Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehInge Tanudjaja Telah diubah "7 tahun yang lalu
1
Fiqh Talak dan Rujuk فقه الطلاق و الرجع
Ahmad Syakirin
2
Mukaddimah Nikah nikmat Allah kepada hambaNya ﴿ وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا ﴾ [الروم: 21]. Al-Quran menamakan pernikahan mitsaqan ghalidlan وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا * وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا ﴾ [النساء: 20، 21]،
3
Pengertian talak Talak secara bahasa : الإرسال و الترك
Melepas dan meninggalkan Secara syar’i : حل رابطة الزواج و إنهاء العلاقة الزوجية Artinya: “Melepaskan ikatan pernikahan dan mengakhir hubungan suami istri” (Fiqh Sunnah, Juz VII hlm. 379)
4
Dalil disyari’atkannya talak
A. Dalil dari Al-Qur’an, الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229) B. Dalil dari Sunnah Diantaranya sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma bahwasannya dia menalak istrinya yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ “Perintahkan kepadanya agar dia merujuk istrinya, kemudian membiarkan bersamanya sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah itu terserah kepadanya, dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa menalaknya (mencraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’) jika mau. Itulah iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat langsung menhadapinya (iddah)” (HR. Bukhari dan Muslim). C. Ijma Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan: “Sungguh telah dihikayatkan adanya ijma’ atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm 411)
5
Hukum Talak 1- Makruh Yaitu ketika suami menjatuhkan talak tanpa ada hajat (kebutuhan) yang menuntut terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan baik. 2- Haram Yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i. Yaitu suami menjatuhkan talak dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita. dan terjadi pada dua keadaan: Pertama : Suami menjatuhkan talak ketika istri sedang dalam keadaan haid Kedua : Suami menjatuhkan talak kepada istri pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak. 3- Mubah (boleh) Yaitu ketika suami berhajat atau mempunyai alasan untuk menalak istrinya. Seperti karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena perangai dan kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak sanggup bershabar kemudian menceraikannya. Namun bershabar lebih baik. فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’ : 19) 4- Sunnah Ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya serta mencegah kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya suaminya masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti ini terhitung sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhaanahu wata’ala : وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُحْسِنِينَ “Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Baqarah :195) 5- Wajib Yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak akan menggauli istrinya, -ed.) setelah masa penangguhannya selama empat bulan telah habis, bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang memaksanya untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang menjatuhkan talak tersebut. (Silahkan lihat Taudiihul Ahkam : 5/488, Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm. 410, Fiqih Muyyasar, hlm. 306)
6
Jatuhnya Talak Talak hanya jatuh jika di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di ucapkan, tidak terhitung talak. Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : “Tidak jatuh talak darinya dan tidak juga dari yang mewakilinya kecuali dengan di ucap-kan dengannya, walaupun meniatkan dalam hatinya; tidak jatuh talak. Sampai lisannya bergerak mngucapkannya. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam: إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ ، أَوْ تَتَكَلَّمْ “Sesunggunya Allah memaafkan dari ummatkuapa yang dikatakan (terbesik) oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan di ucapkan.” (HR. al-Bukhari no 5269 dan Muslim no 127) (Mulakhos Al-Fiqhy, hlm 414)
7
Kewenangan Talak Talak sah jika dari suami yang baligh, berakal, atau orang yang mewakilinya. Talak tidak jatuh (tidak sah) dari selain suami, anak kecil, orang gila, orang mabuk, orang yang dipaksa, dan orang yang dalam keadaan marah yang sangat yang tidak sadar dengan apa yang di ucapkannya.” (Fiqih Muyyasar, hlm 305) Diantara dalilnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ “diangkat pena dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai dia berakal” (HR. Abu Dawud no 4450, at-Tirmidzi no 1423 dan Ibnu Majah no 2041) Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : إن اللَّهُ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatnya tersalah, lupa dan apa yang mereka dipaksa atasnya.” (HR. Ibnu Majah, no 1662 dinyatakan shahih oleh syikh al-Albani di irwa’ no 42)
8
Talak dengan canda Orang yang bercanda mengucapkan talak adalah seseorang yang mengucapkan talak memaksudkan untuk mengucapkannya, memahami maknanya namun tidak menginginkan untuk menjatuhkannya (tidak ingin menlak istrinya –ed), dia mengucapakannya hanya untuk bercanda atau bersendau gurau. Dia terhitung telah menjatuhkan talak kepada istrinya walaupun dia hanya bercanda/bersendau gurau. Hal ini berdasarkan sebuah hadits. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda: ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ “Tiga perkara yang sungguhnya mereka dianggap sebagai kesungguhan dan yang bercandanya dianggap sebagai sungguhan, nikah, talak dan rujuk” (HR. Abu Dawud no 2129, at-Tirmidzi no 1184 dan Ibnu Majah no 2039 dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani di Irwa’ no 1826)
9
Lafadz-lafadz talak Talak bisa jatuh dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu : A. Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang tidak dipahami darinya selain dari talak. Seperti lafadz talak (cerai) atau pecahan dari kata itu atau yang semisalnya. Seperti suami yang mengatakan kepada istrinya kamu saya cerai. Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar: لفظ الطلاق أو ما تصرف منه صريح Para ulama sepakat bahwa lafadz talak dan pecahan dari kata itu, sharih (lafadz talak yang jelas –ed) (Fathul Bari:9/369) B. Dengan kinayah (kiasan) lafadz yang mengandung makna talak dan makna yang lainnya, jatuh sebagai talak jika di niatkan sebagai talak. Seperti suami mengatakan kepada istrinya pergi sana atau kembali sana kepada keluargamu.” (silahkan lihat Manhajus Saalikiin, Syaikh As-Sa’di hlm 274, Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan hlm 413, Fiqih Muyyasar hlm ). Dalil lafadz talak dengan kinayah (kiasan) jatuh sebagai talak jika diniatkan talak, hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu anha أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ فَقَالَ لَهَا لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ الْحَقِي بِأَهْلِكِ “Saat Ibnatul Jaun Hendak dipertemukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau mendekatinya, ia (ibnatul jaun) berkata: Aku berlindung kepada Allah darimu. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung. Kembalilah kepada keluargamu.” (HR. Bukhari no 5254)
10
Adapun dalil bahwa talak tidak jatuh dengan lafadz kinayah jika tidak diniatkan talak adalah hadits Ka’b bin Malik yang panjang yang mengisahkan tentang dirinya yang tertinggal tidak ikut perang Tabuk sehingga ia di hajr (boikot) oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama kaum muslimin, ia bercerita di tengah-tengah berlangsungnya boikot itu, atang utusan Rasulullah membawa perintah beliau untuk nya agar mengasingkan diri dari istrinya tanpa menalaknya, maka Ka’ab berkata kepada isterinya, الْحَقِي بِأَهْلِكِ فَتَكُونِي عِنْدَهُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ فِي هَذَا الأَمْرِ “Kembalilah kerumah keluargamu dan tinggalah bersama mereka sampai Allah memberi keputusan atas urusan ini.” (Mutafaqun alaih)
11
Jatuhnya talak Talak bisa jatuh dengan
a. Munjazah (secara langsung tidak terikat syarat). yaitu talak yang sejak diucapkan perkataan tersebut bermaksud untuk menalak, sehinga seketika itu jatuhlah talak. Seperti perkataan “kamu saya talak (cerai)” b. Muallaqah (terikat dengan syarat, seperti perkataan “jika datang waktu begini, maka kamu saya cerai”. Apabila terjadi sesuatu yang disyaratkannya maka jatuh talak (cerai). yaitu seseorang suami menjadikan jatuh talak tergantung pada syarat tertentu. Seperti perkataan suami kalau kamu tetap pergi ketempat itu kamu tertalak. (Manhajus Saalikiin, Syaikh As-Sa’di :274)
12
Pembagian Talak Para ulama sepakat bahwa ada 2 macam talak:
1- Talak raj’i adalah talak yang setelah dijatuhkan sang suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya selama dalam masih menjalani masa iddah, tanpa tergantung persetujuannya dan tanpa akad yang baru. Yaitu talak pertama dan kedua yang sang suami mempunyai hak untuk rujuk pada masa iddah kapan saja dia mau walaupun istri tidak rela dirujuk. 2- Talak bain
13
Talak bain ada dua macam:
Pertama : Talak ba’inunah shugra adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak memiliki peluang untuk rujuk kembali kepada istrinya, kecuali dengan persetujuan istrinya dan dengan akad yang baru, dan tidak harus dinikahi dulu oleh laki-laki lain. Yaitu terjadi ketika masa iddah istri dalam talak raj’i (talak satu dan dua) telah selesai, dan sang suami belum merujuknya. Kedua : Talak ba’inunah kubra adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami yang tidak ada kesempatan/peluang untuk rujuk (kembali) kepada istrinya. Kecuali dengan persetujuan istri, dengan akad yang baru. dan setelah mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan telah melakukan hubungan suami istri (jima’), lalu mantan istrinya itu dicerai atau suaminya meninggal dan masa iddahnya telah selesai.
14
Bagian 2: RUJUK Dalil-dalil yang menyatakan bolehnya rujuk:
Allah Ta’ala berfirman, الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. Al Baqarah: 229). Yang dimaksud “imsak dengan cara yang ma’ruf” dalam ayat tersebut adalah rujuk dan kembali menjalin pernikahan serta mempergauli istri dengan cara yang baik. وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa ‘iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228). Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa suami yang mentalak istrinya berhak untuk rujuk kepada istrinya selama masa ‘iddahnya dengan syarat ia benar-benar memaksudkan untuk rujuk dan tidak memberi dhoror (bahaya) kepada istri.
15
2- Hadits yang menunjukkan boleh adanya rujuk sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar ketika ia mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kala itu ‘Umar mengadukan kasus anaknya lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا “Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali” 3- Ijma’ (kata sepakat) dari para ulama bahwa seorang pria merdeka ketika ia mentalak istrinya kurang dari tiga kali talak dan seorang budak pria kurang dari dua talak, maka mereka boleh rujuk selama masa ‘iddah
16
Hikmah Syariat Rujuk Rujuk sangat dibutuhkan karena barangkali suami menyesal telah mentalak istrinya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala, لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا “Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (QS. Ath Tholaq: 1). Yang dimaksud dalam ayat ini adalah rujuk. Sebagaimana pendapat Fathimah binti Qois, begitu pula pendapat Asy Sya’bi, ‘Atho’, Qotadah, Adh Dhohak, Maqotil bin Hayan, dan Ats Tsauri.[5] Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Istri yang dicerai tetap diperintahkan untuk tinggal di rumah suami selama masa ‘iddahnya. Karena bisa jadi suami itu menyesali talak pada istrinya. Lalu Allah membuat hatinya untuk kembali rujuk. Jadilah hal itu mudah”
17
Hukum Seputar Rujuk dan Talak Roj’iy
1. Rujuk ada pada talak roj’iy (setelah talak pertama dan talak kedua), baik talak ini keluar dari ucapan suami atau keputusan qodhi (hakim). 2. Rujuk itu ada jika suami telah menyetubuhi istrinya. Jika talak itu diucap sebelum menyetubuhi istri, maka tidak boleh rujuk berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya adalah firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah[9] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya” (QS. Al Ahzab: 49). 3. Rujuk dilakukan selama masih dalam masa ‘iddah. Jika ‘iddah sudah habis, maka tidak ada istilah rujuk –berdasarkan kesepakatan ulama- kecuali dengan akad baru. Karena Allah Ta’ala berfirman, وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa ‘iddah)” (QS. Al Baqarah: 228). Kemudian Allah Ta’ala berfirman, وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228). Yang namanya rujuk adalah ingin meneruskan kepemilikan (istri). Kepemilikan di sini putus setelah berlalunya masa ‘iddah dan ketika itu tidak ada lagi keberlangsungan pernikahan.
18
4. Perpisahan yang terjadi sebelum rujuk bukanlah karena nikah yang batal karena faskh. Seperti nikah tersebut batal karena suami murtad. 5. Perpisahan yang terjadi bukan karena hasil dari membayar kompensasi seperti dalam khulu’ (istri menuntut cerai di pengadilan dan diharuskan membayar kompensasi). 6. Rujuk tidak bisa dibatasi dengan waktu tertentu sesuai kesepakatan suami-istri, semisal rujuk nantinya setelah 8 tahun. Sebagaimana nikah tidak bisa dengan syarat waktu sampai sekian bulan, begitu pula rujuk.
19
Ridlo Istri saat Rujuk Tidak Disyaratkan Ridho Istri Ketika Suami akan Rujuk Perlu dipahami bahwa rujuk menjadi hak suami selama masih dalam masa ‘iddah, baik istri itu ridho maupun tidak. Karena Allah Ta’ala berfirman, وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228). Dan hak rujuk pada suami ini tidak bisa ia gugurkan sendiri. Semisal suami berkata, “Saya mentalakmu, namun saya tidak akan pernah rujuk kembali”. Atau ia berkata, “Saya menggugurkan hakku untuk rujuk”. Seperti ini tidak teranggap karena penggugurannya berarti telah merubah syari’at Allah. Padahal tidak boleh seorang pun mengubah syari’at Allah. Padahal Allah Ta’ala telah menyebutkan, الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. Al Baqarah: 229). Dalam rujuk tidak disyaratkan ridho istri. Karena dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman, فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ “Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2). Dalam ayat ini hak rujuk dijadikan milik suami. Dan Allah menjadikan rujuk tersebut sebagai perintah untuk suami dan tidak menjadikan pilihan bagi istri.
20
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Wajib rujuk jika suami mentalak istrinya ketika haidh sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat dan akan dijelaskan detail pada masalah talak bid’iy. 2. Rujuk tidak disyaratkan ada wali dan tidak disyaratkan mahar. Rujuk itu masih menahan istri sehingga masih dalam kondisi ikatan suami-istri. 3. Menurut mayoritas ulama, memberi tahu istri bahwa suami telah kembali rujuk hanyalah mustahab (sunnah). Seandainya tidak ada pernyataan sekali pun, rujuk tersebut tetap sah. Namun pendapat yang hati-hati dalam hal ini adalah tetap memberitahu istri bahwa suami akan rujuk. Karena inilah realisasi dari firman Allah, فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ “Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2). Yang dikatakan rujuk dengan cara yang ma’ruf adalah memberitahukan si istri. Tujuan dari pemberitahuan pada istri adalah jika si istri telah lewat ‘iddah, ia bisa saja menikah dengan pria lain karena tidak mengetahui telah dirujuk oleh suami. 4. Ketika telah ditalak roj’iy, istri tetap berdandan dan berhias diri di hadapan suami sebagaimana kewajiban seorang istri. Karena ketika ditalak roj’iy, masih berada dalam masa ‘iddah, istri masih tetap istri suami. AllahTa’ala berfirman, وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228). Dandan dan berhias diri seperti ini tentu akan membuat suami untuk berpikiran untuk rujuk pada istri.
21
Cara Rujuk a. Rujuk dengan ucapan
Tidak ada beda pendapat di antara para ulama bahwa rujuk itu sah dengan ucapan. Seperti suami mengatakan, “Saya rujuk padamu” atau yang semakna dengan itu. Atau suami mengucapkan ketika tidak di hadapan istri dan ia berkata, “Saya rujuk pada istriku”. Lafazh rujuk ada dua macam: (1) shorih (tegas), (2) kinayah (kalimat samaran). Jika lafazh rujuk itu shorih (tegas) seperti kedua contoh di atas, maka dianggap telah rujuk walau tidak dengan niat. Namun jika lafazh kinayah (samaran) yang digunakan ketika rujuk seperti, “Kita sekarang seperti dulu lagi”, maka tergantung niatan. Jika diniatkan rujuk, maka teranggap rujuk. 2. Rujuk dengan perbuatan Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan bahwa dengan melakukan jima’ (hubungan intim) dan melakukan muqoddimahnya (pengantarnya) seperti mencium dengan syahwat baik diniatkan rujuk atau tidak, maka rujuknya teranggap. Ada juga ulama yang mensyaratkan harus disertai niat dalam jima’ dan muqoddimah tadi. Ada yang berpendapat pula bahwa rujuk adalah dengan jimak saja baik disertai niat atau tidak. Dalam pendapat yang lain, rujuk itu hanya teranggap dengan ucapan, tidak dengan jima’ dan selainnya. Pendapat yang pertengahan dalam masalah ini adalah rujuk itu teranggap cukup dengan jima’ namun dengan disertai niat. Inilah pendapat Imam Malik, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Alasannya karena setiap amalan tergantung pada niatnya.
22
Apakah Rujuk Butuh Saksi?
Allah Ta’ala berfirman,فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (QS. Ath Tholaq: 2). Yang rojih –pendapat terkuat- dalam hal ini adalah rujuk tetap butuh saksi bahkan diwajibkan berdasarkan makna tekstual dari ayat. Inilah yang menjadi pendapat Imam Syafi’i yang lama, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[
23
Talak Roj’iy Mengurangi Jatah Talak
Bahwa batasan talak adalah tiga kali. Jika seseorang telah mentalak istri sekali, maka masih tersisa kesempatan dua kali talak. Jika suami itu rujuk, maka tidak menghapus talak yang terdahulu. Allah Ta’alaberfirman, الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.