Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Jusuf di Kala Muda (bagian 1)

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Jusuf di Kala Muda (bagian 1)"— Transcript presentasi:

1 Jusuf di Kala Muda (bagian 1)
Pintu itu sama sekali tidak punya salah. Namun, seorang laki-laki setengah baya menghampirinya dengan penuh amarah. Braaakkk! Pintu rumah itu ditendang sekeras-kerasnya. Akibatnya, kaki si bapak itu langsung memar dan bengkak. Tidak lama kemudian, dia pun berlalu dengan kaki terpincang. Kenapa lelaki itu teramat marah? Lelaki itu tidak lain adalah Haji Kalla, seorang saudagar di Makassar, Sulawesi Selatan. Dia marah besar akibat ulah anak lelakinya yang paling tua: Jusuf Kalla. Saat itu merupakan hari akhir bulan Ramadhan. Hari itu adalah hari terakhir puasa bagi Haji Kalla, tetapi tidak bagi Jusuf. Hari itu bersama istrinya Mufidah, Jusuf sudah pergi ke masjid. Mereka bertakbir, menunaikan shalat Idul Fitri lalu bersalaman untuk saling memaafkan. Di mata Kalla, tentu saja Jusuf melakukan kesalahan. Dia mengikuti perhitungan datangnya Syawal lebih awal dari hisab yang diyakini sang ayah. Sebagaimana Muhammadiyah lainnya saat itu, Jusuf dan istrinya merayakan lebaran lebih dahulu. Semula semua berlangsung aman tentram. Sampai saat mereka pulang ke rumah sehabis shalat Id, Kalla memergoki anaknya. Lalu terjadilah aksi sepak pintu itu. Muhammad Jusuf Kalla lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei Dia lahir dari keluarga pengusaha berada. Ayahnya, Haji Kalla adalah pemilik NV Hadji Kalla di Makassar. Sementara ibunya bernama Athirah. Jusuf Kalla tumbuh dalam dua pengaruh besar. Sang ayah adalah pengikut Nahdatul Ulama, sedangkan sang ibu merupakan warga Muhammadiyah. Lambat laun Jusuf memahami perbedaan NU dan Muhammadiyah. Namun, tidak juga selamanya mulus. Misalnya, ihwal insiden sepak pintu itu. Pada akhirnya, dia pun memandang perlunya sebuah jalan tengah. Baginya, ini adalah langkah yang terbaik. “Saya suhaimi saja atau mengambil jalan tengah.” Hal itu pun bukan semata karena perbedaan ibadah, melainkan karena sikap keras sang ayah. Secara ritual, akhirnya dia mengikuti ajaran yang dianut sang bapak. “Lebaran ikut bapak, apalagi dengan otoriter. Ibu juga ikut bapak. Kami sembahyang tarawih 20 rakaat,” katanya. Berlatar belakang semacam itulah Jusuf Kalla menjadi sosok yang terbiasa menghargai orang lain, termasuk orang yang berbeda pandangan dan keyakinan dengannya. Semenjak kecil dia sudah diasuh orangtua untuk hidup sesuai ajaran agama Islam yang dianutnya, jujur, dan menghargai orang lain. “Prinsip yang ditanamkan oleh orangtua saya sebenarnya sangat sederhana, yaitu menjadi orang yang taat beragama, bekerja sebaik-baiknya (bekerja keras), jujur, dan menghormati orang lain. Salah satu sikap jujur itu adalah tidak menjadi orang yang melupakan janji atau mencederai janji,” katanya. Di pihak lain, ambisi Jusuf Kalla menjadi salah satu pimpinan tertinggi lembaga eksekutif Indonesia dapat dilacak. Ambisi-ambisi besarnya berasal dari pengasuhan dan pendidikan dalam keluarga. Sejak masih kecil, Haji Kalla menanamkan pada Jusuf bahwa anak lelaki pertama dalam keluarga harus menjadi pemimpin. Sebuah peristiwa diceritakan ibunya tentang penanaman ambisi menjadi pemimpin yang terus dikobarkan sang ayah dalam diri Jusuf Kalla. Ketika masih berada di sekolah dasar, Jusuf pernah bekerja paro waktu menjadi penjaga tempat penitipan di sekolah. Mengetahui kegiatan anaknya, sang ayah pun marah. Haji Kalla lalu menjemput Jusuf di tempat kerja, menyuruhnya pulang sambil mengatakan, “Saya membesarkan kamu bukan untuk jadi pesuruh, tapi untuk jadi pemimpin.” Kejadian itu selalu diingat Jusuf Kalla dan menjadi salah satu pengalaman yang berperan dalam pembentukan karakternya sebagai pemimpin di kemudian hari. Sebagai anak laki-laki tertua, dia diharapkan manjadi penerus memimpin usaha keluarga. Tuntutan-tuntutan ayah terinternalisasi dalam kepribadian Jusuf. Lalu berkembang menjadi ego ideal yang selalu mengingatkannya untuk terus berusaha menjadi pemimpin dengan segala kualitas terbaik. Ego ideal sebagai pemimpin memberi semacam energi yang menggerakkannya di dunia politik. Kenyataan pada awalnya Jusuf lebih banyak berkiprah di bidang bisnis tidak lepas dari peranan sang ayah. Dia melakukan identifikasi, yakni mencontoh tindakan-tindakan ayahnya dalam menghadapi tuntutan dan masalah di dalam dan di luar diri. Jusuf seolah menduplikat kiat dan nilai-nilai yang ditanamkan ayahnya, terutama mengenai keuletan, kemampuan melihat celah kesempatan dan memanfaatkannya, sifat realistis menghadapi kenyataan, berpikir taktis menggunakan prinsip ekonomi, kesederhanaan, kerja keras, serta kemampuan manajemen sang ayah dalam usaha mencapai kemajuan. Semua itu diinternalisasi ke dalam dirinya. Hal ini diperkuat dengan figur ibu yang selalu memberi penguatan pentingnya peran dan perlunya mencontoh jejak ayahnya. Perpaduan pola pengasuhan yang ditampilkan ibu dan ayah menguatkan karakter Jusuf, yang kemudian mengarahkannya menjadi pengusaha. Semenjak kecil, Jusuf Kalla adalah anak yang selalu dilindungi. Bagi orangtuanya, dia adalah putra mahkota. Sejak di Sekolah Rakyat II, Jusuf mendapat perhatian khusus untuk mengelola bisnis yang telah dirintis ayahnya. Cerita bisnis keluarga Kalla dimulai ketika Haji Kalla masih berusia muda. Ketika itu, sekitar usia 15 tahun, Haji Kalla yang yatim, mengumpulkan laba dari berjualan tekstil keliling dengan kuda dari desa ke desa. Dia lantas membuka kios di Pasar Bajoe, enam kilometer sebelah timur Watampone, ibu kota Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ketika bisnis Haji Kalla semakin berkembang, Jusuf Kalla yang baru berusia delapan tahun kerap disuruh sang ayah ikut menjaga toko. “Saya sering diminta menjaga kasir,” katanya. Saat itu Haji Kalla membuka kios bernama ‘Sederhana’ di Jalan Wajo, Watampone. Toko tekstil plus barang kelontong itu ramai pengunjung. Di toko ini ibunya menjahit dan mewarnai benang.


Download ppt "Jusuf di Kala Muda (bagian 1)"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google