HASIL PENELITIAN TERAPI NUTRISI PADA GANGGUAN PARU OBSTRUKTIF MENAHUN LUKY DWIANTORO
Nutrisi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dianggap penting pada pasien gangguan pernafasan karena pasien penyakit paru pada umumnya akan jatuh dalam keadaan malnutrisi, dan menurun-kan fungsi paru akibat hilangnya kekuatan otot-otot respirasi dan menurunnya ka-pasitas ventilasi; selain itu akan juga men-ganggu sistem imunitas.
Insiden malnutrisi pada pasien paru obstruktif kronik ketika dirawat di RS adalah sekitar 50%, dan yang sudah tidak dirawat adalah 25%; jika pasien mengalami kegagalan pernafasan akut 60%nya akan mengalami malnutrisi
Masalah terpenting dalam pemberian nutrisi pada pasien gangguan respirasi adalah saat nutrisi oral tidak adekuat; pemberian secara parenteral akan justru menurunkan fungsi saluran pencernaan. Tetapi pemberian secara enteralpun juga bisa memberikan efek samping yang berhubungan dengan hipercapnia akibat produksi CO2 berlebihan serta efek aspirasi
Penelitian tentang pemberian nutrisi bagi pasien gangguan respirasi seperti pada penyakit paru obstruktif kronik atau COPD mulai banyak dilakukan. Pada prinsipnya penatalaksanaan nutrisi pada pasien COPD dapat diaplikasikan pula pada pasien dengan penyakit respirasi lainnya.
Referensi terbaru yang dikeluarkan oleh ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition tahun 2006, menulis bahwa pemberian karbohidrat dengan komposisi 5060% jutsru akan meningkatkan nilai Respiratory Quotient atau RQ yaitu meningkatkan produksi CO2 dari hasil pemecahan glukosa, yang nilainya 1,0;
nilai RQ glukosa paling tinggi dibandingkan dengan lemak dan protein yaitu 0,7 dan 0,8; dengan demikian pemakaian karbohidrat terlalu banyak akan mempercepat pasien menggunakan ventilator.
Disebutkan pula bahwa nutrisi enteral rendah karbohidrat dan tinggi protein meningkatkan berat badan setelah pemberian 8 minggu. Penatalaksanaan terapi nutrisi bagi pasien paru obstruktif menahun dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik : komposisi makronutrien yang disarankan adalah karbohidrat 35 50%, protein 35-50% dan lemak 1520%.
Guideline atau rekomendasi ESPEN tersebut memang sanga berbeda dengan rekomendasi di sumber-sumber referensi beberapa tahun sebelumnya. Dalam Thorax tahun 1992 disebutkan pemberian karbohidrat pada pasien penyakit paru obstruktif bisa sampai 52%; juga di salah satu jurnal European Respiratory Journal tahun 1996, disebutkan bahwa karbohidrat pada pasien penyakit paru yang direkomendasikan adalah 60-70%.
Pernah diteliti pula mengenai perbandingan penggunaan karbohidrat dosis rendah dan dosis tinggi pada pasien obstruktif paru menahun selama 3 minggu menggunakan parameter fungsi paru. Pasien dalam penelitian adalah 60 pasien COPD dengan BB rendah yaitu kurang dari 90% BB ideal, kemudian pasien diacak dan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Formula tinggi karbohidrat (15% protein, 20-30% lemak dan 60-70% karbohidrat) dibandingkan dengan sediaan rendah karbohidrat (16.7% protein, 55.1% lemak dan 28.2% karbohi-drat) diberikan secara oral pada sore hari sebagai bagian dari diet.
Fungsi paru diukur melalui tekanan volume ekspirasi 1 detik atau volume udara ekshalasi pada ekspirasi maksimal, ventilasi per menitnya, konsumsi Oksigen per unit per waktu dan produksi CO2 un-tuk menghitung RQ/Respiratory Quotient dan juga pemeriksaan gas darah yaitu pH, tekanan CO2 dalam arteri dan tekanan O2 dalam arteri yang dilakukan saat baseline dan setelah 3 minggu.
Hasilnya : fungsi paru-paru turun bermakna serta volume ekspirasi meningkat bermakna pada kelompok tinggi lemak dan rendah karbohidrat dibandingkan yang menggunakan tinggi karbohidrat.
Metaanalisis pemberian nutrisi bagi pasien paru pernah dibuat oleh Cochrane Aiways Group, bersumber dari 272 referensi dan 9 penelitian acak buta ganda mengenai suplementasi nutrisi bagi pasien kronik obstruktif paru dan pengaruhnya terhadap pengukuran antropometrik, fungsi paru, otot pernafasan dan kapasitas fungsi pasien dalam melakukan ak- tivitas;
disimpulkan bahwa terapi nutrisi bagi pasien paru obstruktif menahun tidak memberikan efek perbaikan antropometri serta fungsi paru dan perbaikan kapasitas fungsional pasien.