Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehBenny Chandra Telah diubah "7 tahun yang lalu
1
Tapak Bisnis Kalla (2) Salah satu perusahaan keluarga Kalla yang terkenal adalah PT Bukaka Teknik Utama. Pada tahun 1990-an, perusahaan ini mendapat dana Rp 25 miliar dari Taspen, Jasa Raharja, dan Danareksa. Dana itu sama nilainya dengan 20 persen saham. Padahal, tahun 1991 merupakan tahun uang ketat dan tahun berpacu mencari pinjaman luar negeri (offshore loan). Suasananya sedang tidak ‘makmur’, tapi Bukaka justru bisa memperoleh kucuran dana yang jumlahnya cukup besar. Sebagai konsekuensi dari suntikan dana tersebut, Taspen menugaskan orang kepercayaannya untuk masuk ke dalam manajemen Bukaka. Orang itu bernama Aji Suratman dan menjabat sebagai Direktur Perencanaan dan Pengawasan. Selama ini Bukaka memang selalu low profile, tetapi juga tidak buruk. “Dana tersebut kami manfaatkan untuk memperkuat permodalan,” jawab Direktur Bukaka Ahmad Kalla pada waktu itu. Konkretnya, untuk memperluas areal pabrik di Cileungsi, Bogor, dari 12 hektare menjadi 27 hektare. Bukaka juga membangun areal pabrik kedua, yang luasnya 40 hektare. Di areal itu, Bukaka akan membangun industri pengempaan (mencetak barang dari logam padat) dan suku cadang otomotif. Semuanya disiapkan untuk diekspor. Selain itu, kapasitas pabrik akan dikembangkan dengan membeli mesin-mesin baru. “Pokoknya, kapasitas pabrik akan ditingkatkan sampai 400 persen,” tutur Ahmad. Pada masa itu, Bukaka sudah dikenal sebagai penghasil mesin-mesin konstruksi, truk pemadam kebakaran, belalai atau lorong untuk naik pesawat (aviobridge), alat pemecah batu, dan lain-lain. Banyak proyek pemerintah sudah dikerjakannya, dimulai ketika ada Keppres No. 10/1980 yang mengharuskan pengadaan barang secara terpusat dan banyak melibatkan pengusaha kecil pribumi. Ketika itu, Bukaka sempat memenangkan tender pembuatan asphalt mixing plant. Belakangan, Bukaka bahkan sudah mengekspor. Orientasi perusahaan, seperti pada waktu itu dikatakan oleh Presiden Direktur Bukaka Fadel Muhammad, diubah dari menghasilkan pengganti impor menjadi industri untuk ekspor. Pada 1988, Bukaka berhasil meraih omzet 20 juta dolar. Ekspor alat-alat beratnya meraup devisa 1,2 juta dolar. Selain itu, Bukaka menjalin kerja sama dengan perusahaan sejenis di luar negeri, di antaranya Kwan Bo Engineering Taiwan. Pada 1991, hasil penjualan Bukaka mencapai Rp 90 miliar. Pada 1992, manajemennya optimistis sanggup memperoleh hasil penjualan Rp 165 miliar sampai Rp 200 miliar. Agar dapat mendukung semua rencana itu, dana Rp 25 miliar tentu belum memadai. Ada rencana untuk mendapatkan pinjaman dari Bank of Tokyo dan Sanwa Bank. Bukaka bekerja sama dengan Toyomenka agar pinjaman itu tidak terkena aturan. Lalu, mitra asing inilah yang meminjam ke bank-bank Jepang tersebut. Kendati rencana pengembangan itu dasar-dasar perhitungannya jelas, tidak mudah bagi Bukaka untuk memperoleh tambahan modal dari tiga BUMN tersebut. “Sebelum terjadi jual beli saham, mereka memeriksa Bukaka berbulan-bulan,” kata Ahmad Kalla waktu itu. “Mereka itu memeriksa, katakanlah, sampai ke celana kolor kami.” Proses awalnya dimulai sejak awal tahun 1991, ketika Dirjen Moneter Oskar Surjaatmadja memanggil beberapa pengusaha pribumi. Pada Juli 1991, pemerintah kembali mengumpulkan pengusaha pribumi untuk dipertemukan dengan sejumlah BUMN. Kali ini tuan rumahnya adalah Rajawali Nusantara Indonesia. Lalu, muncullah di media massa isu pribumi dan non-pribumi, dikaitkan dengan adanya Kelompok 17 (yang sebenarnya tak pernah ada). Rupanya, banyak yang menarik diri akibat pemberitaan itu, sedangkan Bukaka justru sudah dijanjikan dana oleh ketiga BUMN tersebut. Menteri Keuangan J. B. Sumarlin sendiri membenarkan adanya dana pemerintah yang disuntikkan ke Bukaka. “Ini merupakan kegiatan bisnis biasa. Dan semua itu dilakukan sesuai dengan prosedur,” katanya. Inti keterangan itu adalah penambahan modal Bukaka bukan merupakan Penyertaan Modal Pemerintah (PMP), seperti yang sempat digunjingkan banyak orang. Ketua Bappenas Saleh Afiff juga menegaskan, PMP tidak boleh digunakan untuk mengambil alih perusahaan swasta. Bertolak dari pernyataan itu, aneh sekali jika Bukaka ramai digunjingkan menjadi BUMN. Padahal, arus yang kini digalakkan adalah arus swastanisasi. Sebenarnya, apa yang dilakukan Taspen, Jasa Raharja, dan Danareksa terhadap Bukaka adalah private placement, bukan PMP. “Secara operasional tidak jadi masalah. Lagi pula, dengan demikian kami lebih dipercaya pemerintah, pasar kami lebih luas,” ujarnya. Hanya dalam kepemilikan, juga pemegang sahamnya meluas. “Boleh dikatakan, sebagian saham Bukaka menjadi milik pegawai negeri,” katanya dalam nada senang. Nama Bukaka kembali muncul ketika menjadi sorot publik pada 2005 karena dinyatakan memenangi tender proyek pembangunan jalan tol Makassar seksi IV sepanjang 11,2 kilometer. Nilai proyeknya mencapai Rp 450 miliar. Tender dianggap bebas hambatan karena Bukaka hanya bersaing dengan Bosowa Marga Nusantara yang berminat menggarap jalur yang sama. Meski bersaing, Bosowa memiliki hubungan istimewa dengan Jusuf Kalla. Pemilik Bosowa, Aksa Mahmud, menikah dengan Ramlah, adik perempuan Jusuf. Bosowa adalah pengelola tol pelabuhan Makassar-Tallo. Tol Makassar yang dikelola Bosowa sepi pengguna. Akibatnya, pengelola tol menyediakan door prize bagi pengendara yang melewati jalan bebas hambatan itu. Sementara itu, proyek yang digarap perusahaan PT Bukaka adalah jalan tol Cikampek-Palimanan, Pasuruan-Probolinggo, dan Ciawi-Sukabumi. Khusus Cikampek-Palimanan sepanjang 114 kilometer, Bukaka kebagian jatah menggarap 37 kilometer. Selebihnya digarap oleh PT Bhaskara Lokabuana milik Henry Pribadi serta Interra Resources milik Edward Soeryadjaya. PT Bukaka juga merupakan salah satu perusahaan yang memiliki bisnis kuat pengadaan garbarata (jembatan antara terminal dan pesawat di bandara udara) di beberapa bandara nasional, diantaranya Bandara Juanda Surabaya sebanyak 13 unit, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang sebanyak 3 unit, dan Bandara Tabing sebanyak 2 unit. Sebelumnya, Bukaka juga telah menyelesaikan proyek garbarata di bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali. Sementara itu, untuk Bandara Internasional Soekarno Hatta, khususnya garbarata kaca, baru satu unit. Hampir semua garbarata baja di sejumlah bandara di Indonesia adalah produksi Bukaka, kecuali garbarata di Bandara Menado dan Ambon yang merupakan produk Prancis. Pembangunan proyek infrastruktur ini tidak lepas dari impian Jusuf Kalla membangun infrastruktur yang kuat di Indonesia. Sejak awal 2004, dia rutin mengadakan pertemuan ‘reboan’ sebulan sekali. Pesertanya sekitar 30 orang. Saat itu dia masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Peserta diskusi antara lain Menkimpraswil Soenarto, Menteri Keuangan Boediono, Menteri BUMN Laksamana Sukardi, dan para pejabat lainnya. Pada awalnya, pertemuan itu banyak membahas tentang upaya mengurangi kemiskinan. Setelah lama berdiskusi, Jusuf Kalla melontarkan usul kejutan. “Mari membangun sejuta rumah dan seribu kilometer jalan tol,” katanya. Ide itu akhirnya semakin matang setelah dia menjadi wakil presiden. Dia adalah pemrakarsa Infrastructure Summit. Dalam acara yang dihadiri pengusaha dari 20 negara itu, dia dan Menteri Perekonomian Aburizal Bakrie menawarkan berbagai proyek infrastruktur. Indonesia menawarkan 91 proyek dalam pertemuan itu, 38 diantaranya jalan tol. Proyek yang semula direncanakan kilometer melonjak menjadi kilometer. Namun, ada tiga ruas yang digarap Jasa Marga atas penunjukan pemerintah, yakni jalur Gempol-Pasuruan, Semarang-Solo, dan Bogor Ring Road. Pada awalnya, jalur-jalur ini dikelola perusahaan swasta yang belakangan menyerah karena tidak mampu melaksanakan proyeknya. Pemutusan tender ini sempat menjadi polemik antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan beberapa kalangan. Apalagi dalam tender tersebut salah satunya juga perusahaan milik Aburizal Bakrie yang menjabat sebagai Menteri Perekonomian dalam kabinet yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Bakrie Group dan keluarga Kalla sepatutnya tidak ikut tender ini,” kata Ketua Masyarakat Profesional Madani Ismet Hasan Putro. Keterlibatan perusahaan mereka dinilai akan menimbulkan kerancuan tender. “Bagaimana pun, panitia akan segan kepada Kalla dan Bakrie,” tambahnya. Jusuf Kalla sendiri keberatan dengan sangkaan miring tentang perusahaan miliknya. “Apa tidak etisnya kalau ikut tender? Perusahaan saya sudah beroperasi 50 tahun,” katanya. Kalau tidak boleh mendaftar, Jusuf justru merasa mendapat diskriminasi. “Sangat berbahaya kalau bangsa ini berdiskriminasi.” Sebenarnya yang menjadi persoalan tidak hanya sebatas penentuan tender, tetapi juga pembangunan infrastruktur yang tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat membutuhkan sistem transportasi yang massal dan berkesinambungan seperti kasus proyek jalan tol Makassar-Tollo.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.