Dalam Kesabaran Ada Kesadaran (Gede Prama) Ada sebuah kebiasaan yang menyenangkan hati dan jiwa saya belakangan ini. Setiap kali selesai melakukan meditasi, kemudian menemukan rangkaian pemahaman yang layak untuk dibagi ke banyak orang hari itu, maka saya tulislah pesan tadi ke dalam pesan SMS yang dikirim ke puluhan sahabat. Dan tidak sedikit sahabat yang meneruskannya lagi ke puluhan sahabatnya yang lain. Maka jadilah pesan-pesan SMS yang selalu diawali dengan kata ‘Gede Prama’s message of the day’ sebagai bahan renungan yang ditunggu banyak sahabat. Begitu ada minggu tanpa SMS terakhir, tidak sedikit sahabat yang mengirimi saya SMS: mana pesan untuk minggu ini? Kalau ada orang yang melakukan silaturahmi dengan cara mendatangi rumah kawan, saya melakukan silahturahmi melalui SMS. Dan dalam pesan-pesan SMS yang umumnya bertemakan cinta, keheningan, kebahagiaan, dan kesabaran, ada yang sempat bertanya, adakah mereka menerima pesan dari seorang konsultan ataukah dari seorang pendeta?. Dengan enteng pertanyaan ini saya jawab, bahwa pesan ini datang dari seorang gelandangan intelektual. Sebuah sebutan yang diberikan oleh salah seorang sahabat, dan kebetulan saya menyukainya. Pasalnya, pengembaraan saya telah melalui banyak sekali halaman-halaman rumah orang lain. Lahir dan besar memang di dunia manajemen, namun karena merasa tandus dan kering di tempat lahir ini, saya melanjutkan pengembaraan ke mana-mana. Seorang sahabat jurnalis yang merangkum karya saya, sempat menyebut perjalanan saya sejauh ini sebagai campuran antara psikologi, pilosopi, dan religi. Dan apapun sebutan dan campurannya, mirip dengan rumah yang saya tinggali ketika tulisan ini dibuat, rumah intelektual saya juga tanpa pagar pemisah dan pagar penyekat. Yang jelas ada satu hal yang amat membantu saya hidup hening dalam rumah intelektual tanpa pagar : kesabaran. Kita masih bisa berdebat tentang hubungan antara kualitas intelektual serta keheningan di satu sisi, dengan kesabaran di lain sisi. Namun saya mendapat pelajaran amat banyak dari kesabaran. Ia tidak saja menjadi mesin kebahagiaan, tetapi juga mesin kejernihan dan keheningan.
Bila menoleh pada tangga-tangga pemahaman saya terdahulu, betapa ketertutupan pikiran dan mind mudah sekali muncul dalam kualitas kepribadian yang jauh dari kesabaran. Marah adalah pertanda ekstrim yang muncul ke permukaan sebagai hasil produksi ketidaksabaran. Cuman ketertutupan mind tidak bisa dilihat semudah kita melihat orang marah. Ia sering kali hadir secara amat tersembunyi. Ketika masih melanjutkan studi di Inggris dan sempat sedikit terpesona dengan ide-ide orang seperti Derrida dan Foucault, pernah terpikir untuk ikut mengkonstruksi mind ke dalam weak and strong mind. Di mana kesabaran lebih dekat dengan weak mind, dan ketidaksabaran menghasilkan strong mind. Namun, semakin sang kesabaran diselami dan didalami, semakin saya dihadapkan pada borderless mind, sebuah pemahaman tanpa sekat-sekat. Apapun isi mind dari tua-muda, suka-duka, desa-kota, terdidik-tidak terdidik, sampai dengan born and unborn mind, tetap saja sekat-sekat itu tidak banyak membantu. Setiap bentuk sekat membuat perjalanan pemahaman tidak tambah dalam, sebaliknya malah tambah dangkal. Sebut saja sekat-sekat benar-salah, atau suka-tidak suka. Ia membuat semua orang hanya mampu melihat sebagian kecil saja dari wajah dunia. Apa lagi sekat-sekat menakutkan seperti ideologi dan agama yang dibela dengan teror bom dan pada akhirnya menghasilkan air mata. Ia disamping mendangkalkan, juga membuat sang kehidupan berwajah mengerikan. Bercermin dari sinilah, saya batalkan niat saya untuk ikut mengkonstruksi weak and strong mind. Kemudian, berjalan terus bersama kesabaran dengan sebuah cita-cita sederhana : melampaui mind. Bedanya, kalau Derrida dan Foucault menggunakan kendaraan pikiran, saya sedang belajar melampaui pikiran dengan jalan-jalan Yoga. Sebuah jalan dengan teramat sedikit bahasa, kata-kata apa lagi sekat.
Di tingkat kesadaran, dunia memang tanpa pagar, pemisah dan tanpa sekat. Namun, ia menjadi sulit dijangkau karena manusia biasa melihat dan menjelaskan ‘hanya’ melalui bahasa - dari mana sekat dan pemisah itu berasal. Sungguh tidak mudah berkomunikasi, apa lagi menerangkannya ke Anda bagaimana wajah sang kesadaran melalui media bahasa. Ingin sebenarnya, suatu waktu kolom ini hanya ada foto dan nama saya, dan sisanya hanya kertas kosong. Bila mana perlu tanpa kertas, tanpa penjelasan, tanpa apa-apa. Yang ada hanya kosong melompong. Sayangnya, pengelola majalah ini tidak cukup gila untuk saya ajak masuk dalam kesadaran. Kembali ke cerita awal saya tentang pesan-pesan SMS yang membuat banyak teman bertanya heran apakah saya menekuni psikologi, pilosopi atau malah religi, dari tempat pengembaraan saya kemukakan ke sahabat-sahabat, saya hanyalah seorang pertapa yang disuruh jadi raja. Dan dari kursi raja ini kemudian saya menemukan, kesabaranlah kendaraan yang bisa membawa kita dalam kesadaran. Apakah Anda akan ikut saya, tidak ikut atau lari ketakutan, itu urusan Anda masing-masing. Yang jelas, begitu tulisan ini selesai dibuat - asal Anda tahu - saya lari tunggang langgang meninggalkan penjelasan-penjelasan dangkal dan memalukan ini.