Anakku, Guruku Anak-anak mengajarkan kita sesuatu setiap hari. Sebagai orang tua, aku sudah belajar menghadapi ini. Namun, kadang-kadang apa yang diajarkan anakku mengejutkanku. Saat Marissa berusia enam bulan, tampaknya ia selalu memandang ke atas. Saat aku memandang ke atas bersamanya, aku belajar mengenal keajaiban dedaunan yang menari-nari di pohon dan ukuran ekor pesawat yang luar biasa besar. Pada usia delapan bulan, ia selalu saja memandang ke bawah. Aku belajar bahwa setiap batu itu berbeda, retakan trotoar memiliki pola yang rumit, dan helai daun memiliki beraneka ragam warna hijau.
Lalu ia berusia 11 bulan dan mulai mengatakan “Wow Lalu ia berusia 11 bulan dan mulai mengatakan “Wow!” Ia mengucapkan kata bagus ini untuk setiap hal yang baru dan indah baginya, misalnya bergam mainan yang ia lihat di tempat praktek dokter anak atau kumpulan awan sebelum badai. Ia berbisik, “Oh, wow!” untuk hal-hal yang sangat mengesankan baginya, seperti angin semilir pada wajahnya atau sekumpulan angsa bernyanyi di langit. Lalu ada “wow” yang paling asyik, gerakan bibir tanpa suara, khusus untuk peristiwa yang benar-benar hebat. Ini termasuk matahari terbenam di danau setelah hari yang asyik di Minnesota dan kembang api di langit. Ia telah mengajarkanku berbagai cara untuk mengatakan, “Aku sayang kamu”. Ia mengatakannya dengan baik suatu pagi saat ia berusia 14 bulan. Kami sedang berpelukan. Ia membenamkan kepalanya di bahuku dan, dengan desahan nyaman, berkata “Asyik”. Di hari lain (saat ia berusia dua tahun) ia menunjuk seorang model cantik di sampul majalah dan berkata, “ini Ibu, ya?” Paling akhir anakku yang sekarang berusia tiga tahun berjalan masuk dapur saat aku sedang beres-beres setelah makan malam dan berkata, “Boleh nggak aku membantu?” Tak lama kemudian, ia menggandeng tanganku dan berkata, “Bu, kalau Ibu masih anak kecil, kita pasti jadi sahabat, ya.” Pada saat-saat seperti ini, yang dapat kukatakan hanyalah, “Oh.wow!”