TEORI PERILAKU KONSUMEN DALAM ISLAM Wiwik Hasbiyah AN, MA
Ilmu Ekonomi dan Model Perilaku Manusia … Karena aktivitas ekonomi adalah aktivitas manusia, maka analisis dalam Ilmu Ekonomi harus mendasarkan diri pada model perilaku manusia. Ilmu sosial pada umumnya (psikologi, sosiologi, antropologi, biologi, dll) percaya bahwa perilaku manusia seringkali adalah rumit, tidak sempurna, terbatas, self-contradictory, dan unpredictable. Sebaliknya, ilmu ekonomi menggunakan model perilaku manusia yang disebut homo economicus (economic man), yang secara luar biasa menyederhanakan perilaku manusia sebagai individu ekonomi yang memiliki sifat-sifat berikut: Perfect self-interest Perfect rationality Perfect information
Homo Economicus … Homo Economicus dan Teori Ekonomi Manusia sebagai individu ekonomi sempurna (strong version of homo economicus). Manusia sebagai individu yang tidak terlalu sempurna (weak version of homo economicus). Kedua versi sama-sama mendukung asumsi bahwa manusia adalah "rational maximizers" yang selalu mementingkan diri sendiri (self-interested), yang hanya bersedia melakukan sesuatu hal untuk keuntungan material mereka. Homo Economicus Tidak Realistis Manusia adalah tidak sempurna. Manusia dikendalikan juga oleh emosi, tidak semata logika, dan emosi seringkali adalah tidak rasional. Manusia tidak sepenuhnya self-interested dan rasional. Manusia menunjukkan pula perilaku altruistic seperti charity, volunteerism, parenting dan bahkan mengorbankan diri untuk kepentingan negara. Manusia juga menunjukkan perilaku self-destructive seperti penyalahgunaan obat, ketergantungan yang berbahaya, negative risk-taking, bunuh diri, dll. Manusia juga tidak memiliki semua informasi secara sempurna; manusia hanya bisa ahli di beberapa bidang pada kurun waktu tertentu.
Homo Economicus dan Islam … Manusia hanya mementingkan diri sendiri Secara fitrah, manusia memiliki sifat-sifat sosial yang baik seperti kasih sayang, cinta, belas kasih, dll. Manusia berperilaku rasional Islam mendorong manusia mempergunakan akal dan fikiran-nya, namun kemampuannya tidak tak terbatas. Untuk melengkapi, manusia juga diberi emosi, perasaan dan agama. Manusia secara inherent akan memaksimalkan kesejahteraan material. Islam mengakui dorongan memiliki materi ini, namun dibatasi oleh nilai-nilai seperti tidak boleh berlebihan, boros, bermewahan, dll. Manusia memiliki pengetahuan untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya. Menurut Islam, manusia tidak mengetahui apa yang terbaik bagi diri-nya karena keterbatasan pengetahuan. Hanya Allah SWT yang memiliki pengetahuan sempurna. Utility individu tidak tergantung pada utility pihak lain. Islam memandang bahwa utility individu adalah tergantung pada utility individu lainnya (interdependent utility).
Homo Economicus dan Teori Ekonomi … Mengapa Ilmu Ekonomi menggunakan Homo Economicus? Homo economicus membuat analisis ekonomi menjadi jauh lebih sederhana. Menjelaskan perilaku manusia dalam dunia nyata adalah sangat sulit. Homo Economicus menyederhanakan hal ini dengan cara menyederhanakan manusia itu sendiri. Penyederhanaan ini memungkinkan Ilmu Ekonomi menjadi disiplin ilmu yang lebih matematis. Jika manusia adalah rational maximizers, maka menjadi mungkin untuk menjelaskan preferensi mereka secara numerik. Misal, Rp 2 juta lebih disukai daripada Rp 1 juta. Matematika memberikan kepastian dan otoritas. Dengan menetapkan asumsi yang tepat, ekonomi dapat memperoleh hasil-hasil yang sesuai dengan dugaan awal. Penggunaan model homo economicus ini memang membuat analisa ekonomi menjadi lebih sederhana dan mengizinkan ekonom mendapatkan hasil yang membenarkan dugaan awal mereka, namun hal ini akan membawa pada kesimpulan yang tidak akurat secara empiris.
Konsep Islam tentang Konsumsi Dalam ekonomi konvensional, konsumsi ditentukan oleh keinginan (want), dan keinginan ditentukan oleh Utility. Utility adalah nilai barang dan jasa yang memuaskan keinginan manusia. Kepuasan ditentukan secara subyektif oleh masing-masing individu. Dalam ekonomi Islam, konsumsi ditentukan oleh kebutuhan (need), dan kebutuhan ditentukan oleh Maslahah. Maslahah adalah nilai barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dasar dan tujuan hidup umat manusia. Menurut Al-Shatibi, terdapat lima elemen dasar kehidupan yaitu Keimanan (al-dien), Jiwa (al-nafs), Akal/ Intelektualitas (al-’aql), Keturunan (al-nasl), dan Kekayaan (al-mal). Semua barang dan jasa yang memiliki kekuatan atau kualitas untuk mempromosikan lima elemen dasar kehidupan disebut memiliki maslahah bagi umat manusia.
Motif & Tujuan Konsumsi: Perspektif Konvensional & Islam … Perspektif Islam Perspektif Konvensional
Maslahah Vs Utility … Maslahah bersifat subyektif dalam arti masing-masing individu yang menentukan apakah sebuah barang/jasa memiliki maslahah untuk-nya. Namun kriteria maslahah ditentukan secara obyektif oleh syariah. Sedangkan utility tidak memiliki kriteria yang jelas, sepenuhnya subyektif. Maslahah individu akan konsisten dengan maslahah masyarakat, berbeda dengan utility individu yang seringkali konflik dengan utility masyarakat. Konsep maslahah mendasari seluruh aktivitas ekonomi, tidak hanya konsumsi namun juga produksi dan perdagangan. Utility hanya tujuan konsumsi, sedangkan tujuan produksi adalah laba. Membandingkan utility antar individu adalah tidak mungkin karena sifat-nya subyektif. Namun perbandingan maslahah bisa dilakukan, setidaknya perbandingan dalam tingkatan maslahah yang berbeda.
Rasionalitas dalam Islam (1/2) Secara umum, rasionalitas dalam ekonomi konvensional mengasumsikan bahwa manusia bersifat self-interest, konsisten dalam membuat keputusan, dengan tujuan akhir adalah maksimisasi konsumsi barang dan jasa. Rasionalitas egoistik ini menjadi jantung ekonomi konvensional, ia adalah asumsi fundamental dari mayoritas model ekonomi modern. Produsen akan memaksimumkan laba baik dengan memaksimalkan output atau meminimumkan biaya, sedangkan konsumen akan memilih keranjang konsumsi yang memaksimumkan utilitas-nya. Rasionalitas dalam Islam harus sejalan dengan aturan syariah. Konsumen dalam Islam (‘Ibadur-Rahman, QS 25: 63) perilaku-nya akan konsisten dengan nilai-nilai Islam. Keranjang konsumsi dalam Islam mengeluarkan komiditi yang berbahaya dan tidak bermanfaat seperti minuman keras dan judi (QS 5: 90) Konsumen dalam Islam tidak bersifat self-interest dan materialistis, karena ia juga memperhitungkan hubungan sosial yang berfungsi secara kontinu dalam masyarakat (QS 2: 215)
Rasionalitas dalam Islam (2/2) Konsumen dikatakan rasional dalam Islam hanya jika: Ia melakukan konsumsi yang bersifat pertengahan, tidak kikir namun juga tidak boros (QS 17: 29) Ia tidak hanya mengkonsumsi barang kebutuhan dunia namun juga kebutuhan untuk akhirat (QS 17: 26). Keranjang konsumsi-nya akan lebih kecil dari konsumen sekuler karena hanya berisi barang halal-thayyib dan mengeluarkan barang haram (QS 2: 173, QS 5: 93, QS 25: 67). Ia tidak menimbun harta-nya, namun membelanjakan-nya atau menggunakannya untuk investasi produktif (QS 67: 7) Dengan demikian, pengeluaran konsumen Islam akan terdiri dari: Pengeluaran untuk kebutuhan dunia, baik konsumsi sekarang maupun konsumsi masa depan. Pengeluaran untuk kebutuhan akhirat, baik berupa konsumsi untuk diri sendiri maupun berupa investasi sosial.
Preferensi Konsumen: Perspektif Islam … (1/2)
Preferensi Konsumen: Perspektif Islam … (2/2) Teori perilaku konsumen dalam Islam menganalisis empat tingkatan pilihan konsumsi. Tingkatan pilihan ke-1, seberapa besar konsumsi untuk kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Tingkatan pilihan ke-2, untuk kebutuhan dunia, berapa yang dikonsumsi sekarang dan berapa untuk masa depan. Tingkatan pilihan ke-3, untuk kebutuhan sekarang, ditentukan prioritas-nya. Prioritas tertinggi adalah pemenuhan 5 kebutuhan pokok (dharuriyyat), kemudian yang melengkapi-nya (hajiyyat) dan yang memperbaiki-nya (tahsiniyat). Tingkatan pilihan ke-4, pilihan di masing-masing kelompok. Ekonomi konvensional hanya membahas pilihan tingkat ke-2 dan ke-4 saja, dan mengabaikan pilihan tingkat ke-1 dan ke-3. Alat analisis konvensional, hanya dapat diterapkan untuk tingkatan pilihan ke-4 saja.
Bergeser dari Homo Economicus ke Homo Islamicus … (1/2) Q1 Total Utility Q2 Marginal Utility Utility Homo Economicus; pilihan konsumsi pada saat MU=0 (titik Q2) Homo Islamicus; pilihan konsumsi pada saat MU maksimum (titik Q1) Islam melarang konsumsi berlebihan Setelah Q1, MU tidak lagi meningkat, hukumnya mubah/makruh. Setelah Q2, MU negatif, hukumnya haram. Pilihan optimal adalah pada MU maksimum = Q1
Bergeser dari Homo Economicus ke Homo Islamicus … (2/2) Pilihan konsumsi konvensional: Preferensi direpresentasikan oleh Kurva Indifferens, dimana barang X1 dan X2 adalah perfect substitutes. Tidak terdapat non-satiation (more is always preferred to less). Non-satiation berimplikasi bahwa konsumsi yang paling diinginkan harus berada di budget line. Konsumen memilih titik yang memaksimumkan utility yaitu titik dimana kurva indifferens tertinggi jatuh di budget line. Di dalam Islam, lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik. Nilai Islam tentang Halal-Haram membuat kita harus memperluas spektrum utility.
Etika Konsumsi dalam Islam Setiap individu harus melakukan konsumsi minimal untuk melaksanakan kewajibannya terhadap keluarga, masyarakat, dan Tuhan. “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS Al A’raaf: 31) Barang-barang tertentu dilarang (haram) untuk dikonsumsi. Konsumsi tidak boleh berlebihan, boros, mubazir dan tidak bermewah-mewahan. “Tidak akan kekurangan orang yang berlaku hemat.” (HR Ibnu Majah). “Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham, celakalah budak sutera dan perut.” (HR Bukhari). “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.” (QS Al Furqan: 67). Konsumsi dan kepuasan yang mengiringinya tidak boleh menjadi tujuan utama dari individu. Ia harus ditujukan untuk mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi.
Kerangka Institusional … Kerangka konvensional memandang pasar sebagai institusi terpenting dalam mengejar tujuan konsumsi. Institusi konvensional kini juga memiliki institusi khusus untuk pemenuhan kebutuhan dasar Dalam kerangka Islam, dibutuhkan tambahan institusi lagi untuk memandu dan memonitor aspek-aspek perilaku konsumen seperti: larangan boros dan bermegah-megahan, Konsistensi tiga tingkatan prioritas (dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyat) Larangan konsumsi barang-barang haram, Larangan menimbun harta, dll