LATAR BELAKANG Keanekaragaman yang ada di kota Yogyakarta seperti budaya, perilaku, ras, agama berkumpul menjadi satu kesatuan warga Yogyakarta yang multikultural. Bertambahnya perantau dari luar Yogyakarta maupun dari luar Jawa pastinya menambah keanekaragaman budaya, bahasa, ras, dan agama dan memiliki tujuan masing-masing. Berkomunikasi dengan penduduk asli Yogyakarta yang sangat ramah, kebudayaan daerah yang begitu kental, dan mengedepankan budaya sopan santun. Saling memahami, proses adaptasi dan sikap toleransi dalam proses komunikasi antarbudaya.
Tidak menilai orang lain yang berbeda budaya dengan menggunakan penilaian budaya sendiri (etnosentrisme) bisa menimbulkan masalah atau konflik antar etnis. Seperti halnya konflik yang terjadi di Hugo’s Cafe Yogyakart tanggal 19 Maret 2013 dan berimbas pada terbunuhnya 4 warga NTT di Lapas Cebongan, Yogyakarta pada tanggal 23 Maret 2013. Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti pola komunikasi antarbudaya mahasiswa NTT dengan penduduk Tambak Bayan di Yogyakarta pasca peristiwa Cebongan. RUMUSAN MASALAH Bagaimana pola komunikasi antarbudaya mahasiswa NTT dengan penduduk Tambak Bayan, Yogyakarta pasca peristiwa Cebongan?
TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui perkembangan interaksi sosial antara mahasiswa NTT dengan penduduk Tambak Bayan mulai dari sebelum sampai dengan pasca peristiwa Cebongan 2. Mengidentifikasi upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh mahasiswa NTT untuk menjaga hubungan baik dengan penduduk Tambak Bayan.
KERANGKA TEORI 1. Teori Etnosentrisme Menurut Nanda dan Warms (Samovar, Porter dan Mc Daniel, 2010: 214) teori etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan budaya yang lain. Pandangan bahwa budaya lain dinilai berdasarkan standar budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika kita melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi sosial kita. 2. Face Negociation Theory Teori negosiasi wajah yang dipublikasikan oleh Stella Ting-Toomey ini merupakan teori yang menjelaskan bagaimana mengelola konflik budaya yang berbeda dalam berkomunikasi (Rohim,2009:202).
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan datanya adalah wawancara, observasi dan studi pustaka dalam mengamati pola komunikasi antarbudaya yang terjadi di Tambak Bayan pasca peristiwa Cebongan. Obejek utama dari penelitian ini adalah mahaiswa NTT dan penduduk Tambak Bayan. Peneliti berhasil mendapatkan 12 informan mahasiswa NTT dan 7 informan penduduk Tambak Bayan yang mau meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam penelitian.
HASIL PENELITIAN Profil Tambak Bayan Pada awalnya Tambak Bayan masih merupakan area perkebunan tebu, singkong dan juga area persawahan. sejak didirakannya kampus fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta tahun 1980an, area ini mulai ramai oleh mahasiswa. Penduduk Tambak Bayan juga mulai menerima mahasiswa pendatang dengan mulai membangun kos-kosan. Tambak Bayan pun mulai berkembang pesat sejak adanya kampus Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu kampus yang di Tambak Bayan juga mulai bertambah selain kampus UPN seperti, Universitas Atma Jaya, Unprok, STTNAS, dan jug a BATAN.
Penggunaan Bahasa dan Penyesuaian Diri Penduduk Tambak Bayan menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki tiga strata pokok, yaitu Ngoko (strata tidak resmi), Madya (Strata setengah resmi), dan Krama (Strata resmi). Sedangkan mahasiswa NTT dalam kegiatan sehari-harinya menggunakan bahasa Indonesia. Walaupun mahasiswa NTT berasal dari tempat dan bahasa daerah yang berbeda-beda mereka tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam proses komunikasi antarbudaya dengan penduduk Tambak Bayan. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh mahasiswa NTT di Tambak Bayan sudah berjalan dengan baik, perbedaan budaya dan bahasa menjadi pendorong untuk saling memahami dalam proses adaptasi
Sebelum peristiwa Cebongan komunikasi antarbudaya mahasiswa NTT dengan penduduk Tambak Bayan berjalan secara interaktif, sehingga timbul saling pengertian dan rasa nyaman bagi masing masing kelompok budaya. Mahasiswa NTT yang datang dan tinggal di Tambak Bayan diterima dengan baik oleh penduduk Tambak Bayan. Pada saat peristiwa Cebongan proses komunikasi antarbudaya tersebut sempat terhambat ini diakibatkan oleh situasi yang terjadi pada saat itu yang membuat mahasiswa NTT merasa terancam. Isu, ancaman sweeping yang disebarkan dan berbagai bentuk poster dengan tujuan intimidasi menjadi faktor-faktor penghambat dalam proses komunikasi antarbudaya mahasiswa NTT dengan penduduk Tambak Bayan. Sikap etnosentris dan juga face negociation memunculkan penolakan terhadap mahasiswa NTT yang ingin mencari tempat tinggal di Tambak Bayan.
Pasca peristiwa Cebongan, mahasiswa NTT dan penduduk Tambak Bayan berusaha mengembalikan proses komunikasi yang sempat terhambat tersebut menjadi interaktif dan harmonis lagi. Kedua kelompok budaya berkolaborasi menyelesaikan masalah dan melakukan upaya-upaya agar komunikasi antarbudaya di Tambak Bayan kembali membaik. Gelar budaya dan dialog serta Diskusi mengenai peristiwa Cebongan dilakukan untuk memecahkan masalah antaretnis mahasiswa NTT dengan warga Yogyakarta. Bisa dikatakan proses komunikasi antara mahasiswa NTT dengan penduduk Tambak Bayan kembali berjalan secara interaktif.
Gelar Budaya dan Dialog Pasca Peristiwa Cebongan Tempat : Pedukuhan Tambak Bayan Peserta : Perwakilan Mahasiswa NTT, Mahasiswa Papua, mahasiswa Makassar, Batak, Penduduk Tambak Bayan. Tanggal : Sabtu, 30 Maret 2013 Dalam kegiatan ini dihadiri juga oleh beberapa orang penting di Pemerintahan Kabupaten Sleman, dan juga Bupati Sleman Bapak Drs. Sri Purnomo, MSI dan juga beberapa elemen masyarakat Yogyakarta dan juga mahasiswa dari Indonesia Timur. Diskusi: “Kasus Cebongan” - Tempat : Ruang SeminarGedung Perpustakaan UAJY Lantai III. -Peserta : Mahasiswa NTT, Beberapa penduduk Tambak Bayan, Dirgantara. - Narasumber: B. Sukamto (Ka. Lapas Cebongan); Js. Murdomo (ISKA); Dr. Mateus Mali (ISKA); sedangkan Lukas Ispandriarno. Ph. D. (FISIP UAJY) bertindak sebagai moderator diskusi. - Tanggal : Sabtu, 13 April 2013 - Tema : “Kasus Cebongan : Premanisme dan Pluralisme. Diskusi ini diikuti oleh Hillarius N. G. Merro sebagai Ketua Pemuda Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor)