KEBUDAYAAN NIAS
Nias adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera, Indonesia 1°6′LU 97°32′BT. Nias yang menggunakan bahasa Nias Tano Niha, pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang masih memiliki budaya megalitik. Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa. Agama mayoritas daerah ini adalah Kristen Protestan.
Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.
Mitologi Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora`a yang terletak di sebuah tempat yang bernama Tetehöli Ana'a. Menurut mitos tersebut, kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki sembilan orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke sembilan Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Nias pertama kali disebutkan dalam catatan perjalanan kuno bangsa Arab dan Persia pada tahun 851 sebelum Masehi. Saat itu, Soleiman pedagang dari Niyang telah terisolasi. Secara geografis ia melihat bahwa pulau itu selalu tampak indah, arus lautnya yang kuat dan juga terumbu karangnya, terutama di lepas pantai barat. Tetapi kebanyakan pelaut dari Eropa menjauhi pulau itu, karena takut kepada penduduk yang suka berperang dan juga karena sering adanya angin kencang dan ombak laut yang tinggi. Meskipun pantai barat Sumatera hanya 100 km panjangnya, masyarakat Nias masih sangat berbeda dari tetangganya, Suku Batak.
Karena isolasi geografisnya, menyebabkan isolasi budayanya menjadi relatif. Meskipun demikian, semua pulau Nias di pantai barat Sumatera, memiliki budaya yang paling maju dan jumlah penduduknya yang cukup banyak. Budaya mereka menyerupai budaya 'Naga'. Studi linguistik terbaru menunjukan bahwa bahasa Nias terkait erat dengan bahasa Polinesia dibandingkan dengan bahasa Indonesia lainya. Masyarakat Nias menggambarkan diri mereka sebagai Ono Niha, yaitu "anak laki-laki", yang berarti para leluhur (yang dimaksudkan). Mereka menyebut pulau mereka Tano Niha, yang artinya "Tanah Rakyat". Lalu Belanda menyebutnya Nias.
Nenek Moyang Nias diperkirakan datang pada 3000 – 4000 tahun yang lalu dari daratan Asia Tenggara. Mereka sudah tahu cara pengolahan "reisenbau" dan metal. Hewan peliharaan yang paling penting bagi mereka adalah babi. Dulu sempat ada perdagangan budak Nias yang diekspor ke pantai Barat Sumatera, terjadi pada awal abad ke 20.
Suku Nias Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka Ono Niha (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai Tanö Niha (Tanö = tanah). Suku Nias merupakan masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang menjaga adat dan kebudayaan mereka.
Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Hukum fondrakö yaitu hukum adat yang mewarisi kebijaksanaan dari nenek moyang. Hukuman dari penyimpangan adat itu berupa kematian. Hukuman mati bisa terjadi apa bila ada lelaki yang melecehkan atau memperkosa wanita, namun dalam adat nias yang mendapatkan hukuman tersebut adalah sang wanita. Walaupun agama sudah masuk ke masyarakat nias, tetapi tetap tidak mempengaruhi hukum adat yang ada, karena masyarakat Nias tetap berpegang teguh pada hukum adat mereka.
Marga Nias Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada dan terdiri dari beberapa marga, diantaranya : Amazihönö, Baeha, Baene, Bawaniwao, Bawo, Bohalima, Bunawolo, Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawolo, Duha, Fau, Farasi, Gaho, Garamba, Gea, Giawa, Halawa, Hia, Hondro, Hulu, Lafau, Lahagu, Lahomi, La'ia, Laoli Lawolo, Lo'i, Lombu, Maduwu, Maruhawa, Marulafau, Marundruri, Mendröfa, Nazara, Saoiago, Sarumaha, Sihura, Tafonao, Telaumbanua, Wau, Wakho, Waoma, Zalukhu, Zega, Zendratö, dan lain-lain.
Makanan Khas Nias Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk) Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil) Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut) Köfö-köfö (daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap), Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama; terdapat di Kepulauan Hinako), dll.
Minuman Khas Nias Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%. Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar alkohol).
Budaya di Nias Fahombo = Fahombo sendiri merupakan adat tradisi penduduk setempat secara turun menurun dimana seorang laki-laki dewasa yang mampu melompati batu setinggi dua meter, lebar 90 cm, dan panjang 60 cm, dianggap telah layak untuk menikah atau dianggap telah layak untuk maju ke medan perang pada zaman dulu. Maena (Tari berkelompok) Suku Nias menjadikan tari Maena sebagai tarian kolosal yang penuh sukacita. Tari Maena seringkali menjadi pertunjukan hiburan ketika suku Nias menyelenggarakan pesta pernikahan adat.
Fame Ono nihalõ = Pernikahan Fame Ono nihalõ = Pernikahan. Pernikahan dilakukan oleh Imam dan kepala desa secara langsung. Upacara secara keseluruan disimpulkan berhasil jika pengantin telah mengunyah sirih bersama-sama. Omo Hada Rumah Adat = Semua rumah memiliki pintu penghubung ke para tetangga, di utara pulau itu desa-desa biasanya jauh lebih kecil, tak beraspal, dan rumah-rumah tradisionalnya memiliki garis oval. Selama pembangunan rumah trdisional pengobanan yang umum dilakukan masyarakatnya adalah (terutama jika rumah yg dibangun adalah milik kepala suku) menguburkan sebagian babi hidup.
Pakaian Adat = Baru Oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah, dan putih. Setiap warna mempunyai filosofi sendiri. Fasösö Lewuö = Tarian yang Menggunakan adu bambu untuk menguji kekuatan pemuda Nias