Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL"— Transcript presentasi:

1 PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Ikaningtyas,SH.LLM

2 pendahuluan Pada akhirnya suatu PI akan ada masa akhirnya
Diatur dalam konvensi Wina tahun 1969, Bab V Akan menimbulkan akibat hukum yang tergantung pada jenis dari Perjanjian internasional itu sendiri

3 Alasan PI berakhir PI secara eksplisit mempunyai masa berlaku
Para pihak sepakat mengakhiri perjanjian tersebut,sebelum tujuannya tercapai

4 Pengakhiran Perjanjian Internasional berdasarkan Kon.wina 1969
Pasal 44 ayat 2 Pertama, dilihat dalam PI tersebut, apakah terdapat clausul penghentian PI atau tidak Kalau tidak ada clausul penghentian PI, pengakhiran dilakukan sesuai ketentuan PI tersebut Dimungkinkan hanya mengakhiri sebagian dari isi PI, hal ini berkenaan dengan hal yang kurang substansial

5 Pengakhiran Perjanjian Internasional
Berakhirnya perjanjian atas persetujuan negera-negara pihak Berakhirnya perjanjian Atas persetujuan kemudian. Berakhirnya perjanjian akibat terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu

6 1. Berakhirnya perjanjian atas persetujuan negera-negara pihak
1. Berakhirnya perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri perjanjian yang berakhir dengan cara ini dijelaskan dalam (pasal 54 a ) 2. Klausula Pembubaran Diri yaitu perjanjian dapat berakhir dengan dibuatnya perjanjian lain yang dianggap lebih penting. Misalnya Pakta Warsawa, yang didirikan tahun 1955, sebagai jawaban atas NATO yang lahir 1949, berisikan klausula bahwa Pakta tersebut akan bubar bila telah didirikan suatu sistem keamanan kolektif. Namun tanpa adanya sistem kolektif dimaksud, pakta warsawa kenyataannya membubarkan diri, sedangkan NATO tidak bubar bahkan telah memperluas keanggotan.

7 Lanjutan…. 3. Penarikan Diri. Suatu Negara dapat mengakhiri keikutsertaannya dalam suatu perjanjian melalui penarikan diri terutama dalam perjanjian-perjanjian multilateral. Penarikan diri adalah hasil dari perbuatan sepihak (unilateral) Negara pihak. Penarikan diri ini bukan merupakan pemutusan persetujuan sekehendaknya, tetapi perjanjian tersebut memang memuat syarat-syarat tertentu setelah jangka waktu tertentu. Misalnya sesuai pasal 13 Pakta NATO, penarikan diri hanya mungkin setelah 20 tahun dan dengan memberitahukan setahun sebelumnya. Penarikan diri semacam ini dinamakan penarikan diri diatur. Itu yang terjadi dengan Perancis yang menarik diri dari Organisasi Militer NATO pada tahun 1969 setelah 20 tahun berdirinya organisasi tersebut. 4. Kurangnya pihak-pihak dari perjanjian multilateral dibawah jumlah yang ditentukan untuk keberlakuannya.(Pasal 55 Konvensi Wina) Kecuali jika perjanjian itu sendiri menyatakan, suatu perjanjian multilateral tidak berakhir dengan alasan hanya dari kenyataan bahwa jumlah pihak berada di bawah jumlah yang diperlukan untuk memberlakukan perjanjian itu.

8 2. Berakhirnya perjanjian Atas persetujuan kemudian.
Berakhirnya perjanjian atas persetujuan kemudian disebut abrogasi perjanjian. Abrogasi ini dapat dilakukan dengan terang-terangan bila Negara pihak membuat perjanjian baru dengan tujuan untuk mengakhiri perjanjian lama. Abrogasi diam-diam dapat juga dilakukan dengan membuat perjanjian baru mengenai hal yang sama tetapi berisi ketentuan yang berbeda dengan yang lama. Berbeda dengan modifikasi, abrogasi menghendaki persetujuan semua Negara pihak. (pasal 59 ayat 1)

9 3. Berakhirnya perjanjian akibat terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu
1. Tidak dilaksanakannya perjanjian (pasal 60 pelanggaran atas substansi perjanjian oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk keseluruhannya ataupun untuk sebagian. Atau seperti ditegaskan dalam ayat 2, pelanggaran atas suatu perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan bagi pihak lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian tersebut, Pengakhiran semacam ini bersifat fakultatif, Keadaan ini terutama berasal dari pelanggaran ketentuan perjanjian oleh suatu Negara pihak. Pelanggaran baru dianggap serius bila pelanggaran tersebut menyinggung hal-hal yang substansial. Hal ini perlu ditegaskan karena sering terjadi negara-negara menjadikan pelanggaran kecil sebagai alasan untuk membatalkan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap perjanjian.

10 lanjutan Ketidakmungkinan untuk melaksanakan (pasal 61) suatu negara dapat mengakhiri suatu perjanjian bila terjadi keadaan force majure dan menghentikan sementara berlakunya perjanjian tersebut bila force majure itu bersifat sementara pula. Misalnya tenggelamnya suatu pulau, keringnya suatu sungai, pecahnya bendungan, dan lain-lain. Karena terjadinya salah satu hal tersebut di atas maka perjanjian tidak dapat dilaksanakan Hilangnya personalitas internasional suatu negara, juga dapat mengakhiri berlakunya suatu perjanjian.

11 Lanjutan… 3. Perubahan keadaan secara mendasar
pasal 62 Konvensi Wina menyatakan: Suatu negara boleh mempergunakan perubahan keadaan sebagai alasan untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian bila dapat dibuktikan bahwa keadaan benar-benar sudah berubah dan para negara pihak pada perjanjian sama-sama setuju dan juga perubahan tersebut betul-betul akan merubah secara radikal kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan perjanjian tersebut. fundamental (fundamental change of circumstances), sama sekali tidak ada penegasannya dalam Konvensi. Tidak adanya penegasan ini dapat diartikan bahwa penentuannya diserahkan pada praktek negara-negara ataupun pada putusan badan penyelesaian sengketa jika menghadapi kasus yang berkaitan dengan ada atau tidaknya perubahan keadaan yang fundamental.

12 Pasal 62 ayat 1 Konvensi membatasi perubahan keadaan yang fundamental ini dengan dua pembatasan yang harus dipenuhi. (1) pembatasan berdasarkan waktu terjadinya, yaitu terjadinya haruslah pada waktu proses pembuatan perjanjian, tegasnya pada waktu perundingan untuk memutuskan naskah perjanjian. Jadi bukan perubahan keadaan yang terjadi setelah berlaku atau setelah dilaksanakannya perjanjian tersebut. Jika terjadinya setelah berlaku atau setelah dilaksanakannya perjanjian, maka hal itu termasuk ke dalam alasan berakhir eksistensi perjanjian internasional disebabkan ketidakmungkinan untuk melaksanakannya. (2 pembatasan yang bersifat subjektif, yakni perubahan keadaan itu tidak dapat diduga atau dipredikasi sebelumnya oleh para pihak.

13 lanjutan Namun, meskipun kedua syarat tersebut telah terpenuhi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 61 ayat 1, masih ada beberapa kualifikasi yang lebih spesifik yang harus dipenuhi, yaitu : (a) adanya keadaan tersebut merupakan dasar yang esensial bagi para pihak untuk terikat pada perjanjian ; (b) akibat atau efek dari perubahan keadaan itu menimbulkan perubahan yang secara radikal terhadap luasnya kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan perjanjian tersebut.

14 Yang dimaksudkan keadaan tersebut (the existence of circumstances) adalah keadaan sebelum terjadinya perubahan keadaan yang fundamental itu sendiri. Adanya keadaan inilah yang merupakan dasar yang esensial bagi para pihak untuk terikat pada perjanjian tersebut. Dengan terjadinya atau berubahnya keadaan itu secara fundamental (keadaan sebelumnya sangat berbeda secara prinsip dengan keadaan yang terjadi sesudahnya), maka hal ini berarti, bahwa dasar yang esensial bagi negara-negara itu terikat perjanjian sudah mengalami perubahan. Di samping itu, perubahan keadaan sebagaimana ditentukan dalam pasala 61 ayat 1 butir a tersebut, menimbulkan efek atau pengaruh secara radikal terhadap luasnya kewajiban yang harus dilakukan yang bersumber dari perjanjian itu.

15 Selanjutnya dalam pasal 61 ayat 2, ada dua larangan untuk menggunakan perubahan keadaan yang fundamental ini sebagai alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. (1) negara peserta tidak boleh menggunakan klausul ini sebagai alasan untuk mengakhiri suatu perjanjian tentang garis batas wilayah negara. (2) klausul ini juga tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri suatu perjanjian internasional, jika perubahan keadaan yang fundamental ini terjadi sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang bersangkutan atas ketentuan perjanjian internasional tersebut

16 Alasan berakhirnya Perjanjian…
Timbulnya norma imperatif hukum internasional (pasal 64) Bila timbul norma baru imperatif hukum internasional umum, maka perjanjian-perjanjian yang telah ada dan betentangan dengan norma-norma tersebut menjadi batal dan berakhir.

17 Perang Konvensi Wina tidak mengatur akibat perang terhadap perjanjian
Perang Konvensi Wina tidak mengatur akibat perang terhadap perjanjian. Namun demikian hukum kebiasaan telah menetapkan ketentuan sebagai berikut: - Perjanjian bilateral akan berakhir bila kedua negara berperang. - Dalam perjanjian multilateral pelaksanaan pejanjian hanya dihentikan diantara negara-negara yang berperang. - Perjanjian bilateral dan multilateral yang khusus dibuat untuk dilaksanakan di waktu perang tentu saja akan berlaku.

18 Putusnya hubungan diplomatik atau konsuler (pasal 63) Putusnya hubungan diplomatik atau konsuler di antara para pihak perjanjian tidak berpengaruh pada hubungan hukum yang di buat dengan perjanjian di atara mereka, kecuali jika adanya hubungan diplomatik atau konsuler tersebut sangat diperlukan untuk penerapan perjanjian.

19 Prosedur 1. menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogyanya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut. 2. Selanjutnya menurut pasal 65 ayat 2, jika dalam rentang waktu tiga bulan terhitung dari saat diterimanya usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut (kecuali dalam keadaan yang sangat khusus), ternyata tidak ada satu pihakpun yang menyatakan penolakan atau keberatannya, maka pihak yang mengajukan usulan itu dapat mengambil langkah-langkah seperti ditentukan dalam pasal 67 yakni menyampaikan pernyataan bahwa perjanjian itu berakhir eksistensinya kepada negara-negara peserta lainnya. Pemberitahuan atau pernyataan itu harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh kepala negara, atau kepala pemerintah, atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat lain selain dari ketiga itu, maka harus disertai dengan suarat kuasa atau kuasa penuh (full power). Jika tidak, maka keabsahannya dapat dipersoalkan oleh pihak-pihak atau negaara-negara yang lainnya. 3. Sementara jika ada negara-negara peserta yang menolak atau tidak menyetujui usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain terjadi perbedaan pendapat bahkan dapat mengarah pada perselisihan (dispute) diantara negara-negara tersebut. Maka dalam hal ini, pasal 65 ayat 3 menyarankan para pihak menyelesaikannya melalui jalan damai sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 Piagam PBB.

20 Lanjutan… Jika para pihak bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan ini ke hadapan badan penyelesaian sengketa, seperti peradilan, arbitrase atau konsiliasi, setelah gagal menempuh upaya damai, maka pasal 66 Konvensi memberikan petunjuk yang dapat ditempuh oleh para pihak. Dalam tempo 12 bulan setelah keberatan itu diajukan, ternyata belum dicapai penyelesaiannya, salah satu dari pihak yang berselisih atau bersengketa tentang masalah penafsiran atau penerapan atas pasal 53 atau 64 (berkenaan dengan jus cogens), dengan suatu permohonan tertulis dapat menyerahkan perselisihan itu ke hadapan Mahkanah Internasional untuk diputuskan, kecuali para pihak berdasarkan persetujuan bersama sepakat untuk mengajukan perselisihan itu ke hadapan arbitrase (pasal 66 butir a). Sedangkan pasal 66 butir b menegaskan tentang perselisihan yang timbul berkenaan dengan interpretasi ataupun pelaksanaan atas Bagian V Konvensi (berkenaan dengan ketidakabsahan, pengakhiran, dan penundaan berlakunya perjanjian) dapat menempuh prosedur penyelesaian sengketa sebagaimana secara rinci diatur dalam Annex (dari Konvensi dengan cara mengajukan permohonan tentang penyelesaian tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB. Adapun penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Annex dari Konvensi ini adalah penyelesaian melalui mekanisme konsiliasi.

21 lanjutan Meskipun demikian, Konvensi masih memberikan kesempatan kepada para pihak yang berubah pendirian, misalnya di tengah jalan ternyata mengurungkan niatnya untuk mengakhiri perjanjian. Dalam hal ini, pasal 68 Konvensi memberikan kesempatan kepada negara atau negara-negara tersebut untuk pada saetiap saat menarik kembali pemberitahuan ataupun instrument-instrumen yang berkenaan dengan pengakhiran perjanjian seperti ditegaskan dalam pasal 65 dan 67, sepanjang semua itu belum menimbulkan akibat-akibat hukum.

22 Akibat Hukum (pasal 70) Kecuali jika perjanjian itu menyebutkan atau para pihak menyetujuinya, maka berakhirnya suatu perjanjian yang ada atau menurut konvensi ini: a) melepaskan para pihak dari suatu kewajiban dan selanjutnya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. b) tidak berpengaruh pada sesuatu hak, kewajiban, atau situasi hukum dari para pihak yang timbul melalui pelaksanaan perjanjian sebelum berakhir. Jika suatu negara mengadukan atau menarik diri dari perjanjian multilateral, maka ayat (1) tersebut dapat diterapkan dalam hubungan antara negara tersebut dan masing-masing dari para pihak lainnya dari tanggal pada waktu pengaduan atau penarikan diri itu berlaku.


Download ppt "PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google