TINJAUAN HISTORIS HUBUNGAN DESA-KOTA Materi Kuliah Sosiologi Pedesaan dan Perkotaan Program Studi Pendidikan Geografi FKIP – UHAMKA Diambil dari tulisan Linda Darmajanti & Starlita Dalam Buku Sistem sosial Indonesia Oleh Paulus Wirutomo Dkk
A. MASA PRA KOLONIAL Kota-kota di Indonesia sebelum masa kolonial sering berkaitan dengan fungsi relijius. Kota pada masa tersebut dapat dibedakan antara kota pedalaman )inland cities) dan kota pantai (coastal cities). Kota pedalaman memiliki fungsi utama sebagai pusat kegiatan tradisi dan reliji yang menggambarkan keraton sebagai pusat kehidupan. Keraton menjadi pusat kehidupan budaya, agama dan pemerintahan. Semakin jauh suatu wilayah dari keraton, semakin berkurang wewenang pemerintahan, kesakaralan atau status keraton atas wilayah tersebut.
Pertanian merupakan sumber utama kota pedalaman, meskipun mempunyai hubungan dagang dengan kota pantai. Pusat kota dilambangkan dengan raja dan semakin ke pinggir dilambangkan dengan kehidupan petani. Diantara pemukiman raja dan petani terdapat kawula-kawula kerajaan. Pengaturan seperti itu menjadi sistem kehidupan kota pedalaman. Kehidupan keseluruhan tergantung pada sakralisasi keraton oleh petani dan kesetiaan atas raja. Struktur kota yang didominasi oleh sakralisasi keraton merupakan fungsi reliji keraton , yang dipercaya rakyat dapat melindungi diri dari gangguan alam yang mengancam kelangsungan mata pencaharian mereka.
Sebagai wujud pengakuan terhadap kekuatan keraton, mereka memberikan upeti kepada raja. Sementara wujud kesetiaan kawula atas raja diwujudkan dengan kelangsungan sistem administrasi untuk kehidupan keseluruhan kota. Sistem administrasi ini pada pokoknya lebih berfungsi sebagai kontrol perkotaan atas suplai hasil pertanian dan tenaga kerja dari desa ke kota. Pada masa ini interaksi antara desa dengan kota berjalan secara fungsional, antara kegiatan produksi di pedesan dan sub- sistem administrasi di perkotaan.
B. MASA KOLONIAL Ekonomi di negra sedang berkembang terintegrasi ke dalam sistem ekonomi dunia melalui kolonialisme, introduksi ide dan teknologi baru atau investasi industri di kota-kita negara yang sedang berkembang oleh negara maju. Kedatangan Belanda ke Indonesia mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat. Pengaruh tersebut dapat dilihatdari dua aspek, yaitu perubahan secara fisik yang berkaitan dengan model arsitektur kota dan perubahan sosial ekonomi yang berkaitan dengan ekonomi kolonial.
1. Wajah arsitektur desa-kota Rendahnya taraf akomodasi orang Eropa terhadap pribumi dan munculnya persaingan dengan bagsa lain mewujudkan munculnya segmentasi dalam masyarakat menjadi tiga golongan : Orang kulit putih, Asia Timur Asing dan pribumi. Hubungan antara ketiga golongan : ditandai dengan dominasi kulit putih yang menguasai sistem administrasi politik. Kota melambangkan ekonomi kolonial modern. Ekonomi pribumi dilambangkan dengan kehidupan pedesaan yang tradisional, Kegiatan ekonomi berdasarkan asas sub-sistensi tanpa pembagian kerja yang ketat.
Dualisme antara Desa-Kota (ekonomi kolonial –pribumi) mempengaruhi wajah arsitektur kota. Kota menjadi daya tarik dan sumber surplus ekonomi sehingga peribumi tertarik ke kota dan mencoba berperan dalam ekonomi kota. Namun keterbatasan sumberdaya pribumi menjadikan mereka menjadi kaum miskin kota atau kelompok berpenghasilan rendah. Akhirnya pribumi beradaptasi melalui jaringan sosial yang dimilkinya mewujudkan permukiman berdasarkan kesamaan suku. Nama-nama kampung kota berbasis etnik sampai saat ini di Jakarta : Kampung Melayu, Kampung ambon, Kampung Bali.
2. Kebijakan Pemerintah Kolonial (awal abad ke-19) Kebijakan ekonomi Belanda membawa akibat terhadap berkembangnya fungsi kota dan intensitas hubungan antara daerah pedesaan sebagai pusat ekspor (forwarding center) komoditas pertanian ke Eropa. Hubungan ini di awali dengan pembangunan sarana transportasi seperti jaringan jalan raya dan jalur kereta api yang menhubungkan wilayah pedesaan dengan perkotaan. Kebijakan ekonomi kolonial yang menanamkan modal di sektor pertanian (desa), merupakan awal terbentuknya hubungan desa-kota. Namun dibarengi dengan penggunaan kekuasaan politik untuk memaksa warga memproduksi komoditi pertanian untuk kepentingan pemerintah kolonial. Kebijakan ekonomi baru, 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch cultur stelsel (sistem tanam paksa), memaksa tanaman eks[or, hasilnya dijual dengan harga yang teleh ditetapkan. 1873-1884 berdiri 18 pabrik gula.. Kekuatan politik dan administratif tetap dikuasai oleh penjajah. Makin mendorong kemiskinan sebagian besar petani. Baca halan 238-239.
3. Masa Pasca-Kolonial Masa awal kemerdekaan ditandai dengan berbagai perubahan politik dan administrasi di tingkat nasional, Namun pada tingkat desa tidak terjadi transformasi yang berarti. Dari tahun 1950-1960, desa di Pulau Jawa berusaha pulih dari kekacauan akibat perang dan revolusi. Geertz (1983) tentang involusi pertanian, situasi perekonomian desa (pertanian) saat itu menunjukkan suatu permasalahan yang kompleks, akibat pola eksplotasi dan mekanisme monopoli sehingga pertanian mengalami fase stagnan yang disebut dengan involusi pertanian.
Involusi Pertanian, indikasinya : luas lahan yang sempit, modal yang rendah, teknologi yang seadanya, dikerjakan oleh banyak tenaga, menjadi gantungan hidup banyak orang dalam satu keluarga. Dari tahun ketahun, luas lahan tidak pernah bertambah, malahan terus menyempit sebab terus dibagi-bagi (sebagai warisan) sehingga produktivitas menurun. Mulai tahun 1960-an terjadi “Revolusi Hijau” , berbagai upaya diarahkan untuk memberikan kredit dan penyuluhan kepada petani serta merangsang penggunaan pupuk buatan serta penanaman benih unggul nasional. Pembaruan teknologi lambat laun tetapi sistematis menyebabkan bertambah banyaknya keputusan berdasarkan pertimbangan komersil dalam produksi desa di Pulau Jawa. Terjadi pergeseran dari hubungan sosial ke hubungan nilai (Value Orientatation).
Sistem harga yang ditentukan secara tradisional dan komunal perlahan-lahan digantikan sistem komersial sehingga berdampak pada pengangguranm terutama petani yang tidak mempunyai lahan. Sistem patron-klien (hubungan bapak-anak buah), para klien (anak buah) memiliki kesempatan untuk bekerja di tanah milik patronnya. Sang patron memiliki penghormatan (previledge) sosial dan status tersendiri diberikan warga desa kepada dirinya dan keluarga. Namun dengan cara-cara pertanian modern, yang daapt meningkatkan surplus ekonomi, para patron tidak tergantung lagi pada klien, melainkan beralih ke kota sebagai tempat diperolehnya alat-alat pertanian modern, fasilitas kredit dari bank, serta penyuluhan pertanian. Bagi para klien, keadaan ini mengakibatkan mereka kehilangan mata pencaharian dan beralih ke sektor non pertanian.
Masuknya penduduk desa ke sektor non pertanian dapat dibedakan menurut kegiatan perdagangan dan produksi di desa sendiri serta perpindahan penduduk ke kota. Dalam kurun waktu 1970-1980an, kesempatan-kesempatan tersebut didorong oleh pesatnya pembangunan infra struktur fisik, yaitu jaringan transportasi dan sektor jasa. Pertumbuhan ekonomi dan industri di sekitar kota-kota besar mempengaruhi jenis pilihan kegiatan non pertanian. Dari aspek kependudukan, interaksi desa kota tersermin dari arus migrasi desa-kota.