Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Oleh : KH.M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Oleh : KH.M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI"— Transcript presentasi:

1 Oleh : KH.M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI
HUKUM SYARA’ SEPUTAR VAKSINASI Oleh : KH.M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI Pimpinan PP Hamfara Yogyakarta

2 (2) Pengertian Vaksinasi
POKOK BAHASAN (1) Pendahuluan (2) Pengertian Vaksinasi (3) Hukum Berobat (at tadaawi ‘ / al mudaawah) (4) Hukum Berobat Dengan Zat Najis dan Zat Berbahaya (5) Hukum Vaksinasi (6) Pencegahan Penyakit, Termasuk Berobat?

3 1. PENDAHULUAN

4 Pendahuluan Hukum Vaksinasi
Untuk memberi hukum syara’ pada vaksinasi, perlu ditempuh 3 tahapan sbb : Pertama, memahami fakta vaksinasi (fahmul waaqi’ / tahqiiq al manaath), Kedua, memahami hukum syara’ yang terkait berobat. Ketiga, menerapkan hukum berobat pada fakta vaksinasi.

5 2. PENGERTIAN VAKSINASI

6 Vaksinasi Vaksin adalah bakteri dan virus yang telah dilemahkan.
Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin ke tubuh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan efek kekebalan terhadap penyakit tertentu Imunisasi adalah proses untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. duniaiptek.com/perbedaan-vaksinasi-dan-imunisasi/

7 Vaksinasi Vaksinasi dpt disebut juga imunisasi.
Tapi imunisasi lebih umum daripada vaksinasi, karena imunisasi dapat juga diperoleh tanpa vaksinasi. Misalnya : memberikan ASI pada bayi karena ASI juga membantu meningkatkan kekebalan (imun) pada bayi. Vaksinasi bagian dari imunisasi, sedang imunisasi belum tentu vaksinasi karena imunisasi banyak macamnya. duniaiptek.com/perbedaan-vaksinasi-dan-imunisasi/

8 3. HUKUM BEROBAT (at tadaawi / al mudaawah)

9 Hukum Berobat Para ulama berbeda pendapat dalam hal hukum berobat, menjadi 5 (lima) pendapat; (1) Wajib (2) Sunnah (3) Mubah (4) Makruh (5) Lebih baik ditinggalkan jika kuat tawakkalnya.

10 Hukum Berobat Pendapat pertama, mengatakan berobat hukumnya wajib, dengan perintah Rasululloh SAW   untuk berobat dan asal hukum perintah adalah wajib. Ini adalah salah satu pendapat madzhab Malikiyah, Madzhab Syafi’iyah, dan madzhab Hanabilah.

11 Hukum Berobat Pendapat kedua, mengatakan sunnah/ mustahab, sebab ada perintah Rasulullah SAW untuk berobat dan dibawa kepada hukum sunnah karena ada hadits yang lain Rasululloh SAW memerintahkan bersabar, dan ini adalah madzhab Syafi’iyah.

12 Hukum Berobat Pendapat ketiga, mengatakan mubah/ boleh secara mutlak, karena terdapat keterangan dalil- dalil yang sebagiannya menunjukkan perintah dan sebagian lagi boleh memilih. Ini adalah  madzhab Hanafiyah dan salah satu pendapat madzhab Malikiyah).

13 Hukum Berobat Pendapat keempat mengatakan makruh, alasannya para sahabat bersabar dengan sakitnya, Imam Qurtubi rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud,  Abu Darda radhiyallahu ‘anhum, dan sebagian para Tabi’in.

14 Perincian ini dari kalangan madzhab Syafi’iyah.
Hukum Berobat Pendapat kelima, mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang kuat tawakkalnya dan lebih baik berobat bagi yang lemah tawakkalnya, Perincian ini dari kalangan madzhab Syafi’iyah. (Lihat :

15 Hukum Berobat Pendapat rajih (yang lebih kuat dan terpilih) : Berobat hukumnya sunnah / mustahab, karena terdapat perintah Rasulullah SAW untuk berobat, namun ada qarinah (indikasi / petunjuk) yang menunjukkan perintah tersebut adalah perintah sunnah bukan perintah wajib.

16 Dalil sunnahnya berobat :
Hukum Berobat Dalil sunnahnya berobat : Ada perintah berobat sesuai sabda Rasulullah SAW : «إِنَّ اللَّهَ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ، خَلَقَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا»، “Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah pun menciptakan obatnya, maka berobatlah.” (HR. Ahmad)

17 Hukum Berobat Perintah berobat lainnya dari Nabi SAW dari hadits Usamah bin Syarik RA sbb: عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِهِمُ الطَّيْرُ، فَسَلَّمْتُ ثُمَّ قَعَدْتُ، فَجَاءَ الْأَعْرَابُ مِنْ هَا هُنَا وَهَا هُنَا، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: «تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ» أي “إلا الموت

18 Hukum Berobat (2) Dari Usamah bin Syarik RA, ia berkata:
“Saya mengunjungi Nabi SAW dan para sahabatnya, dan di atas kepala mereka seakan-akan ada burung, maka aku memberi salam lalu duduk, lalu datanglah orang-orang Arab Badui dari arah ini dan arah itu, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami mesti berobat?” Rasulullah SAW menjawab:

19 Hukum Berobat “Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit melainkan Allah turunkan pula obatnya, kecuali satu penyakit ketuaan, yakni kematian.” (HR Abu Dawud)

20 Hukum Berobat Kedua hadits di atas, menunjukkan adanya perintah (thalabul fi’li, amr) untuk berobat. Yaitu sabda Rasulullah SAW : فَتَدَاوَوْا “Maka berobatlah kamu” (HR Ahmad). Juga sabda Rasulullah SAW : تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ

21 Hukum Berobat “Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit melainkan Allah turunkan pula obatnya, kecuali satu penyakit ketuaan, yakni kematian.” (HR Abu Dawud)

22 Hukum Berobat Tapi perintah berobat (thalabul fi’li) pada dua hadits di atas, adalah perintah sunnah (ghairu jaazim) bukan perintah wajib, karena ada beberapa qarinah (petunjuk) yang menunjukkan bolehnya tidak berobat, di antaranya: وروى البخاري عن ابْنُ عَبَّاسٍ: قَالَ: … هَذِهِ المَرْأَةُ السَّوْدَاءُ، أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي، قَالَ: «إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ» فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ، «فَدَعَا لَهَا…»

23 Hukum Berobat Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas r.a., ia berkata: “Wanita berkulit hitam ini, ia pernah menemui Nabi SAW sambil berkata: “Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku.” Nabi SAW bersabda:

24 Hukum Berobat “Jika kamu berkenan, bersabarlah maka bagimu surga, dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Ia berkata: “Baiklah aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi; “Namun berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW mendoakan untuknya.” (HR Bukhari) Hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat.

25 Hukum Berobat Kesimpulannya, perintah Nabi SAW untuk berobat bukanlah perintah wajib / tegas (jaazim), tetapi perintah sunnah (anjuran) (ghairu jaazim). Karena ada qarinah (petunjuk) yang menunjukkan bolehnya tidak berobat. Maka hukum berobat adalah sunnah atau mustahab, tidak wajib.

26 4. HUKUM BEROBAT DENGAN ZAT NAJIS DAN ZAT BERBAHAYA

27 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
Para ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya berobat dengan suatu zat yang najis atau yang haram. (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut : Darul Fikr], 1990, Juz I hal. 384). Dalam masalah ini ada 3 (tiga) pendapat :

28 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
Pendapat pertama, Jumhur ulama mengharamkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, kecuali dalam keadaan darurat. (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz I hal. 492; Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, [Damaskus : Darul Fikr], 1996, Juz IX hal. 662; Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz XIII hal. 166).

29 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
Pendapat kedua, sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Syafiiyah (bermazhab Syafii) menghukumi boleh (jawaz) berobat dengan zat-zat yang najis. (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih Al Ahkam, [Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah], 1999, Juz II hal. 6; Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Juz VI hal. 100).

30 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
Pendapat ketiga, sebagian ulama lainnya, seperti Taqiyuddin an Nabhani, menyatakan makruh hukumnya berobat dengan zat yang najis atau yang haram. (Taqiyuddin al Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, Juz III hal. 116).

31 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
Pendapat rajih (yang lebih kuat dan terpilih) : Berobat dengan zat najis hukumnya makruh, karena terdapat larangan dari Rasulullah SAW untuk berobat dengan zat najis, namun ada qarinah (indikasi / petunjuk) yang menunjukkan larangan tersebut adalah larangan makruh bukan larangan haram.

32 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
Dalil-dalil makruhnya berobat dengan zat yang najis / haram : Ada larangan berobat dengan zat yang najis / haram, sabda Nabi SAW :  إِن اللّهَ أَنْزَلَ الداءَ وَالدوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً، فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ "Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376).

33 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
Ada larangan berobat lainnya dengan zat yang najis / haram, sesuai sabda Nabi SAW :  إِن اللّهَ لم يجعل شفائكم فيما حرم الله عليكم "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa-apa yang telah Allah haramkan atas kalian. (HR Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan Thabrani).

34 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
Namun, ada beberapa qarinah berupa hadis-hadis yang menunjukkan larangan itu bukan larangan jazim (tegas) atau haram, tapi larangan makruh, di antaranya: (1) Dalam Shahih Bukhari terdapat hadis, orang-orang suku 'Ukl dan Urainah datang ke kota Madinah menemui Nabi SAW lalu masuk Islam. Namun mereka kemudian sakit karena tidak cocok dengan makanan Madinah.

35 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
Nabi SAW lalu memerintahkan mereka untuk meminum air susu unta dan air kencing unta... (Shahih Bukhari, no 231; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 1/367). Hadits ini menunjukkan bolehnya berobat dengan zat najis, karena air kencing itu najis.

36 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
(2) Dalam Musnad Imam Ahmad, Nabi SAW pernah memberi rukhshah (keringanan) kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk mengenakan sutera karena keduanya menderita penyakit kulit. (HR Ahmad, no ). Hadis di atas menunjukkan bolehnya berobat dengan sesuatu haram digunakan oleh laki-laki (sutera). (Fahad bin Abdullah Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Ath-Thabib, hal ).

37 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
(3) Dalam Sunan Abu Dawud, Nabi SAW pernah memberi rukhshah (keringanan) kepada Arfajah bin As’ad untuk memakai hidung palsu dari emas, karena hidung Arfajah terputus saat Perang Kulab. Awalnya Arfajah membuat hidung palsu dari besi tapi kemudian hidungnya membusuk, kemudian Nabi SAW memerintahkan Arfajah memakai hidung palsu dari emas. (HR Abu Dawud, no. 4232). Hadis di atas menunjukkan bolehnya berobat dengan sesuatu haram digunakan oleh laki-laki (emas).

38 Hukum Berobat Dengan Zat Najis
Ketiga hadis di atas menjadi qarinah (petunjuk, indikasi) bahwa larangan berobat dengan yang najis atau haram bukanlah larangan haram, melainkan larangan makruh. Kesimpulannya, berobat dengan obat yang zatnya najis atau zatnya haram digunakan hukumnya makruh, bukan haram.

39 Hukum Berobat Dengan Zat Berbahaya
Berobat dengan zat yang menimbulkan bahaya (dharar) hukumnya haram. Sabda Rasulullah SAW : لا ضرر ولا ضرار “Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain.” (HR Ahmad).

40 5. HUKUM VAKSINASI

41 Kedua, memahami hukum syara’ yang terkait berobat.
Hukum Vaksinasi Seperti dijelaskan di muka, untuk memberi hukum syara’ pada vaksinasi, perlu ditempuh 3 tahapan sbb : Pertama, memahami fakta vaksinasi (fahmul waaqi’ / tahqiiq al manaath), Kedua, memahami hukum syara’ yang terkait berobat. Ketiga, menerapkan hukum berobat pada vaksinasi.

42 Maka dari itu, hukum vaksinasi sbb :
Hukumnya sunnah, jika vaksinnya tidak mengandung zat yang najis. Hukumnya makruh, jika mengandung zat yang najis. Hukumnya haram, jika mengakibatkan terjadinya bahaya (mudharat).

43 Hukum Vaksinasi Jika ada keraguan, apakah vaksin yang digunakan menggunakan zat najis atau tidak, maka dikuatkan pendapat “tidak menggunakan zat najis” sebagai hukum asal. Kaidah fiqih menyebutkan : الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم Hukum asal benda-benda adalah dibolehkan, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.

44 Hukum Vaksinasi Kaidah fiqih lain menyebutkan :
الأصل في الأعيان الطهارة والنجاسة عارضة Hukum asal benda-benda adalah suci, sedangkan kenajian bukanlah sifat asli benda (yang memerlukan dalil tentang kenajisannya). (M. Bakar Ismail, Al Qawa’id Al Fiqhiyyah Bayna Al Ashaalah wa At Taujiih, hlm. 353; M. Az Zuhaili, Al Qawa’id Al Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al Madzahib Al Arba’ah, hlm. 112)

45 Hukum Vaksinasi Jika ada pihak yang menyatakan suatu vaksin tertentu mengandung zat najis, dia berkewajiban membuktikan klaimnya tersebut. Sabda Rasulullah SAW : البينىة على المدعي “Bukti wajib diberikan oleh pihak yang mendakwa (mengklaim)...” (HR Tirmidzi)

46 Hukum Vaksinasi Menyebarkan teori konspirasi bahwa vaksinasi tertentu membahayakan umat Islam di tempat tertentu pada waktu tertentu, tanpa memberikan bukti berupa data dan fakta konkret, makruh. Sabda Rasulullah SAW : إن الله كره لكم ثلاثا: قيل وقال، وإضاعة المال وكثرة السؤال “Sesungguhnya Allah membenci bagi kalian tiga perkara, menyebarkan berita katanya katanya, menyia-nyiakan harta, dan banyak meminta.” (HR Bukhari).

47 6. PENCEGAHAN PENYAKIT, TERMASUK BEROBAT?

48 Pencegahan Penyakit Diriwayatkan hadits dari Shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah bersabda. مَنْ تَصَبَّحَ كل يوم بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً، لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ “Barangsiapa setiap pagi mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun maupun sihir” (HR Bukhari, no 5130).

49 Pencegahan Penyakit Hadits ini menunjukkan bahwa mencegah terjadinya penyakit juga merupakan aktivitas berobat (at tadaawi / al mudaawah) yang disyariatkan. Dengan demikian, vaksinasi juga termasuk berobat, walaupun penyakitnya sendiri belum terjadi. Wallahu a’lam.

50 TERIMA KASIH WASSALAM

51 BIODATA Nama : M. Shiddiq Al Jawi
Tmpt/Tgl Lahir : Grobogan, 31 Mei 1969 Pekerjaan : Dosen Tetap STEI Hamfara Jogja Mudir Ma’had STEI Hamfara Jogja Pendidikan Umum : S1 Fakultas MIPA IPB Bogor (lulus 1997) S2 Magister Studi Islam UII Jogja (lulus 2009) S3 Kajian Islam Kontemporer UIN Sunan Ampel Surabaya (mulai 2016) Pendidikan Agama : Pondok Pesantren Nurul Imdad Bogor ( ) Pondok Pesantren Al Azhhar Bogor ( ) Pengalaman Org. : Ketua Umum BKI IPB MUI DIY : (1) Komisi Dakwah ( ), (2) Komisi Fatwa ( )

52 KARYA-KARYA Telah menulis 6 (enam) buku, menerjemahkan 13 (tiga belas) kitab berbahasa Arab, dan menulis sekitar 550 artikel keislaman. Dari 550 artikel keislaman tersebut, sekitar 450 judul di antaranya adalah tema-tema tentang Fiqih Islam. Artikel-artikel fiqih Islam tsb sedang dalam proses editing menjadi buku. Dapat dicari dengan Google dengan cara : tulis tema tertentu (misal KPR, leasing, asuransi syariah) dan tulis al jawi.

53 E-mail : shiddiq_aljawi@protonmail.com
Mobile/WA/Telegram :


Download ppt "Oleh : KH.M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google