Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehYuliani Hermawan Telah diubah "6 tahun yang lalu
1
Definisi dan Karakteristik Filsafat
Definisi filsafat sangat terkait dari konteks zaman atau masa yang mengitarinya, di samping juga terkait filsuf yang mendefinisikan. Di antara para filsuf sendiri berbeda soal mendifiniskan filsafat.. Menurut Filsuf Pra Sokratik: Filsafat adalah Ilmu yg berusaha memahami hakikat alam berdasar akal budi (bukan mitos). Menurut Plato: Filsafat adalah Ilmu yg berusaha meraih kebenaran asli dan murni. Menurut Rene Descartes: Filsafat adalah Himpunan segala pengetahuan yang pokok penyelidikannya adalah Tuhan, Alam dan Manusia
2
filsafat sesungguhnya adalah kerangka berpikir (mode of thougt) mendalam mengenai segala hal yang ada, yang meliputi Tuhan, Alam dan Manusia Filsafat juga dipahami sebagai suatu perenungan yang mendalam mengenai realitas untuk diungkap hakikatnya. Hakikat tentang segala hal, hakikat tentang hidup, hakikat cinta, hakikat negara, hakikat keadilan, bahkan kalau mungkin hakikat mengenai Tuhan. Filsafat mencari makna, segala realitas yang nampak secara inderawi pasti mempunyai sisi yang tak terbaca, sesuatu dibalik realitas. Oleh karena itu, filsafat berambisi untuk menelisik secara mendalam kenyataan dibalik realitas itu.
3
Filsafat juga memberi makna akan segala hal yang ada, pada level ini filsafat lebih produktif sifatnya karena telah mencoba memberi tafsir baru atau pemahaman yang menyegarkan yang sesuai dengan kondisi sekarang. Lebih dari itu, bermula dari filsafatlah dunia akan berubah. Kritik dewasa ini yang ‘menuduh’ filsafat hanya hidup di menara gading serta merta tertolak karena pada kenyataannya sistem pemikiran filsafat berubah bentuk menjadi ideologi, lalu ideologi menjadi pengarah dalam sebuah tindakan. Artinya, secara tidak langsung filsafatlah yang mengubah dunia itu. Hasrat filsafat yang ingin mengubah dunia serta merta berisiko pada nalar yang mendekonstruksi atas kenyataan. Ini sangat wajar sebab jika sebuah gagasan telah menjadi ideologi dan keyakinan maka akan sangat membahayakan bagi masa depan rasio. Lalu, sebuah hal yang tidak terbayangkan kalau rasio atau akal berhenti mempertanyakan segala macam konsep yang menjadi ideologis dan terus menerus diakui kebenarannya.
4
Maka, berfilsafat harus dimulai dari menyangsikan segala hal, dari persoalan yang paling sederhana hingga sampai pada sesuatu yang sangat prinsipil atau fundamental. Dari persoalan ‘perut’ hingga persoalan kelaparan dan kemiskinan, atau bahkan ekonomi Pancasila, dari persoalan musyawarah tingkat desa hingga persoalan demokrasi, dari persoalan kewajiban beribadah hingga persoalan keberagamaan atau pluralitas.
5
Berfilsafat juga harus bermula dari keheranan
Berfilsafat juga harus bermula dari keheranan. Mengapa kalau tidak makan bisa lapar?, Mengapa kalau jatuh cinta itu indah?, Mengapa orang kalau beribadah merasa tenang dalam diri sendiri? Ini semua adalah pertanyaan epistemologis dan jawabannya tentu saja harus rasional dan filosofis.
6
pemikiran filosofis tidak hanya sekedar berpikir, tetapi paling tidak mempunyai 4 karakter (Mohamad Anas, 2009): 1. rasional, inilah karakter utama dalam berfilsafat. 2. kritis; 3. radikal 4. komprehensif
7
rasional rasio menjadi panglima atau pemimpin dalam filsafat.
Dalam batas-batas rasio, perenungan filsafat haruslah rasional. Rasionalitas yang dimaksudkan di sini tentu rasio yang bersifat obyektif (Mazhab Frankfurt). Rasio obyektif adalah rasio yang setiap orang memilikinya (al- Jabiri), rasio yang mengedapankan berpikir imaginative, bebas dan mengagungkan kebebasan berpikir. Hal ini berbeda dengan rasio yang bersifat subyektif, sebuah penalaran yang telah dipatok oleh aturan-aturan yang membingkainya sehingga rasio terbelenggu. Masyarakat modern kini tidak mampu lagi berpikir konsep-konsep obyektif, malah mengingkarinya karena dianggap khayalan belaka, ia dikosongkan dari isi pengetahuan dan semata-mata bersifat formal, inilah formalisasi akal. Karakteristik formalisasi akal tercermin dalam bangunan logika modern, logika modern berkeyakinan bahwa ia harus menjauhi isi pengetahaun yang diandaikan begitu saja, bangunan logika semacam ini menghalangi penemuan struktur pengetahuan manusia sejati. Tugas logika modern hanya menghitung, mengklasifikasi, menverifikasi, seperti yang dilakukan dalam ilmu alam dan matematika. Akal dilarang berpikir bebas, berandai, berimaginasi dan bahkan berspekulasi.
8
Bagi Marcuse, logika tersebut adalah logika establishment, logika yang dominatif, karena membatasi setiap proses pemikiran pada hukum-hukum formal belaka. Hal ini justru berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang lebih menekankan isi pengetahuan dengan lebih memberi ruang gerak berpikir dialektis. Singkatnya, logika formal mengkanonisasikan dan mengorganisasikan penalaran dalam bentuk rangkaian kerangka kerja di luar jangkauan yang tidak satupun hukum sillogisme mampu menjebolnya. Akibatnya, akal seakan tinggal kulitnya saja, dan kehilangan isinya lalu ia semata-mata menjadi formal. Sifat kenetralan yang melekat padanya dapat dipakai sebagai alat apa saja; formalisasi akal yang demikian memudahkan terjadinya akal bergeser dan melulu bersifat instrumental, dikotomik, dan positivistik. Nalar yang bersifat dikotomik ini lalu membedakan segala realitas, termasuk membedakan realitas filsafat dan agama secara ekstrim. Pada tingkat epistemologis, rasio intrumental mengejawantah secara konseptual berupa teori tradisional, teori ini menjadi kerangka rujukan epistemologis dalam membangun metode ilmiah
9
Ciri mendasar teori tradisional:
Pertama, ia bersifat ahistoris, artinya bahwa ilmu tidak menyejarah, teori tradisional mengklaim dirinya mandiri dan berdikari yang terlepas dari kehidupan sehari-hari. Lebih ektrim lagi, teori tradisional memutlakkan ilmu sebagai satu-satunya unsur yang mampu “menyelamatkan” manusia, itu artinya bersifat ideologis serta secara tidak sadar melakukan penipuan ideologis. Kedua, ia bersifat netral, artinya bangunan teori adalah suatu diskripsi tentang fakta, pengetahuan demi pengetahuan, di satu pihak teori tidak mempengaruhi obyek, sementara di pihak lain teori merupakan sesuatu yang tidak berubah, beku dan mati, dengan kata lain bersifat obyektif. Ketiga, bertolak dari netralitasnya, nampak bahwa teori tradisional memisahkan antara teori dan praxis, teori demi teori, serta tiadanya dimensi nilai (aksiologi) dalam bangunan ilmu-ilmu modern.
10
segala yang tidak rasional tidak masuk dalam kategori berfilsafat.
Dalam filsafat, patokan-patokan yang membatasi berpikir harus disingkirkan segala yang tidak rasional tidak masuk dalam kategori berfilsafat. Segala yang berbau klenik tidak rasional, segala hal yang berbau tahayul juga tidak rasional. Dalam sejarah pemikiran filsafat, rasionalitas selalu dihadapkan pada mitos-mitos. Mitos dalam pandangan Levi-Strauss adalah dongeng. Dongeng merupakan sebuah kisah atau ceritera yang lahir dari hasil imaginasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan itu berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Tidak ada larangan manusia untuk menciptakan dongeng, karena itu kebebasan manusia mutlak. Sehingga, bisa saja ditemukan hal- hal yang tidak masuk akal, oleh karena itu upaya penghancuran mitos yang tumbuh subur di sekitar kita harus dihancurkan. Sebagai catatan, mitos dalam kehidupan modern berubah bentuk, karena itu filsafat tetap mengawal untuk bersikap kritis terhadapnya. Maka kalau rasio menjadi ‘pemimpin’ dalam penghancurannya, inilah yang disebut renaissance, sebuah pencerahan.
11
kritis, apakah kritis itu?
Segala macam konsep belum tentu mengandung kebenaran yang mutlak yang diterima begitu saja. Segala konsep harus dipertanyakan kembali, tidak boleh hanya sekedar mengekor, mengikuti begitu saja pemahaman konvensional yang berlaku selama ini. Pahadal bisa saja konsep-konsep tersebut sudah tak lagi relevan dalam konteks sekarang atau bahkan menyesatkan. Kata ‘kritis’ juga mengarah pada upaya mendorong manusia untuk berpikir sendiri, Sapare Aude! Berpikirlah sendiri, inilah sebuah kata kebebasan manusia otonom yang dinyatakan oleh seorang filsuf besar Immanuel Kant. Dalam konteks ini, otonomi diri sangatlah diagungkan, tidak ada seorang pun yang dapat memaksakan pendapatnya pada orang lain, tak seorang pun dapat memaksakan sebuah kebenaran kepada orang lain. Sebab manusia dengan segala potensinya sesungguhnya mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk bisa berjalan di dunia ini secara mandiri, tangguh, tanpa ketergantungan kepada yang lain.
12
radikal. Seringkali orang hanya melihat kenyataan itu bersifat empiris semata, hanya sisi luarnya semata, padahal kenyataan itu ada yang tidak dapat dicerap oleh indera, dibutuhkan akal dan intuisi untuk bisa memahami realitas secara mendalam. Menurut Immanuel Kant, realitas itu terbagi menjadi dua: fenomena dan noumena. Indrawi manusia hanya dapat melihat fenomena semata, oleh karenanya filsafat, dengan ciri khasnya yang bersifat radikal, harus ‘menembus batas-batas empiris/fenomena tersebut. Karena itu arah radikalnya mengarah pada upaya pencarian hakikat. Mencari hakikat tidak harus mengabaikan form/bentuk. Sebagai catatan dari Aristoteles, bahwa segala realitas mempunyai dua dimensi, yakni substansi dan aksidensi. Adalah hal yang tidak mungkin kalau mencari hakikat tanpa keberadaan/eksistensi/form, sebaliknya sebuah hakikat dari sesuatu dapat diketemukan hanya melalui bentuk. Penemuan akan hakikat dari segala realitas akan menjadikan sesuatu itu bermakna dan menjadi ruh serta penggerak.
13
Dengan demikian, antara substansi dan aksidensi merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam konteks bernegara, misalnya, pembicaraan mengenai demokrasi pasti memuat aspek formal-prosedural dan aspek hakikatnya. Tetapi kenyataannya di Indonesia, aspek formal-prosedural yang lebih dikedepankan. Dalam ranah hukum juga demikian, selama ini yang lebih ditekankan adalah sisi legalistik-formal, padahal substansi hukum juga tak kalah penting, hingga terkadang orang hanya terjebak pada paradigma positivistik semata, sebuah cara pandang yang menekankan dimensi fisik semata. Maka pola berpikir radikal harus dilakukan untuk mengatasi kaburnya sebuah hakikat, makna dan seterusnya. Pola berpikir radikal ini mengarah pada upaya dekonstruksi, yakni pembongkaran terhadap kemapanan.
14
komprehensif. Dalam berfilsafat, pola berfikirnya harus menyeluruh, tidak lagi parsial atau sepotong-potong. Kalau hendak membicarakan mengenai konsep kamanusiaan, maka sesungguhnya harus kembali pada konsep manusia itu sendiri. Kenyataannya, manusia itu beragam dari sisi etnik, suku, budaya dan sosial. Terdapat manusia Sunda dengan segala macam pengetahuan dan habitus (Bourdiue) yang dimilikinya, ada manusia Madura juga demikian, tak terkecuali manusia Dayak dan begitu seterusnya. Berpikir secara komprehensif berarti mendefinsikan manusia yang tidak lagi bersifat lokal, tapi melihat manusia secara utuh, melihat manusia sebagai manusia itu sendiri.
15
Kecenderungan desawa ini, ilmu pengetahuan yang berkembang pesat melihat manusia dari satu sisi saja, misalnya ilmu biologi melihat manusia yang terdiri sel atau lainnya, atau ilmu psikologi yang melihat manusia dari sisi psikis semata, atau ilmu antropologi yang melihat manusia dari sisi budaya dan seterusnya. Maka filsafat, mencari hakikat manusia itu sendiri. Inilah pola berpikir integral, yakni berpikir dalam konteks kesatuan. (Sumber : Mohamad Anas)
16
SPESIALISASI DLM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN ILMU
PIKIRAN YANG SELALU MENGKHUSUSKAN PADA BIDANG-BIDANG TERTENTU DARI PADA YG UMUM. Bahkan dari sudah merupakan bagian-bagian itu, masih dispesialisasikan. (Kedokteran : Spesialis…; Kedokteran hewan : ……. Hukum…. Memahami hakikat hukum (sudah lama dilakukan oleh para filusuf) ttp belum dipisahkan mana yang Filsafat, filsafat hukum, teori, dogmatik hukum dsb. Tetapi dapatkah seorang ilmuwan ahli dalam segala-galanya ? Termasuk dibidang Hukum???
17
Pengembangan Hukum Teoretikal: mencakup
FILSAFAT HUKUM Apakah hukum itu? Quid ius? Hubungam hukum, moral, kekuasaan, keadilan,hukum kodrat, kepastian META -DISIPLIN 2 MASALAH FUNDAMENTAL DALAM HUKUM: Apa landasan mengukat dari hukum Apa kriteria keadilan dari hukum * Konsep fundamental dalam hukum -ONTOLOGI HUKUM -AKSIOLOGI HUKUM -IDEOLOGI HUKUM -TELEOLOGI HUKUM AJARAN NILAI AJARAN ILMU - AJARAN PENGETAHUAN - AJARAN ILMU SESUANGGUHNYA (Hermeneutik) ILMU-ILMU MANUSIA LOGIKA TEORI HUKUM Mensintesiskan Analisis hukum, metodologi hukum, dan kritik ideologi SEJARAH HUKUM SOSIOLOGI HUKUM ANTROPOLOGI HUKUM PSIKOLOGI HUKUM PERBANDINGAN HUKUM -LOGIKA DEONTIK LOGIKA HUKUM -ILMU ILMU LAIN META-TEORI ILMU HUKUM Ilmu Praktikal Inventarisasi,pemaparan, dan sistematisasi kaidah hukum Masalah inti: menetapkan apa hukumnya bagi sistuasi konkret tertentu mempedomani Masukan bahan empirikal untuk diolah PENGEMBANGAN HUKUM PRAKTIKAL Mencakup kegiatan: PEMBENTUKAN HUKUM (PROSES POLITIK +KRYA YURIDIK PENERAPAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM PENEMUAN HUKUM DAN INTERPRETASI HUKUM KARYA YURIDIK
18
Sumber : ilmu, teori dan filsafat hukum (B. Arief Sidarta)
Disiplin ilmiah (ilmu) : upaya rasional sistematis metodologis terargumentasi untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang realitas atau bagian tertentu dari realitas. FILSAFAT (REFLEKSI ABSTRAK- SPEKULATIF ATAS REALITAS ATAU TTG EKSISTENSI MANUSIA)– OBYEKNYA : REALITAS SBG KESELURUHAN B. ILMU-ILMU POSITIF : (ASPEK REALITAS TTT) ILMU-ILMU FORMAL : LOGIKA, MATEMATIKA, TEORI SISTEM ILMU EMPRIK : ILMU-ILMU ALAM (BIOLOGI DAN NON BILOGI) DAN ILMU- ILMU MANUSIA (ILMU-ILMU SOSIAL, SEJARAH DAN BAHASA) (ILMU-ILMU POSITIF ADALAH ILMU-ILMU TEORITIKAL BERTUJUAN HANYA UTK MEMPEROLEH PENGETAHUAN YG BENAR TTG SUATU ASPEK REALITAS) 3. ILMU-ILMU PRAKTIKAL : TERARAH UTK MENAWARKAN ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH KONKRIT (ILMU YG SECARA LANGSUNG MEMPELAJARI CARA MENEMUKAN DAN MENAWARKAN PENYELESAIAN MASALAH KONKRIT) MOMOLOGIKAL (JIKA A, MAKA B) : A. BIOLOGI : IL. KEDOKTERAN B. MOM BILOGI : TEKNIK/TEKNOLOGI 2. NORMOLOGIKAL : A. OTORITATIF : ILMU HUKUM B. NON-OTORITATIF : ETIKA, PEDAGOGI, MANAGEMENT, KOMUNIKASI,DSB
19
ILMU HUKUM : --- DOGMATIK HUKUM
INVENTARISASI/KOMPILASI, INTERPRETASI, SISTEMATISASI DAN EVALUASI TEKS OTORITARITATIF (BAHAN HUKUM UTK : MEMPERSIAPKAN PTUTUSAN HUKUM : UNTUK MENAWARKAN ALTERNATIF PENYELESAIAN YURIDIKAL THDP MSLH SOSIAL DENGAN : MENETAPKAN APA HUKUMNYA BG SISTUASI KONKRTI TRTENTU, ARTINYA: MENETAPKAN SIAPA BERHAK (BERKEWAJIBAN) ATAS APA THDP SIAPA BERKENAAN DG APA DLM SIATUASI APA
20
SUMBER : FILSAFAT HUKUM, Probelematik Ketertiban yg Adil (Prof. Dr
SUMBER : FILSAFAT HUKUM, Probelematik Ketertiban yg Adil (Prof. Dr.Budiono Kusumohamidjojo, sh.) PERBEDAAN ANTARA FILSAFAT HUKUM DAN TEORI HUKUM MENURUT KAUFMANN: ORIENTASI : FILSAT HK : LEBIH BERORIENTASI KP MUATAN TEORI HUKUM : LEBIH KPD BENTUKNYA WALAUPUN ABSURD UTK MEMBAYANGKAN BENTUK TANPA ISI ATAU SEBALIKNYA ISI TANPA BENTUK TEORI ADALAH SUATU KONTRUKSI PEMIKIRAN YANG BERTOLAK DARI POSTULAT-POSTULAT (DALIL) SERTA PREMIS-PREMIS (ANGGAPAN DASAR) TERTNTU UNTUK MELALUI METODE TERTENTU, MENDEKATI ATAU MENERANGKAN SUATU OBYEK ATAU MASALAH TERTNTU.
21
TEORI HUKUM DG DEMIKIAN MERPKN USAHA UNTUK MENDEKATI ATAU MENERANGKAN KOMPLEKS HUKUM SEBAGAI FENOMEN DG BERTOLAK DARI POSTULAT-POSTULAT ATAU PREMIS-PREMIS TERTNTU POSTULAT-POSTULAT DAN PREMIS-PREMIS ITU BISA BERSIFAT HISTORIS (MASHAB HISTORIS; BERSIGAT DIALEKTIS (MASHAB DIALEKTIS) ATAU BERTOLAK DARI KENYATAAN HUKUM POSITIVE (MASHAB POSITIVE); ATAU DARI AMBISI UTK MEMBEBASKAN HUKUM DARI ANASIR-ANASIR POLITIK DAN KEKUASAAN (MASHAB HUKUM MURNI) DG DEMIKIAN FILSAFAT HUKUM JUGA MEMBICARAKAN TEORI HUKUM, TETAPI FILSAFAT HUKUM TDK MENGAJUKAN TEORI HUKUM.
22
SAMA HALNYA DG TEORI HUKUM, FILSAFAT HUKUM MEMBAHAS SEGALA YANG HAKIKI YG BERKENAAN DG HUKUM.
PERSAMAAN FILSAFAT HUKUM DAN TEORI HUKUM ADALAH TIDAK MEMBATASI PADA HUKUM YG BERLAKU, TTP JUGA PENCARIAN HUKUM YG BENAR UNTUK YANG AKAN DATANG (IUS CONTITUENDUM) FILSAFAT HUKUM TERBUKA UNTUK MEMPERDEBATKAN ANEKA POSTULAT, PREMIS DAN METODE. TEORI HUKUM CENDERUNG MENGAJUKAN SUATU PANDANGAN YG UTUH MENGENAI HUKUM, FILSAFAT HUKUM JUSTRU MEMPERTANYAKAN DEGALA MAVAM PANDANGAN MENGENAI HUKUM.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.