Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Universitas Persada Indonesia Y. A. I

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Universitas Persada Indonesia Y. A. I"— Transcript presentasi:

1 Universitas Persada Indonesia Y. A. I
Politik Kartel Cleavage, Kepentingan Kolektif, dan Partai Politik Ira Naulita Magister Komunikasi Universitas Persada Indonesia Y. A. I Dinamika Politik di Indonesia

2 RIWAYAT PENELITIAN SISTEM KEPARTAIAN
Penelitian sistem kepartaian punya riwayat panjang. Dieter Nohlen, pakar partai politik dan pemilu mancanegara asal Jerman, membuat semacam kisah penelitian sistem kepartaian secara historis. Kacamata penelitian sistem kepartaian dilihat dari dua sisi: Sisi Kelembagaan 2. Sisi bangunan sosial (social cleaveges= perpecahan social) Penjelasan dari sisi struktur sosial terhadap pembentukan, struktur dan kesinambungan sistem kepartaian itu datang dari Seymour M. Lipset dan Stein Rokkan (1967). Mereka berdua mencoba memahami perkembangan sistem kepartain di Eropa dari sudut konflik masyarakat yang dikenal social cleaveges.

3 Ketegangan sosial menurut mereka merupakan produk dari dua proses:
1. Kebangkitan dan pembangunan bangsa (revolusi nasional) 2. Industrialisasi (revolusi modern) Pembelahan masyarakat akibat ketegangan sosial ini masih membekas dalam masyarakat barat hingga kini (Lipset dan Rokkan), dari ketegangan sosial itu lahirlah empat macam konflik: a. Sementara revolusi nasional menciptakan 1. ketegangan antara pusat dan pinggiran (center and pheriphery cleavege) 2. ketegangan antara negara dan gereja (church-state cleavage) b. Revolusi industri menciptakan 1. ketegangan antara tuan tanah dan kelompok bisnis dan industriawan (lahirlah antara perpecahan anatara kepentingan agraria dan industri) land- industri celeavage 3. ketegangan antara pemilik alat-alat produksi dan buruh, owner – workers cleaveges.

4 Karena itu menurut Lipset/Rokkan bahwa sistem kepartaian:
a. Bangunan sistem kepartaian berbagai bangsa merupakan produk dari perjalanan perkembangan sejarah ketegangan sosial tersebut (seperti lahirnya partai-partai baru pada zaman ore baru merupakan buah dari ketengan sosial yang ada pada saat itu) b. Cara-cara elit yang memanfaatkan peluang mencari terobosan dalam membentuk partai koalisi dan grup-grup (adanya keinginan elit untuk duduk dalam kekuasaan, maka membentuk partai politik baru adalah cara termudah masuk dalam lingkar kekuasaan dengan membentuk partai politik).

5 Cleavage Sosial Gereja Vs Negara Pemilik Tanah Vs Pengusaha Industri
Modal Vs Kerja Budaya Dominan Vs Budaya Dependen Menurut Lipset dan Rokkan

6 Tiga dari empat cleavage sosial yang dijabarkan oleh Lipset dan Rokkan terbentuk di Indonesia pada periode yang berbeda. Dua jenis cleavage itu adalah cleavage keagamaan dan cleavage regional yang terbentuk selama masa colonial, sementara cleavage kelas muncul pada periode Orde Baru. Cleavage keagamaan versus sekuler mulai terbentuk pada awal abad ke-20 semasa bersemainya semangat nasionalisme di Indonesia. Jika kita merujuk pada munculnya berbagai gerakan nasionalis di Indonesia, maka pembentukan Budi Utomo pada tahun 1908 atau Sarekat Dagang Islam pada 1911 menandai awal terbentuknya cleavage berbasis agama tersebut. Budi Utomo, organisasi yang berbasis di Jawa, bertujuan mengusung cita-cita priyayi Jawa yang pada dasarnya sekuler; sedangkan SDI adalah asosiasi pedagang Muslim yang bertujuan melindungi kepentingan ekonomi kaum Muslim. Bisa juga kita menjadikan pembentukan Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (NU (1926) sebagai masa penting yang membentuk cleavage keagamaan-sekuler tersebut.

7 Konflik atau ketegangan berbasis cleavage ini selama 1950, tidak serentak dimobilisasi oleh partai-partai politik. Di satu sisi, cleavage pusat-daerah (Jawa dan luar Jawa) relative ditekan sebelum Pemilu 1955, namun menjadi menonjol setelah Pemilu Di sisi lain, cleavage keagamaan-sekuler ini sepenuhnya dimobilisasi oleh partai-partai Islam dan nasionalis. Jika kedua cleavage ini telah terbentuk di tengah masyarakat, tidak demikian halnya dengan cleavage kelas. Pada era colonial, proses industrialisasi tidak pernah berlangsung secara massif. Meskipun PKI telah terbentuk tahun 1924, dan mendapat banyak pengikut, partai ini tidak pernah memiliki basis kuat di antara buruh industri. Demikian pula selama era Demokrasi Parlementer, tidak ada perubahan substansial yang berkait dengan proses industrialisasi. Dalam struktur industri yang kurang berkembang ini, oposisi berbasis kelas tidak pernah menjadi kereta pendorong utama politik kepartaian. Penyebabnya, “struktur sosial pra kapitalisme memudar seiring dimulainya sistem ekonomi berbasis uang. Namun proses pemudaran struktur pra kapitalisme ini tidak segera diikuti dengan terbentuknya kelas tuan tanah, buruh, dan kelas kapitalis yang jelas dan terorganisir.” Akibatnya oposisi berbasis kelas tidak berkembang penuh.

8 Politik Kepartaian Era 1950-an: Ragam Pertentangan Politik
Dekrit yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta pada November 1945 mendorong para pemimpin politik untuk membentuk partai politik. Tujuan dekrit adalah “menyediakan perwakilan langsung bagi semua kelompok penting di masyarakat Indonesia berdasarkan sistem perwakilan proporsional”. Dekrit ini juga dianggap sebagai respon terhadap harapan publik saat itu, bahwa Indonesia sebagai negara yang baru terbentuk dapat segera menciptakan kemakmuran dan demokrasi. Berbagai ideologi diusung oleh partai-partai politik yang dibentuk sejak Oktober 1945, ketika rencana Pemilu diumumkan oleh pemerintahan sementara, sampai September 1955 ketika Pemilu digelar. Berbagai laporan pemerintah tentang partai-partai politik yang muncul antara terbagi dalam tiga kelompok ideologi utama: nasionalis, keagamaan, dan marxis. Ketiga ideologi ini kemudian terejawantah dalam tiga partai yang dianggap sebagai partai-partai utama masa itu: PNI, Masjumi, dan PKI.

9 PNI berdiri pada 7 Januari 1946 yang merupakan pengganti PNI lama yang dibentuk Sukarno di masa colonial. PNI yang dipimpin Mangunsarkoro ini mengusung filosofi Sukarno tentang nasionalisme Indonesia yangs ecara khusus berarti mempertahankan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang berada di strata sosial paling bawah. Dalam istilah politik domestic dikenal dengan sebutan marhaen. Namun marhaenisme tidak terutama didefinisikan oleh sentiment kelas, melainkan sentiment yang berbasis budaya. Partai lain yang juga beraliran nasionali adalah Partai Indonesia Raya dengan basis yang sama yakni Jawa dalam orientasi budaya dan territorial.

10 Masjumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) didirikan 7 November 1945 adalah partai keagamaan. Masjumi adalah perwujudan ulang Masjumi yang dibentuk pemerintah pendudukan Jepang dengan tujuan mendapatkan dukungan umat Islam Indonesia dalam menghadapi perang. Dalam hal organisasi, partai ini lebih mirip konfederasi yang menjangkau sebagian besar komunitas Islam. Tujuan Masjumi adalah mendidikan negara hukum yang didasarkan pada ajaran Islam. Partai lain yang juga mengusung ideology Islam adalah Pergerakan Tarbiyah Indonesia (Perti) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Partai lain yang sebenarnya memiliki ideology yang serupa dengan Masjumi adalah Nahdlatul Ulama. Namun NU meninggalkan Masjumi pada tahun Perpisahan NU dan Masjumi ini kelak membawa dampak permanen pada konfigurasi politik Islam. Cleavage keagamaan ini juga menyingkap kenyataan bahwa dalam komunitas Islam sendiri terdapat sub cleavage antara muslim modernis dan muslim tradisionalis.

11 Partai Komunis Indonesia (PKI), sebetulnya berusaha membangkitkan politik kelas. Partai ini sejak awal Nampak menarik garis tegas yang membedakannya dengan partai-partai lain yang cenderung membagi masyarakat pemilih berdasar pemilihan vertical. PKSI membangun masis sosialnya berdasarkan kaum buruh, yakni strategi electoral yang bertolak dari pembagian kelompok masyarakat secara horizontal. PKI, sebagaimana partai komunis di negara-negara lain, menegaskan kembali sumpahnya untuk membela kepentingan kelas buruh. Partai ini bukan hanya mengorganisasi buruh dan petani di bawah komandonya secara sistematis, melainkan juga berhasil memperlihatkan sifat radikalismenya, yakni mengorganisasi pemogokan dalam menyuarakan tuntutan politik. Meski demikian PKI bukan satu satunya partai yang menempati sisi kiri dari sumbu ideologi yang berbasis kelas. Partai Sosialis Indonesia dan Partai Murba adalah dua partai kiri lain yang tampil sebagai partai kecil namun punya efek penting dalam politik kepartaian era 1950an.

12 Jika postur ideologis dan berbagai tujuan yang dikemukakan oleh partai-partai dijadikan indicator, jelas terlihat bahwa Indonesia mengalami paling tidak dua bentuk pertentangan politik. Dua partai besar pertama, PNI dan Masyumi mencoba memobilisasi pengikut bereka berdasar garis vertical pengelompokan masyarakat; mereka memilah masyarakat dalam kategori yang berbasis budaya dan agama. Partai ketiga, PKI, melambangkan politik kelas yang berusaha memobilisasi cleavage horizontal yang didasarkan pada perbedaan kelas.

13 Pertama: Apakah Indonesia harus didasarkan pada prinsip sekuler atau tidak
Kedua: Bagaimana Indonesia harus menangani berbagai persoalan ekonomi dan sosial yang mendesak ketika tatanan ekonomi lama di bawah kekuasaan Hindia Belanda ambruk Ketiga: isu yang berakar pada regionalitas: bagaimana menemukan saluran yang tepat untuk mengungkapkan berbagai kepentingan daerah dan mengatur kemungkinan konflik antara kepentingan nasional dan daerah. Ideologi Ekonomi? Isu Regionalitas Kampanye Isu

14 Ketiga isu tersebut pada dasarnya merupakan sumber kampanye politik partai-partai serta menjadi titik tolak persuasu politik untuk menarik pemilih. Dengan memanfaatkan ketiga isu berbasis cleavage itu, partai-partai yang berpartisipasi mencatat pencapaian elektoran sebagai berikut: No Urut Nama Partai Jumlah Suara Jumlah Kursi 1. Partai Nasional Indonesia 57 2. Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia 1955 3. Nahdlatul Ulama 1955 45 4. Partai Komunis Indonesia 39 5. PARTAI SYARIKAT ISLAM INDONESIA 8 6. Partai Kristen Indonesia 7. Partai Katolik (Indonesia) 770740 6 8. Partai Sosialis Indonesia 1955 753191 5 9. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia 541306 4 10. Persatuan Tarbiyah Islamiyah 483014 11. Partai-partai lain 2 Hasil pemilu seperti yang digambarkan pada dasarnya tidak mengejutkan. Suara yang diraih oleh empat besar partai mendekati hampir 80 persen. Pada titik ini kita perlu menjawab pertanyaan awal: apakah pemilu 1955 benar-benar mencerminkan beragamnya garis pertentangan politik dan ideology sebagaimana ditunjukkan oleh hasilnya. Ataukah politik kepartaian selama 1950-an tidak lebih dari sekedar perselisihan yang terjadi di kalangan elit politik yang terasing dari public

15 Dua Pandangan tentang Politik Kepartaian
Sebagian besar Indonesianis tampak sepakat bahwa dinamika politik pada masa Demokrasi Parlementer sangat hidup. Salah satu pandangan menyatakan, politik kepartaian pada masa itu tidak melibatkan publik secara luas. Faktor-faktor yang dianggap menyebabkan kecenderungan ellitis tersebut beragam. Faktor-faktor itu antara lain, belum berkembangnya media massa, kurangnya pengalaman serta kemampuan partai dalam menjalankan organisasi. Penilaian ini sejalan dengan pengamatan Feith sebelumnya tentang watak politik Indonesia pada decade pertama setelah perang. Pertama, tidak ada kelompok di luar pemerintah yang cukup kuat untuk menandingi pemerintahan yang ada. Kedua, kekuasaan politik pada masa itu pada dasarnya hanya tersebar di kalangan pejabat tinggi pemerintah dan pemimpin tertinggi partai politik. Dan ketiga, jumlah elit politik atau mereka yang terlibat dalam pembuatan keputusan sangat kecil. Semua kondisi ini membuat Feith percaya bahwa politik Indonesia sepanjang era parlementer bersifat elitis. Partai politik dengan demikian, semata dianggap sebagai epifenomena alias gejala pinggiran yang tak berarti.

16 Problem fundamental pandangan ini adalah bahwa terlalu menekankan pada kebebasan politisi sebagai individu serta manuver politik yang dilakukan dalam parlemen atau cabinet. Pada saat yang sama pandangan ini memberi perhatian sedikit pada basis sosial dimana berbagai kelompok politik di kalangan elit terbangun. Pandangan ini gagal melihat bahwa perpecahan politik di kalangan elit pada dasarnya merupakan cerminan dari ketegangan sosial yang lebih mendalam di masyarakat, baik itu ketegangan politik, budaya, ekonomi ataupun sosial. Dalam pandangan Harry Benda, kedua kelompok yang bersaing, pertama-tama harus dikelompokkan berdasarkan orientasi budaya mereka. Para administrator adalah elilte Indonesia yang umumnya terbaratkan atau, mereka yang mengalami westernisasi bukan hanya dipermukaan kulit saja. Kita mungkin menambahkan bahwa kelompok ini mencakup beberapa elite Muslim. Banyak dari mereka, meskipun tidak semua, adalah non Jawa. Karena itu Benda mengatakan, berlawangan dengan para administrator adalah kelompok solidarity makers.. yang bagi kelompok ini elan atau semangat revolusi dan ideology dianggap jauh lebih penting ketimbang pemecahan pragmatis persoalan ekonomi, administrative, dan persoalan-persoalan lain. Kelompok ini juga mencakup para pemimpin besar yang terbaratkan namun keterikatan mereka pada nilai-nilai Barat tampak jauh kurang kuat.

17 Pendapat Benda dan Feith mebawa kita pada dua posisi ekstrem
Pendapat Benda dan Feith mebawa kita pada dua posisi ekstrem. Feith memberi ruang yang terlalu besar pada otonomi politisi dan kurang memerhatikan konteks politik dan sosiologis yang lebih luas. Benda membawa perhatian pada arti penting cleavage sosial dalam menafsirkan politik Indonesia pada umumnya dan politik kepartaian pada khususnya. Namun ia pada dasarnya juga terperangkap dalam determinisme sejarah atau budaya yang menggambarkan individu atau agensi tidak lebih dari perpanjangan berbagai kekuatan yang bersifat structural. Namun baik Benda dan Feith tidak melihat partai politik sebagai actor penting bagi dirinya sendiri. Keduanya juga gagal melihat dengan tepat kenyataan bahwa tiga partai besar, PNI, Masjumi dan khususnya PKI telah mengembangkan jaringan organisasi untuk menjangkau publik yang lebih luas, lebih daripada yang dilihat Benda dan Feith. Pendeknya, baik Benda ataupun Feith gagal melihat kenyataan bahwa partai politik sesungguhnya mampu melakukan penetrasi ke dalam masyarakat.

18 Strategi Lintas Kelas: Kasus PKI
Masalah utama yang dihadapi PKI adalah industrialisasi di Indonesia amat tertinggal. Kondisi ini menghamparkan dua tantangan yang berbeda namun terkait. Pertama, sebagaimana partai kiri di negara demorkasi di Barat, PKI hanya mampu memobilisasi kaum buruh yang keciil jumlahnya. Kedua, kelas kapitalis di Indonesia belum berakar kuat. Pada awal 1950-an modal terbesar masih berada di tangan orang Belanda dan kaum kapitalis asing lainnya. Dengan demikian situasi ini tidak memberi banyak ruang bagi PKI untuk melakukan maneuver politik. Menghadapi dilemma antara menjalankan strategi linteas-kelas atau lintas-kelompok, PKI memilih yang terakhir semata-mata karena terpaksa. Jika tidak, PKI akan menjadi partai marginal dengan basis sosial yang sangat sempit dan jumlah pendukung yang sangat sedikit. Cara PKI menyelesaikan dilema itu tercermin di tingkat organisasi ketika partai berusaha membangun dukungan massa. Selain membangun tangan organisasi partai secara sistematis, guna membolisasi kaum buruh lewat SOBSI, PKI juga memobilisasi petani, intelektual kota, perempuan, kaum muda, dan bahkan berbagai jaringan berdasarkan garis etnis. Keputusan memperluas basis sosial ini memiliki resiko memperlemah ideology kelas dan mengaburkan batas-batas kelas dijlankan secara hati-hati. Langkah lain yang juga dijalankan adalah merayu kaum intelektual kota dan seniman. PKI mendirikan satu organisasi yang disebut Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kemudian mendirikan organisasi perempuan (Gerakan Wanita Indonesia-Gerwani), gerakan mahasiswa (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia –CGMI), dan nelayan yang digabung dengan Buruh Tani Indonesi –BTI. Berbagai ilustrasi itu memperlihatkan bahwa pengadopsian strategi lintas kelas atau lintas kelompok dijalankan PKI setelah mempertimbangkan jumlah kaum buruh terlalu kecil.

19 Kesimpulan yang bisa ditarik adalah;
Pertama: partai-partai politik pada masa 1950-an adalah para actor politik sesungguhnya yang memiliki dinamika sendiri dan bersifat otonom. Mereka mencoba mengubungkan diri dengan masyarakat dengan memobilisasi berbagai cleavage sosial yang ada. Kedua: tidak seperti cleavage yang lain, cleavage kelas relative kurang berkembang. Situasi ini pada akhirnya memunculkan masalah bagi partai-partai politik, khususnya PKI, dalam membangun basis-basis sosial mereka.

20


Download ppt "Universitas Persada Indonesia Y. A. I"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google