Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM"— Transcript presentasi:

1 SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM
M. Khoirun Nizar, M.HI

2

3 SUMBER DAN DALIL HUKUM Sumber (mashdar) : asal dari sesuatu, tempat merujuk Dalil (petunjuk) : sesuatu yang menuntun kepada hukum syara’ yang praktis melalui landasan berpikir yang benar Suatu dalil yang membutuhkan dalil lain untuk menjadi hujjah tidak bisa disebut sebagai sumber hukum, melainkan metode istinbath (penggalian) hukum

4 Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber sekaligus dalil bagi hukum syara’, sedangkan ijma’, qiyas, maslahat tidak bisa dianggap sebagai sumber hukum karena hanya berfungsi sebagai yang menyingkapkan dan menampakkan hukum (al-kasyf wal idzhar) Dalil hukum yang disepakati : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas (“athi’ullah wa athi’urrasul…”) Dalil hukum yang diperselisihkan : istihsan, istishab, maslahah mursalah, ‘urf, mazhab shahabi, syar’ man qablana, sadd al-dzari’ah)

5 AL-QUR’AN Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafal Arab, yang sampai kepada kita dengan cara mutawatir, di mana membacanya merupakan ibadah, ditulis dalam mushaf yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Dalam kajian ushul fiqh, Al-Qur’an sering disebut dengan al-Kitab.

6 KEHUJJAHAN AL-QUR’AN Ulama sepakat : Al-Qur’an sumber utama hukum Islam → wajib diamalkan. Al-Qur’an diyakini pasti benar karena datang dari Allah Yang Maha Benar. Tidak boleh menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum meneliti ayat Al-Qur’an. Tidak boleh menggunakan dalil yang bertentangan dengan Al-Qur’an.

7 PENJELASAN AL-QUR’AN TERHADAP HUKUM
Secara rinci (juz’i) : masalah akidah, waris, hudud → menjadi hukum yang sifatnya ta’abbudi. Bersifat global (kulli) : masalah praktek shalat dan zakat → Sunnah kemudian menjelaskan. Memberikan kaidah dan dasar umum dalam pengembangan hukum.

8 DALALAH AL-QUR’AN TERHADAP HUKUM
Al-Qur’an dari segi turunnya bersifat qath’i karena mutawatir, sedang hukum yang dikandung kadang qath’i kadang zhanni. Ayat qath’i : yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya, seperti bilangan.

9 Ayat zhanni mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan : quru’ dan yad. Mujtahid boleh memilih yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung dalil lain.

10 KAIDAH USHUL FIQH TERKAIT AL-QUR’AN
Al-Qur’an dasar dan sumber utama hukum Islam. Memahami Al-Qur’an harus mengetahui asbabun nuzul. Memahami Al-Qur’an juga dituntut untuk memahami adat kebiasaan orang Arab.

11 SUNNAH Etimologis : jalan yang biasa dilalui; cara yang senantiasa dilakukan. Terminologis : semua yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan (taqrir) → yang berkaitan dengan hukum.

12 MACAM-MACAM SUNNAH Dari segi bentuknya : qauliyah, fi’liyah, taqririyah. Dari segi jumlah perawinya : mutawatir, masyhur, ahad. Dari segi kekuatan hujjah : shahih, hasan, dha’if.

13 Apakah sunnah Rasulullah wajib diikuti
Dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, tidak wajib diikuti. Yang dikhususkan untuk diri Rasul tidak wajib diikuti. Berkaitan dengan hukum yang ada alasannya, menjadi syari’at yang wajib diikuti.

14 KEHUJJAHAN SUNNAH Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. QS. Ali Imran : 31 QS. Al-Ahzab : 21 QS. Al-Hasyr : 7

15 FUNGSI SUNNAH TERHADAP AL-QUR’AN
1. Menguatkan (ta’yid wa ta’kid) 2. Menjelaskan (tabyin) • tafshil al-mujmal • taqyid al-muthlaq • takhshish al-’amm 3. Membuat hukum baru (tasyri’)

16 IJMA’ Etimologis : kesepakatan, konsensus.
Terminologis : kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama (Imam al-Ghazali) Jumhur : kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasul terhadap suatu hukum syara’.

17 DASAR HUKUM IJMA’ QS. Al-Nisa’ : 59 : “ ...Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu...”. Hadits : “Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan”.

18 RUKUN IJMA’ Yang terlibat seluruh mujtahid
Mujtahid tersebut dari seluruh penjuru dunia Islam. Masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya. Pada hukum syara’ yang aktual dan tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an. Sandarannya Al-Qur’an dan Sunnah.

19 KEHUJJAHAN IJMA’ Menjadi hujjah qath’i dan wajib diamalkan.
Tidak boleh menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya.

20 BENTUK IJMA’ Ijma’ sharih / lafdzi : kesepakatan dikemukakan dalam sidang ijma’, setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya → bersifat qath’i. Ijma’ sukuti : pendapat sebagian mujtahid tentang hukum, mujtahid yang lain diam saja tanpa ada penolakan → bersifat zhanni.

21 Malikiyah dan Syafi’iyah : ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Hanafiyah dan Hanabilah : termasuk ijma’ dan bisa dijadikan sebagai hujjah. Al-Amidi dan al-Karkhi : tidak bisa dikatakan ijma’, tetapi bisa menjadi hujjah yang berkekuatan zhanni.

22 KEMUNGKINAN TERJADINYA IJMA’
Ulama klasik : ijma’ dimungkinkan, secara aktual ijma’ telah ada. Ahmad bin Hanbal : Sangat sulit mengetahui adanya ijma’ terhadap satu masalah hukum. Ulama kontemporer : Ijma’ hanya dimungkinkan pada zaman sahabat, sedang pada zaman sesudahnya tidak mungkin terjadi.

23 QIYAS Etimologis : ukuran, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Terminologis : menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash disebabkan kesamaan illat hukum antara keduanya.

24 Metode qiyas tidak menetapkan hukum sejak awal (itsbat al-hukm), tapi hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (kasyf al-hukm wa idzharuh). Penyingkapan dan penjelasan dilakukan melalui pembahasan dan penelitian terhadap illat.

25 DASAR PENGGUNAAN QIYAS
QS. Al-Hasyr : 2 : “Maka ambillah i’tibar (pelajaran) hai orang-orang yang memiliki pandangan”. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengandung illat sebagai dasar penetapannya. Hadits Mu’adz bin Jabal tentang ijtihad menggunakan ra’y, dan qiyas termasuk dalam ijtihad semacam itu.

26 RUKUN QIYAS Ashl : perkara yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash (yang akan dijadikan patokan). Far’ : perkara yang akan ditentukan hukumnya (yang tidak ada nashnya). Illat : alasan yang menjadi motif dalam menentukan hukum. Hukm : hukum syara’ yang ditentukan oleh nash yang akan diberlakukan pada far’.

27 ILLAT Etimologis : sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Terminologis : Sifat yang berpengaruh terhadap hukum. Illat bukanlah hukum, tetapi penyebab adanya hukum (motiv hukum).

28 Jumhur : illat adalah hikmah yang menjadi motivasi dalam menetapkan hukum, berupa pencapaian maslahat dan menolak mafsadat.

29 MACAM ILLAT Dari segi cara mendapatkan :
Illat manshushah : yang dikandung langsung oleh nash. Illat mustanbathah : yang digali oleh mujtahid dari nash sesuai dengan kaidah yang ditentukan dan kaidah bahasa Arab.

30 Dari segi cakupannya : Illat muta’addiyah : yang ditetapkan oleh nash dan bisa diterapkan pada kasus hukum lainnya. Illat qashirah : yang terbatas pada nash, dan tidak terdapat pada kasus lain.

31 SYARAT ILLAT Mengandung motivasi hukum, bukan sekedar indikasi hukum.
Dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Jelas, nyata, dan bisa ditangkap oleh indera. Bisa diterapkan pada kasus hukum yang lain.

32 APAKAH HUKUM TUHAN SELALU TERKAIT DENGAN ILLAT
Asy’ariyah : hukum Tuhan tidak boleh dikaitkan dengan illat, karena kalau begitu akan mengurangi independensi Tuhan Mu’tazilah : harus selalu terkait dengan tujuan maslahat, kalau tidak maka akan percuma Tuhan menetapkan hukum Maturidiyah : hukum Tuhan memang terkait dengan illat, tapi itu bukan kewajiban Tuhan

33 ALASAN TIDAK SETUJU TA’LIL
Hakikat illat tidak dapat diketahui, kecuali dijelaskan sendiri oleh Syari’. Ta’lil merupakan sesuatu yang bersifat spekulatif. Bila gagal menemukan illat hukumnya, maka dapat mengurangi keikhlasan dalam melaksanakan hukum tersebut. Mukmin yang baik akan melaksanakan titah Allah tanpa perlu bertanya.

34 KEHUJJAHAN QIYAS Jumhur : qiyas bisa dijadikan sebagai metode istinbat hukum → harus diamalkan. Mu’tazilah : wajib diamalkan dengan dua syarat : illatnya manshush hukum far’ harus lebih utama daripada hukum ashl.

35 Zhahiriyah : secara logika qiyas boleh, tapi tidak wajib diamalkan.
Syi’ah Imamiyah : qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan. Alasan penolakan QS. Yunus : 36 : “Sesungguhnya zhann (persangkaan) itu tidak berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran” → dan qiyas bersifat zhann.

36 MACAM QIYAS Qiyas aulawi : hukum pada far’ lebih kuat daripada hukum ashl. Qiyas musawi : hukum pada far’ sama kualitasnya dengan hukum pada ashl. Qiyas adna : hukum pada far’ lebih rendah kualitasnya dengan hukum pada ashl.

37 ISTIHSAN Etimologis : menganggap sesuatu itu baik.
Terminologis : meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

38 Memberlakukan kemaslahatan juz’i (partikular) ketika berhadapan dengan kaidah umum.
Hakikat istihsan : mendahulukan maslahah mursalah daripada qiyas. Malikiyah : istihsan adalah teori dalam mencapai kemaslahatan. Syafi’iyah menolak istihsan → “Barangsiapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syara’”.

39 ESENSI ISTIHSAN Mentarjih qiyas khafi daripada qiyas jali, karena ada dalil yang mendukungnya. Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli atau kaidah umum didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.

40 KEHUJJAHAN ISTIHSAN Hanafiyah, Malikiyah, sebagian Hanabilah : istihsan menjadi dalil yang kuat dalam menetapkan hukum. Alasan dan dasar istihsan : 1. QS. Al-Baqarah : 185 : “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu”.

41 2. QS. Al-Zumar : 55 : “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.
3. Hadits : “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik”. 4. Qiyas adakalanya membawa kesulitan, maka mujtahid boleh berpaling pada hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.

42 PENOLAKAN ISTIHSAN Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan Syi’ah menolak istihsan, dengan alasan : Hukum syara’ ditetapkan berdasarkan nash dan pemahamannya melalui kaidah qiyas. Istihsan merupakan pengabaian terhadap nash dan penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu.

43 3. Rasul tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan bahkan mencela tindakan sahabat yang didasarkan pada istihsan. 4. Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolok ukur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

44 ISTISHHAB Etimologis : → shuhbah : menemani, menyertai.
Terminologis : melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut.

45 Apabila suatu perkara sudah ditetapkan pada suatu waktu, maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu sebelum ada dalil baru yang mengubahnya. Pemilikan seseorang terhadap sesuatu tetap berlaku sampai ada bukti pemindahan pemilikan itu kepada orang lain.

46 KEHUJJAHAN ISTISHHAB Kehujjahan istishhab ketika tidak ada dalil yang menjelaskannya 1. Mayoritas Mutakallimin : tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum masa lampau menghendaki adanya dalil, dan istishhab bukan dalil.

47 2. Mayoritas Hanafiyah : bisa menjadi hujjah.
Penetapan ini berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya.

48 3. Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah : bisa menjadi hujjah secara mutlak.
Semestinya hukum yang telah ditetapkan berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Kalau tidak demikian akan berakibat tidak berlakunya hukum yang dibawa Rasulullah bagi generasi sesudahnya.

49 KAIDAH-KAIDAH ISTISHHAB
Al-ashl baqa’ ma kana ‘ala ma kana hatta yastbut ma yughayyiruh. Al-yaqin la yuzal bi al-syakk. Al-ashl fi al-asyya’ al-ibahah. Al-ashl fi al-dzimmah al-baraah min al-takalif wa al-huquq.

50 MASLAHAH MURSALAH Etimologis : maslahat yang terlepas
Terminologis : kemaslahatan yang tidak ada nash yang secara rinci dan tegas mendukungnya atau menolaknya, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash secara istiqra’ (induktif).

51 MASLAHAH Etimologis : kebaikan, manfaat.
Imam Al-Ghazali : prinsip maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak madharat dalam rangka memelihara tujuan syara’. Maslahah harus sejalan dengan tujuan syara’, tidak boleh berdasarkan atas kehendak nafsu.

52 Tujuan syara’ : memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Syathibi : kemaslahatan dunia yang dicapai oleh manusia harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.

53 MACAM-MACAM MASLAHAH 1. Dharuriyah : perkara-perkara yang sangat urgen dalam kehidupan dunia dan akhirat, bila hal itu tidak ada maka kehidupan dunia dan akhirat akan rusak. Maslahah dharuriyah ini kembali kepada pemeliharaan lima hal pokok : agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

54 2. Hajiyah : hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia agar terhindar dari kesulitan dan kesempitan. 3. Tahsiniyah : hal-hal yang dibutuhkan untuk kesempurnaan sesuatu dan kebagusan akhlak.

55 KEHUJJAHAN MASLAHAH MURSALAH
Syafi’iyah, Syi’ah dan Dhahiriyah : menolak maslahah mursalah. Alasan penolakan : Menjaga kesatuan syari’at agar tidak ada perbedaan hukum antara satu masyarakat dengan yang lain. Menjaga kesucian syari’at dari kepentingan dan hawa nafsu.

56 Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah : maslahah mursalah bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum. Dinamika kehidupan menyebabkan kemaslahatan manusia terus berubah → perlu direspon dengan hukum yang sesuai dengan perkembangan tersebut, dan Islam adalah rahmatan lil alamin.

57 SYARAT MASLAHAH MURSALAH
Maslahat itu sesuai dengan tujuan syari’at dan tidak boleh bertentangan dengan dalil qath’i. Maslahat itu harus rasional, pasti terealisasi dan tidak bersifat spekulatif. Maslahat itu berlaku umum tidak untuk kepentingan pribadi maupun sekelompok orang tertentu.

58 ‘URF Etimologis : yang baik, kebiasaan.
Adat : sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional (cara tidur, makan, apa yang dimakan). Adat bisa muncul dari sebab alami, dan juga bisa juga dari hawa nafsu (cara berpakaian).

59 ‘Urf : kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan.
‘Urf bukanlah kebiasaan alami, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman (mas kawin). Yang dibahas oleh ushul sebagai dalil penetapan hukum syara’ adalah ‘urf, bukan adat.

60 MACAM-MACAM ‘URF Dari segi obyeknya :
‘Urf lafzhi : berkaitan dengan ungkapan tertentu. ‘Urf amali : berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Dari segi cakupannya : ‘Urf amm ‘Urf khass

61 Dari segi keabsahannya :
‘Urf shahih : tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan manfaat dan tidak mendatangkan madharat. ‘Urf fasid : yang bertentangan dengan dalil dan kaidah syara’.

62 KEHUJJAHAN ‘URF Ulama ushul sepakat : ‘Urf Shahih bisa dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Seorang mujtahid sebelum menetapkan hukum harus meneliti secara mendalam ‘urf, supaya ijtihadnya tidak menghilangkan kemaslahatan yang sudah berlaku di masyarakat.

63 Hukum-hukum yang didasarkan kepada ‘urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman dan tempat tertentu.

64 SYARAT ‘URF Berlaku secara umum.
Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan jelas dalam transaksi. Tidak bertentangan dengan nash.

65 KAIDAH TENTANG ‘URF Al-’adah muhakkamah.
La yunkar taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah. Al-tsabit bi al-’urf ka al-tsabit bi al-nashsh.

66 SYAR’ MAN QABLANA Maksudnya : syari’at sebelum Islam.
Apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam. Ulama ushul sepakat : syari’at Allah sebelum Islam telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam, meski pembatalah itu tidak secara menyeluruh dan rinci.

67 Apakah Rasul sebelum bi’tsah terikat dengan syari’at sebelum Islam
Mutakallimin dan sebagian Malikiyah : Sebelum bi’tsh tidak terikat dengan syari’at sebelumnya. Kalau terikat pasti ada dalil yang menyatakan itu, dan dari hasil penelitian tidak ada dalil seperti itu.

68 Hanafiyah dan Hanabilah : Sebelum bi’tsah beliau terikat dengan syari’at sebelum Islam.
Setiap Rasul disuruh mengikuti syari’at rasul-rasul sebelumnya. Banyak riwayat menunjukkan, sebelum menjadi Rasul beliau melakukan amalan para rasul sebelumnya.

69 Bagaimana setelah bi’tsah, apakah juga mengikat umat Islam
Jumhur sepakat : untuk masalah akidah, syari’at Islam tidak membatalkannya. Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah : Hukum sebelum Islam yang ada ketegasan berlaku bagi umat Islam dalam Al-Qur’an, mengikat umat Islam (puasa dan penyembelihan binatang).

70 QS. Al-Nahl : 123 : “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) untuk mengikuti agama Ibrahim yang hanif”. QS. Al-Syura : 13 : “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu apa yang telah disyari’atkan-Nya kepada Nuh...”

71 Asy’ariyah, Mu’tazilah, Syi’ah : Syari’at sebelum Islam tidak mengikat Rasulullah dan umatnya.
QS. Al-Ma’idah : 48 : “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan”.

72 Hadits : “Para nabi diutus khusus untuk kaumnya, dan saya diutus untuk seluruh umat manusia” (HR. Bukhari, Muslim, dan Nasa’i). Hadits Mu’adz bin Jabal tentang dasar penetapan hukum; yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad.

73 MADZHAB SHAHABI Etimologis : pendapat para sahabat Rasulullah.
Terminologis : pendapat para sahabat tentan suatu kasus yang dinukil para ulama yang berupa fatwa atau ketetapan hukum, sedangkan nash tidak menjelaskan hukum kasus yang dihadapi sahabat itu.

74 SIAPA SAHABAT Ulama Ushul : orang yang bertemu dengan Rasulullah dan beriman kepadanya, serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah, sehingga secara adat disebut sahabat.

75 KEHUJJAHAN MADZHAB SHAHABI
Hanafiyah, Malik, Ahmad bin Hanbal : pendapat sahabat menjadi hujjah, bahkan lebih didahulukan bila bertentangan dengan qiyas. Allah memuji para sahabat (QS. Al-Taubah : 100). Hadits : “Sahabatku ibarat bintang, siapapun yang kamu ikuti niscaya kamu akan mendapat petunjuk”.

76 Ulama ushul : pendapat sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah.


Download ppt "SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google