Multikulturalisme dan Demokratisasi di Indonesia Mohtar Mas’oed Universitas Gadjah Mada
Mimpi Buruk bernama Orde Baru “Nation-building” Asimilasi → monisme “State-building” Negara intervensionis → merasuk ke lubuk masyarakat paling dalam “Market-creation” Akumulasi kapital → komodifikasi
“Nation-building”? Gagasan awal (ideal) Praktik (realpolitik) Nalar Bhinneka Tunggal Ika Multi-kulturalisme Praktik (realpolitik) Asimilasi (mayoritas menyerap sisanya) Nalar Keharusan struktural mendukung akumulasi kapital
Menciptakan Satu Identitas Asimilasi? (Etnik mayoritas menyerap minoritas) ATAU Multi-kulturalisme (“Bhineka Tunggal Ika”)? (Masing-2 kelompok etnik berkembang, tetapi diikat oleh ideologi yang sama atau “common denominator”)
Asimilasi Kultural KELOMPOK INTI MONISME KULTURAL ETNIK A ETNIK D ETNIK C ETNIK B MONISME KULTURAL TEORI “MELTING- POT” Kelompok-2 kecil diserap oleh kelompok terbesar
Multi-kulturalisme INDO-NESIA PLURALISME KULTURAL ETNIK A ETNIK D ETNIK C ETNIK B Berbagai kelompok mempertahankan identitasnya. Dalam berpolitik, semuanya menjadi Indonesia
Multikulturalisme dalam Politik the politics of recognition and difference Mensyaratkan: Pengakuan tentang makna penting kultur bagi penerapakan hak individual. Perlindungan terhadap berbagai konsepsi mengenai apa yang baik bagi individu maupun bagi kelompok.
Multikulturalisme vs. Liberalisme Multikulturalisme = Hak kelompok Liberalisme = Hak individual
Indonesia ≠ Melting Pot Indonesia bukan campuran antara berbagai jenis orang melebur dalam satu kultur baru. Indonesia = Multikulturalis. “Melting pot” = asimilasi yang dipaksakan. Berbagai kelompok etnik di Indonesia tidak di “Jawa”-kan. Masing-2 secara kultural otonom. Masyarakat Indonesia pada kenyataannya berbeda-beda, multi-etnik, multi-kultural. Karena itu, berbagai kelompok etnik atau komunitas kultural mesti dipertahankan tanpa memaksakan menjadi satu kultur.
Multikulturalisme Menghargai keanekaragaman etnik dan ras. Mengakui bahwa semua kultur memiliki nilai setara. Mendorong munculnya kebanggaan atau kepercayaan-diri (self-esteem) dan keberhasilan ekonomi.
Mayoritas-Minoritas Elite-Massa Jumlah Kekuasaan Mayoritas + Elite - Massa Minoritas
“Political Civility”: Ideal Tiga nilai: kebebasan, kesetaraan dan toleransi. Penjamin anggota masy majemuk berinteraksi tanpa dominasi politik (Hefner, 1998:10). Dalam komunitas spt itu orang terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan & bersemangat publik ("civic engagement"); saling berinteraksi sebagai warga yang setara, dengan hak dan kewajiban yang sama; saling membantu, saling-menghormati, saling-percaya, setia-kawan, dan saling-toleran; dan menggiatkan asosiasi atau perkumpulan kemasyarakatan (Putnam, 1993: 87-90).
Tantangan terhadap Demokrasi Muti-kultural Politik identitas? “Confessional Politics”
Politik Identitas: Realpolitik Identitas penduduk semakin beragam; masing2 berhak representasi politik Muncul kelompok identitas. Keanggotaan berdasar “social marker” (ras, etnisitas, kelas, sex, dsb.). Ada yg dipilih sendiri, ada yg akibat sosialisasi atau bawaan. Perlu penanganan dg “multi-kulturalisme” Multi-kulturalisme hanya berhasil kalau disertai dg toleransi pd perbedaan Demokrat tidak bisa hindari persoalan ini.
Makna kelompok identitas Keterikatan pada tradisi, bahasa dan bentuk2 kultural lain = aspek penting eksistensi sosial. Ada yg bersedia mati untuk itu. Kelompok tertindas perlu jaminan perwakilan agar suara didengar. Kebijakan yg adil perlu partisipasi & keterlibatan semua kelompok. Ini hanya mungkin dg perlakuan khusus.
Empat kelompok identitas Kelompok kultur Asosiasi sukarela Kelompok askriptif Berdasar “unchosen social marker” (gender, warna kulit, etnisitas, difable) Kelompok keagamaan
Masyarakat “aseli” Paling dirugikan karena Tidak dilibatkan dlm proses kebijakan Jumlah sedikit Secara kultural sangat berbeda dari kelompok mayoritas Terisolasi secara geografik Ekologi rentan Hidup bertentangan dg modernitas
Masyarakat “aseli” (2) Identitas kultural + ketimpangan = resep untuk konflik Bgmn mengurangi “pengucilan politik”? Bgmn lindungi hak mereka? Bgmn tanggapi retorika intoleransi kultural & “anti-asing” mereka tanpa melanggar hak mereka bersuara dan mempertahankan tradisi?
Perlu kebijakan publik Penyediaan sumberdaya publik agar mereka bisa mengorganisasi diri Agar mereka bisa mengusulkan kebijakan Wewenang utk veto kebijakan yg langsung mengenaikelompok. Misal: “hak reproduksi bagi perempuan.”
Beri kesempatan pada kelompok identitas yg dukung demokrasi (1) Karena kehidupan asosiasional dlm demokrasi liberal: atomistik, “interest-oriented”, “homogenizing universalist” tidak peka kultur. Politik identitas (“pol of difference”) akui perbedaan, komunitas & peka kultur. Pol of difference: Perlindungan kultur lokal dari ancaman globalisasi.
Beri kesempatan pada kelompok identitas yg dukung demokrasi (2) Kelompok yang mana? Yang anggotanya bebas memilih Tidak melanggar keadilan Problem Kelompok identitas yg “beruntung” tidak bersedia menantang “status quo.” Mereka justru melanggengkan struktur ketimpangan & melindungi posisi mereka sendiri.
Tantangan bagi pejuang demokrasi Bukan hanya merumuskan landasan bagi kesepakatan rasional TETAPI Mengembangkan institusi2 yg secara aktif mengelola konflik dan antagonisme yang menyertai perbedaan, terutama konflik berbasis identitas.
Format demokrasi apa? Demokrasi perwakilan dg system pemilihan berdasar “satu-orang-satu-suara” dalam masyarakat multi-etnik lebih menguntungkan mayoritas karena jumlah mereka. Apa yang bisa dilakukan? Membatasi kekuasaan legislasi pusat, yang didominasi kaum mayoritas, dengan cara memindahkan sejumlah kekuasaan kepada badan-badan regional (Otonomi Daerah); “Checks and balances” di tingkat pusat demi menjamin hak minoritas. (Berbagai cara “power-sharing” di tingkat pusat seperti “Consociationalism”). Atau kombinasi diantara kedua metode ini.
Tantangan “Confessional Politics”
Empat “Isme” CITA-CITA NILAI MEKANISME KAPITAL- ISME Akumulasi kapital Solidaritas cari-untung Trans- (supra-) nasional NASIONAL-ISME Penguatan & integritas negara-bangsa Ikatan patriotik Nasional NATIV- Integritas & kelestarian etnik/daerah Persaudaraan dalam darah/daerah Sub-nasional (“Ethno-politics”) KONFESSIONALISME Integritas & keselamatan ummat Persaudaraan dalam iman Trans-nasional (“Confessional politics”)
Mengapa “Confessional Politics”? Pola umum pasca-Perang Dingin. Kebangkitan kembali politik berbasis agama. Lembaga agama terbukti efektif sbg kerangka kerjasama membentuk koalisi politik. Revitalisasi identitas politik berdasar agama. Menjadi semakin merebak ketika terjadi gelombang liberalisasi & demokratisasi. Tidak jadi soal asal berlangsung dalam kerangka “civil society” yang demokratik.
“Confessional Politics” = Otoriterisme? Apakah akan berkembang menjadi patologis atau tidak tergantung pada pengelola negara. Pemerintah yang ambil inisiatif mem-fasilitasi perkembangan civil society yang sehat umumnya berhasil hindarkan perpolitikan konfessional yang menghancurkan demokrasi. Yang tidak melakukan itu mendapati perpolitikan konfessional yang mendorong otoriterisme.
Sementara itu, pemerintah nasional hadapi tantangan dari dua arah, trans-nasional dan lokal Di satu sisi, pemerintah harus menanggapi tantangan “globalisasi” (utk me-fasilitasi akumulasi kapital) dg akibat sebagian wewenangnya diserahkan pada lembaga internasional. Di sisi lain, pemerintah juga harus berbagi kekuasaan dengan pemerintah-pemerintah di bawahnya (”desentralisasi”).
Kemerosotan kapasitas pemerintah Akibatnya, kapasitas pemerintah membuat keputusan secara otonom merosot, justru ketika perannya sangat diperlukan untuk menggerakkan pembaharuan. Ini berdampak pada penurunan tingkat kepercayaan warga thd kemampuan pem menjamin implementasi amar konstitusi. Sebaliknya, daya tarik “isme-isme”lain meningkat.