Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
PARTAI POLITIK
2
SEJARAH KEPARTAIAN DI INDONESIA
Peralihan generasi ke generasi bukan evolusi melainkan patahan-patahan sejarah yang memutuskan hubungan antar generasi partai politik Daniel Dhakidae menyebutkan patahan sejarah dalam empat generasi parpol di indonesia 1. Generasi pertama ( ) 2. Generasi kedua ( ) 3. Generasi ketiga ( ) 4. Generasi keempat (1998- sekarang)
3
Generasi Pertama ( ) Diawali lahirnya Budi Oetomo 1908 dan Sarikat Dagang Islam 1912. Periode ini adalah masa formasi Masyarakat Politik: menuju kesatuan politik. Terjemahan dari rasa nasionalisme yg berkembang saat itu. Implikasi dari diterapkannya politik etis oleh pemerintah kolonial belanda.
4
Generasi Pertama ( ) Quasi partai politik; Menjalankan fungsi parpol namun tdk sepenuhnya krn tdk bisa berkompetisi untuk memerintah. Generasi pertama ini mengalami patahan pada saat pendudukan Jepang. Jepang membentuk putera (Pusat Tenaga Rakyat) seluruh kekuatan politik “dilebur” dalam organisasi yg mengabdi pada kepentingan Jepang.
5
Generasi Kedua ( ) Parpol tumbuh setelah dikeluarkannya Maklumat X Tgl 16 Oktober 1945, seperti “jamur di musim hujan”. Isi Maklumat Wakil Presiden: “Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislative dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta pekerjaan Komite Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat".
6
Generasi Kedua ( ) Pemilihan parpol merupakan manifestasi pemilahan sosial-ideologis. Kuatnya pengaruh politik aliran. Herbert Feith dan Lance Castles; bahwa ada dua sumber utama pemikiran politik di Indonesia, yaitu tradisi lokal dan pengaruh pikiran Barat. Kedua hal ini kemudian menghasilkan lima aliran politik yang nyata dalam masyarakat Indonesia pada masa itu, yakni Komunisme, Sosialisme Demokrat, Islam, Nasionalisme Radikal dan Tradisionalisme Jawa.
7
Peta Aliran Politik Generasi Ke-2
BARAT SOSIALISME DEMOKRAT ISLAM NASIONALISME RADIKA; KOMUNISME TRADISONALISME JAWA TRADISI KIRI KANAN
8
Generasi Kedua ( ) Generasi kedua mengalami patahan ketika Soekarno “menyederhanakan” sistem kepartaian dengan membubarkan beberapa partai politik; PSI dan Masjumi Jumlah partai tersisa 9 partai dari 118 partai yg pernah berkompetisi pada pemilu 1955.
9
Generasi ketiga ( ) Patahan ketiga dimulai pada awal terbentuknya rezim Orde Baru. Orde Baru melanjutkan penyederhanaan sistem kepartaian dari 9 menjadi 2 partai politik dan golongan karya Kontrol yg kuat dari negara terhadap partai politik. Golkar sebagai mesin politik rezim dan menjadi single majority dari pemilu ke pemilu. Tumbangnya rezim Soeharto menandai patahan sejarah partai generasi ketiga.
10
Generasi Keempat (1998- sekarang)
Jumlahnya semakin banyak dan bervariasi dari sisi ideologis. Konflik internal pembentukkan partai politik baru. Dalam konteks pasca reformasi, pengelompokan ke dalam peta politik aliran sudah sulit untuk dipertahankan. Salah satu tawarannya kemudian adalah sebuah pengelompokkan partai yang membagi dua jalur utama, yakni kelas dan aliran.
11
Generasi Keempat (1998- sekarang)
Partai yang mengambil jalur kelas membedakan dirinya dari yang lain berdasarkan pandangannya terhadap modal yang pada akhirnya membagi masyarakat atas kelas pemodal dan kaum buruh dengan segala kompleksitasnya. Partai yang mengambil jalur aliran membedakan dirinya berdasarkan pandangannya terhadap dunia dan persoalannya dan bagaimana cara memecahkannya, disini jalur agama dan kebudayaan menjadi pilihannya.
12
Tipologi Parpol Generasi Ke-4
KELAS NASIONALISME AGAMA DEVELOPMENTALSIME
13
Generasi Keempat (1998- sekarang)
Dua sumbu memisahkan seluruh pengelompokkan partai-partai politik yang berkompetisi di dalam pemilu, sumbu vertikal memisahkan dua kutub yaitu partai yang berdasarkan agama, dan kutub lainnya adalah partai yang berdasarkan kebangsaan. Sumbu horizontal memisahkan dua kutub lainnya berdasarkan kelas yaitu developmentalisme dan sosialisme radikal. (Daniel Dhakidae, 1999: 35-37).
14
Transformasi Sistem Pemilu di Era Reformasi
Sistem kepartaian berkembang dari limitasi menjadi multipartai. Pemilu dilakukan oleh lembaga independen yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjamin proses pemilu berjalan dengan jujur, adil, dan transfaran. Partisipasi masyarakat dalam politik pun meningkat yang ditandai dengan besarnya minat masyarakat untuk mendirikan partai, sekaligus aktif dalam berbagai aktivitas politik, termasuk mereka yang ikut melakukan mobilisasi politik.
15
Pemilu pada masa Orde Baru hanya diikuti oleh dua partai politik (yaitu, PPP dan PDI) dan satu Golkar, sebaliknya pada pemilu era reformasi diikuti oleh banyak partai (multipartai). Pada pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik, dan pada pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai, sementara pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai, dengan enam partai lokal yang ada di Provinsi Nangru Aceh Darussalam.
16
Lahirnya partai politik di era multipartai, lebih banyak mengadopsi basis massa yang berlatar primordialisme (aliran) yang secara jamak dipakai partai politik pada pemilu 1955 Orde Lama. Kondisi keparpolan pasca reformasi lebih merupakan sistem kepartaian 1955 jilid dua, dengan situasi dan kondisi berbeda. Hal ini telah mendorong adanya dinamika politik kepartaian yang jauh berbeda dengan ketika masa rezim Orde Baru yang monolitik.
17
Problem Sistem Kepartaian dan Pemilu Era Reformasi
Belum diikuti oleh peningkatan kualitas berpolitik baik dari kalangan elit parpol maupun pemilih. Partai politik belum mampu medesain dirinya secara utuh antara ideologi, platform, dan sekaligus implementasinya. Tidak jarang antara ideologi, platform, dan pelaksanaannya dalam tindakan politik (orientasi pada kebijakan) tidak konsisten, atau bahkan tidak konsekuen. Pemilih, belum menunjukan perilaku politik yang rasional dan dewasa, karena masih diwarnai perilaku transaksional, patronase politik, dan ideologis.
18
Akhirnya menimbulkan masalah:
Parpol yang ideologi sempit, figur politik, program karikatif lebih mengena dan dapat diterima ketimbang platform, program serta orientasi parpol yang sifatnya substansial. Oleh karena itu partai politik yang punya saham ideologis di masyarakat, punya figur yang kuat, serta kemampuan ekonomi yang memadai akan tetap survive dalam setiap pemilu. Sebaliknya, partai politik yang hanya mengandalkan jaringan organisasi, tanpa didukung massa ideologis yang jelas, figur yang kharismatis, dan dukungan dana yang cukup akan cepat hilang dari peredaran. Akhirnya menimbulkan masalah: Maraknya korupsi di lingkungan Dewan. Tidak berjalannya sistem organisasi partai. Konflik internal partai (sampai pada deklarasi untuk secara berjamaah meninggalkan partai politik tertentu). Kekerasan politik (pembakaran atribut, perusakan kantor partai politik).
19
Elit parpol yang duduk di dewan merasa tidak punya ikatan dengan pemilih, sehingga mereka bisa berbuat apapun, sekalipun merugikan rakyat. Rakyat merasa di bohongi dengan janji-janji manis pada saat kampanye, sehingga ketika melihat perilaku elit yang korup dengan gaya hidup mewah, mereka menjadi sinis dan sekaligus apatis.
20
Dampak dari Problem Sistem Kepartaian dan Pemilu Era Reformasi
Banyak partai yang memperoleh suara signifikan pada pemilu 1999 namun akhirnya mengalami kemunduran pada pemilu 2004, begitu juga pemilu 2009. Tumbuhnya partai-partai baru yang mendapat suara signifikan dalam pemilu 2004 dan 2009 seperti Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindera, dan Partai Hanura. Banyak pemilih yang tidak mau datang ke tempat pemungutan suara ketika pemilu dilaksanakan. Tingginya angka Golput.
21
Banyak pemilih yang tidak merasa punya ikatan dengan partai
Banyak pemilih yang tidak merasa punya ikatan dengan partai. Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pemahaman, pandangan, dan sekaligus orientasi pemilih pada partai politik. Partai politik, pasca reformasi, tidak lagi dimaknai secara ideologis, namun juga sudah berkembang menjadi makna sosial kemasyarakatan dan makna ekonomi.
22
Hubungan Partai dan Pemilih di Era Multipartai
Lemahnya pemahaman ideologi dan sistem nilai partai, hal ini berimplikasi pada hilangnya perbedaan substansial antara partai satu dengan partai lainnya dalam membangun paltform dan program partai. Padahal ketika ideologi menjadi suatu sistem nilai, seharusnya punya dampak pada paltform dan program dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Efek dari lemahnya ideologi ini membuat partai menjadi pragmatis dalam menghadapai setiap pemilu, sehingga berdampak pada sikap pragmatisme pemilih yang cenderung menjadi suka memilih figur, kedekatan, atau yang banyak uang dan sumbangannya.
23
Hubungan Partai dan Pemilih di Era Multipartai
Hubungan partai dengan pemilih sudah terjebak pada pola hubungan jual-beli / transaksional. Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol/caleg membeli suara pemilih lewat uang, sembako, kaos, pembangunan mesjid, pembangunan jalan dan lain-lain. Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik sejenis pasca Pemilu. Kondisi ini berakibat pada hilangnya peran substansial anggota Dewan sebagai pembuat keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan kepentingan pemilih. Anggota Dewan menjadi terpola untuk memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi.
24
Hubungan Partai dan Pemilih di Era Multipartai
Belum terbangunnya suatu kelompok kepentingan dan infrastrukturnya yang solid, dimana parpol menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agregasi kepentingan. Keadaan ini membuat partai politik tidak mengetahui suara itu berasal dari kelompok mana, karena infrastrukturnya belum terbangun. Padahal suara dalam Pemilu sendiri merupakan konsekuensi logis dari suatu kesepakatan atau komitmen yang dibangun bersama dalam komunitas, dimana parpol menjadi ujung tombaknya.
25
Hubungan Partai dan Pemilih di Era Multipartai
Parpol menggunakan pemilih untuk kepentingan jangka pendek, dimana parpol memakai pemilih sebagai objek pendulang suara dalam Pemilu, alat legitimasi, alat mobilisasi, tatkala instrument partai membutuhkan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Pemilih diposisikan sebagai sub-ordinat untuk memenuhi keinginan dan kepentingan politik partai.
26
Perubahan Perilaku Politik pada Tingkat Suprastruktur dan Infrastruktur
Pada tingkatan pemilih terjadi perluasan dalam memaknai partai politik. Pemilih tidak lagi memaknai partai dalam kontek ideologi, namun sudah berkembang pada pemaknaan sosial kemasyarakatan dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan dasar pilihan masyarakat pada partai politik yang tidak hanya karena Islam atau Nasionalis, namun juga karena pertimbangan kedekatan sosial dan imbalan ekonomi.
27
Pada tingkatan partai politik mengalami kehilangan orientasi yang mengakibatkan rendahnya kinerja, dan diperparah oleh berkembang perilaku praktis pragmatis dalam meraih suara guna mengejar kepentingan jangka pendek berupa lolos threshold. Lemahnya perhatian pada program kaderisasi guna penguatan ideologi dalam tubuh kader, dan lebih menonjolkan program yang bersifat karikatif dan berbiaya tinggi. Makin tidak terkonstruksinya politik aliran dalam pemilu. Konstruksi politik aliran yang telah sekian lama menghiasi politik Indonesia, dalam perpolitikan era reformasi warna aliran dari pemilu ke pemilu makin melemah.
28
Oligarkhi dalam Kekuasaan Pemerintah
Pemilu pesta demokrasi untuk sementara melibatkan massa-rakyat, setelah berlalu dan para politisi meraih kekuasaan menggelar pesta kekuasaan dan kekayaan secara oligarkhi, tidak lagi bersama rakyat. Para petinggi (elite parpol) yang berkuasa melupakan janji-janji yang telah mereka obral pada rakyat menjelang pemilu. Elite parpol tidak lagi berpikir tentang rakyat, tetapi berpikir tentang bagi-bagi kekuasaan (kursi jabatan, proyek, fasilitas negara, pakaian dinas, dan ketika jabatan hampir berakhir mereka berjuang untuk meperoleh pesangon).
29
Elite parpol tidak lagi dekat dengan massa yang menjadikan mereka punya kekuasaan. Janji-janji yang telah mereka suarakan akan ditelan oleh waktu, sementara massa tidak mudah menagihnya. Para minoritas pemegang kekuasaan itu akan memasuki dunia lain dari luar partai, terisolasi dari rakyat dan tidak lagi mewakili kepentingan mayoritas. Ketika berkuasa mereka dibentengi oleh konstitusi yang membuat rakyat tidak mudah menyentuhnya. Konstitusi atau aturan legal lainnya selalu merupakan hasil dominasi dan eksploitasi terhadap massa, selain konservatif dalam artian akan terus dipertahankan. Kekuasaan akan cenderung korup.
30
TERIMA KASIH
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.