Gambaran Lingkungan Fisik Rumah di Sekitar TPA Ngronggo Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Dhanang Puspita, Agus Fitrianto,Yunita Christina Wijaya, Dary Latar Belakang Di Indonesia, terjadi peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya (BPS, 2016). Pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dibandingkan dengan ketersediaan lahan mengakibatkan munculnya permasalahan perumahan. Penduduk dengan status sosial ekonomi rendah jumlahnya cukup banyak. Untuk mengatasi kebutuhan perumahan, mereka cenderung tinggal di daerah pinggiran dan salah satunya tinggal di TPA. Masyarakat umum dan pemulung banyak yang bermukim di sekitar lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kondisi fisik lingkungan yang lembap dan jauh dari keadaan udara dan air bersih, berpotensi besar memberikan dampak pada sistem kesehatan pernafasan masyarakat yang berpemukiman disekitar TPA. Salah satu contoh infeksi saluran pernafasan yang sering terjadi adalah Tuberkulosis Paru (TB Paru). Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode penelitian kuantitatif deskriptif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan lingkungan fisik rumah terhadap kejadian TB Paru pada warga yang tinggal di Area TPA Ngronggo. Hasil dan Pembahasan Pencahayaan Pencahayaan ruangan di dalam rumah yang baik setidaknya memiliki nilai minimal 60 lux (Keman, 2005) sehingga dapat mencegah perkembangan dan membunuh kuman TB Paru. Hasil penelitian ini dipertegas dari hasil penelitian Wulandari (2012) dan Rosiana (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian TB Paru. Hanya ruang tamu yang 75%-nya memenuhi syarat, sedangkan kamar tidur 27% dan dapur 30%. Kelembaban Udara Kelembaban udara di dalam rumah yang baik berkisar antara 40-70% (Keman, 2005). Keadaan rumah yang lembab dapat meningkatkan risiko perkembangan M.tuberculosis. Hasil penelitian ini dipertegas dari hasil penelitian May Liani (2014) yang menyatakan bahwa responden yang memiliki kelembaban rumah tidak memenuhi syarat memiliki kemungkinan menderita TB Paru 3,8 kali lebih besar. Sebanyak 93-98% rumah tidak memenuhi syarat kelembapan ditiap bagiannya. Ventilasi Rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah rumah yang memiliki luas ventilasi ≥ 10% luas lantai rumah (Keman, 2005). Kurangnya ventilasi akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida. Disamping itu dapat menyebabkan peningkatan kelembaban udara ruangan sehingga akan menjadi media yang baik untuk M.tuberculosis dapat tumbuh dan berkembang biak. Sebanyak 45-80% bagian rumah tidak memenuhi syarat. Jenis Lantai Lantai yang tidak kedap air dan terpapar droplet dari penderita TB Paru akan menjadi tempat untuk M.tuberculosis berkembang biak. Hasil penelitian ini dipertegas dari hasil penelitian Greis (2014) yang menyatakan adanya hubungan jenis lantai dengan kejadian TB Paru. Hasil yang sama juga di dapat oleh Rosiana (2013) bahwa risiko 21 kali lebih besar terjadi TB Paru pada responden yang memiliki lantai rumah tidak memenuhi syarat, yakni sebanyak 68- 91%. Saluran Udara di Dapur Saluran udara di dapur berfungsi sebagai tempat untuk sirkulasi asap sisa pembakaran. Jika tidak ada saluran udara akan mengakibatkan udara kurang bersih dan terhirup orang-orang di dalam rumah. Jika hal ini terjadi secara terus menerus maka akan mengurangi tingkat kepekaan dari alveolus dan akan mempermudah bagi kuman dan bakeri untuk masuk dan berdiam didalam tubuh seseorang. Pemanfaatan Sirkulasi Udara Jendela atau ventilasi rumah yang difungsikan dengan optimal agar pertukaran gas didalam dan di luar rumah dapat berlaku secara baik dan udara ruangan dapat dalam keadaan terus mengalir dan membebasakan udara ruangan dari bakteri – bakteri yang ada. Sirkulasi udara yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban yang tinggi dalam ruangan (Kemenkes RI, 2011) Kepadatan Hunian Kamar Luas wilayah kamar seharusnya ≥ 8m2/ orang (Keman, 2005). Jika di dalam kamar kapasitas hunian nya berlebihan akan meningkatkan risiko penularan TB Paru pada teman sekamar. Hasil penelitian ini dipertegas oleh hasil yang di dapat dari Greis (2014) yang menyatakan bahwa seseorang yang tinggal dengan kepadatan hunian <8m2/ orang memiliki kemungkinan menderita TB Paru 7 kali lebih besar. Hasil yang sama juga di dapatkan oleh Ayomi (2010). Suhu Ruangan Persyaratakan fisiologis rumah yang baik memiliki suhu ruangan yang baik dan dapat dipertahakan pada angka 18-30oC (Kemenkes RI, 2012) akan tetapi bentuk saprofit dari M.tuberculosis tumbuh lebih cepat dan berkembang biak pada suhu 22-23oC dan dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab Bau Sampah Di dalam sampah terdapat zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan, antara lain: karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), gas metan (CH4), gas ammonia (NH3) dan gas hidrogen sulfida (H2S). Gas-gas polutan tersebut apabila dihurup secara terus menerus akan mengurangi kepekaan dan elastisitas dari paru-paru terkhususnya alveolus. Berkurangnya tingkat kesensitivitasan dan elastisitas paru akan mengalami kesulitan untuk membedakan partikel yang masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu akan mempermudah bagi M.tuberculosis untuk masuk dan berkembang biak di dalam tubuh. Lingkungan rumah yang baik seharusnya terbebas dari gas H2S dan NH3. Lingkungan rumah yang baik tidak terletak di daerah TPA atau bekas tambang (Keman, 2005). Kesimpulan Lingkungan fisik di dalam rumah yang ada di sekitar TPA Ngronggo sebagian besar belum memenuhi syarat kesehatan dilihat dari paremeter; pencahayaan, kelembapan, ventilasi, jenis lantai, saluran udara di dapur, pemanfaatan sirkulasi udara, kepadatan hunian kamar dan suhu ruangan. Lingkungan fisik di luar rumah juga tidak memenuhi syarat karena 98% masih tercium aroma sampah. Grafik 1:Pencahayaan, Kelembaban Udara, Ventilasi, Jenis Lantai (RT=Ruang Tamu, KT=Kamar Tidur, D=Dapur) Grafik 2: Saluran Udara di Dapur, Pemanfaatan Sirkulasi Udara, Kepadatan Hunian Kamar Grafik 3: Persyaratan Suhu Ruangan & Potensi Perkembangan Mikroorganisme Grafik 4: Bau Sampah Daftar Pustaka Ayomi. C. A, Setana O., Joko T. “Faktor Risiko Lingkungan Fisik Rumah dan Karakteristik Wilayah sebagai Determinan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sentani Kabupaten Jayapura Provinsi Papua”. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia (online), Vol.11. 2010 Badan Pusat Statistik (BPS). Diakses dari http://www.bps.go.id/. Diakses pad tanggal 24 Januari 2017 pada jam 02.17 WIB. Dawile, Greis. “Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Tobelo Kabupaten Halmahera Utara”.Fakultas Kesehatan Masyarakat universitas Sam Ratulangi. 2014 Keman, Soedjajadi. “Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman”. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No. 1, Juli 2005 : 29 – 42 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. “Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis”. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.“Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis”. Jakarta: Kemenkes RI. 2012 Liani, May. “Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Tuminting Kota Manado”. Fakulktas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi. 2014 Rosiana, A. “Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilaya Kerja Puskesmas Kota Semarang”. Artikel Jurnal, Vol. 2, No. 1 Hal 1-9. 2013 Wulandari, S. “Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang. 2012