Upacara Kasada (Kasodo) dan Pura Luhur Poten Gunung Bromo Bromo mempunyai pesona alam yang sangat luar biasa, tidak akan pernah habis kekaguman kita oleh pemandangan alam yang indah. Gunung Bromo berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Brahma atau seorang dewa yang utama, Gunung Bromo ini merupakan gunung yang masih aktif dan objek pariwisata yang sangat terkenal di wilayah Jawa Timur. Gunung bromo mempunyai ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut. Selain itu juga Suku Tengger memiliki daya tarik yang luar biasa karena mereka sangat berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya. Konon Suku Tengger adalah keturunan Roro Anteng (putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (putera Brahmana). Sejak zaman Majapahit konon wilayah yang mereka huni adalah tempat suci, karena mereka dianggap abdi-abdi Kerajaan Majapahit. Sampai saat ini mereka masih menganut agama Hindu, setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara yadnya Kasada. Upacara ini berlokasi di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo. Dan setelah itu dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Upacara dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama di bulan Kasodo menurut penanggalan jawa. Legenda Asal Mula Upacara Kasada Menurut ceritera, asal mula upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Sang permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng, setelah menjelang dewasa sang putri mendapat pasangan seorang pemuda dari kasta brahma bernama Joko Seger. Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan bersamaan mulai menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur, dan sebagian menuju di kawasan Pegunungan Tengger termasuk pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger. Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa Tengger yang Budiman”. Nama tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata tengger berarti juga tenggering budi luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi. Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak Gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar dikaruniai keturunan. Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orangtua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api. Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib: “Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orangtua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo”. Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo. Pura Luhur Poten Gunung Bromo Sebagai pemeluk agama Hindu, Suku Tengger tidak seperti pemeluk agama Hindu pada umumnya, memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan, namun bila melakukan peribadatan bertempat di punden, danyang dan poten. Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga mandala/zone, yaitu: Mandala Utama Disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri dari: Padma berfungsi sebagai bentuknya serupa candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan. Fungsi utamanya tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, padma tidak memakai atap yang terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, badan/batur dan kepala yang disebut sari dilengkapi dengan Bedawang, Nala, Garuda, dan Angsa. Bedawang Nala melukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana. Bangunan Sekepat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana, menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan dan terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan. Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar segi empat atau sisi banyak dengan sisi-sisi sekitar depa alit, depa madya atau depa agung. Tinggi bangunan dapat berkisar dari sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan pula dibuat lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan proporsi candi bentar. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba pura menuju mandala sisi/nista atau jaba tengah/mandala utama bisa berupa candi gelung atau kori agung dengan berbagai variasi hiasan. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba tengah/mandala madya ke jeroan mandala madya sesuai keindahan proporsi bentuk fungsi dan besarnya atap bertingkat-tingkat tiga sampai sebelas sesuai fungsinya. Untuk pintu masuk yang letaknya pada tembok penyengker/pembatas pekarangan pura. Mandala Madya/Zone Tengah Disebut juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari: Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar, segi empat atau segi banyak dengan sisi-sisi sekitar satu depa alit, depa madya, depa agung. Bale Kentongan, disebut bale kul-kul letaknya di sudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan kul-kul/kentongan. Fungsinya untuk tempat kul-kul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara. Bale Bengong, disebut juga pewarengan suci letaknya diantara jaba tengah/mandala madya, mandala nista/jaba sisi. Bentuk bangunannya empat persegi atau memanjang deretan tiang dua-dua atau banyak luas bangunan untuk dapur. Fungsinya untuk mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman. MANDALA NISTA/ZONE DEPAN Disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar/bangunan penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan atau di jabaan tengah/ sisi memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan utama memakai Kori Agung. Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghadap ke arah timur ke arah terbitnya matahari. Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan. Yadnya Kasada (Upacara Kasada) Pada malam ke-14 Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa. Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual, perkawinan, dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra. Setelah upacara selesai, ongkek-ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki Gunung Bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan ke dalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Di dalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk Tengger yang tinggal di pedalaman, mereka jauh-jauh hari datang ke Gunung Bromo dan mendirikan tempat tinggal di kawah Gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap Tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk Tengger pedalaman yang berada di kawah Gunung Bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.