Mencari Air di Dalam Air Mencari kebahagiaan, itulah jawaban banyak sekali manusia ketika ditanya apa yang dicari melalui kegiatan bangun pagi, kerja keras, tidur amat terbatas sampai dengan membayarnya dengan hidup yang sakit-sakitan. Ada yang bertemu penuh rasa syukur sekali waktu saja. Namun sebagian lebih manusia tidak pernah ketemu. Terutama karena kebahagiaan berperilaku semakin dicari semakin lari. Siapa yang mencari kebahagiaan dalam barang, ia senantiasa dibawa lari keinginan yang terus menaik. Siapa yang mencarinya dalam uang, sering kali kebahagiaan dibawa lari oleh jumlah yang tidak pernah cukup. Siapa yang mencarinya dalam jabatan, semakin tinggi jabatannya semakin tinggi juga rasa takut kehilangan. Siapa yang mencarinya dalam keterkenalan, cepat atau lambat keterkenalan membawa onak duri. Ada duri ego, tinggi hati, harga diri sampai dengan hobi untuk seringkali menyakiti. Dalam peta kebahagiaan seperti ini, mungkin bisa dimaklumi kalau seorang mistikus yang bernama Kabir pernah tertawa sambil menyindir, “Aku tertawa, ikan mati kehausan di dalam air.” Cubitan Kabir ini menyentak, karena implisit berarti manusia “mencari air di dalam air”. Sudah hidup di dalam danau (atau mungkin samudera) yang penuh air berlimpah, namun masih mencari-cari air untuk diminum karena kehausan. Kehidupan itu sendiri sebuah kebahagiaan. Bukankah lahir menjadi manusia adalah sebuah berkah yang mengagumkan, sebuah pintu pertumbuhan yang juga mengagumkan? Dalam bahasa orang sufi, dalam diri manusia Tuhan mengalami pengalaman-pengalaman yang membahagiakan. Dan tertawa Kabir terasa semakin menyengat, terutama di waktu-waktu ketika kita manusia berkejaran, berkejaran, dan berkejaran. Berkejaran dengan target. Berkejaran dengan waktu. Berkejaran dengan teman maupun lawan. Berkejaran dengan keinginan. Berkejaran dengan cita-cita. Berkejaran dengan umur. Tidak ada waktu jeda. Sedikit sekali waktu istirahat dalam hidup. Bahkan ketika tidur pun masih berkejaran di dalam mimpi. Dan seorang penulis kemudian menyentak melalui judul bukunya yang berbunyi: “When is enough enough?” Kapan cukup itu terasa cukup?
Ini pun menimbulkan perasaan berkejaran kembali Ini pun menimbulkan perasaan berkejaran kembali. Begitu pertanyaan dimulai dengan kapan, ada urgensi, ada perasaan mau berlari, ada keinginan untuk cepat-cepat sampai. Dan kembali kita meluncur ke dalam keadaan mencari air di dalam air. Dalam kegelapan seperti ini, tentu banyak yang berterima kasih ke seorang guru yang pernah memperkenalkan “meditasi langit biru”. Idenya teramat sederhana, mudah dicerna, namun teramat mendalam. Apa pun yang sifatnya datang dan pergi ketika meditasi (entah keinginan, rasa bersalah, dll.) hanyalah awan-awan gelap yang mengenal hukum datang dan pergi. Dan semua awan yang datang dan pergi ini berputar dalam siklus. Setelah jadi awan, jadi hujan, kemudian jadi air yang mengalir di sungai, sampai di laut menguap lagi jadi awan. Ada putaran ketidakabadian di sana. Berbeda dengan awan, langit biru, ya, langit biru. Ada tidak ada awan, langit biru tetap di sana. Ada sinar matahari, tidak ada sinar matahari, langit biru tetap langit biru. Entah siang entah malam, kelihatan maupun tidak kelihatan, langit biru tetap permanen di sana. Ada keabadian di sana. Kecelakaan dan kejar-kejaran dalam hidup yang tidak mengenal henti, hanya dialami oleh manusia-manusia jenis awan. Berputar, berputar, dan berputar bersama keinginan, kemauan, dan cita-cita. Dan meditasi langit biru mengajarkan, belajarlah hanya melihat putaran-putaran awan. Singkatnya menjadi compassionate witness. Seorang saksi yang penuh kasih sayang. Ia mirip dengan seorang kakek yang menunggui cucunya berlari-lari di taman. Senakal apa pun sang cucu, kakek hanya tersenyum penuh pengertian.
Demikian juga dalam keseharian ketika hidup ini dipermainkan keinginan, kekhawatiran, dan ketakutan. Duduklah di kursi kakek yang penuh pengertian, lihat sang cucu (baca: keinginan dan ketakutan, suka dan duka, kematian dan kehidupan) berlari ke sana kemari. Tidak akan ke mana-mana larinya. Seperti awan gelap, hanya berputar-putar berganti bentuk. Dan masih menurut penemu meditasi langit biru, siapa saja yang rajin berlatih menjadi compassionate witness bagi setiap pengalaman keseharian, di sebuah waktu akan sampai dalam kesadaran bahwa dirinya bukan awan, namun langit biru. Persis seperti langit biru di atas sana: tenang, damai, indah, abadi. Tidak ada yang benar, tidak ada yang salah, tidak ada baik, tidak ada buruk, tidak ada sukses, tidak ada gagal, tidak ada hidup, tidak ada mati. Semua dualitas berhenti bertentangan dan bertabrakan. Ia lebur ke dalam hening. Ini yang disebut oleh Dainin Katagiri dengan returning to silence. Ke mana saja mata memandang yang tersisa hanya satu: keindahan! Seorang sahabat menyebut keadaan ini dengan cosmic orgasm. Semacam orgasme kosmis. Ia mirip dengan film Life is Beautiful yang legendaris itu. Dalam suka dalam duka, dalam keadaan biasa maupun di penjara, yang tersisa hanya satu: bergembira. Bahkan ditembak mati pun hanyalah sebentuk awan yang berganti wajah. Apa pun wajah awannya kemudian, langit biru tetap langit biru. Dan Anda pun tidak perlu mencari air di dalam air.