Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Aspek fisik. Mental. Emosi. Spiritual. Diri (self) Kehendak.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Aspek fisik. Mental. Emosi. Spiritual. Diri (self) Kehendak."— Transcript presentasi:

1 Aspek fisik. Mental. Emosi. Spiritual. Diri (self) Kehendak.
Lima Aspek Manusia Aspek fisik. Mental. Emosi. Spiritual. Diri (self) Kehendak.

2 1. Aspek Fisik Manusia dilihat sebagai hewan yang memiliki tubuh fisik dan otak. Ini pandangan para penganut aliran materialisme (= realitas dapat dijelaskan menurut materi dan energi). Menurut materialisme tidak ada Tuhan, jiwa, dan inner self. Manusia adalah organisme fisikal-kimiawi dan biologis seperti makluk bertubuh lain, hanya saja ia lebih kompleks. Pandangan ini dianut oleh ilmu fisika, ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu fisika klasik dan modern berpandangan bahwa manusia hanyalah tubuh fisik dan otak.

3 Sedangkan ilmu-ilmu alam (tumbuhan, hewan, biologi) mengatakan bahwa manusia adalah sejenis hewan tapi memiliki otak dan sistem syaraf yang lebih kompleks. Psikologi, khususnya behaviorisme (Pavlov, JB Watson, BF Skinner) mengajarkan bahwa manusia sama dengan hewan/tumbuhan yang perilakunya didorong oleh stimulus dari luar. Sosiologi dan antropologi mengajarkan bahwa kodrat manusia muncul dan berkembang dalam konteks sosio- kultural. Manusia adalah produk dari akulturasi atau sosialisasi. Ilmu-ilmu itu memandang manusia sebagai hewan sosial yang memiliki tubuh.

4 .2. Aspek Mental Pandangan ini dikemukakan sejak masaYunani kuno, berlanjut ke imperium Romawi, hingga ke masa renesans dan masa Pencerahan (Aufklaerung). Manusia dilihat sebagai makluk rasional. Manusia berbeda dengan makluk lain, khususnya hewan, karena rasio/mind yang dimilikinya. Mind tidak sama dengan otak (brain), bahkan ia lebih tinggi. Hewan tidak memiliki rasio.

5 Pandangan ini dianut aliran idealisme dan dualisme
Pandangan ini dianut aliran idealisme dan dualisme. Idealisme mengatakan bahwa realitas tidak dijelaskan menurut materi, tetapi akal budi. Di balik materi terdapat inteligensi yang menyebabkan segalanya. Atom atau energi disebabkan oleh suatu unsur inteligen. Pandangan dualisme mengatakan selain tubuh dan otak (brain) ada juga rasio (mind). Dualisme mempertentangkan unsur tubuh (fisik) dan rohani.

6 3. Aspek Emosional Manusia dilihat sebagai makluk yang memiliki perasaan (feeling being). Manusia memiliki kehidupan emosional dan estetis yang tidak dimiliki hewan dan tumbuhan. Jadi, selain memiliki aspek fisik dan mental, manusia juga memiliki emosi dan rasa estetika. Karena aspek ini manusia mengenal keindahan, kebahagiaan, cinta dan persahabatan. Pandangan ini dianut misalnya oleh aliran romantisisme (khususnya Rousseau), eksistensialisme, kesenian dan estetika. Rousseau berpendapat bahwa manusia dari kodratnya baik dan indah, tapi kemudian merosot karena masyarakat dan peradaban (noble savage).

7 Aliran Eksistensialisme mengajarkan bahwa manusia terpaksa hidup di tengah dunia fisik oleh hal-hal di luar kontrolnya (manusia dibuang ke dunia). Manusia dapat menggunakan rasio untuk memahami nasibnya, tapi keputusan penting dalam hidup diambil berdasarkan perasaan dan mencakup komitmen yang tak didasarkan pada eksperimentasi fisik dan rasionalisasi. Kierkegaard, seorang tokoh eksistensialisme, mengatakan untuk mengatasi keterbuangan dan keterasingannya manusia harus melakukan loncatan iman (leap of faith) karena Tuhan tak dapat diselami dengan indra maupun rasio.

8 4. Aspek Spiritual Manusia dilihat sebagai makluk spiritual yang membawa dalam dirinya percikan keilahian dari Sang Pencipta (bahasa teologi: manusia diciptakan menurut citra atau gambaran Tuhan). Manusia memiliki (mengambil bagian dalam) esensi spiritual dari sebuah Realitas Tertinggi yang bersifat nonmateri. Menurut pandangan ini, aspek terpenting pada manusia ialah jiwa atau roh yang tak kelihatan, yang terkait dengan suatu realitas mahatinggi. Pandangan ini dianut oleh agama-agama.

9 5. Aspek Diri (Self) dan Kehendak
Manusia dilihat sebagai pribadi/kepribadian yang unik dan memiliki kehendak (will). Self itu lain dari rasio, tubuh, emosi, atau jiwa. Ia adalah suatu yang lain yang memanfaatkan semuanya itu (rasio, tubuh, emosi, dan jiwa). Kehendak tak dipisahkan dari self atau rasio. Mereka yang menganut pandangan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (free will) untuk mengatur kehidupannya dan tidak ditentukan (determined) oleh kekuatan-kekuatan eksternal dan internal lain. Kehendak memberikan arah dan memungkinkan manusia mengambil keputusan. Manusia mempunyai kehendak, hewan tidak memiliki kehendak. Manusia tidak didikte kekuatan alam, tapi dapat “menghendaki” yang lain. Kehendak inilah yang memungkinkan manusia untuk menolak determinasi alam

10 TIGA KONSEP MANUSIA Konsep tentang (hakikat) manusia selalu mengalami dinamika sesuai corak pemikiran pada kurun masa tertentu. Konsep manusia dalam masa Yunani klasik berbeda dengan konsep di abad pertengahan, dan berbeda pula dengan konsep di masa modern. Konsep di suatu periode dapat bertahan di periode lain, berdampingan dengan konsep baru. Pembahasan tentang dinamika konsep-konsep tentang manusia mengacu pada periodisasi filsafat Barat, yakni masa Yunani klasik yang bercorak kosmosentris, masa abad pertengahan yang bercorak teosentris, dan masa modern yang bercorak antroposentris.

11 1. Masa Yunani Klasik: Rational Animal
Meskipun corak filsafat masa klasik Yunani ialah kosmosentris, namun para filsuf sofis mulai menaruh perhatian pada manusia, misalnya dengan bertanya tentang kemampuan manusia akan pengetahuan. Kata-kata terkenal Protagoras man is the measure of all things menegaskan orientasi pemikiran kepada manusia. Di masa ini manusia didefinisikan sebagai rational animal (hewan yang berakal budi). Ungkapan ini berarti bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yakni animal (aspek fisik, materi) dan ratio (aspek rohani, forma, esensi). Manusia secara fisik sama persis dengan hewan, bahkan tumbuhan. Dari segi fisik sebagai organisme hidup manusia, hewan, dan tumbuhan mengikuti hukum biologi yang berlaku untuk sel-sel hidup.

12 Perbedaan manusia dengan hewan terletak pada rasio (jiwa)
Perbedaan manusia dengan hewan terletak pada rasio (jiwa). Hanya manusia yang memiliki rasio. Dengan kata lain rasio merupakan garis demarkasi antara hewan dan manusia. Perdebatan tentang adanya rasio pada jenis-jenis hewan tertentu sama sekali tidak membantah definisi manusia sebagai hewan berakal budi. Secara biologis manusia adalah hewan dengan nama spesies homo sapiens yang otak depannya (neo-cerebrum) lebih maju (developed) dibanding hewan lain. Oleh sebab itu manusia kurang dikendalikan oleh insting dibanding hewan lain yang otak bawahnya (paleo-cerebrum) dikendalikan oleh insting. Sering dikatakan bahwa definisi rational animal muncul pertama kali dalam metafisika Aristoteles, tapi Aristoteles sendiri sebetulnya tidak memberikan definisi seperti itu. Justru Euripides yang hidup jauh sebelum Aristoteles sudah menyebut manusia sebagai rational animal. Dalam Nicomachean Ethics I.13 Aristoteles hanya mengatakan bahwa manusia (human being) memiliki prinsip rasional.

13 Socrates juga bukanlah yang pertama menggunakan istilah ini
Socrates juga bukanlah yang pertama menggunakan istilah ini. Dia hanya menggunakannya secara implisit. Tentang manusia Socrates mengatakan bahwa manusia, kalau disodori pertanyaan yang rasional, akan menjawab secara rasional juga. Rene Descartes pada mulanya menerima definisi manusia sebagai rational animal tapi pada akhirnya dia menolak definisi tersebut. Dalam Meditation II dari Meditations on First Philosophy, Descartes sampai pada klaimnya yang terkenal “I am, I exist”. Dia lalu terus bertanya: What am I? Shall I say ‘a rational animal’? No; for then I should have to inquire what an animal is, what rationality is, and in this one question would lead me down the slope to other harder ones”.

14 Banyak filsuf dan pemikir memberikan komentar tentang definisi rational animal. Oscar Wilde (penyair) menyindir dengan mengatakan “man is a rational animal who always loses his temper when called upon to act in accordance with the dictates of reason”. Sedangkan Bertrand Russel mengatakan “It has been said that man is a rational animal. All my life I have been searching for evidence which could support this”. Plato dan Aristoteles pada dasarnya melihat manusia sebagai rational animal. Keduanya sama- sama mengakui komponen jiwa dan tubuh yang membentuk manusia, tetapi berbeda dalam hal hubungan antara kedua komponen tersebut. Berikut ini dibahas secara singkat pandangan Plato dan Aristoteles.

15 a. Pandangan Plato Pandangan manusia menurut Plato bersifat dualistik, mengacu pada metafisikanya yang juga dualistik. Realitas fisik sehari-hari yang berubah, kata Plato dalam buku Republic, bukan realitas yang sesungguhnya (realitas primer) tetapi hanya dunia penampakan atau manifestasi fenomenal dari realitas sebenarnya yang tak berubah. Itulah realitas forma-forma yang hanya dikenal oleh intelek. Topik ini dikemukakan dalam metafora gua yang terkenal itu. Dalam metafora itu dunia fisik yang berubah digambarkan sebagai bayang-bayang di tembok gua. Untuk mengenal dunia sebenarnya penghuni gua harus berpaling, bahkan harus keluar dari gua untuk mencari sumber terang yang membuat bayang-bayang tadi. Terang, intelek itulah realitas sesungguhnya.

16 Tubuh manusia, kata Plato, hanyalah penampakan dari realitas yang sebenarnya. Identitas manusia tidak berasal dari tubuh tapi dari jiwanya yang bersifat immaterial. Jadi ada pemisahan antara aspek rasional dari aspek materi eksistensi manusia. Menurut Plato, jiwa dan tubuh bisa bereksistensi secara terpisah. Sebelum bersatu dengan tubuh/jasmani, jiwa berada di dunia ide (praeksistensi jiwa). Pada saat kematian, ketika tubuh hancur, jiwa kembali ke dunia ide lagi. Jadi, menurut Plato, manusia terdiri dari unsur “jiwa dan tubuh” di mana setiap unsur bisa ada sendiri-sendiri, satu bisa ada tanpa yang lain.

17 b. Pandangan Aristoteles
Aristoteles menolak dualisme Plato. Menurut Aristoteles, dunia fisik yang berubah-ubah ini dan yang terdiri dari substansi-substansi individual yang konkret (manusia, kuda, tumbuhan, batu dsb.) merupakan realitas primer. Setiap substansi individual merupakan kemanunggalan materi dan forma. Kedua komponen ini tak dapat dipisahkan sebab forma tak mempunyai eksistensi yang independen. Forma hanya bisa ada kalau bersatu dengan materi. Menurut Aristoteles, jiwa adalah forma dari tubuh, yang memberikan hidup dan struktur kepada materi spesifik dari seorang manusia. Forma inilah yang menentukan mereka sebagai manusia. Perbedaan individual disebabkan oleh materi. Maka tidak mungkin jiwa manusia individu bereksistensi terpisah dari tubuh. Dengan demikian Aristoteles menolak reinkarnasi yang, menurut dia, yang mustahil terjadi.

18 Pandangan Aristoteles tentang manusia dipengaruhi oleh ajaran metafisiknya tentang Hylemorfisme. Maka pandangannya tentang manusia bersifat hylemorfistik. Hylemorfisme terdiri dari kata hyle = materi dan morphe = bentuk. Menurut Aristoteles, manusia adalah kemanunggalan “jiwa-tubuh”. Persatuan jiwa-tubuh itu bersifat mutlak, artinya yang satu tidak bisa ada tanpa yang lain. Jiwa tidak ada lebih dulu seperti diajarkan Plato. Jiwa berasal dari potensi materi (tubuh). Oleh sebab itu pada saat kematian ketika tubuh hancur, jiwa juga tenggelam (lenyap), kata Aristoteles.

19 2. Abad Pertengahan: Religious Animal
Di abad pertengahan manusia dianggap sebagai makluk ciptaan Tuhan. Jagad raya dan seluruh isinya, termasuk manusia, tidak bereksistensi dari dirinya sendiri. Akibat menuntut adanya penyebab. Alam raya dan segala isinya, termasuk manusia, merupakan akibat yang menuntut adanya penyebab. Pandangan ini dianut oleh agama-agama. Salah satu bentuk klasik dari pandangan ini dinamakan “The Great Chain of Being” (Scalla Naturae), di mana segala ciptaan berada dalam suatu jenjang sempurna menurut tingkat-tingkat kesempurnaan.

20 Rantai Agung Ciptaan (Great Chain of Being) atau Scalla Naturae (Latin, tangga alam) merupakan sebuah konsep Kristen di abad pertengahan dan renesans yang menempatkan segala ciptaan dalam sebuah struktur hirarkis yang ketat mulai dari makluk paling sederhana di tingkat paling bawah hingga yang paling sempurna di puncaknya. Dalam hirarki ini Tuhan Sang Pencipta berada di puncak tangga sebagai yang mahakuasa, mahatinggi, dan mahasempurna, sekaligus terpisah dari hirarki. Di bawah Tuhan terdapat para malaikat yang berwujud roh. Selanjutnya di bawah malaikat terdapat setan , bintang-bintang, bulan, para raja, para pangeran, para bangsawan, manusia, hewan liar, hewan piaraan, pohon dan tumbuhan lain, batu berharga, logam berharga, dan mineral-mineral lainnya.

21 Tanah (karang) menempati posisi paling rendah pada piramida
Tanah (karang) menempati posisi paling rendah pada piramida. Tanah/karang hanya memiliki atribut eksistensi. Setiap link di atasnya secara hirarkis mengandung atribut-atribut positif dari link sebelumnya dan mempunyai (paling kurang) satu keunggulan baru yang tidak ada di peringkat sebelumnya. Jadi, karang memiliki hanya eksistensi. Tumbuhan yang berada di tangga berikutnya memiliki eksistensi plus (satu unsur baru yaitu) kehidupan. Berikut di atasnya, hewan, memiliki eksistensi dan kehidupan plus mobilitas dan cita rasa (appetite). Berikut di atasnya, manusia, memiliki eksistensi, kehidupan, mobilitas dan cita rasa, plus rasio.

22 Posisi manusia sangat unik. Manusia adalah daging yang dapat mati
Posisi manusia sangat unik. Manusia adalah daging yang dapat mati. Manusia sama dengan benda-benda lain di bawahnya. Tapi manusia juga memiliki unsur roh, sehingga sama dengan malaikat dan Tuhan. Ada dikotomi antara daging dan roh, dan pergulatan ini berdimensi moral. Jalan roh lebih tinggi, lebih agung, dan membawa seseorang lebih dekat dengan Tuhan. Sedangkan keinginan daging membuat seseorang ditarik ke bawah, menjauh dari Tuhan. Berikut akan dibahas secara singkat tentang makluk-makluk yang mengisi seluruh “tangga alam”.

23 1. Tuhan Tuhan Sang Pencipta berada di puncak tangga sekaligus berada di luar dunia ciptaan. Tuhan ada di luar keterbatasan fisik.. Tetapi dia sendiri memiliki sifat-sifat ilahi mahakuasa (omnipotence), mahatahu (omniscience), dan ada dimana-mana (omnipresence). Tuhan adalah otoritas paling kuat bagi ciptaan lain, paling penuh kebajikan, paling istimewa.

24 2. Malaikat Malaikat adalah roh murni, tidak memiliki tubuh fisik. Untuk mempengaruhi dunia fisik, malaikat mengenakan tubuh sementara yang terdiri dari unsur udara. Para teolog abad pertengahan dan renesans melukiskan para malaikat memiliki akal budi, cinta, imaginasi, dan berada di luar keterbatasan fisik. Mereka memiliki kesadaran sensoris yang tidak terikat dengan organ fisik. Mereka juga mempunyai bahasa. Tapi mereka tidak memiliki atribut ilahi omnipotence, omniscience, dan omnipresence. Mereka tidak mengalami perasaan fisik seperti manusia dan hewan.

25 3. Manusia Bagi para pemikir abad pertengahan dan renesans, manusia menduduki posisi unik dalam Scalla Naturae. Dia berada di antara dunia makluk spiritual dan dunia makluk fisik. Manusia memiliki daya ilahi seperti akal budi, cinta dan imaginasi. Manusia sama dengan malaikat karena memiliki unsur spiritual yaitu jiwa, tapi manusia juga berbeda dengan malaikat karena jiwa manusia terikat pada tubuh fisik. Karena terikat dengan tubuh fisik maka manusia merasakan passion dan sensasi fisik (rasa sakit, lapar, haus, nafsu seksual), dan daya reproduksi seperti hewan-hewan yang berada di peringkat di bawahnya.

26 Tapi posisi manusia sebetulnya sulit, karena harus menjaga keseimbangan antara unsur ilahi dan animalistik dalam kodratnya. Malaikat hanya melakukan dosa intelektual seperti kesombongan, tapi manusia mampu melakukan dosa intelektual dan dosa fisik seperti nafsu dan kerakusan. Manusia juga memiliki pancaindra, tapi kemampuan sensorisnya dibatasi oleh organ fisik. Peringkat tertinggi pada kelompok manusia ialah para raja.

27 4. Hewan Hewan mempunyai jiwa dan mampu untuk bergerak bebas. Mereka memiliki nafsu fisik dan pancaindra, jumlahnya bergantung pada posisi mereka dalam “tangga alam”. Mereka memiliki inteligensi dan kesadaran akan dunia sekitar. Tidak seperti manusia, mereka tak memiliki sifat spiritual dan mental seperti jiwa kekal dan kemampuan logika dan bahasa. Peringkat teratas kelompok hewan ialah binatang mamalia dengan singa atau gajah sebagai rajanya. Menyusul di bawahnya burung dengan elang sebagai rajanya. Di bawahnya lagi terdapat ikan dengan paus sebagai rajanya. Sang raja hewan memiliki kualitas yang lebih superior dibanding yang lainnya.

28 . Secara detail pemeringkatan di kelompok hewan adalah sebagai berikut:
1. Mamalia: singa atau gajah - Hewan liar (kucing besar, dll) - Hewan piaraan (kuda, anjing dll) - Hewan piaraan yang jinak (kucing dll) 2. Burung: elang - Burung pemangsa (elang, hantu dll) - Burung pemakan bangkai (hering, gagak) - Burung pemakan cacing (robin dll) - Burung pemakan biji (pipit dll) 3. Ikan: paus - Mamalia laut (paus atau lumba) - Hiu - Ikan-ikan lain

29 .5. Tumbuhan Tumbuhan memiliki kemampuan untuk tumbuh dan bereproduksi, tapi tidak memiliki unsur mental dan organ sensoris. Tapi tumbuhan dapat makan tanah, air, dan panas (fotosintesis adalah fenomena yang masih kurang dipahami di masa renesans). Tumbuhan punya toleransi lebih besar terhadap panas dan dingin. Mereka juga kebal terhadap rasa sakit yang dialami hewan. Bagian paling dasar dari kelompok tumbuhan terdapat jamur dan lumut yang tidak memiliki daun dan bunga, dan begitu terbatas dalam bentuk sehingga dianggap para pemikir renesans sedikit lebih tinggi dari level mineral.

30 Raja tumbuhan adalah pohon oak
Raja tumbuhan adalah pohon oak. Pemeringkatan di kelompok tumbuhan adalah sbb: 1. Pohon (trees) 2. Semak kecil (shrubs) 3. Belukar (bushes) 4. Biji-bijian (crops, mis jagung, gandum, padi, dll) 5. Rumput (herbs) 6. Pakis/paku (ferns) 7. Rumput liar (weeds) 8. Lumut (moss) 9. Cendawan (Fungus)

31 .6. Mineral Mineral atau batu-batuan berada di dasar piramida makluk ciptaan. Rajanya mineral ialah intan (diamond). Mereka tidak memiliki kemampuan untuk tumbuh dan bereproduksi seperti pada tumbuhan. Tapi karunia istimewa yang mereka peroleh dari sang Pencipta ialah soliditas dan kekuatan. Banyak jenis mineral diyakini memiliki kekuatan magis, khususnya batu-batu permata.

32 Pemeringkatan mineral adalah sbb:
1. Batu Mulia: intan - Intan (diamonds) - Batu delima (rubies) - Zamrud (emeralds) - Nilakandi (sapphires, dll) 2. Logam-logaman: emas - Emas (gold) - Perak (silver) - Besi (iron, dan baja) - Kuningan (bronze) 3. Tembaga (copper, dll) 4. Batu geologis: marmar - Marmar (marble) - Granit - Batu pasir (sandstone) - Baru kapur (limestone, dll) 5. Batu-batu kecil (kelikir, pasir, tanah, dll).

33 Peter Suber dari Philosophy Department, Earlham College memberikan penafsiran dan pandangan tentang CGB sebagai berikut: Puncak dari tangga melambangkan kesempurnaan tertinggi. Itulah Tuhan. Rantai secara keseluruhan melambangkan semua tingkat kesempurnaan dari yang tertinggi dan penuh sampai ke yang paling rendah. Jagad raya tidak akan lengkap jika rantai tidak meluas sampai ke dasar atau kalau ada celah di dalamnya. Jagad raya lebih sempurna (dalam arti lebih lengkap) jika semua tingkat kesempurnaan diwakili di dalamnya dari pada jika hanya diwakili oleh unsure yang tertinggi. Rantai menjelaskan mengapa Tuhan yang sempurna menciptakan dunia yang tidak sempurna. Itu bukan kesalahan atau ketaksempurnaan. Justru sebaliknya. Jagad yang paling sempurna (lengkap) haruslah memuat setiap jenis hal yang tidak sempurna. Benda-benda yang tak sempurna bukan merupakan bukti tentang ketaksempurnaan ciptaan.

34 Bagian dasar dari tangga melambangkan tingkat kesempurnaan yang paling rendah, yang adalah ketidakadaan (lawan dari yang jahat). Setiap titik pada rantai di atas dasar punya tingkat kesempurnaan tertentu. Idea, kalau memang ada, ikut mengambil bagian dalam kebenaran. Kesalahan bukan suatu yang positif. Kebenaran adalah positif. Kesalahan adalah kurangnya kebenaran, privacy dari kebenaran. Demikian juga kejahatan bukan suatu yang positif; kebaikan adalah positif. Kejahatan adalah tidak adanya kebaikan; kejahatan adalah privasi. Being atau eksistensi adalah suatu kesempurnaan. To be itu lebih sempurna daripada not to be. Apa yang memiliki eksistensi positif adalah baik dan diciptakan oleh Tuhan. Apa yang merupakan privasi tidak punya being dan kebaikan, dan sama sekali tidak diciptakan. Oleh sebab itu ide tentang being dengan segala kesempurnaan adalah ide tentang suatu being yang ada. Ini merupakan argumen ontologis bagi eksistensi Tuhan. Ketergantungan adalah ketaksempurnaan.

35 Oleh sebab itu benda-benda yang berada di tengah rantai adalah dependen atau kontingen. (ketiadaan di bagian dasar adalah dependen dalam arti bahwa ketakadaan bergantung pada kontras dengan kesesuatuan). Being di puncak rantai benar-benar tidak bergantung atau self-sufficient atau absolute. Jika A menyebabkan B, maka B bergantung pada A. Oleh sebab itu B kurang sempurna dibanding A. Suatu sebab harus lebih sempurna dari akibatnya. Benda-benda dependen lebih bergantung pada sebab-sebab yang sempurna dari pada bergantung pada dirinya sendiri, dan selanjutnya bergantung pada sebab-sebab yang lebih sempurna lagi, dan begitu seterusnya, sampai seri itu berakhir dengan the most perfect, uncaused (atau self-caused), benda independen yang berada di puncak rantai. Oleh karena itu jika ada sesuatu yang dependen (misalnya manusia), maka harus ada pula sesuatu yang independen, yang tidak lain benda sempurna atau absolut (Tuhan). Inilah argumen kosmologis bagi eksistensi Tuhan. Maka Tuhan menyebabkan dirinya sendiri (self-caused) atau tidak disebabkan (uncaused).

36 3. Masa Modern: Symbolic Animal
Di masa modern manusia didefinisikan sebagai symbolic animal. Nama lain untuk definisi ini ialah representational animal. Manusia adalah hewan yang mampu menciptakan dan memaknai simbol-simbol. Konsep ini berasal dari Ernst Cassirer dalam buku An Essay on Man (1923). Dia menyebut manusia sebagai “A Symbol-making or Symbolizing Animal.” Karakteristik utama manusia bukan dalam hakikat metafisik atau fisiknya, tapi dalam karyanya. Kemanusiaan tak dapat diketahui langsung, tapi harus diketahui melalui analisis jagad simbolis yang diciptakan manusia dalam sejarah. W.J.T. Mitchell menggunakan isitilah ini dalam eseinya tentang Representation. Dia menulis: “man, for many philosophers both ancient and modern, is the ‘representational animal’ (homo symbolicum), the creature whose distinctive character is the creation and manipulations of signs – things that stand for or take the place of something else.”

37 Menurut Cassirer definisi rational animal tidak setepatnya menggambarkan kodrat manusia. Simbol merupakan dimensi baru pada manusia yang tidak terdapat pada hewan. Dia mengutip biolog Johannes von Uexkull yang mengatakan bahwa hidup tak dapat dijelaskan melalui fisika atau kimia. Hidup adalah realitas terakhir dan tergantung pada dirinya sendiri. Realitas tidak bersifat homogen, tapi sangat terbagi-bagi. Ia punya banyak bagan dan pola, sebanyak begitu banyaknya jenis organisme. Setiap organisme adalah makluk monadis. Tiap organisme mempunyai pengalaman sendiri, dan memiliki dunianya sendiri. Gejala pada spesies biologis tertentu tak dapat diterapkan pada spesies lain. Pengalaman dan realitas dari dua organisme berlainan tak dapat dibanding-bandingkan. Dalam dunia lalat, kata Uexkull, kita menemukan benda- benda lalat, dalam dunia landak laut, kita temukan benda-benda landak laut.

38 Menurut Uexkull, satu-satunya petunjuk kepada hidup hewan kita dapatkan dari fakta-fakta anatomis komparatif. Struktur anatomis spesies hewan dapat digunakan untuk merekonstruksi pengalaman khususnya. Dia menolak pemakaian istilah “lebih rendah” atau “lebih tinggi” dari bentuk- bentuk kehidupan. Kehidupan dimana pun selalu sempurna, baik di lingkungan terkecil maupun terbesar, kata Uexkull. Sesuai struktur anatomisnya hewan memilik apa yang disebut lingkaran fungsional (functional circle) yang terdiri dari Merknetz (sistem efektor) dan Wirknetz (sistem reseptor). Organisme hanya bisa bertahan karena kerjasama kedua sistem ini. Lewat sistem reseptor spesies menerima rangsang, dan sistem efektor memungkinkan spesies biologis bereaksi. Manusia juga memiliki lingkaran fungsional ini, kata Uexkull. Dunia manusiawi juga mengikuti hukum biologis yang mengatur kehidupan semua organisme lain. Tapi pada manusia ada suatu yang baru, yakni sistem simbolis. Itulah ciri khas pada manusia yang tidak terdapat pada hewan. Bahasa, kesenian, mitos, dan agama adalah bagian dari dunia simbolis manusia. Setiap kemajuan dalam pemikiran dan pengalaman manusia, memperkuat dan memperbaiki jaringan pengalaman manusia yang simbolis tersebut.

39 Oleh sebab itu manusia tidak berhadapan langsung dengan realitas fisik
Oleh sebab itu manusia tidak berhadapan langsung dengan realitas fisik. Manusia tidak lagi berurusan dengan benda-benda itu sendiri. Dalam arti tertentu, manusia secara terus-menerus berhadapan dengan diri sendiri. Ia menyelubungi diri dengan bentuk-bentuk bahasa, mitos, agama dan bentuk-bentuk simbolis lainnya itu. Lingkaran fungsional manusia tidak berkembang secara kuantitatif, tapi juga mengalami perubahan kualitatif. Antara sistem efektor dan reseptor itu terdapat sistem simbolis. Oleh sebab itu manusia tidak hanya hidup dalam realitas lebih luas, tapi hidup dalam dimensi realitas baru, kata Cassirer. Cassirer tidak bermaksud menyepelekan definisi rational animal. Rasionalitas adalah sifat yang bahkan melekat pada seluruh aktivitas manusiawi, kata Cassirer. Mitos bukan saja tumpukan takhyul atau khayalan, tidak bersifat kacau balau, tapi memiliki bentuk konseptual dan sistematis. Tapi struktur mitos tidak mungkin dikupas secara rasional. Demikian pula dengan bahasa, agama, kesenian, dan lainnya. Analisis rasional hanyalah pars pro toto saja, bukan menggambarkan seluruh realitas manusia yang sebenarnya.

40 Menurut Cassirer mitos dan religi sering, bahkan selalu, dipertentangkan dengan penalaran atau rasio. Keduanya dianggap tidak rasional, tidak logis, kacau balau, tanpa bentuk. Itu, misalnya tercermin dalam konflik antara agama dan rasionalitas yang menjadi topik perdebatan dalam filsafat skolastik. Menurut Cassirer, masalah itu telah diselesaikan dengan baik oleh Thomas Aquinas. Thomas berpendapat bahwa kebenaran religius bersifat suprarasional dan supranatural, tapi tak dapat disebut irrasional. Misteri tak bertentangan dengan rasio, tetapi justru menyempurnakan rasio. Perspektif pembahasan mitos dan religi dalam filsafat bukannya melihat kedua fenomena itu sebagai sistem metafisis atau teologis, tapi sebagai bentuk imajinasi mitis dan bentuk pemikiran religius. Mitos memiliki logika sendiri, dan dapat dijelaskan. Semua gejala alam dan manusiawi malah membutuhkan interpretasi mitis, kata Cassirer.

41 Dengan pemahaman seperti ini maka bagi Cassirer, bahasa bukan merupakan ekspresi pikiran atau gagasan, tetapi ekspresi perasaan-perasaan. “Istilah rasio amat tidak memadai untuk memahami bentuk-bentuk kehidupan budaya manusia dalam seluruh kekayaan dan bermacam-macamnya. Tapi semua bentuk ini adalah bentuk-bentuk simbolis,” kata Cassirer. Kesenian, bagi Cassirer, adalah salah satu jalan ke arah pandangan obyektif atas benda-benda dan kehidupan manusia. Kesenian bukannya imitasi realitas, melainkan penyingkapan realitas. Sejarah bukannya kisah tentang fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa mati, tapi sebagaimana halnya puisi, merupakan organon dari pengetahuan kita tentang diri sendiri, atau instrumen hakiki dalam membangun dunia manusia. Tanpa sejarah manusia kehilangan mata rantai hakiki dalam evolusi organisme peradaban.

42 Bagi Cassirer, ilmu merupakan pencapaian tertinggi dalam kebudayaan manusia. “Ilmu merupakan puncak dan penyempurnaan semua aktivitas manusiawi, bab terakhir dalam sejarah umat manusia dan pokok terpenting dalam filsafat manusia,” kata Cassirer. Ilmu menjamin adanya dunia yang konstan. Cassirer mengutip pendapat Archimedes: dos moi pus to kai kosmon kineso (berilah saya tempat untuk berdiri dan akan saya gerakkan alam semesta). Ilmu memang memiliki daya kekuatan mahadasyat. Jadi menurut Cassirer, melalui bahasa, religi, kesenian, sejarah, dan ilmu manusia membangun dirinya sendiri. Kebudayaan manusia dapat dianggap sebagai proses maju ke arah pembebasan diri manusia. Dan bahasa, kesenian, religi, dan ilmu merupakan tahap-tahap dalam proses besar ini. Dalam tahap-tahap ini manusia menemukan dan menunjukkan suatu daya kekuatan baru – kemampuan untuk membangun dunianya sendiri, dunia ideal. Jadi, manusia adalah hewan yang menciptakan dan memaknai simbol-simbol.

43 Ketiga konsep di atas tidak otomatis menyingkap dengan terang-benderang tentang hakikat manusia. Masih jauh dari itu. Manusia masih tetap menjadi The Unknown (makluk yang tidak dikenal) meminjam kata-kata Alexis Carrel (1934). Tetapi dalam kaitan dengan kuliah filsafat ilmu, ketiga konsep tentang manusia yang dibahas di atas diharapkan dapat membantu kita untuk memahami aneka aspek dalam manusia. Rupanya konsep yang lebih membantu kita ialah konsep dari Cassirer. Konsepnya mengakui lebih banyak aspek dan kemampuan manusia dibanding kedua konsep pertama. Metode deduksi dan induksi dalam penarikan kesimpulan lebih jelas menunjukkan kekuatan konsep Cassirer. Bahasa, kesenian, mitos dan religi, dan ilmu adalah batas-batas antara manusia dan hewan.

44 Bagi Cassirer, ilmu merupakan pencapaian tertinggi dalam kebudayaan manusia. “Ilmu merupakan puncak dan penyempurnaan semua aktivitas manusiawi, bab terakhir dalam sejarah umat manusia dan pokok terpenting dalam filsafat manusia,” kata Cassirer. Ilmu menjamin adanya dunia yang konstan. Cassirer mengutip pendapat Archimedes: dos moi pus to kai kosmon kineso (berilah saya tempat untuk berdiri dan akan saya gerakkan alam semesta). Ilmu memang memiliki daya kekuatan mahadasyat.

45 Beberapa Nama untuk spesies manusia
Nama-nama tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan karakteristik tertentu dari manusia, dan biasanya berasal dari ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu. Plato misalnya mendefinisikan manusia sebagai “hewan berkaki dua yang tak berbulu (featherless, biped animal). Dalam buku Lives of the Philosophers karangan Diogenes Laertius, diceritakan bahwa suatu ketika Diogenes dari Sinope membawa seekor anak ayam ke tempat diskusi dan berkata: “Inilah manusianya Plato” . Wikipedia memberikan sebuah daftar nama-nama untuk spesies manusia. Fungsinya sebagai definisi singkat tentang manusia. Tapi itu hanya upaya untuk menonjolkan salah satu aspek manusia, dan bukan definisi tentang hakikat manusia.

46 Nama Keterangan Homo amans (loving man, loving people): manusia sbg makluk yang mencinta; Humberto Maturana 2008. Homo economicus (economic man): manusia sebagai makluk rasional yang mementingkan diri (self-interested). Homo faber (toolmaker man, fabricator man, worker man): Benyamin Franklin, Karl Marx, Kenneth Oakley 1949, Max Frisch 1957, Hannah Arendt. Homo generosus (generous man): diusulkan oleh science writer Tor Norretranders dalam buku Generous Man on evolutionary theory and sociobiology. Homo ludens (playing man): Friedrich Schiller diusulkan sejarahwan Belanda Johan Huizinga dalam buku Homo ludens. Karakterisasi kebudayaan manusia yang pada dasarnya mengandung karakter bermain. Homo sociologicus (sociological man). Parodi. Manusia cenderung kepada sosiologi, Ralf Dahrendorf.

47 Homo loquens (talking man). Manusia sebagai satu-satunya hewan yang mampu berbahasa, J.G. Herder 1772, J.F. Blumenbach 1779 Homo loquax (chattering man). Variasi parodi dari homo loquens, digunakan Henri Bergson 1943, Tom Wolfe 2006, juga dalam A Canticle for Leibowitz 1960. Homo necans (killing man). Walter Burkert Homo demens (mad man). Manusia sebagai satu-satunya makluk dengan delusi irasional, Edgar Morin 1975. Homo ridens (laughing man). G.B. Milner 1969 Homo sentimentalis (sentimental man). Manusia dilahirkan dalam peradaban sentiment, yang mengangkat perasaan menjadi kategori nilai; kemampuan manusia untuk berempati, tapi juga menidealisasi emosi dan menjadikannya hamba ide-ide. Milan Kundera dalam Immortality 1990, Eugene Halton dalam Bereft of Reason: on the decline of social thought and prospects for its renewal 1995. Homo politicus (political man, social man). Zoon politikon, animal sociale, Aristoteles. Homo inermis (helpless man). Manusia sebagai makluk tanpa pertahanan, tidak terlindungi, tidak memiliki insting hewan. J.F. Blumenbach 1779, J.G. Herder , Arnold Gehlen 1940. Homo creator (creator man). Kreativitas manusia, Michael Landmann 1955, W.E. Muehlmann 1962. Homo pictor (depicting man, man the artist). Perasaan manusia akan estetika, Hans Jonas 1961.

48 Homo aestheticus (aesthetic man). Rasa manusia akan estetika, kecenderungan untuk menciptakan dan menikmati kesenian, Ellen Dissanayake 1992. Homo grammaticus (grammatical man). Manusia menggunakan gramatika, bahasa, Frank Palmer 1971. Homo imitans (imitating man). Kemampuan manusia untuk belajar dan beradaptasi melalui peniruan, Andrew N. Meltzoff 1988, Juergen Lethmate 1992. Homo discens (learning man). Kemampuan manusia untuk belajar dan beradaptasi, Heirich Roth, Theodor Wilhelm. Homo educanus (to be educated). Kebutuhan manusia akan pendidikan sebelum mencapai kedewasaan, Heinrich Roth 1966. Homo investigans (investigating man). Keingintahuan dan kemampuan manusia untuk belajar lewat deduksi, Werner Luck 1976. Homo excentricus (non self-centered). Kemampuan manusia akan obyektivitas, refleks diri, Theory of mind, Helmuth Plessner 1928. Homo Metaphysicus (metaphysical man). Arthur Schopenhauer 1819.

49 Homo religiosus (religious man). Alister Hardy Homo viator (pilgrim man). Manusia dalam perjalanannya menemukan Tuhan, Gabriel Marcel 1945. Homo patiens (suffering man). Kemampuan manusia untuk menderita, Victor Frankl 1988. Homo laborans (working man). Kemampuan manusia untuk pembagian kerja, spesialisasi dan keahlian dalam kerajinan, Theodor Litt 1948. Animal laborans (laboring animal). Hannah Arendt Animal symbolicum (symbolizing animal). Menggunakan sibol, Ernst Cassirer 1944. Animal rationabile (animal capable of rationality). Carl von Linne 1760, Immanuel Kant 1798. Homo socius (social man). Manusia sebagai makluk sosial. Peter Berger & Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality 1966.

50 Homo poeticus (man the meaning maker). Unsur yang memisahkan manusia dari hewan lain adalah tak henti-hentinya mencari dan arti. Dari Ernest Becker, in the Structure of Evil: “An Essay on the unification of the science of man”. Pan narrans (storytelling ape). Manusia bukan saja sebagai spesies intelijen, tapi juga satu-satunya spesies yang mampu bercerita. Dari The Science of Discworld II: the Globe by Terry Pratchett, Ian Stewart, dan Jack Cohen. Pan sapiens atau Homo troglodytes (man the ape). Manusia sebagai anggota genus Pan. Homo technologicus (technological man) .Menurut sejarahwan ilmu Yves Gingras, dunia dimana kita hidup adalah produk dari akal budi manusia. Itu merupakan kombinasi teknik dan akal budilah yang melahirkan teknologi. Homo sapiens sebagai homo faber, segalanya yang mengelilinginya hanyalah artificial, artinya craftwork. Dalam arti yang tepat ini, hewan manusia pada dasarnya anti-alam, produk alam yang paling paradoksal. Singkat kata, dia telah menjadi homo technologicus.

51 Apa Artinya Hakikat? Pandangan klasik Yunani tentang hakikat benda hidup bertolak dari fenomena reproduksi, dalam bentuk pertanyaan: mengapa makluk hidup bereproduksi menurut jenisnya. Jawabannya: karena benih (pada tumbuhan dan hewan) sudah memiliki/memuat forma (hakikat/esensi) dari spesies asalnya. Penjelasan seperti ini kemudian digunakan dalam konsep biologi modern tentang kode genetik yang termuat dalam struktur molekul DNA dari sel. Meskipun demikian ada perbedaan antara konsep klasik Yunani tentang hakikat atau esensi (forma) dan konsep biologi modern tentang kode genetik. Pertama, para biolog dapat melakukan eksperimen untuk menemukan, mengisolasi, dan menganalisis gen dalam rangka rekayasa genetik (genetic engineering). DNA adalah struktur yang memungkinkan perkembangan fisik. Molekul-molekul DNA inilah yang menentukan karakteristik biologi makluk hidup termasuk manusia. Sebaliknya esensi (forma) tak dapat diamati karena bersifat immaterial.

52 Forma adalah prinsip yang ada dalam manusia atau benda hidup, yang menentukan jenisnya dengan memproduksi di dalamnya kecendrungan bawaan untuk terus berkembang menjadi contoh sempurna dari dirinya – sesuai kodratnya dan merealisasikan seluruh potensinya sebagai sesuatu dari jenis tertentu. Pandangan seperti ini melahirkan pandangan teleologis (purposif) terhadap dunia materi. Perkembangan dijelaskan menurut tujuan (goal) yang dituju setiap benda natural, berdasarkan kodratnya, yakni menurut bentuk ideal yang ingin direalisasikan. Sebaliknya struktur genetis yang ada di tiap sel dipakai untuk menjelaskan perkembangan lanjutan dari sebuah organisme secara mekanistik dan non-purposif di mana perkembangan bergantung pada dan ditentukan oleh struktur dan kondisi sebelumnya.

53 Kedua, mutasi gen-gen merupakan bagian esensial dari biologi evolusioner modern. Bukan saja ada perbedaan-perbedaan genetis antara individu-individu dari spesies yang sama (sehingga bentuk mereka berbeda seperti warna), tapi mutasi genetis acak dalam kondisi lingkungan yang berubah dapat mengakibatkan perubahan konstitusi genetis dari spesies secara keseluruhan. Jadi dalam teori biologi evolusioner sebuah spesies tidak bersifat stabil; jenis-jenis natural tidak mempunyai bentuk atau esensi tetap (tak dapat berubah) yang merupakan karakteristik dari biologi sebelum munculnya teori evolusi. Dari perdebatan tentang inteligensi dan rasionalitas dapat dilihat betapa rumitnya dampak biologi evolusioner bagi konsep hakikat manusia karena tradisi dominan di Barat tentang hakikat manusia cenderung lebih kepada apa yang membedakan manusia dengan hewan lain daripada sekedar konstitusi biologisnya.

54 Harus diakui bahwa akal budi dan intelek bukan satu-satunya ciri pembeda antara manusia dan hewan. Manusia juga mempunyai ciri lain seperti menggunakan peralatan (homo faber), makluk sosial, makluk yang menggunakan bahasa, dan sebagainya. Semua ini menunjukkan perbedaan pandangan tentang ciri-ciri yang membedakan manusia dari hewan. Tapi semua ciri itu pada dasarnya berpusat pada ciri mental, intelektual, dan psikologis (= ciri nonfisiologis), sehingga menimbulkan perdebatan tentang hubungan antara jiwa dan tubuh (mind and body problem). Hingga abad 15 pemahaman yang diterima umum tentang hakikat manusia ialah bahwa manusia memiliki hakikat/kodrat tertentu (fixed), yang menentukan tempat dan tujuannya di jagad raya. Tetapi para pemikir humanis di masa Renesans berpendapat bahwa yang membedakan manusia dari makluk-makluk lain adalah bahwa manusia tidak memiliki kodrat. Artinya, tindakan manusia tidak tunduk pada hukum alam seperti pada makluk-makluk lain. Manusia mampu menentukan tindakannya sendiri sebab dia memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkannya.

55 Terhadap pandangan ini muncul dua interpretasi.
Pertama, karakter manusia sangat plastis. Tiap individu mendapat bentuk tertentu oleh lingkungan di mana dia lahir, dibesarkan, dan hidup. Perubahan dan perkembangan dalam manusia dianggap sebagai produk dari perubahan sosial atau kultural, yang biasanya lebih cepat dari evolusi biologis. Maka untuk memahami proses-proses ini kita harus menggunakan perspektif ilmu sejarah, politik dan sosiologi, bukan biologi. Masalahnya, status ilmiah ilmu-ilmu sosial sering dipertanyakan. Metode yang digunakan ilmu-ilmu itu tidak sama dengan metode ilmu-ilmu alam. Kedua, setiap individu bersifat otonom dan harus “menciptakan” dirinya sendiri. Ini berarti ada hukum perilaku manusia atau arah sejarah karena kebebasan memang tidak dikekang oleh hukum, oleh alam. Dalam hal ini studi manusia tak akan pernah paralel dengan ilmu-ilmu alam dengan struktur teoretisnya yang didasarkan pada penemuan hukum-hukum alam.

56

57 Konsep Manusia Pancasila yang Mono Pluralis


Download ppt "Aspek fisik. Mental. Emosi. Spiritual. Diri (self) Kehendak."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google