Bung Tomo Tidak banyak orang Indonesia yang mampu menggerakkan massa melalui pidato-pidatonya. Selain Soekarno yang terkenal dengan julukan Penyambung Lidah Rakyat, terdapat tokoh muda Surabaya yang mampu menyeru rakyat untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan iringan pekik khas menggelegarnya, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Dialah Sutomo, orang-orang biasa memanggilnya Bung Tomo bukan Cak Tomo meskipun dia Arek Suroboyo asli. Sutomo lahir di Kampung Blauran, di pusat Kota Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pendidikan dasarnya HIS Surabaya (7 tahun), tingkat lanjutan Leidse Scrift Onderwiys HBS (5 tahun), kemudian masuk Fakultas Ekonomi UI pada 1959 dan prayudisium (menulis skripsi) 1968. Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), lulus ujian Pandu Kelas I (yang pertama di Jawa Timur dan kedua untuk seluruh Indonesia), di Indonesia waktu itu hanya ada tiga pandu kelas satu. Bung Tomo kemudian berkiprah dalam bidang politik dengan memasuki Partai Indonesia Raya (Parindra) cabang Tembok Duku, Surabaya dan ditunjuk menjadi sekretaris sekitar tahun 1937. Ia juga menjadi Ketua Kelompok Sandiwara Pemuda Indonesia Raya di Surabaya, mementaskan cerita-cerita perjuangan tahun 1939 sampai balatentara Jepang datang. Dunia tulis menulis dirambah pula oleh Bung Tomo. Tulisan pertamanya muncul di harian Oemoem, Surabaya. Ia terus berkarier dalam bidang kewartawanan hingga menjadi Pemimpin Redaksi Berita Antara di Surabaya pada tahun 1945. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia berusaha membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi. Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional. Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. Namun pada awal tahun 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Soeharto sehingga pada tanggal 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Soeharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal. Pada tanggal 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya. Bung Tomo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 2008 melalui Keppres No. 041/TK/2008.