Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Kebudayaan, Kapital Sosial, dan Korupsi

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Kebudayaan, Kapital Sosial, dan Korupsi"— Transcript presentasi:

1 Kebudayaan, Kapital Sosial, dan Korupsi
SAP 4. MIA UMJ

2 mengapa kebudayaan penting
Masyarakat yang semakin heterogen (migrasi, urbanisasi)  kebutuhan masyarakat semakin bertambah Perubahan kultural memaksa administrasi publik harus memahami konteks kultural lebih baik  kompetensi kultural bagi administrator Dinamika kebudayaan dan kapital sosial, serta pengaruhnya pada perilaku korupsi. Dinamika kebudayaan ada pada sisi eksternal dan internal organisasi

3 kebudayaan dalam administrasi
Sisi eksternal organisasi Nilai dan opini dari masyarakat tempat di mana administrasi publik berjalan  mencakup perasaan terhadap pemerintahan dan seluruh lembaga-lembaga negara, peraturan, kebijakan, dll. Menitikberatkan pada nilai-nilai kultural di masyarakat (seringkali nilai lokal lebih kuat ketimbang nasional) dan bagaimana nilai-nilai tersebut berdampak pada administrasi publik

4 pengaruhnya Opini publik kerap membuat pelaksanaan administrasi publik terhambat Friksi antara pengambil kebijakan dan masyarakat  kebijakan yang tidak sesuai dengan kultur Friksi bisa menjadi konflik terbuka jika tidak ditangani “dengan benar”  sulit mencapai win-win solution, bisa jadi “kebijakan” yang mengalah.

5 kebudayaan dalam administrasi
Sisi internal organisasi Nilai-nilai internal  mencakup pemahaman, persepsi, dan nilai-nilai yang dianut oleh setiap orang yang berada di dalam organisasi Dibentuk dan dipertahankan melalui proses sosialisasi normal, nilai, dan ritual yang berbeda dengan organisasi lain  corporate culture Dengan mengendalikan “perilaku anggota” maka akan fokus pada pencapaian hasil  berorientasi hasil.

6 pengaruhnya Hirarki yang kaku dalam administrasi membuat patronase yang mengikat  membuat birokrat kehilangan kemampuan beradaptasi dan mengambil keputusan Orientasi hasil mendorong administrasi menjadikan pelaksana administrasi sebagai mesin Kebijakan yang dihasilkan seringkali mengabaikan jika objek kebijakan adalah manusia.

7 kebudayaan dalam administrasi
Implementasi kebijakan akan berhubungan dengan manusia dan kebudayaan Pengabaian terhadap konteks kultural hanya membuat kebijakan bersifat parsial, tidak logis, dan sulit diimplementasikan. Pencapaian target kebijakan harus membuat sinergi antara pembuat kebijakan, pelaksana, dan sasaran dalam suatu skema “sosial kapital”.

8 kapital sosial Berasaskan rasa percaya, akses keanggotaan pada berbagai jaringan, dan norma yang timbal-balik  bertujuan untuk mencapai tujuan bersama Sosial kapital adalah manfaat kolektif (seringkali bersifat ekonomis) dari kerjasama antara individu dan kelompok  Kapital sosial merujuk pada norma, institusi, dan hubungan sosial yang membentuk interaksi dalam masyarakat dan mendorong mereka untuk saling bekerjasama. Karena bersifat rasa percaya, maka dalam konteks administrasi, kapital sosial diletakkan pada “public trust” pada administrator untuk menghasilkan “public goods”

9 kapital sosial Ketika “public trust” terbangun, maka kapital sosial dapat bekerja  sinergi antara semua pihak untuk mencapai tujuan. Jejaring kerja melibatkan masyarakat sipil, organisasi masyarakat, lembaga politik dan pemerintahan, dan individu-individu  jejaring ini bertujuan mengimplementasikan partisipasi masyarakat dalam pembentukan good governance dalam pencapaian kemaslahatan bersama dan distribusi kesejahteraan. Administrasi sebagai sistem menjadi tulang punggung dalam proses pembentukan kapital sosial.

10 trust in government? Kegagalan implementasi karena pembuat kebijakan tidak meletakkan konteks kultural sebagai basis. Friksi akibat kegagalan memunculkan “distrust” Omong kosong bernama “trust in government”  menegasikan masyarakat sebagai resipien pasif kebijakan

11 the causal mechanism: institusi, kapital sosial, korupsi
Jika suatu sistem administrasi publik, yang seharusnya berlangsung efisien dan netral, mengalami kendala, maka institusinya akan mengalami “distrust.” Kepercayaan pada institusi yang “efisien” dan “fair” lebih mudah dirusak ketimbang dibangun. Korupsi menjadi salah satu indikator distrust.

12 the causal mechanism: institusi, kapital sosial, korupsi
Kondisi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial Peraturan dan pelaksaan yang parsial Level dan distribusi pendapatan yg tidak merata Level pendidikan Desentralisasi pemerintahan Urbanisasi

13 mantra pengusir korupsi
Regulasi pemerintah : aturan hukum yg ketat menyebabkan ruang untuk korupsi tertutup  perketat aturan, buat lembaga anti rasuah. Ukuran birokrasi : birokrasi yang “terlalu gemuk” dan “tidak efisien” (birokrasi biaya tinggi)  potong jalur birokrasi, penggunaan sistem elektronik Sistem rekruitmen dan promosi : insentif yang tidak “merata” dan “sesuai”  reformasi birokrasi (insentif, promosi jabatan)

14 mantra pengusir korupsi
Dari kompetensi netral ke kompetisi birokrasi Public goods yang terbatas, dan untuk mengatur pembagiannya, diserahkan ke administrator  transparansi dan akuntabilitas Setiap orang memiliki kemampuan berbeda dalam menghadapi “kemungkinan korupsi” atau “perilaku korupsi”  countervailing action (menyeimbangkan) Tindakan bisa berupa: (1) evasive, (2) direct, dan (3) illicit

15 mantra pengusir korupsi
Evasive adalah tindakan pencegahan dengan “menghindari” pihak-pihak yang korup dan mengurangi potensi untuk korupsi  tidak memakai jasa “calo” Direct adalah “perlawanan” terhadap pihak-pihak yang korupsi  melaporkan ke atasan atau ke media massa. Illicit adalah melakukan tindakan “terlarang” dan “melawan hukum” untuk mencegah korupsi lainnya  berpura-pura menjanjikan sejumlah uang agar urusan lancar

16 gagal mantra, gagal paham
Mantra tersebut gagal karena korupsi bukan karena “kurangnya insentif”, melainkan karena ketamakan personal. Public goods justru dikendalikan oleh konglomerasi yang justru disponsori oleh negara. Korupsi dapat dianggap “biasa” setelah melalui proses “pembiasaan” dan “rasionalisasi”  individu boleh jadi melihatnya sebagai sesuatu yang “diizinkan” bahkan “diinginkan”.

17 korupsi itu kultural “is corruption understood differently in different culture?” Patronase menjadikan korupsi inheren ada dalam administrasi Korupsi itu kultural: suap, hadiah, gratifikasi  terkait bagaimana kita mendefinisikan “power”

18 power tend to corrupt Kekuasaan dalam konteks kultural  alih-alih menyebarkan, kekuasaan justru dikumpulkan. Kekuasaan didasarkan pada “adikodrati”  kekuasaan diperebutkan dengan cara apapun. kekuasaan mendorong administrasi terpusat pada satu titik  birokrasi macet tanpa adanya “instruksi dari pusat”.

19 absolute power corrupts absolutely
Persoalan utama terletak pada kekuasaan mutlak yang dimiliki oleh “kantor pusat”  pergantian, promosi, dll sangat ditentukan oleh patronase dan loyalitas Kegagalan “pemisahan” (meski tidak selalu tegas) antara urusan “publik” dan “privat” di dalam tubuh administrasi Adanya tekanan dari kelompok kepentingan dalam proses perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan.


Download ppt "Kebudayaan, Kapital Sosial, dan Korupsi"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google