BAGI HASIL TANAH ABSENTEE (Studi Kasus di Dataran Tinggi Pasemah Kabupaten Lahat)   Permasalahan penguasaan tanah (pemilikan dan penggarapan) pada  hakikatnya.

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
Negara Maju dan Negara Berkembang
Advertisements

DEWI NURUL MUSJTARI,S.H., M.HUM DOSEN FAKULTAS HUKUM UMY
KEBIJAKAN PENYUSUNAN PERDA TANAH ULAYAT
STUDI KELAYAKAN PROYEK
ROAD MAP IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 DISAMPAIKAN OLEH: TARMIZI.
Analisis Kelayakan Proyek & Industri
PROBLEMATIK EKONOMI Pertemuan 2.
Mengapa KAT harus diberdayakan ?
Pertemuan ke – 2 TEORI HUKUM PENDAFTARAN TANAH
Studi Kelayakan Bisnis
BAB VIII LAND REFORM.
Oleh: Silvana Maulidah, SP. MP.
A. Syarat Materil : B. Syarat Formil Materil Umum/Absolut
Perkembangan Ekonomi Indonesia
THE EMPLOYMENT AND WAGE
Landreform berasal dari kata
Kegiatan yang dilarang dalam undang-undang no. 5 tahun 1999
SEBAGAI SUMBER DAYA DALAM
ASAS LANDREFORM.
PENDAFTARAN TANAH Pendaftaran Tanah (Pasal 1 angka 1 PP No.24 Th 1997)
Keterkaitan Rahasia Dagang dengan Perjanjian Kerja
MASALAH PEMBANGUNAN MANUSIA: KEPENDUDUKAN
DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pasal 1.
MASALAH PEMBANGUNAN MANUSIA: KEPENDUDUKAN
STIE DEWANTARA ASPEK EKONOMI & SOSIAL Studi Kelayakan Bisnis, Sesi 8.
Pertemuan ke – 4 HUKUM ADAT DALAM HUKUM TANAH NASIONAL
STRATA BANGUNAN BERTINGKAT
Luruhnya Hak Publik (Bangsa) di Tangan Lembaga Publik (Negara)
PERMASALAHAN KEPENDUDUKAN DAN CARA PENANGGULANGANNYA
Kegiatan Perekonomian di Indonesia
TIPOLOGI PERDESAAN NUR ENDAH JANUARTI.
Aspek Ekonomi dan Sosial
Gambaran Umum Ekonomi Internasional
Pertemuan Minggu ke-10 LANDREFORM di indonesia
Landreform berasal dari kata
Supply Chain Management (SCM) E-Business dan Supply Chain
`KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN` Dr. Ir. F. DIDIET HERU SWASONO, M.P.
MASALAH KEPENDUDUKAN DAN PEMECAHANNYA
Politik dan hukum agraria
Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional
KONDISI SOSIAL EKONOMI PERTANIAN DI INDONESIA
HAK ATAS TANAH SEKUNDER/DERIVATIF
ASAS-ASAS DALAM HUKUM TANAH
ASAS LANDREFORM.
SISTIM PERTANIAN DAN PENGUASAAN TANAH
Oleh: ANUGRAH ROMADHON
HAK ATAS TANAH SEKUNDER/DERIVATIF
OTONOMI BIDANG PERTANAHAN
EKONOMI Kelas / Semester : X / 1 Permasalahan Ekonomi.
Landreform berasal dari kata
ANGKUTAN DAN TRANSPORTASI PERKOTAAN
SUMBER HUKUM PERIKATAN ADAT
KETENAGAKERJAAN Penduduk dan Kesempatan Kerja
EKONOMI Permasalahan Ekonomi.
POKOK PERMASALAHAN EKONOMI, PELAKU EKONOMI DAN SISTEM EKONOMI
Disusun Oleh Pipit Fitriyani, S.Pd
KEBIJAKAN PENATAAN PERTANAHAN DALAM HAK PAKAI
Aniesa Samira Bafadhal, SAB, MAB
STIEPAR YAPARI AKTRIPA BANDUNG
Hukum Investasi dan Pasar Modal
“Analisis Janji – Janji dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan”
SISTEM PEMERINTAHAN DESA Cahyono, M.Pd. FKIP UNPAS Cahyono, M.Pd. FKIP UNPAS.
Materi Kuliah SEJARAH PERTUMBUHAN EKONOMI
PERTEMUAN KE IV Studi kelayakan merupakan salah satu mata kuliah (study) terapan yang bersifat aplikatif. Studi kelayakan dapat dilakukan untuk menilai.
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S
Oleh Paulus Wirutomo Sistem Sosial Indonesia (2015)
STUDI KELAYAKAN PROYEK
MASYARAKAT PEDESAAN DAN PERKOTAAN
MASYARAKAT PEDESAAN DAN PERKOTAAN
Created By : Ira Kurnia. 1. Jumlah Penduduk 2. Persebaran Penduduk 3. Komposisi Penduduk 4. Pertumbuhan dan Kualitas Penduduk 5. Keragaman Etnik dan Budaya.
Transcript presentasi:

BAGI HASIL TANAH ABSENTEE (Studi Kasus di Dataran Tinggi Pasemah Kabupaten Lahat)   Permasalahan penguasaan tanah (pemilikan dan penggarapan) pada  hakikatnya sejak dahulu sudah merupakan masalah sosio-ekonomi dengan    gejala-gejala yang tidak sehat bagi perkembangan masyarakat (Habibie,    1978). Masalah tersebut kini menjadi kompleks karena perkembangan itu    disertai pula oleh permintaan terhadap tanah yang disebabkan oleh    bertambahnya penduduk, meningkatnya lingkungan perumahan dan tanah    sebagai obyek investasi sementara golongan ekonomi kuat yang bermukim di kota semakin tinggi.     Ketimpangan dalam pembagian pendapatan, pada dasarnya berawal dari    ketimpangan dalam penguasaan tanah pertanian, baik fisik maupun    nonfisik yang merupakan sumber pendapatan utama masyarakat desa. Upaya    mendorong pembagian yang merata serta memperluas kesempatan kerja,    salah satunya dengan melaksanakan bagi hasil atas tanah secara adil.

Di Kabupaten Lahat, sistem sewa dan sistem lainnya jarang sekali    dilakukan karena umumnya penggarap tidak mempunyai modal untuk    membayar sewa yang biasanya dibayar dimuka dan risiko gagal panen    tidak ditanggung bersama, sehingga hanya Bagi Hasil yang paling banyak    dan memungkinkan untuk dilakukan.     Banyaknya praktek sistem bagi hasil ini dilakukan antara lain juga    disebabkan sistem ini tidak merendahkan derajat petani penggarap,    tidak mengenal istilah majikan dan buruh, pranata bagi hasil bersifat    tolong menolong dan kekeluargaan, sehingga segala sesuatunya dapat    diselesaikan secara musyawarah, serta bagi hasil sudah membudaya di Indonesia (Mustara, 1993). Namun demikian tradisi Bagi Hasil ini    akibat pengaruh perkembangan ekonomi dan keuangan, nampaknya telah    bergeser dari sistem yang mengandung prinsip pemerataan ke arah    kepentingan ekonomi. Sebelum diundangkannya ketentuan tentang Bagi Hasil, di daerah-daerah    padat seperti pulau Jawa, Madura, dan Bali sudah mengalami kondisi di    mana jumlah lahan yang tersedia tidak seimbang dengan banyaknya jumlah    penggarap. Dalam kondisi seperti ini penggarap terpaksa menerima    syarat-syarat yang diajukan oleh pemilik tanah, walaupun syarat    tersebut sangatlah berat dan tidak adil. Misalnya penggarap dengan sangat terpaksa menerima upah yang rendah.

Perkembangan perekonomian yang kuat di perkotaan umumnya cenderung    bertolak belakang dengan tingkat pendapatan masyarakat di pedesaan.    Hal ini berpengaruh pula terhadap menurunnya tingkat kepemilikan tanah    di Kabupaten Lahat. Kabupaten Lahat dalam Angka menunjukkan bahwa pada    tahun 1990 jumlah petani di Kabupaten Lahat yang memiliki lahan    sendiri sebanyak 107. 711 KK, kemudian pada tahun 2000 menjadi 88.429    KK. Dampak negatif dari perkembangan ini adalah terjadinya proses akumulasi dan pemusatan pemilikan tanah ke tangan segolongan orang    yang berdomisili di perkotaan. Penguasaan ini sangat erat hubungannya    dengan penguasaan yang biasa dikenal dengan pemilikan tanah    absentee/guntai. Proses akumulasi dan pemusatan penguasaan tanah ini    di samping dapat semakin memperbesar frekuensi pelanggaran pemilikan    tanah absentee juga semakin memperlebar kesenjangan sosial antara    pemilik dan penggarap tanah. Kondisi ini diperburuk dengan semakin    mudahnya pemilik tanah untuk menambah tanah dengan cara absentee. Dalam perkembangannya penggarap yang tidak mempunyai lahan hanya bisa    berangan-angan sebab tanah yang dikuasai oleh pemilik (absentee) nilai    jualnya akan semakin sulit dijangkau oleh penggarap. Masalah yang    memerlukan perhatian khusus adalah sampai saat ini larangan pemilikan    tanah absentee tetap berlaku seperti diatur pasal 10 UUPA, akan tetapi    praktek pemilikan tanah absentee justru semakin meningkat.

Dalam perkembangannya penggarap yang tidak mempunyai lahan hanya bisa    berangan-angan sebab tanah yang dikuasai oleh pemilik (absentee) nilai    jualnya akan semakin sulit dijangkau oleh penggarap. Masalah yang    memerlukan perhatian khusus adalah sampai saat ini larangan pemilikan    tanah absentee tetap berlaku seperti diatur pasal 10 UUPA, akan tetapi    praktek pemilikan tanah absentee justru semakin meningkat.   Berbagai    cara dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan penduduk setempat atau menggunakan aturan pengecualian pemilikan tanah absentee oleh pegawai negeri, sehingga pemilik modal secara mudah memiliki tanah dengan harga yang murah.     Istilah bagi hasil, di dalam sistem hukum Adat kita walaupun disebut dengan nama dan sebutan yang berbeda tetapi dikenal dan dilaksanakan hampir di seluruh pelosok tanah air. Istilah tersebut di Sumatera Selatan khususnya di Kabupaten Lahat disebut Paroan.

Bagi hasil, merupakan suatu lembaga hukum Adat yang pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis yang bertujuan menolong sesama warga dan tidak selalu dapat dianggap sebagai usaha bisnis seperti di negara-negara lain (Parlindungan, 1991). Unsur positif bagi hasil adalah perimbangannya didasarkan atas dasar keadilan dan terjaminnya kedudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban, baik dari penggarap maupun pemilik (Wantjik Saleh, 1982). Dengan demikian sebagai lembaga hukum Adat yang sudah membudaya di lingkungan masyarakat, bagi hasil ini sulit untuk dihapuskan. Oleh karena itu agar memberikan perlindungan kepada para petani, khususnya petani gurem dan tunakisma serta untuk menghindari adanya kesan pemerasan diri manusia atas manusia, maka perlu dikendalikan melalui suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960. Peraturan perundang-undangan inilah yang dapat dijadikan sarana untuk mengatur hak-hak dan kewajiban pemilik maupun penggarapnya. Pengendalian lembaga bagi hasil ini akan membantu kesulitan-kesulitan yang mungkin akan terjadi terutama bila terjadi pelanggaran hak kepada penggarapnya.

Menurut Soerojo Wignjodipoero (1985) dasar dari transaksi bagi hasil ini adalah pemilik tanah ingin memungut hasil dari tanahnya atau ingin memanfaatkan tanahnya, tapi ia tidak ingin atau tidak dapat mengerjakannya sendiri. Senada dengan kedua pendapat di atas, Iman Sudiyat (1981) menyimpulkan bahwa ada 3 (tiga) faktor utama yang perlu diperhatikan dalam transaksi bagi hasil yaitu:

1. Dasarnya: pada saya ada tanah, tetapi tidak ada kesempatan/semangat untuk mengusahakannya sendiri sampai berhasil (panen), oleh karena itu saya membuat transaksi dengan orang lain, supaya mengerjakannya, menanaminya dan memberikan sebagian dari hasil panennya kepada saya. 2. Fungsinya: memproduktifkan tanah tanpa mengusahakan sendiri dan memproduktifkan tenaga kerja. 3. Objeknya: tenaga kerja dan tanaman (bukan tanah).

Dalam praktek Bagi Hasil tanah absentee dengan memanfaatkan berbagai celah hukum memberikan dampak yang beragam, akan tetapi secara kualitatif praktek tersebut secara umum tidak dapat meningkatkan kesejahteraan petani penggarap.

END