BUDAYA TIDUR MASYARAKAT MADURA Kelompok 1 Abdul Fahad Adika Puspa Ayu Pramudita Fitria Mualifah Jessica Agatha Thata Rihadatul Aisy Wanayu Kristin Nur Illahi Yulinnar Trisnawati
Sejarah masyarakat madura Secara politis, Madura selama berabad-abad telah menjadi subkoordinat daerah kekuasaan yang berpusat di Jawa. Di antara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan- kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sesudah itu, pada paruh pertama abad ke-18 Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur. singkat cerita, sejarah mencatat Aria Wiraraja adalah Adipati Pertama di Madura, diangkat oleh Raja Kertanegara dari Singosari, tanggal 31 Oktober 1269. Pemerintahannya berpusat di Batuputih Sumenep, yang merupakan keraton pertama di Madura. Sampai saat ini, di Batu putih yang kini menjadi sebuah Kecamatan kurang lebih 18 Km dari Kota Sumenep, masih terdapat peninggalan-peninggalan keraton Batu putih, antara lain berupa tarian rakyat, tari Gambuh dan tari Satria. Seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean.
Tata Letak dan Keadaan Wilayah Suku Madura Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa. Terletak pada garis lintang Selatan : 40 55’ – 7 0 24’ dan pada garis Bujur Timur : 113°32’54” – 1160 16’28”. Keadaan alam daerah ini terdiri dari daratan dengan ketinggian antara 0 - 450 m dari permukaan air laut. Seluas 1147,24 km2 (57,4%) dan bagian kepulauan dengan luas 851,3 km2 (42,6%) yang meliputi 74 pulau baik yang berpenghuni maupun yang tidak berpenghuni. Iklim di daerah Madura adalah tropis dengan suhu rata-rata 26,90C. musim kemarau kering rata-rata 2-4 bulan atau pada musim kemarau panjang 4-5 bulan.
Pola Tidur Masyarakat Madura Penduduk desa legung sangat terkenal dengan kebiasaan tidur di atas pasir.Hampir semua penduduk Desa Legung tidur di atas kasur yang terbuat dari pasir.DanHampir semua kamar tidur di desa ini memiliki kasur pasir. Walaupun sudah ada kasur dari kapuk atau bahan lainnya, mereka masih tetap memelihara tradisi tidur di atas pasir. tradisi itu sudah berlangsung selama ratusan tahun secara turun-temurun.Bahkan anak –anak desa Legung lahir serta bertumbuh kembang di atas pasir. Pasir yang digunakan sebagai kasur bertekstur sangat halus dan lembut. Saat digunakan untuk rebahan memberikan efek sejuk dan nyaman. Butiran-butiran pasir di desa ini juga tak lengket di kulit saat kita beranjak dari kasur. Untuk menjaga kebersihan, kasur-kasur pasir ini selalu dijemur secara rutin. Selain itu pasir juga akan diganti selang beberapa waktu digunakan. Menurut mereka, ketika tidur di atas pasir di malam hari, suasananya jauh lebih hangat. Sedangkan ketika cuaca terik di siang hari, pasir yang digunakan untuk tidur menghantarkan suasana sejuk. Jadi,bisa dikatakan kalau pasir adalah semacam pengatur suhu alami yang bisa digunakan untuk menyesuaikan diri dengan cuaca.
Dasar Kepercayaan Budaya Tidur di Pasir Segala aktivitas kehidupan mereka berada di atas pasir, mulai dari urusan rumah tangga, sosial, bahkan ekonomi. Penduduk asli sana menceritakan tradisi tidur di pasir sudah turun temurun dan di yakini bisa menghilangkan serta melindungi mereka dari ilmu hitam atau santet serta berbagai penyakit. Setiap anak yang lahir harus diperkenalkan dengan pasir, agar butir-butir pasir yang keras membuat anak-anak menahan sakit sehingga mereka pasti menangis. Dahulu nenek moyang bilang biarkan anak-anak menangis agar otot-ototnya cepat keluar, sehingga memiliki tenaga yang kuat seiring dengan tumbuh kembangnya.
Hubungan Budaya Tidur di Pasir dengan Kesehatan Mereka percaya bahwa dengan mereka tidur di pasir dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan juga menyegarkan tubuh atau menghilangkan rasa pegal setelah bekerja. Contoh hubungannya budaya tidur di pasir dengan kesehatan yaitu seperti dalam proses kelahiran bagi kaum wanita sekitar tahun 70 -80an memang pernah terjadi perdebatan dengan pihak petugas kesehatan. Dan ditegaskan bahwa, melahirkan diatas pasir sangat membahayakan bagi si bayi maupun orang tuanya, karena dalam kondisi semacam itu unsur-unsur kotoran dari pasir dapat menyebarkan penyakit. Tetapi perdebatan itu hilang begitu saja, dan masyarakat setempat tetap lebih memilih melakukan proses kelahiran di pasir hingga saat ini. Dan anak mereka berkembangan sebagaimana mestinya.
TERIMAKASIH