SERI PRESENTASI JURNALISTIK OLAHRAGA 2015 Dr. Made Pramono, M.Hum.
SEJARAH JURNALISTIK INDONESIA
ZAMAN PENJAJAHAN
7 Agustus 1744 Terbit surat kabar pertama "Bataviase Nouvelles" atas kebaikan hati Gubernur Jenderal Van Imhoff. Diterbitkan oleh pedagang VOC Jan Erdmans Jordens dan isinya terutama berita-berita kapal, pengangkatan dan pemberhentian pejabat VOC, peraturan-peraturan pemerintah di Belanda dan VOC sendiri, ditambah berita- berita singkat dari berbagai tempat di mana ada pangkalan VOC (mulai dari Nusantara hingga Tanjung Harapan di Afrika Selatan). Namun 2 tahun kemudian dilarang terbit karena tidak disukai pemilik2 modal VOC. Ini kisah pemberedelan pers yang pertama.
1776 Setelah 30 tahun Batavia tanpa surat kabar, terbit mingguan Vendu Nieuws yang bertahan relatif lama, yaitu hingga Kompeni (VOC) dibubarkan pada tahun 1799. Surat kabar yang disebut "Surat Lelang" ini bisa bertahan lama karena isinya hanya advertensi dan sedikit berita. 1854 Terjadi kelonggaran kebijakan Belanda terhadap penerbitan surat kabar di Indonesia. Terbitlah di Surakarta "Mingguan Bromartani" tiap hari Kamis. Tenaga dan para pemikirnya orang Indonesia. Tetapi modalnya tetap asing, sebuah usaha kongsi Belanda Harteveldt & Co. Berbahasa Djawa dan Melajoe, "Bromartani" sudah cenderung menjadi pelopor ke arah perkembangan pers nasional Indonesia.
1924 De Indische Telegraaf di Bandung, muncul dalam edisi pagi dan edisi sore 1901 Surat kabar pertama yang diterbitkan kaum Cina Peranakan adalah Li Po, di Sukabumi yang berakhir tahun 1907 1910 Terbitnya mingguan “Medab Priyayi” yang berkembang menjadi harian yang dianggap sebagai permakarsa pers nasional. Artinya dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimipinya orang Indonesia.
ZAMAN ORDE LAMA
11 SEPTEMBER 1945 Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Ini juga hari pertama berdirinya Radio Republik Indonesia. Kemerdekaan Indonesia juga menguatkan kondisi pers nasional dimana banyak diterbitkannya koran yang mempropagandakan kemerdekaan seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta) dan The Voice of Free Indonesia 1950-an "Harian Pikiran Rakjat" yang dirintis Djamal Ali bersama AZ. Sutan Palindih dkk.
1960 Lahir Penetapan Presiden No 6/1960, Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) diberi kekuasaan untuk memberlakukan Surat Izin Terbit (SIT) secara nasional. Penggunaan perizinan sebagai alat kendali pemerintah untuk meredam kebebasan pers terbukti ampuh. 1962 Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih. 25 Maret 1965 Pikiran Rakjat berhenti terbit setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang menentukan semua media cetak harus "menggandul" atau berafiliasi dengan partai politik. Pihak Redaksi "Pikiran Rakjat" yang pada waktu itu diwakili Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita serta kawan- kawan ditawari Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie untuk bergabung dan berafiliasi dengan surat kabar. 1 Oktober 1965 Pepelrada Jaya melarang terbit semua harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, yang memang diterbitkan pihak militer. Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
ZAMAN ORDE BARU
24 Maret1966 Bertepatan dengan peringatan Bandung Lautan Api terbitlah "Harian Angkatan Bersenjata Edisi Jawa Barat/Pikiran Rakyat". Judul "Pikiran Rakyat"-nya tercantum kecil di sudut kiri atas kop "Angkata Bersenjata" Edisi Jawa Barat. Setahun kemudian baru diperkenankan memakai kop "Pikiran Rakyat" (besar) sedangkan kop "Angkatan Bersenjata”-nya bertukar tempat menjadi huruf kecil di kiri atas halaman pertama. Pada tahun 1967 koran ini resmi menjadi "Harian Umum Pikiran Rakyat" hingga sekarang. DPR membuat UU Pokok Pers No 11/1966 jo No 4/1967 jis No 21/1982 dan UU Penyiaran No 24/1997 yang memberi otoritas kepada Menteri Penerangan untuk mengatur dan mengekang kebebasan pers. Pers tidak lagi merdeka. Berita pers harus sesuai petunjuk pemerintah. Ratusan media pers yang kritik dan kontrolnya dinilai mengganggu stabilitas negara dibredel. Ironisnya semua ketentuan dan UU tersebut dibuat merujuk konstitusi.
ZAMAN REFORMASI
20-23 Oktober 1998 Pertemuan relawan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang di back up Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di Pacet-Cianjur, selain menghasilkan RUU Tap MPR tentang Kebebasan Informasi yang diakomodasi dalam Tap MPR No XVII/1998 tentang HAM—rumusan itu menjadi Pasal 28F UUD 1945—juga menghasilkan RUU Pers. 23 September 1999 Hari lahir Kemerdekaan Pers Indoesia. Pembahasan intensif 25 Agustus sampai 13 September 1999 oleh empat fraksi DPR Komisi I dengan pemerintah yang diwakili Deppen. Dalam pembahasan hampir tiga pekan itu, lahirlah UU yang memerdekakan pers. 13-15 April 2007 Pertemuan Lokakarya Pendidikan Jurnalisme,Yogyakarta menunjukkan iklim profesi jurnalistik di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan sejak berlangsung reformasi. Dalam pertemuan ini ditemukan bahwa Indonesia memerlukan Sekolah Jurnalistik untuk menghasilkan wartawan yang berkualitas dan siap pakai, di mana ilmu jurnalistik berdiri sendiri tidak lagi dibawah kajian ilmu komunikasi.