Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

MODUL 7 PERILAKU MEKANIKA MATERIAL 7.1 Prosedur pengujian mekanik

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "MODUL 7 PERILAKU MEKANIKA MATERIAL 7.1 Prosedur pengujian mekanik"— Transcript presentasi:

1 MODUL 7 PERILAKU MEKANIKA MATERIAL 7.1 Prosedur pengujian mekanik 7.1.1 Pendahuluan Meskipun kristal riil telah dibuat dengan cermat, kristal tersebut tetap akan mengandung cacat kisi yang mempengaruhi sifat yang peka terhadap struktur. Pemeriksaan perilaku mekanik yang dilaksanakan dengan teliti memberikan informasi mengenai jenis cacat atomik ini. Di beberapa sektor industri, pengujian mekanik yang lazim dilakukan adalah uji tarik, kekerasan, impak, creep, dan uji fatik. Hasil uji tidak digunakan untuk meneliti "keadaan cacat" tetapi ditujukan untuk mengetahui kualitas produk sesuai spesifikasi standar. Apapun tujuannya, pengujian mekanik diperlukan, baik untuk pengembangan ilmu material maupun sifat rekayasa. Sehingga tidak dapat dihindarkan bahwa terdapat berbagai jenis peralatan untuk melakukan pengujian secara umum. Hal ini antara lain diperlukan untuk mengetahui pengaruh temperatur dan laju regangan pada berbagai level tegangan bergantung pada material yang diuji. 7.1.2 Uji tarik Pada uji tarik, kedua ujung benda uji dijepit; salah satu ujung dihubungkan dengan

2 temperatur, penambahan paduan, dan ukuran butir jauh lebih penting.
etan (persen reduksi penampang atau persen perpanjangan) material. Apabila dimanfaatkan sebagai teknik penelitian, diperlukan bentuk dan rincian kurva yang teliti. Namun demikian, perubahan tegangan luluh dan tegangan putus akibat variasi temperatur, penambahan paduan, dan ukuran butir jauh lebih penting. Bertambahnya tegangan mulai dari luluh awal hingga TS (kuat tarik maksimum) menunjukkan bahwa benda uji mengalami pengerasan akibat deformasi (terjadi pengerasan-kerja). Pada peregangan melampaui TS, pengerasan-kerja masih berlanjut, tetapi lajunya terlampau kecil untuk mengimbangi reduksi luas penampang benda uji. Deformasi berubah menjadi tidak stabil, sehingga daerah tertentu pada panjang ukur benda uji mengalami regangan melebihi arah lain. Tetapi pengerasan yang terjadi tidak memadai untuk meningkatkan tegangan sedemikian sehingga deformasi dapat berlanjut di daerah ini dan melebihi tegangan untuk menimbulkan regangan di temtar lain. Penciutan terjadi di daerah panjang ukur dan deformasi terpusat di daerah ini hingga terjadi patahan. Dengan kondisi ini, penyusutan luas pe- nampang (A0 – A1)/ A0, di mana A0, dan A1 adalah luas penampang awal dan luas penampang akhir di daerah penciutan, merupakan petunjuk mengenai regangan yang terlokalisir, dan menjadi indikator yang lebih baik dibandingkan regangan saat putus terhadap panjang ukur. Kurva tegangan-regangan sesungguhnya seringkali digambarkan untuk memperlihatkan perilaku pengerasan-kerja dan peregangan pada regangan yang besar. Tegangan sesungguhnya, sama dengan beban P dibagi luas benda uji A pada tahap regangan tertentu. Regangan total sesungguhnya ketika terjadi deformasi dari panjang awal l0 hingga l1 adalah = ln (l1/l0). Kurva tegangan-regangan sesungguhnya cocok dengan hubungan Ludwig = kn di mana n adalah koefisien pengerasan kerja dengan nilai =0,1-0,5 dan k adalah koefisien kekuatan. Ketidakstabilan plastis, atau penciutan, terjadi apabila peningkatan regangan tidak menghasilkan penambahan beban pada specimen, yaitu dP = 0, dan karena P = A, maka dP = Ad + dA = 0 mendefinisikan kondisi ketidakstabilan. Jadi, penciutan terjadi pada regangan ketika kemiringan kurva tegangan-regangan sesungguhnya sama dengan tegangan sesungguhnya pada regangan tersebut, jadi d /dE = . Sebaliknya karena k n = = d /dE = nk n-1 maka e = n dan penciutan terjadi apabila regangan sesungguhnya sama dengan eksponen pengerasan-regangan.

3 BHN = P(1-(1-(d/D)2)1/2 ( D2) dimana d adalah diameter jejak dan D adalah diameter indentor. Agar diperoleh hasil yang konsisten maka rasio d/D harus kecil dan diusahakan agar tetap konstan. Dengan kondisi seperti ini maka nilai BHN dan VPN untuk material lunak adalah sama. Pengujian kekerasan penting, baik untuk pengendalian kerja maupun penelitian, khususnya bilamana diperlukan informasi mengenai material getas pada temperatur tinggi. 7.1.4 Pengujian impak Material mungkin mempunyai kekuatan tarik tinggi tidak tahan terhadap beban kejut. Untuk menentukannya perlu dilakukan uji-ketahanan-impak. Ketahanan impak biasanya diukur dengan uji impak izod atau Charpy terhadap benda uji bertakik atau tanpa takik. Pada pengujian ini beban diayunkan dari ketinggian tertentu dan mengenai benda uji, kemudian diukur energi disipasi pada patahan. Pengujian ini bermanfaat untuk memperlihatkan penurunan keuletn dan kekuatan impak material berstruktur bcc pada temperatur rendah. Sebagai contoh, baja karbon memiliki temperatur transisi ulet-getas yang relatif tinggi, gambar dibawah. Oleh karena itu, baja jenis ini dapat digunakan dengan aman pada temperatur di bawah nol hanya jika temperatur transisi diturunkan dengan cara menambahkan paduan yang sesuai atau dengan memperluas ukuran butir. Kini parameter ketangguhan patahan Kc suatu paduan dianggap lebih tepat dan lebih penting, karena berbagai paduan mengandung retak halus, yang mulai merambat apabila menerima beban kritis tertentu. Kc mendefinisikan kombinasi kritis antara tegangan dan panjang retak. 7.1.5 Pengujian creep Definisi creep adalah aliran plastis yang dialami material pada tegangan tetap. Meskipun sebagian besar pengujian dilakukan dengan kondisi beban tetap, tersedia peralatan yang mampu mengurangi pembebanan selama pengujian sebagai kompensasi terhadap pengurangan penampang benda uji. Pada temperatur relatif tinggi, creep terjadi pada semua level regangan, tetapi pada temperatur tertentu laju creep bertambah dengan meningkatnya tegangan. Untuk pengkajian sifat creep dengan teliti, maka spesimen harus berada pada temperatur konstan, dan perubahan dimensi


Download ppt "MODUL 7 PERILAKU MEKANIKA MATERIAL 7.1 Prosedur pengujian mekanik"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google