Profil industri pakan ternak nasional Disampaikan pada Acara FGD Pemetaan Keterkaitan Industri Pakan Ternak Di Jawa Timur Terhadap Komoditi Agro Surabaya, Senin, 8 Juli 2013
pendahuluan Permasalahan utama pakan nasional terletak pada sulitnya penyediaan bahan baku secara kontinyu dan berkualitas, sehingga menyebabkan harga bahan pakan terus meningkat dan manipulasi bahan sering terjadi. Bahan baku pakan konsentrat hampir seluruhnya berasal dari produk pertanian seperti dedak jagung, sorgum, dan limbah agro-industri yang dapat dihasilkan di dalam negeri, seperti onggok (limbah tapioka), bungkil inti sawit (limbah pabrik pengolahan minyak sawit), tetes dan limbah pemerasan tebu, dedak (hasil penggilingan padi), ampas tahu, ampas kecap, pod coklat, dsb. Dalam statistik pertanian, limbah pertanian dapat diestimasi keberadaannya, namun di lapangan seringkali ketersediaan bahan baku ini sulit diperoleh.
Target pencapaian populasi dan produksi serta kualitas daging sangat tergantung kepada ketersediaan (kuantitas dan kualitas) pakan di wilayah yang bersangkutan, karena pakan memegang peranan hingga 80% dari biaya produksi, terutama untuk usaha penggemukan sapi.
Keterbatasan ketersediaan pakan juga menjadi penyebab sulitnya pengembangan skala usaha dan kepemilikan sapi. Pertumbuhan industri berbasis biomasa (bio-based Industry) menyebabkan munculnya kompetisi dalam penggunaan biomasa limbah agro-indutri, seperti bungkil biji sawit, bungkil kopera, onggok, dedak dll. Negara-negara pengolah biomasa seperti Jepang, Korea dan Taiwan merupakan negara potensial yang mengimpor biomasa limbah agro-industri untuk berbagai kepentingan industri energy dan farmasi dengan menawarkan harga beli yang lebih tinggi dari pada harga dalam negeri. Sementara, biomasa tersebut di Indonesia merupakan bahan baku pakan utama.
Keterbatasan pakan merupakan kejadian ironi di Indonesia, mengingat negeri dengan lahan yang luas dan matahari bersinar setiap hari, fotosintesis terus berjalan untuk mengakumulasi bahan kering/biomassa, namun isu kekurangan pakan menjadi sangat sentral. Permasalahan pokok terkait dengan hal ini adalah lemahnya sistem mekanisasi pertanian di Indonesia, sehingga pengolahan lahan, mobilisasi biomass, pengawetan dan distribusi biomass sumber pakan dilakukan secara manual sepanjang tahun dan dalam skala yang kecil-kecil.
Industri pakan ternak di Indonesia masih atraktif karena konsumsi telor per- kapita masih rendah. Lebih dari 90 % konsumsi pakan ternak nasional dipergunakan oleh Industri Unggas (Poultry Industry) Fluktuasi kurs US dollar terhadap rupiah berdampak signifikan terhadap kinerja Industri Pakan Ternak.
Animal feed consumption
Sumber & Jenis bahan baku pakan No BAHAN BAKU PAKAN Lokal (%) Impor (%) 1 Jagung Kuning 90-95 5-10 2 Tepung Ikan 5-20 85-90 3 MBM 100 4 Bungkil Kedelai 5 Rape Seed Meal 6 CGM 7 Calcium Phosphat 8 Feed Additive 9 Vitamin 10 Dedak Padi 11 Tepung Batu 12 Biji Batu 13 Bungkil Kopra 14 Bungkil Sawit 15 CPO
Bisnis unggas yang meliputi ayam petelur, ayam pedaging dan pembibitan ayam merupakan konsumen utama produk industri pakan ternak, yang mencapai 97 % dari total konsumsi pada tahun 2010 (figure 1). Hal itu didukung oleh fakta bahwa tingkat konsumsi daging ayam dan telor masyarakat dibandingkan dengan komoditas ternak yang lain (figure 3). Oleh karenanya tingkat konsumsi pakan ternak sangat terkait dengan pertumbuhan permintaan daging dan telor ayam.
Demand and growth potential Dengan konsumsi daging ayam per kapita per tahun 6 KG (terendah di ASTENG), kedepan industri unggas nasional memiliki prospek yang cerah. Sama halnya dengan konsumsi telor per kapita per tahun 80 butir, masih relatif rendah dibanding dengan Malaysia (311) dan Thailand (93).
Additionally, the demand growth for poultry has been positively correlated to population growth. As the most populous country in Southeast Asia, it is understandable that demand should be abundant. With an average population growth of 1% per year, Indonesia's population is about 242.4 million in 2012. Assuming the level of per capita consumption is stable, the consumption of chicken will increase by 14.4 million kg (equivalent to 9.6 million chickens), still much larger compared to Malaysia and Thailand which will increase by 9.8 million kg (6.5 million chicken) and 9 million kg (6 million chickens) in 2012, respectively under the same assumptions.
Other factors for the potential growth include the increase in preference of chicken over other animal proteins due to factors such as rising prices of beef, and the growing health consciousness that believes white meat is healthier than red meat. The levels of fondness for chicken are illustrated in figure 3. We expect the level of 64% to be stable this year despite the escalating beef prices, partially as the chicken prices may also get adjusted.
Animal feed production
Majority of raw materials are still imported Approximately 85% of the animal feed cost is attributed to raw material cost, and corn alone contributes 50-55% of it. It is then followed by soybean meal, meat bone meal (MBM) and poultry meat meal (PMM) as shown in figure 5.
Indonesia currently still imports more than 30-35% of corn required by animal feed industry. For soybean, the import level is 100%. In 2005, the country only imported about 0.4 million tons of corn and the number grew to 1.7 million tons in 2011. Similarly for soybean, it imported 1.9 million tons in 2005 and 2.5 million tons in 2011. Apparently, the domestic corn and soybean producers have never been able to provide continuous supply of the materials to the animal feed companies. Imports are expected to continue rising going forward in line with the increasing consumption of chicken.
Raw material prices have increased recently This year, the prices of raw materials for animal feed, including corn, soybean meal, and MBM have escalated. In particular, the escalation has been triggered by the drought that hit the United States (US), the major supplier of corn and soybean -- key commodities. Other causes shall include the mad cow case in the US in the beginning of this year. MBM, a major source of protein in animal feed, is produced from beef cattle, so a case of mad cow caused the animal feed industry to avoid the use of MBM as a raw material and instead they replaced it with corn or soybean.
Dominated by a few big players This industry is dominated by a few big players who control more than 60% market share. In general, they vertically integrate their business activities to optimize the value addition. And 40% market share of the remaining is contested by about 80 registered companies and a lot of traditional breeders. Therefore, it would become difficult for new players to stand at par with the market leaders. The industry is also characterized by homogenous products, making it difficult to differentiate prices, except for the more value-added products such as nugget and sausage in the downstream.
Major players in brief
Pada tahun 2011, segmen pakan unggas nasional dikuasai oleh CIPN dengan pangsa pasar 30%, diikuti oleh JAPFA (25%) dan SIPD (10%). Sedangkan untuk segmen bisnis DOC, pangsa pasarnya dikuasai oleh CPIN kemudian JAPFA & MAIN.
resume Permasalahan pokok terkait dengan kelangkaan bahan baku pakan domestik adalah lemahnya sistem mekanisasi pertanian di Indonesia, sehingga pengolahan lahan, mobilisasi biomass, pengawetan dan distribusi biomass sumber pakan dilakukan secara manual sepanjang tahun dan dalam skala yang kecil-kecil. Kondisi itu berdampak pada sulitnya penyediaan bahan baku secara kontinyu dan berkualitas, sehingga menyebabkan harga bahan pakan terus meningkat dan manipulasi bahan sering terjadi.
Pertumbuhan industri berbasis biomasa (bio-based Industry) menyebabkan munculnya kompetisi dalam penggunaan biomasa limbah agro-indutri, seperti bungkil biji sawit, bungkil kopera, onggok, dedak dsb. Industri pakan ternak di Indonesia masih atraktif karena konsumsi telor per- kapita masih rendah. Lebih dari 90 % konsumsi pakan ternak nasional dipergunakan oleh Industri Unggas (Poultry Industry)