Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Demam di Pegunungan Gayo

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Demam di Pegunungan Gayo"— Transcript presentasi:

1 Demam di Pegunungan Gayo
Sudah semua propinsi saya kunjungi dalam satu tahun menjabat sebagai Dirut PLN. Banyak yang sudah saya kisahkan dalam CEO’s Note, tapi beberapa di antaranya belum. Misalnya kunjungan ke Aceh, Kalteng, Kalsel, Kalbar, Bangka dan Bengkulu. Saya juga belum menulis kunjungan ke Jambi, Wakatobi, Tanimbar, Kolaka dan Kendari. Daerah yang paling sering saya kunjungi ternyata Sumut. Mengalahkan pulang kampung saya ke Surabaya. Ini sudah cocok dengan prinsip “mementingkan yang penting dan jangan mementingkan yang kurang penting”. Maklum, Medan adalah kota metropolitan yang krisis listriknya terparah. Teman-teman PLN Medan all-out. Dalam waktu enam bulan krisis listrik yang begitu hebat bisa selesai. Banyak juga daerah yang saya kunjungi sampai tiga kali. Termasuk Kendari. Kunjungan pertama saya ke sana tidak diketahui siapa pun. Kunjungan ketiga-pun saya lakukan diam-diam meski gagal: menjelang kembali ke bandara keberadaan saya bocor ke PLN setempat. Hanya saat kunjungan kedua kami melakukannya beramai-ramai dengan hampir semua direksi. Yakni dalam rangkaian Rapat Direksi di Wakatobi dan sekalian menjelajajah dari Kolaka ke Kendari jalan darat. Aceh saya kunjungi 1,5 kali. Saya sebut 1,5 karena pada kunjungan kedua pertengahan Desember lalu, saya jatuh sakit. Yakni ketika rombongan tiba di sebuah bukit yang amat tinggi di Takengon, Aceh Tengah. Begitu turun dari mobil, badan saya menggigil. Di pegunungan Gayo itu udara memang amat dingin dan angin berhembus agak kencang. Tapi bukan itu soalnya. Gejala demam memang sudah ada sejak berangkat dari Jakarta. Apalagi saat itu saya tidak berjaket (jaket yang saya beli di London itu sudah saya hadiahkan kepada supervisor penyulang yang paling berprestasi di ranting PLN Biureun tiga jam sebelumnya). Tapi demam ini memang sudah waktunya tiba. Badan saya sudah terasa meriang sejak tiga hari sebelumnya. Disertai batuk-batuk kecil yang tidak berhenti-berhenti. Radang tenggorokan sudah kelihatan gejalanya. Memang ada yang tidak beres di tubuh saya. Tapi demam itu saya tahan. Tujuan kunjungan ke Takengon harus tercapai dulu. Yakni untuk melihat danau Laut Tawar yang akan jadi sumber PLTA Peusangan sebesar 80 MW. Hanya dari atas gunung inilah danau Takengon bisa terlihat jelas. Terutama bagian di mana air dari danau itu mengalir ke sungai yang akan dijadikan proyek. Dari sini pula pemandangan terindah bisa dinikmati. Danau Laut Tawar itu seperti terlihat di bawah sana, dikelilingi pegunungan Gayo yang mistis. Terlihat juga kota Takengon terhampar damai di salah satu sisi danau itu. Janji ke Takengon memang tidak bisa diabaikan. Sayalah yang mengundang pimpinan puncak Nippon Koei untuk datang ke Takengon, saat saya menemuinya di Tokyo dua bulan lalu. Saya berjanji kalau bos besar Nippon Koei itu mau datang ke Takengon, saya sendiri yang akan mengantarkannya. Ini saya maksudkan agar proyek yang sudah tertunda selama 12 tahun lebih itu bisa segera dimulai kembali. Proyek ini penting agar Aceh segera mandiri di bidang energi listrik. Tidak lagi selalu tergantung ke Sumut -karena Sumut sendiri juga memerlukan listrik lebih besar. Tiba di Takengon ini meski fisik saya demam, hati saya bahagia. Nippon Koei setuju memulai kembali proyek ini. Dua bulan lagi (Februari 2011) PLTA Peusangan mulai dikerjakan. Rasanya proyek ini akan menjadi mega proyek pertama di Aceh sejak terjadinya perdamaian di sana. Karena itu sambil menahan gigil saya tidak beranjak dari dataran tinggi ini. Saya dengarkan dulu paparan desain PLTA Peusangan yang dibawakan konsultan dari Nippon Koei (Koei dalam bahasa Jepang berarti engineering). Sesekali konsultan itu menunjuk ke gambar proyek, sesekali pula menudingkan tangannya ke arah danau di bawah sana. Beberapa pertanyaan saya ajukan ke konsultan itu sambil gigi saya menahan gemeretak. Ketika paparan selesai saya minta langsung diantar ke hotel. Tidak ikut kunjungan lanjutan menelusuri sungai Peusangan. Tiba di hotel saya langsung menjatuhkan diri di tempat tidur. Menarik selimut tebal dan menggigilkan badan segigil-gigilnya. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang melihat. Saya memang minta agar semua rombongan meneruskan agenda. Sedang beberapa teman Aceh yang mengantarkan saya, saya minta menunggu di luar kamar saja. Suhu badan saya rasanya tinggi sekali. Panas. Sambil mengigil saya berpikir penyebab-penyebab yang mungkin melatarbelakangi demam itu. Yang paling saya waspadai tentu demam derdarah. Ini bisa mematikan. Terutama kalau telat menanganinya. Tapi saya merasa bukan. Tidak ada gejala kembung di perut. Tenggorokan memang agak gatal, tapi untuk menelan ludah tidak sakit. Saya coba minum air sedikit juga tidak terasa sakit. Bahkan selera makan saya tidak berubah. Saya paksakan makan kue yang saya bawa dari kantor PLN Ranting Bireuen agar ada kekuatan di tubuh. Juga terasa enak, kue yang disiapkan ibu-ibu persatuan isteri PLN Bireuen ini memang enak. Ini berarti bukan demam berdarah. Maka saya putuskan: cukup istirahat total di tempat tidur. Juga tidak ikut makan malam. Yang paling saya sesali adalah ini: tidak bisa ikut rame-rame jalan kaki pagi. Padahal saya sendiri yang minta, bahkan sejak masih dari Jakarta. Saya harus istirahat karena siang itu harus kembali ke Medan. Ada beberapa acara lagi di Medan sebelum ke Jakarta. Bersama rombongan ini ada Pak Harry Jaya Pahlawan sebagai Dirop Indonesia Barat dan Pak Nasri Sebayang, kini Direktur Perencanaan dan Teknologi. Pak Nasri inilah yang dulu terlibat memulai proyek PLTA Peusangan sebelum gejolak GAM. Kini dia pula yang akan menyelesaiakannya. Ibaratnya, “kau yang memulai dan kau yang mengakhiri”. Selama di Aceh saya juga mendapat kesan bahwa program-program PLN berjalan lancar di sana. Program mengatasi krisis listrik sudah lama selesai. Pelayanan juga meningkat drastis. Di Bireuen, Bener Meriah (ini nama kabupaten baru) sampai Takengon tidak banyak lagi listrik padam. Gangguan penyulang tinggal 2-3 kali sebulan. Bahwa ada losses yang tinggi sudah ketahuan penyebabnya: penyulang yang kelewat panjang (140 km dari Bireuen ke Bener Meriah). Program mengatasinya sudah siap dilaksanakan. Penyulang panjang itu akan dipotong. Listrik untuk Bener Meriah tidak akan dikirim lagi dari Bireuen, tapi diikutkan Takengon. Jaraknya hanya 40 KM. GM Aceh, Pak Zulkifli juga berhasil menggerakkan para Manajernya untuk memerangi tagihan macet. Aceh, sejak terjadi gejolak politik dan bencana alam memang menderita “demam tagihan” yang akut, ogah membayar listrik. Satu-persatu penyakit ini berhasil disembuhkan. Kini tinggal satu kampung saja yang masih sulit. Dua hari setelah pulang dari Aceh saya ke Pangkalan Bun, Kalteng. Yakni untuk bertemu teman-teman Ranting PLN Pangkalan Bun dan melihat PLTU skala kecil yang hampir selesai dibangun di sana. Teman-teman Pangkalan Bun juga sudah bisa memutuskan untuk mengatasi persoalan penyulang yang panjang. Yakni penyulang 240 km ke arah Sampit yang sering mengalami gangguan. Caranya: memindah genset 2 MW ke kota kecil terjauh itu, mirip dengan yang dilakukan PLN Solok, Sumbar, ketika mengatasi penyulang panjang ke arah Sungai Penuh. Saya juga senang melihat teman-teman PLN Bengkulu yang cukup gelisah melihat kondisi kerawanan di sana. Kota sebesar Bengkulu ternyata hanya dilayani satu GI. Kalau ada masalah dengan GI ini bisa dibayangkan akibatnya: seluruh ibukota propinsi itu akan gelap-gulita. Maka selama kunjungan saya ke Bengkulu masalah ini dibahas. Tidak mungkin Bengkulu menunggu GI yang disiapkan dengan APBN. Harus ada langkah khusus secara cepat. Maka saya tantang Kepala Cabang PLN Bengkulu untuk membangun GI sendiri. Materialnya bisa didapat dari gudang-gudang proyek PLN dari seluruh Indonesia. Saya hubungi teman-teman di proyek untuk mengetahui apakah material untuk membangun sebuah GI cukup tersedia di gudang-gudang itu. Begitu banyak proyek GI di Indonesia ini, tentu banyak barang tersisa. Ternyata benar. Banyak material GI yang bisa dihimpun dari berbagai gudang itu. Kalau pun harus membeli beberapa bagian, tidak akan banyak lagi. Apalagi Gubernur Bengkulu, Agusrin M. Najamuddin, bersedia menyediakan tanahnya secara gratis. Sedang Kepala Cabang PLN Bengkulu pernah menangani proyek GI. Maka GI made in Bengkulu ini harus jadi dalam waktu singkat. Sambil menunggu GI dana dari APBN. Saya percaya penuh bahwa teman-teman PLN Bengkulu akan mampu melakukan pekerjaan engineering di bidang kelistrikan. Apalagi Gubernur Bengkulu memang sangat aktif membantu PLN. Hubungan PLN dengan Gubernur Bengkulu memang istimewa. Saat saya turun dari pesawat, saya sudah melihat sang Gubernur ada di antara penjemput. Dia yang siang itu ikut bersepatu kets mendekat tangga pesawat. Dia siap mengantarkan saya meninjau PLTA Musi, kira-kira 2 jam perjalanan dengan mobil dinasnya. Mula-mula saya menawarkan diri untuk menjadi sopirnya. Tapi sang Gubernur justru mengambil alih kendali. Maka kami berangkat dengan Gubernur sebagai sopir. Baliknya apa boleh buat saya yang mengemudi. Jalan menuju PLTA ini sangat istimewa. Menanjak, berbelok dan menukik. Sungguh baru dalam perjalanan ini saya tahu asal-usul istilah “mabuk kepahyang”. Kepahyang ternyata nama daerah/kampung yang kami lewati. Di kawasan kepahyang inilah jalannya begitu unik: tukikannya, kelokannya dan tanjakannya serba ekstrem. Di masa lalu tidak ada orang yang lewat kawasan ini yang tidak mabuk. Bahkan mabuknya bisa gila-gilaan. Istilah “mabuk kepahyang” ternyata bermula dari sini. Tentu saya tidak mabuk. Jalan di Kepahyang sekarang sudah lebih lebar. Sewaktu ke Jambi sebenarnya saya juga dijemput sendiri oleh Gubernur Jambi Hasan Basri Agus. Hanya saja sempat agak salah paham. Ketika Gubernur mendekat ke tangga pesawat saya menyelinap ke sela-sela penumpang untuk menjauhi kerumunan penjemput itu. Saya pikir sang Gubernur pasti menjemput orang penting yang satu pesawat dengan saya. Maka lebih baik saya menyelinap dan menjauh. Ternyata sang Gubernur mengejar saya karena memang tujuannya ke bandara untuk menjemput saya. Ketika saya beritahu bahwa Jambi sudah bebas krisis listrik, sang Gubernur yang baru dua bulan dilantik, senang sekali. “Berarti janji saya dalam kampanye sudah terpenuhi hanya dalam waktu dua bulan,” katanya. Bunga kamboja busuknya cepat Siapa yang kerja Siapa yang dapat…. Dahlan Iskan CEO PLN


Download ppt "Demam di Pegunungan Gayo"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google