Teori-teori tentang Politik Indonesia Orde Baru Priyatmoko Dirdjosuseno priyatmokosolusi@gmail.com Teori-teori tentang Politik Indonesia Orde Baru
Fakta & kerangka interpretasi Politik Indonesia sekarang punya latar belakang kesejarahan; Terhadap suatu fakta, termasuk fakta historis, terbuka ruang untuk memaknai dan menginterpretasi; Ada perdebatan akademik yang cukup seru di kalangan Indonesianis/sarjana politik asing – terutama di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia –tentang karakteristik politik Indonesia.
Bagan Sistem Politik: David Easton Lingkungan Tuntutan Sistem Politik Keputusan atau Kebijakan Inputs Outputs Dukungan Lingkungan Umpan-balik
Bagan Sistem Politik: Gabriel A Almond Environmental Outcomes Outputs into Environment Inputs Conversion Demands Participant Support Subject Policy-Making Processes Extractions Distributions Regulations Symbols Domestic and International Welfare and Security Preceding Environmental States Endogenous Changes in Environment* Feedback loops *Changes not caused by actions of political system itself
Sistem politik & asumsi-asumsinya Ada lebih dari satu elemen atau unit: fungsi-fungsi masukan (input), konversi, keluaran (output); Saling berinteraksi satu sama lain, membentuk satu kesatuan fungsional; Ada saling ketergantungan satu sama lain: saling pengaruh, satu bagian berubah akan berdampak pada bagian lain atau keseluruhan sistem; Selalu berusaha membentuk keseimbangan (equilibrium) dan relatif stabil. Perubahan terjadi secara gradual dalam rangka adaptasi terhadap lingkungan.
Orde Baru & asumsi-asumsi sispol Asumsi keseimbangan dan saling ketergantungan rupanya tidak terjadi dalam politik Indonesia sampai dengan Orde Baru; Pemegang otoritas terlalu dominan (otonom) terhadap unsur lain. Keputusan politik (pemerintah atau [pejabat] negara) bukan (sekadar) respons terhadap input (tuntutan & dukungan) dari masyarakat, melainkan lebih atas kemauan sendiri; Negara lebih mengendalikan masyarakat, bukan sebaliknya. Mengapa?
The State-Qua-State Bennedict R’OG Anderson, 1983, ‘Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective’, Journal of Asian Studies, vol. XLII, no. 3 (May). Judul tulisan Ben Anderson membalik judul tulisan Clifford Geertz tahun 1960-an, ‘New State, Old Society’
The State-Qua-State Kebijakan-kebijakan Orde Baru sebaiknya dipahami dalam pengertian kepentingan- kepentingan negara itu sendiri; Ada pertentangan antara kepentingan negara dan masyarakat. Negara Indonesia modern digambarkan sebagai entitas yang melayani diri sendiri, mengejar kepentingan yang dipahami sendiri atas biaya kepentingan lain yang bertentangan dalam masyarakat. Negara memboroskan sumber daya dan kekayaan bangsa.
The State-Qua-State Negara Orde Baru hampir sepenuhnya terlepas dari dan tidak responsif terhadap kepentingan- kepentingan masyarakat; Kekuasaan negara berada di tangan militer, dan pada dasarnya tidak berubah sejak masa kolonial; Kebijakan merefleksikan kepentingan-kepentingan negara daripada kepentingan kelompok atau kelas ekstra-negara (di luarnya), dengan sedikit pengecualian terhadap modal asing. Sedikit ruang untuk partisipasi politik, dan pertimbangan tentang isu perwakilan kepentingan.
The Bureaucratic Polity & Patrimonialism Konsep ‘bureaucratic polity’ berasal dari Fred Riggs yang mengkaji tentang politik Thailand yang diadopsi Karl D. Jackson untuk studi Indonesia; Konsep ‘patrimonialism’ bersumber dari Max Weber dan direinterpretasi oleh G. Roth dan Eisenstadt; Meskipun berbeda kedua konsep tersebut sangat banyak tumpang-tindihnya.
Model Patrimonial Esensi model patrimonial: kepala negara bertindak layaknya penguasa tradisional, menjaga posisinya dengan cara membagi-bagikan hadiah materi dan kesempatan kepada anggota elite yang memerintah; Elite terpecah dalam kelompok-kelompok yang saling bersaing untuk berebut hadiah dan perlindungan dari penguasa; Model patrimonial menekankan hubungan patron- klien dalam jejaring yang menyerupai piramida, ditandai oleh ikatan personal antar-individu yang berbeda status, dengan klien bergantung pada patron
Model Patrimonial Dalam model patrimonial, politik tidak ditandai oleh pertentangan mengenai substansi isu kebijakan, melainkan peraingan untuk memperoleh imbalan dan keuntungan; Kepentingan masyarakat ditekan. Pendeknya, negara tidak responsif terhadap kepentingan- kepentingan atau tekanan-tekanan di/dari luar;
The Bureaucratic Polity Elite birokratik dapat leluasa menentukan kebijakan tanpa terkendala oleh kepentingan- kepentingan masyarakat; Bureaucratic polity mengandung banyak karakteristik patrimonial, pemimpin politik membagi-bagikan hadiah untuk kalangan elite demi mempertahankan posisinya; Dengan penekanan pada eksklusi dan hubungan interpersonal, kedua model ini sesungguhnya serumpun dan saling bergandengan tangan
Menjadi ‘mainstream’ approach Banyak penulis menginterpretasi politik Indonesia dari perspektif ini: Karl D. Jackson, Harold Crouch, John Girling, Ruth McVey, Jamie Mackie … Mereka menggunakan istilah berbeda tetapi menekankan substansi yang sama; Karl Jackson,¹ menggambarkan partisipasi dalam perumusan kebijakan merupakan wilayah eksklusif pejabat-pejabat senior, militer dan sipil: “seperti pulau kecil yang terpisah dari lautan sosial …” ¹”Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia” dalam ….
Karl D. Jackson … Menurut Karl Jackson, yang membedakan bureaucratic polity dari model lain adalah tingkatan sejauh mana pengaruh terhadap proses pembuatan keputusan dibatasi pada elite negara; Kesempatan partisipasi bagi kepentingan di luar elite negara hanya pada tahapan implementasi kebijakan, itu pun umumnya hanya penyesuaian-penyesuaian kecil pada tingkat lokal; Ada elemen patrimonial: persaingan elite negara disatukan melalui jejaring personal patron-klien.
Harold Crouch* Crouch menerapkan model patrimonial dengan menekankan politik intra-elite (semacam politik istana), bukan pada persaingan antar-faksi tentang substansi kebijakan, melainkan pada pembagian kesempatan material dan jabatan. Inheren dalam model ini ada ketegangan dengan pembangunan ekonomi yang akan menghasilkan regularisasi dan rasionalisasi sistem politik. *”Patrimonialism and Military Rule in Indonesia” World Politics, vol. 31 no. 4
Harold Crouch* Kemudian Crouch mempertanyakan pentingnya kalangan bisnis selaku kekuatan politik di Indonesia. Menurut Crouch, responsivitas negara terhadap kepentingan bisnis terjadi di atas landasan patrimonial, pejabat-pejabat senior secara individual menyediakan konsesi ke klien orang bisnis. Sedikit kalangan bisnis secara individual menikmati kepuasan, bukan keseluruhan kelas bisnis. Kalangan bisnis yang didominasi etnis China dibatasi pengaruh politiknya. *”The Missing Bourgeoisie: Approaches to Indonesia’s New Order” …
Esensi bureaucratic polity-patrimonialism Semua penulis mempertanyakan hubungan negara dan masyarakat dan monopolisasi pengaruh atas pembentukan kebijakan oleh pejabat negara senior; Kesimpulan mereka serupa: hanya sedikit ruang bagi yang di luar struktur negara untuk memengaruhi kebijakan; Bedanya dengan pendekatan ‘state-qua-state” Anderson: mereka tak melihat negara sebagai aktor korporat yang koheren, mengejar kepentingan obyektif mereka sendiri.
Esensi bureaucratic polity-patrimonialism Lebih dari sekadar aktor, negara lebih dipahami sebagai sebuah arena, di mana kelompok-kelompok elite saling bersaing satu sama lain; Tetapi, keduanya menekankan eksklusi (penyingkiran) kepentingan-kepentingan masyarakat dari proses-proses pembentukan kebijakan negara.
Bureaucratic Pluralism Istilah ‘bureaucratic pluralism’ diperkenalkan oleh Donald Emmerson.‡ Ia berusaha memberi alternatif antara Ben Anderson yang menekankan watak monistik negara, dan gambaran bureaucratic-policy yang menekankan persaingan antarkelompok patrimonial semata-mata demi jabatan; Politik pada tingkat nasional sekaligus lebih teratur dan lebih pluralistik; Dalam bingkai keamanan regime (bisa) terjadi perdebatan serius antar-agen-agen birokrasi untuk memutuskan kebijakan pembangunan industrial ‡”Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia” …
Bureaucratic Pluralism Jadi, pertama, negara ternyata lebih pluralistik dibanding yang digambarkan Ben Anderson. Dan, kedua, kompetisi politik ternyata bukan semata-mata berebut keuntungan pribadi antar-kelompok klien, tetapi juga berdebat tentang kebijakan substantif yang penting; Fokus Emmerson pada karakter internal dan sifat negara itu sendiri. Dia tak mengklaim adanya input pluralistik dari luar aparatur negara. Sementara negara terisolasi dan tak responsif, ternyata ada pluralitas bukan saja kepentingan, tapi juga orientasi kebijakan dalam negara.
Bureaucratic-Authoritarianism Menurut Dwight King, Indonesia lebih baik dimengerti sebagai ‘bureaucratic-authoritarian regime’.† Konsep ini muncul dari Amerika Latin, 1960an-1970an, ketika demokrasi kolap digantikan penguasa militer; Terjadi pergeseran dramatis ke arah represi politik dan konsentrasi kekuasaan ke tangan elite militer dan birokrasi – untuk menyingkirkan kelompok- kelompok masyarakat, khususnya sektor populer †”Indonesia’s New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime or Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?” …
Bureaucratic-Authoritarianism Regime birokratik otoriter muncul terkait komitmen untuk reformasi dan pembangunan ekonomi dengan para teknokrat spesialis sebagai pengarah kebijakan ekonomi; Menurut O’Donnel, ada kaitan kausal antara transformasi politik dan pergeseran ekonomi dari industrialisasi substitusi-impor ke pendalaman industrial; Orde Baru bisa dipahami dalam perspektif ini dengan strategi korporatis untuk mengelola perwakilan kepentingan
GLOBALISASI Market Power State Power Community Power NEO-LIBERALISME Homo Economicus [ekonomi motif tunggal hubungan antarmanusia] Free Capital Movement Advertisment Brand Logo Labeling Newly-made Rules WTO GATTS TRIPs TRIMs APA Praktik Bisnis Trans-nasional BAGAIMANA Konsumerisme/ Ideologi GLOBALISASI SIAPA Perusahaan Trans-nasional World Bank, IMF, IFIs, MDBs Market Power Deregulasi Liberalisasi Privatisasi Gaya Hidup Global Identitas Global Kultur Global Provision of Public Needs— Our Shared Life Kebijakan Publik Pilihan Individual State Power Community Power