Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
Oligarki
2
Dalam International Encyclopedia of Social Sciences, Oligarki didefinisikan sebagai “bentuk pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan minoritas kecil”. Istilah tersebut diambil dari bahasa Yunani, “Oligarchia”, yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit, terdiri atas kata oligoi (sedikit), danarkhein (memerintah). Richard Robison dan Vedi Hadiz dalam bukunya Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market, menggambarkan oligarki sebagai “sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan”
3
Jeffrey A. Winters dalam bukunya yg berjudul Oligarki mendefinisikan Oligark sebagai “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya” Menurut Jeffrey A. Winters penting untuk menempatkan Oligarki dalam dua dimensi, yakni : Oligarki memiliki dasar kekuasaan—kekayaan material—yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan. Oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu komunitas. Dengan demikian, suatu kekuasaan yang Oligarkis harus didasarkan pada bentuk kekuasaan yang susah dipecahkan dan jangkauannya yang harus sistemik.
4
Teorisasi Oligarki dimulai dari :
Distribusi kekayaan yang tidak seimbang. Ketidaksetaraan material menghasilkan ketidaksetaraan politik. Klaim ini didasarkan pada distribusi sumber daya material diantara anggota komunitas politik, demokrasi atau sistem lainnya, yang memiliki pengaruh besar pada kekuasaan. Semakin tidak seimbang distribusi kekayaan material, makin besar kekuasaan dan pengaruh orang kaya dalam motif dan tujuan politiknya. Dengan demikian, ketidaksetaraan yang besar dalam kekayaan menghasilkan ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan pengaruh politik. Oligarki sebagai sebuah sistem yang merujuk pada “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material (Oligark)”. Kekayaan menjadi sumber daya material bagi kekuasaan para Oligark dan dinamika politik pertahanannya yang dikelola secara politis.
5
Perbedaan Elit dan Oligarki
Sumber daya kekuasaan : hak politik formal jabatan resmi (baik di dalam maupun di luar pemerintahan) kuasa pemaksaan (coercive power) kekuatan mobilisasi kekuasaan material (kekayaan) ELIT OLIGARKI
6
keterlibatan Oligark dalam kekuasaan atau pemerintahan;
“Persamaan Oligark sepanjang sejarah adalah bahwa kekayaan mendefinisikan, memberi kekuasaan dan mendatangkan ancaman kepada mereka. Yang beragam dalam sejarah adalah hakikat ancaman-ancaman itu dan cara Oligark menanggapi ancaman untuk mempertahankan harta. Keragaman itu memunculkan tipe-tipe oligarki…” Menurut Winters semua Oligarki bisa digolongkan menurut empat ciri utama, yaitu kadar keterlibatan langsung Oligarki dalam pemaksaan yang menyokong hak milik atas harta dan kekayaan; keterlibatan Oligark dalam kekuasaan atau pemerintahan; sifat keterlibatan dalam pemaksaan dan kekuasan itu, apakah terpecah atau kolektif; dan Oligark bersifat liar atau jinak.
7
Winters membuat empat tipe ideal dari Oligarki, di antaranya :
Tipe pertama, Oligarki Panglima, yaitu Oligarki yang muncul dengan kekuasaan pemaksa (kekerasan) secara langsung ada pada dirinya. Setiap Oligark memiliki senjata untuk mendapatan kekayaan. Ia memiliki tentara dan berebut secara langsung sumber daya material dengan Oligark lain. Pada dunia seperti itu, perpecahan antar Oligark berada di tingkat tertinggi, sehingga persekutuan tidak stabil. Konflik dan ancaman umumnya bersifat lateral antar Oligark panglima. Pengumpulan kekayaan dilakukan dengan cara penaklukan satu panglima ke panglima lain sehingga ancaman paling dominan terdapat pada klaim harta daripada pendapatan. Oligarki panglima ini terjadi dari masa pra sejarah, Eropa zaman pertengahan, dan berakhir dengan keluarga yang berseteru di Pegunungan Apalachia.
8
Tipe kedua adalah Oligarki penguasa kolektif.
Oligark jenis ini memiliki kekuasaan dan berkuasa secara kolektif melalui lembaga yang memiliki norma atau aturan main. Perbedaan mendasar antara Oligarki panglima dengan oligarki penguasaan kolektif ini terletak pada kadar kerja samanya. Dalam Oligarki penguasa kolektif ini, para Oligark bekerja sama untuk mempertahankan kekayaannya dan memerintah suatu komunitas. Dalam kebanyakan kasus, pemerintah kolektif dilembagakan dalam suatu badan pemerintah yang isinya Oligark semuanya. Secara historis, contoh dari bentuk oligarki penguasa kolektif bisa ditemui dari komisi mafia, pemerintahan Yunani-Roma, juga menurut Winters adalah praktek politik di Indonesia pasca Soeharto.
9
3.Tipe ketiga, Oligarki Sultanistik
Oligarki terjadi ketika monopoli sarana pemaksaannya terletak pada satu tangan Oligark. Hubungan antara Oligark bersifat patron-klien terhadap Oligark yang berkuasa tersebut. Wewenang dan kekerasan hanya dikuasai oleh penguasa utama, sedangkan para Oligark lainnya menggantungkan pertahanan kekayaan dan hartanya pada Oligark tunggal tersebut. Para penguasa Oligark mengalahkan kapasitas Oligark di bawahnya, biasanya dengan mekanisme alat kekerasan negara atau mencampurkan dengan sarana pemaksa individu. Para Oligark bawahan yang tidak bersenjata kemudian mempertahankan kekayaan dengan menginvestasikan sebagian sumber daya yang dimilikinya kepada Oligark Sultanistik. Dengan itu, oligark penguasa berkewajiban melindungi Oligark-Oligark di bawahnya. Salah satu contoh mengenai Oligarki Sultanistik ini pada rejim Soeharto di Indonesia.
10
4. Tipe Keempat adalah Oligarki Sipil
Oligarki yang sepenuhnya tak bersenjata dan tidak berkuasa langsung. Oligark menyerahkan kekuasaannya pada lembaga non-pribadi dan terlembaga dimana hukum lebih kuat. Karena hak milik dan pertahanan harta telah disediakan oleh negara, maka fokus Oligark hanya pada pertahanan pendapatan, yaitu upaya untuk mengelak dari jangkauan negara untuk meredistribusi kekayaan, misal melalui pajak progresif. Oligarki Sipil tidak selalu bersifat demokratis dan melibatkan pemilu. Misalnya, Amerika dan India memang bersifat demokratis secara prosedural, tetapi di Singapura dan Malaysia bersifat otoriter. Dari beragam contoh itu, semuanya bersifat oligarki sipil.
11
Dalam analisanya pada buku Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, Hadiz mengemukakan bahwa masa kekuatan ekonomi-politik pada Orde Baru dapat dikatakan sebagai bentuk oligarki kapitalis. Terdapat beberapa ciri yang diajukan oleh Hadiz untuk melihat apa yang terjadi di dalam Orde Baru. suatu oligarki kapitalis yang mampu menguasai dan, ‘secara instrumental’-tidak sekadar struktural-, memanfaatkan kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya berikut dengan kekuatan koersifnya untuk kepentingan mereka sendiri. hubungan negara dan masyarakat yang ditandai dengan disorganisasi sistematis terhadap kelompok civil society. suatu sistem patronase yang luas dan kompleks yang dipersonifikasikan oleh Suharto sendiri dengan poros di Cendana. Sistem patronase ini menjalar dan menembus ke semua lapisan masyarakat dari Jakarta, provinsi, kabupaten, hingga ke desa-desa.
12
Pasca Suharto jatuh, para oligarki dan kroni Suharto ini menggunakan instrumen hasil reformasi, seperti demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi, untuk menata kembali hidup mereka. Para pengusaha selain menjadi pebisnis juga sebagai politisi. Contoh : Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hary Tanoe, dll. Pelebaran peran para pengusaha ini disebabkan oleh perubahan politik, di antaranya : Patron utama mereka menghilang sehingga mereka harus menjadi aktor politik sebagai strategi mengamankan tatanan oligarki mereka. Partai politik memerlukan uang dalam jumlah besar untuk memenangkan kontestasi pemilu membawa para pebisnis menjadi petinggi partai. Munculnya desentralisasi, kekuatan ekonomi ini berubah lokus patron-klien-nya yang beralih pada relasi patronase yang terdesentralisasi. Hal ini mengikuti juga dengan pola beralihnya sebagian kekuasaan yang ke Daerah. Apalagi karena adanya Pemilukada yang membutuhkan uang sangat banyak untuk kontestasi. Keterlibatan ini pun bisa secara langsung maupun tidak langsung.
13
Politik Kartel Katz dan Mair (1995) menemukan dalam studinya sebuah bentuk baru partai politik yang dalam studinya dinamai “partai kartel”. Partai-partai ini hidup dengan cara memerah sumber daya negara dengan cara saling berbagi. Dari waktu ke waktu mereka menggunakan demokrasi untuk saling menguatkan tujuan mereka mengeruk sumber daya negara demi kelangsungan partai dan kesejahteraan elitnya. Menurut Katz dan Mair, partai kartel cenderung menutup pintu bagi partai-partai baru dan melakukan kampanye pemilu dengan gaya yang mahal, professional dan tersentralisasi. Semuanya mengandalkan keterampilan mengeruk sumber daya dan subsidi negara karena akses dan hak istimewa yang mereka miliki. Ciri-ciri internal partai kartel umumnya semakin kabur antara anggota partai yang ideologis dan kader tulen dengan mereka yang datang belakangan hanya untuk maju menjadi peserta legislatif atau untuk menjadi pemimpin daerah.
14
Kartz dan Mair berpendapat bahwa munculnya fenomena kartel politik akibat kebutuhan keuangan finansial partai politik yang semakin bergantung pada negara. Hal ini disebabkan oleh buruknya kemampuan mobilisasi keuangan partai politik melalui iuran anggotanya yang akibatnya adalah menjauhnya partai politik dari masyarakat dan mendekatkan partai pada negara.
15
Ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni :
Hilangnya peran ideologi partai sebagai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; Sikap permisif dalam pembentukan koalisi; Tiadanya oposisi; Hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
16
Menurut Kuskrido Ambardi sistem kepartaian di Indonesia bergerak kearah system kepartaian yang terkartelisasi dengan beberapa bukti. Pertama, beberapa partai politik membentuk koalisi turah (oversize) yang tidak lagi dibatasi oleh pandangan yang bersifat ideologis kepartaian tetapi hanya berorientasi pada kepentingan kekuasaan. Dinamika politik paska pemilu diwarnai adanya pergeseran makna persaingan politik, dari persaingan politik yang bersifat ideologis pada saat pemilu bergerak kearah kerjasama antar partai dalam rangka meraih sumber daya politik kekuasaan dan sumber daya ekonomi demi keuntungan pragmatis masing-masing partai politik. Kedua, adanya migrasi ideologis yang dilakukan secara kolektif oleh partai-partai politik, dimana mereka bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok dan secara kolektif meninggalkan program-program partai mereka, terjadi perubahan komitmen politik dari komitmen populis ke komitmen pro-pasar. semua partai secara berkelompok pula memperjuangkan kepentingan politik, posisinya masing-masing untuk memperoleh jabatan dalam kabinet. Upaya kolektif partai-partai ini terus berhasil dan semakin menemukan bentuknya dalam sebuah system politik kartel dan terabaikannya program-program ideologis partai.
17
Kartelisasi Politik Indonesia
Pembagian Jabatan Menteri Kabinet Dijadikannya posisi menteri sebagai sumber keuangan partai, sehingga partai politik saling berlomba menduduki posisi-posisi kementerian yang mempunyai potensi keuangan yang besar. Contoh : Kasus Korupsi Dana Haji, Suryadarma Ali. Kasus Hambalang, Andi Malarangeng. Kasus Pemerasan, Jero Wacik
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.