Krisis Multidimensi Krisis multidimensi merupakan istilah yang populer pada dewasa ini sebagaimana terbaca di dunia masa. Secara umum istilah tersebut menunjuk pada berbagai masalah yang melilit kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia setelah reformasi mei 1998 sehingga terjadi merosotan dalam hampir segala aspek kehidupan
Krisis ini dimulai dengan gejolak keuangan yang memburuk pada tahun 1996, padahal baru saja dipuji-puji oleh Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Nilai tukar rupiah jungkir balik sehingga banyak bank dan perusahaan yang kolaps. Akibat lebih jauh muncul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah di bawah Presiden Soeharto yang telah berkuasa sejak tahun Ketidakpuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto sebenarnya sudah terasa pada awal dekade 1990-an, ketika pada tahun 1993 Soeharto dicalonkan oleh Golkar sebagai presiden
Semangat reformasi yang tujuan luhurnya adalah membangun hari depan bangsa yang lebih baik disegala bidang melalui reformasi politik, hukum, pemerintahan sosial, ekonomi, dan lain-lain menibulkan dampak sosial yang hebat. Ada kecenderungan siapapun boleh berbicara dan bertindak apasaja demi reformasi sehingga tampak berkembanglah kebebasan berpendapa dan demokrasi, tetapi disisi lain marak juga anarkisme yang tercermin pada berbagai kasus yang merugikan banyak pihak. Seperti otonomi daerah yang berlebihan, penjarahan tanah, penebangan hutan, dan kerusuhan social di berbagai tempat seperti ambon, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat dan Jawa Timur
Sementara itu, terbacalah di media masa betapa maraknya korupsi di tubuh lembaga – lembaga hukum, peradilan, perwakilan rakyat, perbankan, badan – badan usaha milik Negara, dinas–dinas, dan lain–lain justru di tengah kondisi perekonomian, pendidikan, ketertiban, dan keamanan yang masih tetap dikeluhkan, banyak orang. Tidaklah berlebihan apabila para pakar menyebut krisis Indonesia masa itu sebagai krisis multidimensi atau krisis yang merayap ke segala aspek kehidupan
Keprihatinan masyarakat luas itu telah terekam juga dalam pertemuan sastrawan Indonesia 1997 di Bukit Tinggi dan Padang, 6 – 11 Desember 1997 yang secara garis besar menyatakan rasa malu atas kemandulan sastra Indonesia di tengah – tengah “ kemandulan raya” seluruh sector dan bidang kehidupan masyarakat. Karya Sastra masih diperkakukan dengan sikap tidak peduli, sinis, bahkan di curigai oleh banyak pihak sehingga berkembang setumpuk kendala bagi lahirnya karya sastra yang bermutu tinggi dengan ketidak pahaman kekuasaan sebagai mana
tampak pada pelarangan Karya Sastra yang mencerminkan ketidak sungguhan proses pendidikan masyarakat Indonesia untuk menjadi manusia yang merdeka lahir batin. Salah satu caranya adalah meningkatkan anggaran pendidikan dua kalilipat dari masa itu sehingga meningkatkan kesejahteraan sector pendidikan sebagai landasan membangun manusia Indonesia yang merdeka lahir batin. Cara ini adalah kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan kontribusi yang terbaik dalam pencerahan kehidupan manusia di alam semesta titipan Allah
Kalaupun tampak kemajuan fisik dan ekonomi selama puluhan tahun, ternyata tidak berbekas kedalam kehidupan Sastra Indonesia. Oleh karena itu, para Sastrawan Indonesia melafaskan serangkaian himbauan dan harapan kepada banyak pihak, termasuk kepada diri mereka sendiri untuk mengukuhkan kembali rasa percaya dirinya didalam proses penciptaan karya sastra yang tetap setia pada kreatifitas, kecerdasan dank e arifan seni sehingga lairlah karya sastra yang lebih bermutu dan mampu meng ilhami kebangkitan dan pencerahan manusia dan budaya Indonesia
Disamping itu, para sastrawan pun menghimbau pada banyak pihak agar meninjau dan mengkaji ulang system pendidikan nasional Indnesia yang dianggap belum mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertemuan sastrawan Indonesia itu terlaksana dalam suasana prihatin karena krisis ekonomi yang seakin berat di akhir tahun Barangkali tidak terbayang dipikiran mereka bahwa beberapa bulan kemudian terjadilah peristiwa bersejarah 21 Mei 1998 yang meruntuhkan kekuasaan rezim Soeharto. Namun, jelaslah bahwa renungan dan himbauan mereka telh mengisyaratkan semangat pembebasan terhadap tekanan dan kekangan politik
Jebolnya kekuasaan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 telah menimbulkan semangat reformasi yang berlebihan sehingga sering di keluhkan orang sebgai “keblabasan” atau euphoria dihampir segala aspek kehidupan, termasuk dunia penerbitan. pasa tahun pertama era reformasi telah bermunculan penerbitan tabloid, Koran, majalah, dan buku dimana – mana yang semuanya hendak menyuarakan kebebasan berpendapat. Akan tetapi, hanya dlam beberapa tahun bayak penerbitan yang rontok sehigga hanya penerbitan yang sudah mapanlah yang sering bertahan