Dulu, ketika saya masih menempuh pendidikan disekolah dasar maupun menengah, saya selalu berfikir, beruntung sekali mereka yang terlahir ditengah keluarga kaya, memiliki semua yang dia mau, fasilitas lengkap dan sebagainya. Hingga saya merasa kecil hati karena saya terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Saya selalu berharap agar suatu kelak bias menjadi seperti mereka yang saya anggap 'beruntung' itu. Saya sempat ir dengan mereka yang terlahir tampan, dengan mereka yang memiliki motor, dengan mereka yang memiliki hp canggih, dengan mereka yang memiliki barang elektronik lainnya, dengan mereka yang banyak uang, dan dengan mereka yang terlahir serba ada dalam hal materi. Saya seperti menjadi orang yang sangat merana dihidup ini. Karena saya tak punya apa-apa. Tapi Tuhan memperlihatkan sesuatu hal kepadaku, ketka aku berjalan dipinggiran jalan kota. Aku melihat banyak para pengemis, anak jalanan, tuna wisma dsbx. Aku sempat berkata dalam hati, kasian sekali mereka ya untung aku masih bisa hidup layak, masih bisa tinggal dirumah, masih bisa sekolah, masih ada yang mengurusi dsbx. Ketika itulah, hati saya seperti terketuk. Seperti ada sebuah pukulan yang memukul saya hingga saya tersadar dari semua mimpi buruk. Ketika sampai rumah, saya merenung dalam hati. Airmata saya menetes bila merenungi apa yang terjadi. Saya membayangkan bagaimana hidup anak-anak jalanan itu?, yang tak pernah mengenal orangtuanya, yang tak pernah mengenal dunia sekolah, yang tak pernah merasakan sarapan pagi dengan keluarga, ah, aku tak bias menahan laju airmata yang semakin deras mengalir. Sesaat setelah perenungan itu, aku berjalan menuju dapur dan ku intip Ibuku yang tengah memasak didapur, aku sesaat membayangkan, bagaimana jadinya kalau kau jadi anak jalanan. Apakah aku akan mengenal sosok Ibu yang saat ini ada dihadapanku itu? Apakah ada orang yang dengan ikhlas mengurusiku setiap hari selain sosok Ibu yang ada didepanku ini?. Agh, begitu tak pernah terlintas dioakku tentang begitu berharganya orang yang saat ini tengah memasak itu. Dan kesimpulan yang kudapat kala itu. Aku adalah orang yang beruntung karena diperkenankan oleh Tuhan untuk mengenal Ibuku, ya Ibuku, aku beruntung karena bisa hidup dalam sebuah rumah, tidak di jalanan, aku beruntung karena masih ada yang mengurusiku, siapa lagi kalau bukan orang tuaku. Keesokan harinya, ketika aku tengah duduk di taman sekolah, beberapa teman menghampiriku. Kulihat mereka membawa sesuatu benda yang sebenarnya sangat kuinginkan untuk memilikinya. Benda itu adalah laptop. Ya, kau tahulah apa itu laptop kawan. Ketika mereka membuka laptopnya, kulihat ada bebrapa gurat aneh dari mukanya. Ya, kulihat ada tampang criminal (he he.). dank au tahu kawan?
Dengan laptop itu, mereka menyaksikan blue film denagn asyik dan banggaya. Ah, rasanya itu telah menyalahi aturan. Sesaat setelah itu, dadaku seperti menerima pukulan persis ketika aku melihat anak jalanan dan para pengemis beberapa waktu lalu. Seperti ada sesuatu yang membisikkan sesuatu di telingaku "Kau lihat Fahri, mereka Ku anugerahi untuk dapat membeli laptop, tapi kau lihat. Apakah dengan alat itu mereka lebih baik? Mereka malah bias dengan mudah bermaksiat, kalau begitu apakah Aku menyayangi mereka? Dan kenapa kau tak kuberi anugerah untuk memiliki laptop, karena Aku tahu kau belum siap menerima benda itu, aku tak ingin kau terjerumus kelak karena benda tak seberapa itu." Lagi-lagi aku seperti dibangunkan dari mimpi buruk. Darimana datangnya suara tadi? Apakah itu hanya sebuah gemuruh dalam dada yang menyuarakan kebenaran? Apakah benar aku belum siap bila harus menerima benda-benda yang selama ini kuinginkan? Benarkah itu? Benarkah itu Ya Tuhanku? Alloh SWT. Lantas aku langsung merenungkan hal itu semua. Ya Alloh, apakah itu benar adanya? Apakah memang benar aku belu siap? Aku memang menaydari, terkadang aku memang selalu mencari kesempatan untuk berbuat nakal ketika diwarnat dsbx. Lantas apa jadinya jika aku punya laptop sendiri? Ah, aku tak bias membayangkan? Pastilah akhlakku akan benar-benar jatuh ketingkat Zero alian NOL. Dari situ, aku menarik kesimpulan. Aku bruntung karena tidak memiliki benda itu, ah, memang Tuhan itu maha mengerti umatnya. Aku baru menyadari betapa sangat beruntugnya aku. Meskipun itu hanya sebuah contoh kecil kawan, tapi paling tidak kalian bias menggali hikmah kalian sendiri dari fenomena kehidupan kalian. Ok kawan, mohon maaf jika tadi ada kata-kata yang menyinggung. Aku hanya mnusia biasa yang sering salah. Sampai jumpa.._