Nama kelompok : SEJARAH INDONESIA Dian Jauharotul Munawwaroh (12) Kintan Mawarni Nabila P. (22) M. Nur Wakhid (26) Namira Sudrajat (28) Puspita Nindya Kartika (30)
Proses masuknya islam di kalimantan Melalui Perkawinan Hal ini dibuktikan dimana adanya perkawinan campuran yang dilakukan oleh orang Muslim dengan non Muslim yang kemudian menjadi muallaf pada kerajaan Pontianak yang rajanya bernama Habib Husein dengan Nya’i Tua putri Dayak dari kerajaan Matan. Melalui Perdagangan Mayoritas penduduk Kalimantan Barat yang tinggal di daerah pesisir pantai atau sungai. Islam disebarluaskan dan berkembang melalui kegiatan perdagangan mulanya di kawasan pantai seperti Kota Pontianak, Ketapang atau Sambas kemudian menyebar ke perhuluan sungai.
3. Melalui Dakwah Agama Islam diajarkan secara damai dan salah satunya diajarkan melalui metode dakwah yang dilakukan oleh para mubaligh dan guru. Adapun nama-nama mubaligh dan guru dalam menyebarkan agama Islam di Kalimantan Barat tersebut pada awal abad 20 menurut Mohd Malik (1985:48) diantaranya adalah Haji Mustafa dari Banjar (1917-1918), Syeh Abdurahman dari Taif, Madinah (1926-1932), Haji Abdul Hamid dari Palembang (1932-1937), Sulaiman dari Nangah Pinoh dan Haji Ahmad asal Jongkong. Para mubaligh dan guru agama ini mengajarkan membaca Al-qur’an, fiqih, Hadits, dan ilmu agama islam lainnya, dilakukan di masjid ataupun rumah. Dalam pengajaran membaca Al-qur’an mereka menggunakan metode Baqdadiyah.
4. Melalui Kesenian Islam disebarkan kepada masyarakat Kalbar juga melalui kesenian tradisional. Ini dapat diuktikan pada masyarakat di Cupang Gading. Sastra tradisional yang ada di Cupang Gading memperlihatkan adanya nilai-nilai keislaman. Dengan mengkolaborasikan antara nilai Islam dengan nilai kesenian ini memberikan kemudahan dalam menyebarkan Islam itu sendiri. Berpadunya nilai lokal dengan Islam dapat dilihat melalui prosa rakyat yang dikenal dengan istilah bekesah dan melalui kesenian Jepin Lembut (tarian khas sambas) yang ada didaerah Sambas. Dengan berbagai macam kesenian inilah yang kemudian dijadikan media dakwah dalam menyebarkan Islam di Kalbar.
Kerajaan Islam di Kalimantan Kesultanan Pasir (1516) Kesultanan Banjar (1526-1905) Kesultanan Kotawaringin Kerajaan Pagatan (1750) Kesultanan Sambas (1671) Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura Kesultanan Berau (1400) Kesultanan Sambaliung (1810) Kesultanan Gunung Tabur (1820) Kesultanan Pontianak (1771) Kerajaan Tidung (1076-1916) Kerajaan Tidung Kuno (1076-1551) Dinasti Tengara (1551-1916) Kesultanan Bulungan (1731)
Kesultanan Paser Kesultanan Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas) adalah sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun 1516 dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapan dan Pamukan.
Kesultanan Banjar Kerajaan Banjar adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir diMartapura. Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa.
Kesultanan Kotawaringin Kerajaan Kepangeranan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan kepangeranan yang merupakan cabang keturunan Kesultanan Banjar dengan wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615
Kesultanan Pagatan Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah kerajaan bawahan yang merupakan daerah otonomi bagi imigran suku Bugis di dalam negara Kesultanan Banjar. Kerajaan otonom ini adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran Sungai Kusan (sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan). Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan wilayah Kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).
Kesultanan Sambas Kerajaan Pagatan (1775-1908)[1][2] adalah kerajaan bawahan yang merupakan daerah otonomi bagi imigran suku Bugis di dalam negara Kesultanan Banjar. Kerajaan otonom ini adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran Sungai Kusan (sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan). Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan wilayah Kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).
Kesultanan kutai kartanegara Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Kedaton. Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II pada tanggal 22 September 2001.
PROSES MASUKNYA ISLAM DI SULAWESI A. Melalui Pedagang Penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh para saudagar Muslim yang mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun dengan dagang antarnegara. Yang membawa agama Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar India, dan Iran. Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis pada tahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.
B. Pengaruh Tionghoa Islam di Jawa disiarkan oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang Tionghoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke kepulauan nusantara terutama di Maluku. Seorang Muslim dari Persi yang pernah mengunjungi belahan timur Indonesia memberikan informasi tentang masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan tentang kehadiran Islam di kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di Sulsel juga dibawa sayyid Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Jawa (Pajajaran).
Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang. Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu maupun berkelompok.
Kerajaan islam di sulawesi Awal Kontak dengan Islam Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan. Selain itu, di dalam ajaran Islam, meskipun pada perkembangannya ada kelompok-kelompok yang secara khusus menjadi penyebar agama. H.J. de Graaf lebih jauh melihat proses islamisasi di Asia Tenggara berdasarkan pada literatur Melayu, bahwa menurutnya Islamisasi yang terjadi di Asia Tenggara memang melalui tiga metode namun metode-metode itu berlangsung secara kronologis yaitu: oleh para pedagang dalam proses perdagangannya yang damai, oleh para wali dan orang suci yang telah datang dari India dan juga negeri-negeri Arab lainnya yang memang bertujuan untuk mengislamkan, dan terakhir dengan jalan kekerasan yang memaklumkan terjadinya perang bagi kerajaan-kerajaan yang dianggap penyembah berhala.
Kerajaan gowa-tallo Letak Kerajaan Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
Sejarah awal Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17. Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya
Tokoh kerajaan Gowa dan Tallo Sultan Alauddin dengan nama asli Karaeng Ma’towaya Tumamenanga ri Agamanna. Ia merupakan Raja Gowa Tallo yang pertama kali memeluk agama islam yang memerintah dari tahun 1591- 1638 dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) bergelar Sultan Abdullah. Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631-meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16. Pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belandayang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.
Peninggalan kerajaan gowa-tallo
Penyebaran Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran Sufisme Khalwatiyah dari kaum Syeikh Yusuf al-Makasari juga tersebar di kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17 Masehi. Akan tetapi, karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa, ia meninggalkan Sulawesi Selatan pergi ke Banten yang kemudian diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa
KESULTANAN BONE Pertama kali Islam sebelum masuk dalam wilayah kerajaan Bone yang dikenal hingga ke seluruh pelosok nusantara, para ulama Islam lebih awal mengislamkan raja Gowa, para ulama umumnya datang dari Sumatera, khususnya Aceh, seperti misalnya ulama ternama Khatib Tunggal. Ulama ini dikenal sebagai ulama pertama yang datang ke Makassar dan menyebarkan Islam. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1606. Di bawah pemerintah Raja Bone XII, kerajaan Bone dikenal sebagai kerajaan paling besar di antara kerajaan-kerajaan lainnya dalam wilayah suku Bugis. Raja Gowa yang lebih dahulu masuk Islam dikenal sangat bersemangat dalam memperjuangkan Islam, begitu pula dengan rakyatnya. Sehingga beliau berniat untuk menyampaikan dakwah pada kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya, termasuk Raja Bone. Kemudian raja Gowa menyampaikan pesan kepada Raja Bone bahwa dia hanya akan dipandang dan dihormati sebagai raja yang setaraf, apabila Raja Bone menganut ajaran agama Islam dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Bone di masa Petta Sele’ hidup memang tidak sekuat Bone ketika dipimpin Raja Arung Pallaka. Tapi, kekalahan dari Belanda, tak serta-merta membuat rakyat Bone takluk begitu saja. Masih ada lima tahun masa perlawanan yang membuat tidak nyaman menduduki Bone. Lima tahun setelah kekalahan Bone itu tetap membuat Belanda tak tenteram di Bone, lantaran perlawanan terus terjadi.
Pada tahun 1910 Bone secara resmi masuk Islam, pada masa pemerintahan Raja Bone XIII yaitu La Madderemueng (1631-644) mulailah Kerajaan Bone berbenah diri dengan melaksanakan hukum Islam ke dalam lembaga tradisi Bone. Selain itu juga mencanangkan pembaharuan keagamaan, serta memerintahkan kawulanya untuk mematuhi ajaran hukum Islam secara total dan menyeluruh.
PROSES MASUKNYA ISLAM DI MALUKU Maluku (termasuk Maluku Utara) melalui jalur perdagangan laut dan dilakukan dengan cara-cara damai. Maluku menjadi begitu penting dalam jaringan perdagangan laut (dunia) karena menghasilkan buah pala dan cengkih yang merupakan dua komuditi dagangan yang sangat dibutukan ketika itu. Sedangkan proses pengislaman menurut Putuhena ( 1970) dilakukan melalui dua jalur yakni jalur “atas” dan jalur “bawah”. Jalur atas yang dimaksudkan adalah proses pengislaman melalui usaha dari para penguasa ketika itu. Sedangkan yang dimaksudkan dengan jalur bawah adalah proses pengislaman melalui usaha perorangan atau melalui masyarakat pada umumnya.
Tradisi lisan ditemukan di Provinsi Maluku, khususnya di Banda Neira dan Jazirah Laihitu Pulau Ambon. Tradisi lisan di Banda Neira menyatakan bahwa Islam masuk ke Banda Neira melalui orang asing yang bernama syeh Abubakar Al Pasya yang berasal dari Persia (Irak dan Iran). Kehadirannya dikaitkan juga dengan pergolakan politik yang terjadi di Irak yakni peristiwa peralihan kekuasaan dari Bani Umayyah ke tangan Bani Abasiyah yang terjadi pada tahun 132H atau 750M. Ketertarikan masyarakat Banda terhadap syeh Abubakar Al Pasya karena yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menurunkan hujan pada musim kemarau berkepanjangan di Banda Neira. Ia kemudian menikah dengan seorang putri bangsawan lokal yang bernama Cilu Bintan.
Kesultanan Ternate Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik. Sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15. Raja Ternate yang pertama-tama menganut agama Islam ialah Sultan Marhum (1465 - 1486). Sejak itu Ternate menjadi pusat Islam di Maluku. Pada akhir abad-16 agama Islam tersiar hingga Mindanao (Philipina Selatan), karena Mindanao menjadi daerah kekuasaan Ternate.
Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Sultan Hairun adalah Raja Ternate yang berkuasa sejak tahun 1559 M. Sultan Hairun sangat tidak setuju dengan kedatangan bangsa Portugis, apalagi dengan keberadaan militer Portugis dan membangun benteng Sao Paolo di Ternate. Mereka diyakini mempunyai niat yang tidak baik terhadap Kerajaan Ternate. Sultan Hairun meninggal pada tahun 1570 M karena terbunuh. Dalam catatan sejarah, yang dicurigai sebagai dalang pembunuhan adalah para pejabat Portugis. Kekuasaan Sultan Hairun digantikan oleh Sultan Baabullah. Pada masa kekuasaannya, Sultan Baabullah berhasil menyingkirkan bangsa Portugis dan meninggalkan bentengnya di Ternate. Mereka pergi ke Selatan kemudian pada tahun 1578 M, Portugis berhasil menundukkan Timor. Bangsa Portugis menduduki Timor sampai pada tahun 1976 M. Selain keberhasilannya mengusir penjajah Portugis, Sultan Baabullah juga membawa kerajaan Ternate memperluas daerah kekuasaan sampai ke Maluku, Sulawesi, Papua, Mindanao dan Bima. Karena prestasinya yang gemilang tersebut, Sultan Baabullah menyandang julukan Tuan dari Tujuh Puluh Dua Pulau.
Kerajaan Tidore Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Tidore pertama adalah Muhammad Naqil yang naik tahta pada tahun 1081. Baru pada akhir abad ke-14, agama Islam dijadikan agama resmi Kerajaan Tidore oleh Raja Tidore ke-11, Sultan Djamaluddin, yang bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. Kesultanan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Tidore menjadi salah satu kerajaan paling independen di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
KERUNTUHAN KESULTANAN TIDORE Kemunduran Kesultanan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kesultanan Ternate yang dilakukan oleh bangsa Spanyol dan Portugis yang ingin memonopoli daerah rempah. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah diadu Domba oleh Portugal dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugal dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate.