Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

AGUSTINE CAROLINA (FISIP Universitas Palangka Raya)

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "AGUSTINE CAROLINA (FISIP Universitas Palangka Raya)"— Transcript presentasi:

1 AGUSTINE CAROLINA (FISIP Universitas Palangka Raya)
WONG CILIK VERSUS SATPOL PP: Refleksi Sosiologi Atas Kekerasan Negara dalam Tata Kota Konferensi Soskot UNS Urban Crisis, 8 Desember 2015 AGUSTINE CAROLINA (FISIP Universitas Palangka Raya)

2 Latar Belakang Hampir setiap saat masyarakat kita bisa menyaksikan ataupun mendengar berita mengenai penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP terhadap wong cilik. Penggusuran tersebut pun sering dilandaskan atas dasar penegakan sejumlah PERDA yang telah disusun oleh PEMDA/PEMKOT setempat. Dan sering kali, PERDA yang dipakai sebagai alasan penggusuran adalah PERDA yang berkaitan dengan: TATA KOTA dan alokasi RTH.

3 Lanjut. . . Tindakan Kekerasan => DIPERLUKAN untuk menertibkan para wong cilik demi KELANCARAN penegakkan PERDA. RESISTENSI = Alasan Klasik negara (Satpol PP) untuk ‘membenarkan’ tindakan kekerasan terhadap wong cilik tersebut. Padahal, dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 13 terlihat bahwa selain melaksanakan KAMTIBMAS, negara (PEMDA) juga wajib untuk menyelenggarakan perlindungan masyarakat.

4 Lanjut. . . Pertanyaan: Mengapa wong cilik selama ini terkesan seperti ‘setumpukan sampah’ bagi ruang masyarakat perkotaan yang harus segera dibereskan oleh negara? Padahal, sebagai warga negara dan khususnya sebagai masyarakat dalam kota tersebut para wong cilik itu juga sebenarnya memiliki hak yang sama atas kota (right to the city).

5 Satpol PP: Gap Antara Negara versus Wong Cilik dalam Tata Ruang Perkotaan
Adapun ahli filsafat dan sosiologi Henri Lefebvre mengulas peran pokok negara dalam mengatur ruang sebagai productive force melalui investasi infrastuktur, perencanaan ruang, kebijakan industri, dan juga soal keuangan. Terlihat jelas bahwa ide pembangunan dalam ruang perkotaan sendiri seringkali kurang bersimpati kepada kaum wong cilik. Kebijakkan yang dibuat sering kali hanya berdasarkan pendapat tunggal dari para birokrat pemkot sebagai pembuat kebijakkan tanpa pernah melibatkan peran aktif masyarakat terutama kaum wong cilik.

6 Lanjut. . . Selain itu, adanya lack of communication diantara pemkot dengan wong cilik yang akan direlokasi sering menjadi penyebab klasik penolakkan mereka terhadap rencana relokasi. Hal inilah yang menyebabkan resistensi wong cilik terhadap perlakuan tidak adil negara sering mencuat. James Scott berpendapat bahwa dalam masyarakat terdapat beberapa bentuk resistensi yaitu : Resistensi tertutup (simbolis atau ideologis) Resistensi semi-terbuka (protes sosial atau demostrasi) Resistensi terbuka

7 Kekerasan yang sering dilakukan oleh negara dan dalam hal ini direpresentasikan oleh tindakan sebagian praja yang terkesan kasar pada saat melakukan sterilisasi wilayah dari para pedagang yang notabene adalah wong cilik, telah membuat jarak (gap) yang cukup lebar antara negara dengan masyarakat golongan bawah (wong cilik).

8 Privatisasi Ruang Publik: Wujud Ketercabutan Right to The City para Wong Cilik dalam Negara
Seringkali, negara terkesan menganggap bahwa wong cilik adalah seperti ‘hama’ yang harus segera disingkirkan dari wajah pembangunan kota. Padahal, wong cilik pun juga memiliki hak atas pembangunan ruang perkotaan tersebut. Lefebvre sendiri berpendapat bahwa hak atas kota tidak bisa dipahami secara sederhana sebagai hak untuk bersih, bebas polusi, bebas macet, tanpa gedung-gedung pencakar langit, namun maknanya lebih dari itu.

9 Lanjut. . . Selain Lefebvre, arsitek perencanaan tata kota yaitu Arif Hasan mengemukakan pendapat lain tentang definisi dari hak atas kota. Beliau mengatakan bahwa right to the city adalah sebuah konsep pembangunan perkotaan untuk melawan apa yang disebutnya sebagai neoliberal urban development paradigm atau paradigma pembangunan perkotaan neoliberal. Aspek fundamental right to the city: penolakan terhadap neoliberalisme; serta partisipasi rakyat yang luas dalam proses pembangunan perkotaan.

10 Lanjut. . . Adanya privatisasi ruang publik untuk kepentingan modal dalam tata kota itu sendiri telah memberikan dampak nyata terhadap ketercabutan hak mereka atas kota (Right to The City). Hal ini terlihat dari semakin sempitnya kesempatan yang diberikan oleh negara kepada wong cilik untuk ikut merasakan megahnya pembangunan ruang perkotaan.

11 Lanjut. . . Di sisi lain, penggusuran paksa juga melahirkan surplus populasi yang menyuburkan perkembangan kapitalisme. Pengelolaan tata kota serta privatisasi ruang publik sendiri semata-mata dilakukan hanya untuk memenuhi kepentingan kaum borjuis.

12 Penutup Kekerasan negara terhadap wong cilik yang dilakukan melewati perantaraan penertiban oleh SATPOL PP telah menyebabkan hak atas kota (right to the city) yang dimiliki oleh mereka telah dirampas secara paksa. Ruang perkotaan dikelola oleh negara hanya untuk sebagai mesin perekonomian berbasis kapitalis bagi para kaum borjuis. Sehingga, penggusuran yang dilakukan negara terhadap wong cilik telah melemahkan posisi tawar mereka di bidang perekonomian. Sudah seharusnya negara khususnya pemerintah melibatkan juga wong cilik dalam setiap pembuatan kebijakkan karena merekalah yang paling sering merasakan dampak negatif dari pembangunan.

13 TERIMA KASIH KARENA TELAH MENYIMAK PRESENTASI INI DENGAN BAIK
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS PALANGKA RAYA TERIMA KASIH KARENA TELAH MENYIMAK PRESENTASI INI DENGAN BAIK


Download ppt "AGUSTINE CAROLINA (FISIP Universitas Palangka Raya)"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google