Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Analisis Dalam Geografi

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Analisis Dalam Geografi"— Transcript presentasi:

1 Analisis Dalam Geografi
Man-land relation Areal differentiation Spatial analysis Social theory approach Analisis Dalam Geografi

2 Man-land Relation Mempelajari hubungan sebab-akibat (faktor penyebab dan dampak) dari suatu interaksi Diawali dengan enviromental determinism (pengaruh lingkungan pada kehidupan manusia). Perkembangan: hubungan yang terjadi bersifat timbal balik (interaksi), bukan satu arah

3 Areal Differentiation
Menekankan pada perbedaan karakter suatu tempat berdasarkan analisis data quantitatif yang terukur Hasil analisis berupa kategori dan klasifikasi yang rigid (kaku) terhadap gejala fisik, sosial, ekonomi dan budaya sehingga menghasilkan wilayah yang unik (spesifik) dan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain

4 Geografi Manusia 1_2016-Interaksi manusia & lingkungan
Spatial Analysis Dimulai dengan kecenderungan pembentukan pola keruangan (spatial pattern) Dipicu dengan adanya kecenderungan penelitian yang bersifat kuantitatif. Penciptaan model. Geografi Manusia 1_2016-Interaksi manusia & lingkungan

5 Social Theory Adanya kebutuhan pendekatan sosial untuk menyelesaikan berbagai masalah dunia Menguatnya pengaruh aliran Marxis pada kajian dan penyelesaian masalah sosial dan ekonomi (ketimpangan, pola keruangan yang membedakan kekuatan ekonomi dll) Munculnya aliran ”geografi radikal” dengan ciri pendekatan yang lebih menekankan pada kebebasan dalam melakukan analisis dan menolak pendekatan positivism (kuantitatif, kaku) Berkembang juga aliran humanis yang lebih menekankan pada “pemaknaan sosial”. Aliran humanis menitik beratkan pada proses dan memperhatikan unsur kemanusiaan (humanis) Mengkaji ”social outcomes” sebagai produk dari kemampuan penduduk dalam mengelola lingkungannya.

6 CONTOH ANALISIS DALAM GEOGRAFI KASUS PENYAKIT DI INDONESIA

7 POLA WILAYAH GONDOK ENDEMIK DI PEGUNUNGAN KAPUR UTARA JAWA DAN SEKITARNYA Rayuna Handawati, M.H. Dewi Susilowati, Eko Kusratmoko Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa; pola wilayah gondok endemik di pegunungan kapur utara Jawa dan sekitarnya adalah gondok endemik berat dan sedang, tersebar di bagian barat wilayah pegunungan kapur utara, sedangkan gondok endemik ringan tersebar di bagian timur dan barat (pada kecamatan dekat pantai). Pola gondok endemik dipengaruhi oleh perbedaan tingkat aksesibilitas dan jumlah sarana pelayanan kesehatan pada daerah penelitian.

8

9

10 KARAKTERISTIK LOKASI PENDERITA AVIAN INFLUENZA (FLU BURUNG) DI DKI JAKARTA Amelia, Djoko Harmantyo, Cholifah Bahaudin Karakteristik lokasi penderita flu burung di DKI Jakarta berada di wilayah dengan kepadatan penduduk rendah, cenderung mempunyai tempat tinggal dengan keadaan sanitasi dan kebersihan yang baik. Karakteristik dari lokasi tempat tinggal penderita confirm flu burung di DKI Jakarta didominasi oleh peternakan rakyat yang berjumlah 94 titik lokasi dalam radius satu km, ini menunjukkan rendahnya tingkat biosekuriti yang dapat mempercepat penyebaran flu burunG.

11

12 POLA PERSEBARAN DIARE DI KECAMATAN TAMBORA KOTAMADYA JAKARTA BARAT Lia Savitri, MH.Dewi Susilowati, Mangapul Tambunan Pola persebaran diare di Kecamatan Tambora tidak merata. Kasus diare paling banyak terkonsentrasi di bagian barat daya wilayah penelitian, yaitu Kelurahan Jembatanbesi yang berbatasan dengan Kali Duri di bagian timur, kali Banjirkanal di bagian barat, dan Kali Krendang di bagian utara. Secara Temporal kasus diare musim hujan lebih besar daripada kasus diare pada musim kemarau. Secara spasial wilayah kasus diare pada musim hujan dan musim kemarau sama, yaitu Kelurahan Jembatanbesi. Persebaran kasus diare berkorelsi dengan kepadatan penduduk, dimana kasus diare banyak terdapat pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi. Wilayah ini terdapat pada bagian barat daya dan berbatasan dengan Kali Duri, Kali Banjirkanal, dan kali Krendang.

13

14 PERSEBARAN PENDERITA TB PARU DI KECAMATAN JATINEGARA JAKARTA TIMUR TAHUN Oleh : Zulkhaida Puspita, MH.Dewi Susilowati, Astrid Damayanti Pola persebaran penderita TB paru yang tinggi cenderung tersebar pada bagian utara Kecamatan Jatinegara yang berbatasan dengan Ci Pinang dan bagian barat lautnya yang berbatasan dengan Ci Liwung. Pada wilayah pendetta TB paru tersebut, memiliki kerapatan bangunan sedang, proporsi keluarga miskin tinggi, dan kepadatan penduduk sedang.

15

16 WILAYAH KEKURANGAN GIZI PADA BALITA DI KABUPATEN BEKASI Yulia Hidayati, M.H.Dewi Susilowati, Tuty Handayani Persebaran wilayah kekurangan gizi semakin kearah timur Kabupaten Bekasi, semakin banyak. Sedangkan, wilayah kekurangan gizi rendah terdapat di bagian barat. Diantara empat faktor yang digunakan, hanya faktor keluarga miskin saja yang memiliki kaitan dengan kekurangan gizi pada balita di Kabupaten Bekasi. Hal ini ditunjukkan dari semakin kearah timur semakin banyak keluarga miskin. Berdasarkan hasil wawancara di dua desa yang dijadikan sampel, diketahui bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi kekurangan gizi pada balita. Faktor tersebut adalah pendidikan dasar ibu, pendapatan keluarga, lamanya pemberian ASI, kondisi fisik rumah, serta fasilitas jamban. Faktor-faktor tersebut sesuai dengan karakteristik wilayah kedua desa tersebut yang merupakan wilayah pertanian.

17

18 WILAYAH STATUS GIZI BALITA DI KECAMATAN KALIDERES DAN KECAMATAN CENGKARENG Andi Helmi A, MH. Dewi Susilowati, Cholifah Bahaudin Perubahan status gizi balita sebagian besar mengalami peningkatan di bagian timur daerah penelitian (wilayah Kecamatan Cengkareng) dan sebaliknya mengalami penurunan terjadi di bagian barat dan utara daerah penelitian (sebagian besar wilayah Kecamatan Kalideres). Penurunan status gizi balita tertinggi, terdapat di Kelurahan Kamal (Kecamatan Kalideres). Untuk peningkatan status gizi balita tertinggi, terdapat di Kelurahan Kapuk (Kecamatan Cengkareng). Semakin ke arah barat, status gizi balita mengalami penurunan dan semakin ke arah timur daerah penelitian, status gizi balita mengalami peningkatan. Daerah yang tidak mengalami perubahan status gizi balita, terdapat di bagian barat dan selatan daerah penelitian. Faktor yang mempengaruhi perubahan wilayah status gizi balita di daerah penelitian adalah perubahan jumlah peserta Keluarga Berencana (KB). Faktor jumlah peserta KB terkait dengan banyaknya anak yang dimiliki oleh sebuah keluarga dan jarak kelahiran anak. Faktor-faktor yang lain seperti Rasio posyandu terhadap balita, Jumlah keluarga miskin, dan Indeks tingkat pendidikan kepala keluarga tidak banyak memilki pengaruh terhadap perubahan wilayah status gizi balita.

19

20 DIFUSI DIARE DI KABUPATEN BOGOR BAGIAN BARAT Karmila Sari, MH
DIFUSI DIARE DI KABUPATEN BOGOR BAGIAN BARAT Karmila Sari, MH.Dewi Susilowati, Williater Sitorus Hasil yang diperoleh bahwa kecepatan penularan diare tinggi ditemukan di sebelah timur terutama pada Desa Leuwiliang. Sedangkan kecepatan penularan rendah tersebar merata terutama pada Desa Sukareksa. Arah difusi diare adalah ke barat, barat daya, barat laut, dan selatan, mengikuti arah aliran sungai dan jaringan jalan. Dari lima varibel yang digunakan yaitu: presentase kepala keluarga pemakai air sungai, presentase kepala keluarga pemakai WC, kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, dan jarak desa dari sumber infeksi, maka kepadatan penduduk merupakan variabel bebas yang paling berpengaruh terhadap kecepatan penularan diare.

21

22 DIFUSI POLIO DI KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN Detty Hidayah, MH
DIFUSI POLIO DI KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN Detty Hidayah, MH. Dewi Susilowati, Djoko Harmantyo Difusi polio di Kabupaten Lebak merupakan Difusi Gabungan (Combined Ekspansion and Relocation Difussion) yang mengandung dua proses difusi ekspansi dan difusi relokasi. Pada periode mingguan awal (minggu 1 sampai minggu 5) terjadi difusi ekspansi yang terlihat dari jumlah penderita bertambah dari desa sumber infeksi dan meluas ke desa di sebelahnya. Namun periode selanjutnya penjalaran Polio di Kabupaten Lebak terjadi secara relokasi yaitu penjalaran Polio meninggalkan desa sumber penularannya karena berpindahnya penderita. Difusi Polio di Kabupaten Lebak mengarah ke Barat, Barat Daya, Utara, Barat Laut dan Selatan dengan kecepatan rata-rata 0,65 km per hari dan puncak-puncak insidens terjadi pada minggu 6 dan minggu 8 dengan kecepatan difusi 15 jiwa per minggu. Faktor yang paling berpengaruh terhadap difusi polio yang dilihat dari jumlah penderitanya adalah jarak dari desa sumber infeksi. Semakin jauh jarak dari desa sumber infeksi secara umum semakin kecil penularannya.

23

24 POLA PENYAKIT PERNAFASAN, DIARE DAN KULIT DI KECAMATAN BEJI, DEPOK Irma Susanti, Ratna Saraswati, Triarko Nurlambang Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa, penyakit ISPA di Kota Depopk pada tahun 1999 meningkat pada bulan Oktober- Maret (musim hujan) dengan angka persentase tertinggi terdapat di kelurahan Beji. Sedangkan angka persentase terendah terdapat di kelurahan Tanah Baru, Pondok Cina dan Kemiri Muka. Untuk penyakit diare meningkat pada bulan April-September (musim kemarau) dengan angka persentase tertinggi terdapat di kelurahan Beji dan persentase terendah di kelurahan Tanah Baru, Pondok Cina dan Kemiri Muka. Penyakit Kulit jumlah penderita juga meningkat pada bulan April-September (musim kemarau) dengan persentase tertinggi terdapat di kelurahan Beji dan Beji Timur, sedangkan yang terendah di kelurahan Tanah Baru, Kukusan dan Pondok Cina.

25

26 POLA KASUS INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT PADA USIA BALITA DI KOTA JAKARTA UTARA Guntur Atur Parulian, M.H. Dewi Susilowati, Sugeng Rahardjo Persentase kasus ISPA pada musim kemarau lebih besar dibandingkan pada musim hujan. Pola ruang kasus ISPA musim kemarau dan penghujan untuk kelas tinggi lebih terkonsentrasi di sebelah timur pelabuhan Tanjung Priok. Variabel kepadatan penduduk, persentase wilayah permukiman, kerapatan jaringan jalan tidak selalu berasosiasi jumlah kasus ISPA. Jumlah kelurahan yang berasosiasi antara kepadaran penduduk dengan kasus ISPA hanya 30 %. Jumlah keluarahan yang berasosiasi antara kerapatan jaringan jalan dengan kasus ISPA hanya 26,67 %.

27

28 PERSEBARAN TINGKAT KEMATIAN IBU PADA WILAYAH PESISIR DAN PEGUNUNGAN KABUPATEN DATI II SUKABUMI Lia Kusumawati, M.H. Dewi Susilowati, Tuty Handayani Di bagian selatan dan barat laut wilayah pegunungan memiliki angka kematian ibu lebih tinggi dibandingkan pada bagian utara dan timur. Untuk wilayah pesisir tingkat kematian ibu yang terjadi di sebagian besar dalam klasifikasi tinggi yang sebagian besar terdapat di selatan wilayah pesisir. Angka kematian ibu tinggi, terdapat di desa-desa wilayah pesisir yang memiliki jaringan jalan yang tidak rapat, permukiman tidak padat dan fasilitas kesehatan yang tersebar tidak merata dengan letaknya yang saling berjauhan. wilayah pegunungan persentase persalinan oleh tenaga medis adalah faktor yang paling mempengaruhi tingkat kematian ibu. Sedangkan di wilayah pesisir, faktor yang paling mempengaruhi adalah jarak permukiman ke fasilitas kesehatan.

29

30 Dari hasil penelitian, dengan melihat pola persebararan dan jangkauan pelayanan puskesmas dengan jaringan jalan, jumlah penduduk, kualitas perumahan, pendapatan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan penggunaaan tanah, diperolah bahwa: 1) Persebaran puskesmas tan dengan jarak 1200 – 2500 meter; 2) Berdasarkan penghitungan kuantitatif dengan analisis tetangga terdekat, secara keseluruhan diperoleh bahwa pola yang terbentuk adalah acak (random), tetapi jika dilihat per kecamatan, terdapat enam kecamatan dengan pola seragam (uniform) dan empat kecamatan dengan pola acak (random); 3) Berdasarkan peta jangkauan pelayanan, yang dibuat dengan menggunakan network analysis tools, diperoleh bahwa pada wilayah tertentu terjadi overlapping wilayah, yang berarti terdapat beberapa wilayah yang dilayani oleh dua puskesmas, seperti pada puskesmas lebakbulus dan puskesmas pondoklabu I. sedangkan ada beberapa wilayah yang tidak terlayani satupun puskesmas, yaitu pada sebagian Kelurahan Tanjung Barat dan sebagian Kelurahan Kebagusan; 4) Hanya 87,42m2 (60,30%) wilayah Kotamadya Jakarta Selatan yang dilayani oleh puskesmas; 5) Pola persebaran puskesmas memiliki keterkaitan dengan variabel jaringan jalan, sebaran jumlah penduduk, dan penggunaan tanah, sedangkan luas jangkauan pelayanan tidak terkait dengan variabel-variabel yang digunakan.

31

32 Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa distribusi pusat pelayanan kesehatan dan kunjungan pasien di Kota Depok terkonsentrasi di bagian tengah dan utara. Semakin besar kelas rumah sakit, semakin banyak jumlah pasien. Semakin besar kelas puskesmas, semakin banyak jumlah kunjungan pasien. Apabila dikaitkan dengan status wilayah maupun jaringan jalan, maka terlihat bahwa distribusi puskesmas kecamatan sebagian besar terletak di wilayah peralihan dan jalan kolektor primer maupun jalan lokal. Sedangkan puskesmas kelurahan sebagian besar terletak di wilayah pedesaan dan di jalan lokal. Rumah sakit kelas C sebagian besar terletak di wilayah peralihan dan di jalan arteri primer. Rumah sakit kelas D terletak di wilayah perkotaan dan di jalan lokal.

33

34 WILAYAH PERSEBARAN KASUS MALARIA DI KABUPATEN CIAMIS Yudianto, Djoko Harmantyo, MH.Dewi Susilowati
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran kasus malaria pada periode , terkonsentrasi di beberapa desa yang berada di pesisir selatan dan bergerak dari barat ke timur. Kasus malaria umumnya tersebar pada wilayah ketinggian meter dpl, tatapi sebagian kecil ditemukan di wilayah lebih dari 100 meter dpl yang terjadi pada desa-desa dengan pemukiman yang cukup luas dan jumlah penduduk yang banyak, desa-desa di sekitar sungai dan muara sungai, serta pada desa-desa yang memiliki lahan basah yang luas. Variabel X= ketinggian, luas permukiman, jumlah penduduk, sungai, muara sungai

35

36 POLA PERSEBARAN PENYAKIT DIARE DI KABUPATEN TANGERANG C
POLA PERSEBARAN PENYAKIT DIARE DI KABUPATEN TANGERANG C. Tri Saptaningsih, Djoko Harmantyo, Ridwan Djamaludin Hasil penelitian yang diperoleh : (a) Pola persebaran diare sejak tahun 1995 hingga tahun 2000 menyebar secara intensif ke bagian selatan. Kejadian diare tinggi pada tahun 2000 terdapat pada Kecamatan Balaraja, Kresek, cisoka, Pasarkemis, Cikupa, Legok, dan Ciputat; (b)Wilayah yang berpotensi sangat tinggi terhadap kejadian diare adalah Kecamatan Balaraja dan Kresek. Sedangkan yang berpotensi tinggi adalah Kecamatan Tigaraksa, Cisoka, Kronjo, Sepatan, Mauk, Rajeg, dan Pasarkemis; (c)Wilayah yang berpotensi sangat rendah adalah Kecamatan Pondokaren, sedangkan wilayah yang berpotensi rendah adalah Kecamatan Pamulang dan Teluknaga. Variabel yang berhubungan dengan kejadian diare hanya variabel kualitas air bersih dan SPAL. Semakin jelek kualitas air bersih dan kualitas SPAL, maka semakin banyak kejadian diare.

37

38 PERSEBARAN WILAYAH RAWAN GIZI DI PERKOTAAN DAN PEDESAAN ( KASUS DI JABOTABEK DAN KARAWANG) Freude TPH, Djoko Harmantyo, Risnarto Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa : (a) Sebaran wilayah rawan gizi di daerah perkotaan lebih tinggi dibandikan di pedesaan. Berdasarkan hasil pengukuran pertama, sebaran rawan gizi di daerah perkotaan terutama di pesisir pantai utara Jakarta serta di timur dan selatan Jakarta. Pada pengukuran kedua, sebaran wilayah rawan gizi tertinggi berada di daerah perkotaan; (b)wilayah rawan gizi peringkat skala pertama (menurut jumlah anak terbanyak menderita kekurangan gizi - gizi buruk dan kurang gizi), pada pengukuran pertama terdapat di perkotaan yaitu Kecamatan Keramatjati dan Kebayoran Lama. Sedangkan pada pengukuran kedua, dengan skala yang sama, tidak ditemukan adanya wilayah rawan kekurangan gizi; (c) Pada pengukuran pertama dengan peringkat wilayah rawan gizi daerah perkotaan memiliki tingkat kerawanan paling tinggi dibandingkan daerah pedesaan. Hal yang sama terjadi pada pengukuran kedua. Walaupun terjadi penurunan tingkat kerawanan, tetapi daerah perkotaan lebih banyak mengalami kasus kekurangan gizi dibandingkan daerah pedesaan. Dengan kata lain, metode tumpang susun yang dilakukan pada tema-tema peta hasil pengukuran dapat memberikan kesimpulan bahwa pola sebaran wilayah rawan gizi memiliki korelasi kuat dengan daerah perkotaan; (d) Wilayah rawan gizi tinggi umumnya terdapat di daaerah perkotaan dengan karakteristik penduduk yang bermukim di kawasan padat dan tidak teratur, dengan matapencarian berupa buruh sektor informal perkotaan. Kemiskinan ekonomi dan santasi lingkungan adalah faktor utama terjadinya kasusu rawan gizi di perkotaan. Sedangkan di daerah pedesaan tidak ditemukan status rawan gizi tinggi, meskipun pada pengukuran kedua ditemukan, tetapi tidak signifikan; (e) pola sebarannya maka dapat disimpulkan bahwa semakin dekat ke daerah perkotaan wilayah rawan gizi tinggi semakin tinggi.

39

40 POLA SEBARAN WILAYAH KECUKUPAN KONSUMSI GARAM BERYODIUM DI KABUPATEN REMBANG PROPINSI JAWA TENGAH Endang Indrasih, Djoko Harmantyo, MH.Dewi Susilowati Berdasarkan hasil uji statistik dan overlay peta, diperoleh hubungan antara faktor-faktor yang berkaitan erat dengan pola sebaran konsumsi garam beryodium. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat pendapatan dan jarak dengan produsen garam. Faktor lain yang menyatakan hubungan, tetapi tidak secara langsung, adalah jenis garam yang dikonsumsi oleh masyarakat Kabupaten Rembang. Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi berada pada daerah dengan ketinggian 0-60 meter dpl dan berdekatan dengan produsen garam, sehingga masyarakat tersebut cukup mengkonsumsi garam beryodium.

41

42 KARAKTERISTIK WILAYAH ENDEMIK EPIDEMI DEMAM BERDARAH DI JAKARTA TIMUR Artha Prabawa, Raldi H Koestoer, Hari Kartono 1. Pergeseran pusat epidemi demam berdarah pada dasarnya terjadi siklus tiga tahunan, sehingga menunjukan adanya karakteristik sebaran tertentu. Siklus tiga tahuan di lokasi pusat epidemi akan diurutkan dalam tiga peringkat terbesar pertahunnya, ditunjukkan sebagai berikut: (a) Siklus 1996 – 1998 : pada tahun 1996 adalah Kecamatan Pulogadung, Kecamatan Durensawit, dan Kecamatan Keramatjati. Pada tahun 1997 adalah Kecamatan Pulogadung, Kecamatan Durensawit, dan Kecamatan Jatinegara. Serta pada tahun 1998 pada Kecamatan Keramatjati, Kecamatan Durensawit, dan Kecamatan Ciracas. (b) Siklus 1999 – 2001: pada tahun 1999 adalah Kecamatan Durensawit, Kecamatan Makasar, dan Kecamatan Cakung. Pada tahun 2000 adalah Kecamatan Pulogadung, Kecamatan Durensawit, dan Kecamatan Keramatjati. Pada tahun 2001 adalah Kecamatan Keramatjati, Kecamatan Durensawit, dan Kecamatan Jatinegara. Sehingga terlihat bahwa Kecamatan Durensawit selalu masuk peringkat, sehingga kecamatan tersebut merupakan lokasi pusat epidemi demam berdarah di wilayah endemi demam berdarah Kotamadya Jakarta Timur. Siklus pergeseran endemi ini akan terus berlangsung, selama karakteristik wilayah endemik tidak berubah. 2.Karakteristik wilayah endemik epidemi demam berdarah di Kotamdya Jakarta Timur memepengaruhi karakteristik sebaran endemik epidemi yang secara jelas adalah dengan jumlah penderita dan siklus epidemi demam berdarah di lokasi tersebut. Dari hasil anaisa statistik tampak lokasi endemik epidemi demam berdarah tersebut memiliki kaitan yang signifikan dengan jumlah penderita demam berdarah yang tinggi. Karakteristik wilayah endemik epidemi berupa perumahan padat penduduk yang memiliki lingkungan teratur dengan jarak antar rumah rapat, tidak memiliki tempat pembuangan sampah di luar rumah, tidak mempunyai taman dan kebun yang terpelihara, dengan penampungan air terbuka, dan dekat dengan jalan yang dilalui kendaraan bermotor roda dua dan empat.


Download ppt "Analisis Dalam Geografi"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google