengaruh kebijakan pemerintah

2 Perbedaan antara komoditi pertanian dan non pertanian:
Komoditi non pertanian Lokasi Produsen Terpencar-pencar Terkonsentrasi Volume barang yang dihasilkan Jumlah relatif sedikit Jumlah besar Penentuan jumlah, mutu, waktu pembuatan Disesuaikan Cermat Barang yang dihasilkan Bahan mentah Barang setengah jadi/jadi Sifat pemasaran Konsentrasi distributif Distributif

3 Karakteristik produk pertanian
No Produksi Penanganan/akibat 1 Mudah rusak/busuk Penyimpanan, pengolahan, distribusi (cepat) 2 Makan tempat(“rowa”) Biaya pengangkutan dan penyimpanan mahal 3 Musiman Penyimpanan dan pengolahan 4 Kualitas beragam Sortasi dan standarisasi 5 Letaknya di pedesaan Distribusi, pengangkutan, pengolahan

4 KEBIJAKAN PEMERINTAH Sejak kemerdekaan Indonesia sampai akhir dekade 90an kebijakan pangan nasional hanya difokuskan pada upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat yaitu beras. Perjuangan yang amat panjang untuk memenuhi swasembada beras pada tahun 1984, sesungguhnya dimulai sejak masa revolusi tahun melalui rencana Kasimo kemudian dilanjutkan dengan Bimas pada tahun 1963/1964 kemudian dalam perkembangan selanjutnya Bimas berubah menjadi Bimas Gotong Royong dan terakhir menjadi Supra Insus. Perubahan Bimas tersebut untuk mengikuti kemajuan sistem pertanian dan berkembangnya kemampuan masyarakat tani (Bimas, 1991). Faktor utama yang menunjang peningkatan produksi padi dengan cepat hingga mencapai swasembada beras adalah program intensifikasi, pembangunan irigasi, dukungan varitas unggul, intervensi pada harga beras, dan subsidi pupuk. Dari berbagai faktor penunjang tersebut pemerintah berhasil memanfaatkan instrumen intervensi harga beras dan subsidi pupuk untuk memacu produksi beras nasional.

5 Periode Orde Baru Pada periode ini kebijakan utama di sektor pangan adalah : kebijakan harga dasar gabah, subsidi pupuk, dan kredit program.

6 Kebijakan harga dasar gabah
Konsep utama dalam menentukan kebijakan harga dasar gabah disusun oleh Mears dan Afiff pada tahun Kebijakan tersebut terdiri dari lima elemen utama yaitu: (1) harga dasar gabah harus cukup tinggi untuk merangsang produsen, (2) Harga tertinggi harus layak untuk konsumen, (3) Keuntungan dari selisih harga harus pada tingkat yang layak untuk merangsang pedagang, (4) melindungi harga domestik dari harga dunia yang tidak stabil dan harus terus disesuaikan untuk meminimumkan subsidi, dan (5) harus ada stok/cadangan minimal untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut (Mears dan Afiff, 1969).

7 Konsep di atas menjadi dasar perhitungan dalam menyusun rumus harga dasar. Dalam perkembangannya teknik perumusan harga dasar tersebut terus berubah setiap waktu mengikuti perkembangan keadaan perberasan nasional. Pertama kali harga dasar ditetapkan pada tahun 1968 dengan rumus harga dasar ditetapkan sama dengan setengah kali harga pupuk. Penetapan harga dasar yang dikaitkan dengan harga pupuk bertujuan untuk merangsang petani menggunakan pupuk inorganik. Dalam perkembangannya petani merespon pemakaian pupuk inorganik, sehingga subsidi pupuk makin membesar disamping meningkatnya harga pupuk internasional pada tahun 70an. Untuk mengatasi hal ini pemerintah menetapkan harga dasar baru pada tahun 1973/1974. Harga dasar yang baru ini menggunakan pendekatan Incremental Benefit Cost Ratio (IBCR) (Amang, 1993).

8 Kebijakan harga dasar tersebut dilaksanakan pemerintah melalui pembelian dalam negeri oleh Bulog yang didirikan oleh pemerintah pada tahun 1967 sebagai lembaga yang mengadakan pembelian beras untuk pemerintah. Selanjutnya sejak tahun 1993 Bulog diberi tugas untuk mengendalikan harga tidak saja komoditi beras tetapi juga komoditi gula, gandum, kedelai, terigu, dan bungkil kedelai (Amang dan Sawit, 2001).

9 Kebijakan subsidi pupuk
Kebijakan subsidi pupuk pertama kali diterapkan pada awal tahun 70an. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk merangsang petani menggunakan pupuk inorganik. Hal ini ditunjukkan dengan penerapan harga dasar gabah pada tahun 70an yang besarnya ditetapkan setengah kali harga pupuk. Dengan makin besarnya permintaan pupuk domestik maka subsidi pupuk yang ditanggung pemerintah semakin besar. Bila pada tahun 1985/1986 subsidi pupuk hanya sebesar Rp. 477 milyar atau sebesar 4,39 persen dari total realisasi anggaran pembangunan pemerintah, maka pada tahun 1989/1990 subsidi pupuk telah mencapai 1,15 triliun atau sekitar 7,47 dari total anggaran pemerintah (BPS, 1998). Sejak pertengahan tahun 1998 subsidi pupuk dihapuskan yang menyebabkan harga pupuk urea pada tahun 1998 mengalami kenaikan dari Rp.450/kg menjadi Rp. 1115/kg atau hampir 250 persen. Untuk mengurangi beban petani dari makin membesarnya biaya produksi maka pemerintah menaikkan harga dasar gabah dari Rp. 525/kg pada tahun 1997 menjadi Rp. 1400/kg pada Desember 1998 (Surono, 1999).

10 Kredit Program Penyediaan fasilitas kredit program dengan tingkat suku bunga murah untuk memenuhi kebutuhan modal petani/kelompoktani dalam pelaksanaan usahatani intensifikasi padi dan palawija dengan pola kredit usahatani (KUT), telah dimulai sejak musim tanam (MT) 1985, sebagai pengganti kredit Bimas yang dihentikan sejak MT. 1984/1985. Upaya memanfaatkan KUT sebagai fasilitas kredit program bagi petani dimaksudkan untuk dapat menerapkan teknologi seoptimal mungkin sehingga mampu meningkatkan produksi padi, palawija dan hortikultura sekaligus meningkatkan pendapatan petani.

11 Tabel 1. Keragaan KUT TP. 1995/1996 s/d TP. 1999/2000
No. Tahun Penyelesaian Realisasi (Rp juta) Tunggakan (Rp juta) % 1 TP. 1995/1996 198,929 36.750 18,47 2 TP. 1996/1997 211,921 54.265 25,61 3 TP. 1997/1998 367,196 71.718 19,53 4 TP. 1998/1999 8.405,296 71,04 5 TP. 1999/2000 80,64 Jumlah 68,56

12 Periode Reformasi Periode Reformasi
Pada periode reformasi kebijakan utama di sektor pangan terdiri dari kebijakan harga pembelian pemerintah, subsidi pupuk, dan kredit pengembangan kredit ketahanan pangan (KKP).

13 Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah
Kebijakan perberasan di era reformasi telah direformulasi sejak tahun Pada tahun 2002 pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 9 tahun 2002 tentang Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HPP, procurement price policy). Substansi utama dari Inpres No. 9 Tahun 2002 tersebut adalah : (1) sistem ekonomi beras nasional dilihat sebagai suatu sistem agribisnis beras sehingga kebijakan harga beras hanyalah merupakan salah satu komponen saja dari paket kebijakan beras secara komprehensif, (2) kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG, floor price policy) diganti dengan Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP, procurement price policy), dan (3) kebijakan perberasan dikembangkan dengan menganut pendekatan ”ekonomi pasar terkelola” (managed market mechanism), dalam upaya melindungi kepentingan produsen dan konsumen.

14 Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah dalam Inpres No
Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah dalam Inpres No. 9/2002 tersebut telah ditindaklanjuti dengan SKB Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan dan Bulog yang menetapkan harga dasar pembelian pemerintah untuk Gabah Kering Giling (GKG), Gabah Kering Simpan (GKS), dan Gabah Kering Panen (GKP) ditingkat penggilingan masing-masing sebesar Rp 1.700/kg, Rp 1.500/kg dan Rp 1.230/kg.

15 Agar kebijakan HPP tersebut dapat berjalan dan dalam rangka melindungi kebijakan petani dari membanjirnya beras impor yang masuk ke Indonesia, sejak Januari 2004, pemerintah menerapkan kebijakan pengaturan impor beras, melalui Kepmen Perindag No. 9/MPP/Kep/1/2004, yang pada dasarnya mengatur: (1) pelarangan impor beras satu bulan sebelum panen raya, selama panen raya dan dua bulan sesudah panen raya, dan (2) pada periode di luar panen raya, beras impor dapat masuk dengan pengaturan: jenis, jumlah, tempat (pelabuhan), kualitas dan waktu (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2004). Disamping itu dalam rangka menjaga stabilitas harga gabah petani terutama pada saat panen raya, pemerintah melalui Perum Bulog melakukan pembelian gabah di dalam negeri dengan volume sekitar 6 – 7 persen dari total produksi nasional.

16 Kebijakan HDPP masih dirasakan belum efektif dalam menjaga stabilitas harga gabah. Data dari Badan Bimas Ketahanan Pangan, (2004) menunjukkan bahwa pada saat panen raya April 2003 dan April 2004, harga gabah masing-masing sebesar Rp ,5/kg dan 1.157,7/kg GKP. Petani yang menerima harga gabah di bawah HDPP adalah 61.9 persen bulan April 2003 dan meningkat menjadi 75,0 persen pada bulan April 2004.

17 SubsidiSSUBSIDI PUPUK Pupuk
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dilakukan melalui pemberian sarana produksi yang sesuai dengan kebutuhan. Pupuk merupakan salah satu sarana produksi yang sangat penting dalam peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian. Pada tahun 2003 – 2005 pemerintah memberikan subsidi pupuk kepada petani, pekebun kecil dan peternak melalui penetapan harga gas bagi produsen pupuk dan harga eceran tertinggi (HET) di tingkat pengecer pupuk resmi. Pada tahun 2003, telah dialokasikan anggaran pembangunan untuk subsidi pupuk sebesar Rp 1,313 triliun. Pada tahun 2004, telah dialokasikan anggaran pembangunan untuk subsidi pupuk sebesar Rp 1,353 triliun. Pemanfaatan subsidi tersebut belum sepenuhnya menguntungkan petani karena di beberapa lokasi masih terjadi harga pupuk yang melebihi HET terutama disebabkan mekanisme jalur tataniaga pupuk yang belum berjalan dengan baik dan kendala transportasi dari pabrik pupuk sampai ke lokasi petani disamping masih sering terjadi salah target sasaran penerima subsidi.

18 Pengembangan Kredit Ketahanan Pangan
Sejak bulan Oktober tahun 2000 telah diluncurkan skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP), khususnya untuk membiayai kegiatan on farm komoditas tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar), perkebunan (tebu), peternakan (ayam buras, itik, kambing/domba, dan sapi potong) dan perikanan. Skim kredit dengan subsidi bunga antara 3 – 10 % ini berakhir pada tahun 2003 dan pada tahun-tahun selanjutnya tidak diberikan subsidi bunga lagi dan menggunakan kredit komersial. Total realisasi penyaluran KKP nasional per 1 Juni 2004 mencapai Rp 1,954 trilyun atau 93,89% dari plafon sebesar Rp 2,082 triliun. KKP tersebut untuk membiayai kegiatan : tanaman pangan, budidaya tebu, peternakan, perikanan, dan pengadaan pangan. Kebijakan pangan nasional pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi dapat dilihat pada Tabel 2.

19 Periode Orde Reformasi
Tabel 1. Kebijakan Pangan Nasional Periode Orde Baru dan Orde Reformasi No Periode Orde Baru Periode Orde Reformasi 1 Kebijakan Harga Dasar Gabah Tahun 1968 Harga dasar ditetapkan sama dengan setengah kali harga pupuk Tahun 1973/1974 Penetapan harga dasar menggunakan pendekatan Incremental Benefit Cost Ratio (IBCR) Tahun 1975 – 1998 Penetapan harga dasar mempertimbangkan berbagai variabel yang mempengaruhi: harga, pendapatan petani, inflasi dan nilai tukar serta indeks harga konsumen. Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah Pada tahun 2002 pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 9 tahun 2002 tentang Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HPP, procurement price policy). Kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan SKB Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan dan Bulog yang menetapkan harga dasar pembelian pemerintah untuk Gabah Kering Giling (GKG), Gabah Kering Simpan (GKS), dan Gabah Kering Panen (GKP) ditingkat penggilingan masing-masing sebesar Rp 1.700/kg, Rp 1.500/kg dan Rp 1.230/kg.

20 Periode Orde Reformasi
No Periode Orde Baru Periode Orde Reformasi 2 Kebijakan Subsidi Pupuk Tahun 70an Kebijakan subsidi pupuk pertama kali diterapkan Tahun 1985/1986 subsidi pupuk sebesar Rp. 477 milyar atau sebesar 4,39 persen dari total realisasi anggaran pembangunan pemerintah Tahun 1989/1990 subsidi pupuk mencapai 1,15 triliun atau sekitar 7,47 dari total anggaran pemerintah Tahun 1998 Subsidi pupuk dihapuskan Subsidi Pupuk Tahun 2003 – 2005 pemerintah memberikan subsidi pupuk kepada petani, pekebun kecil dan peternak melalui penetapan harga gas bagi produsen pupuk dan harga eceran tertinggi (HET) ditingkat pengecer pupuk resmi. Tahun 2003 dialokasikan anggaran pembangunan untuk subsidi pupuk sebesar Rp 1,313 Trilyun. Tahun 2004 dialokasikan anggaran pembangunan untuk subsidi pupuk sebesar Rp 1,353 Trilyun.

21 Periode Orde Reformasi
No Periode Orde Baru Periode Orde Reformasi 3 Kebijakan Kredit Program Penyediaan fasilitas kredit program dengan tingkat suku bunga murah untuk memenuhi kebutuhan modal petani/kelompoktani dalam pelaksanaan usahatani intensifikasi padi dan palawija dengan pola kredit usahatani (KUT), telah dimulai sejak musim tanam (MT) 1985, sebagai pengganti kredit Bimas yang dihentikan sejak MT. 1984/1985. Kebijakan Pengembangan Kredit Ketahanan Pangan Sejak bulan Oktober tahun 2000 telah diluncurkan skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP), khususnya untuk membiayai kegiatan on farm komoditas tanaman pangan. Skim kredit dengan subsidi bunga antara 3 – 10 %. Total realisasi penyaluran KKP nasional per 1 Juni 2004 mencapai Rp 1,954 trilyun atau 93,89% dari plafon sebesar Rp 2,082 trilyun sedangkan per 1 Juni 2004 mencapai Rp 1,954 trilyun atau 93,89% dari plafon sebesar Rp 2,082 trilyun.

22 PERAN DAN FUNGSI AGRIBISNIS DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL
Sejak masa lalu sampai sekarang, peranan agribisnis secara keseluruhan dalam perekonomian nasional telah cukup besar (Saragih, 1998). Besarnya peranan agribisnis ini dapat dilihat dari: 1. Kontribusi agribisnis terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7% pada dasawarsa 1990-an merupakan kontribusi agribisnis; 2. Besarnya angkatan kerja, sekitar 70%, yang dapat diserap oleh sektor agribisnis. Hal ini menunjukkan bahwa agribisnis merupakan penyedia lapangan kerja yang besar bagi perekonomian nasional; 3. Inflasi yang rendah, di bawah 10%, pada tahun 1990-an merupakan kontribusi rendahnya harga bahan pangan yang dihasilkan oleh agribisnis; 4. Ketahanan pangan atau food security yang pernah terjadi pada tahun 1980-an sampai dengan paruh pertama tahun 1990-an merupakan hasil kontribusi agribisnis; dan 5. Sejak jaman penjajahan, agribisnis sudah berkontribusi dalam penerimaan devisa dari sektor bukan migas.

23 Menurut Saragih (1998), pada masa datang, peranan agribisnis khususnya yang berskala kecil akan semakin penting. Beberapa faktor yang menyebabkan semakin pentingnya agribisnis berskala kecil adalah: 1. Relatif tidak memerlukan terlalu banyak modal investasi, terutama bagi agribisnis yang bergerak pada bidang jasa; 2. Usaha agribisnis kecil dapat bergerak luwes menyesuaikan diri dalam situasi yang berubah karena tidak perlu terhambat oleh persoalan-persoalan birokrasi yang dihadapi perusahaan besar; 3. Usaha agribisnis kecil memiliki tenaga-tenaga penjual dan wirausaha yang tertempa secara alami yang tidak berminat (vested-interest) dalam sistem produksi yang sudah ada dan sudah mantap; dan 4. Perubahan selera konsumen yang semakin bergeser dari produkproduk tahan lama yang dihasilkan secara massal ke produk- produk yang lebih manusiawi lebih tepat dilayani oleh usaha-usaha kecil.

24 Besar dan luasnya peranan agribisnis dalam perekonomia Nnasional tidakterlepas dari fungsi agribisnis, yaitu: 1. Menghasilkan bahan mentah atau komoditas primer baik bahan pangan, serat, bangunan, atau bahan lainnya; 2. Menghasilkan produk antara atau barang jadi baik pangan, bahan pembuat tekstil, bahan bangunan, obat-obatan, dan sebagainya; 3. Menyerap tenaga kerja dari yang unskilled sampai yang skilled; 4. Menyumbang pada pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi; dan 5. Menghasilkan devisa negara melalui kegiatan ekpor maupun pariwisata.


Download ppt "MATA KULIAH DASAR-DASAR AGRIBISNIS"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google