Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehHamdani Pranoto Telah diubah "6 tahun yang lalu
1
8/23/2018 HUKUM PIDANA Ira Alia Maerani, SH, MH Barda\I.Hk.Pid\HP-I
2
POKOK BAHASAN Pendahuluan: Pengertian Hukum Pidana, Sumber Hukum Pidana, Asas Hukum Pidana Masalah Pokok Hukum Pidana Tindak Pidana Kesalahan Kemampuan Bertanggung Jawab Kesengajaan Kealpaan Alasan Penghapus Pidana
3
NILAI NILAI MERUPAKAN DASAR BAGI NORMA.
NILAI = UKURAN YANG DISADARI ATAU TIDAK DISADARI OLEH SUATU MASYARAKAT ATAU GOLONGAN UNTUK MENETAPKAN APA YANG BENAR, YANG BAIK, DSB. NILAI LEBIH ABSTRAK DARIPADA NORMA.
4
NORMA / KAIDAH (=Ugeran, Prof Djojodigoeno)
NORMA = ANGGAPAN BAGAIMANA SESEORANG HARUS BERBUAT ATAU TIDAK HARUS BERBUAT
5
Kapan NORMA berlaku di masyarakat?
Apabila dalam masyarakat itu tdp FAKTOR-FAKTOR SOSIAL yang membuat anggota masyarakat itu bertindaklaku sesuai dengan NORMA itu.
6
Terhadap NON-CONFORMIST (seseorang yg tidak mau mengakui norma yang berlaku dalam sesuatu masyarakat dan bertindak bertentangan dg norma tsb), maka masyarakat mengadakan SANKSI. SANKSI POSITIF = HADIAH SANKSI NEGATIF = PIDANA
7
SANKSI FORMAL = DIRUMUSKAN, PASTI
SANKSI INFORMAL = Contoh disoraki teman-temannya ketika terlambat masuk kuliah.
8
SEBAGIAN DARI NORMA ADALAH NORMA HUKUM .
9
MASYARAKAT DENGAN ALAT PERLENGKAPANNYA DAPAT MEMAKSAKAN BERLAKUNYA.
DIKATAKAN NORMA HUKUM JIKA: MASYARAKAT DENGAN ALAT PERLENGKAPANNYA DAPAT MEMAKSAKAN BERLAKUNYA.
10
8/23/2018 PENGERTIAN HUKUM PIDANA Barda\I.Hk.Pid\HP-I
11
Pengertian Hukum Pidana
Hukum Pidana, disebut juga “Ius Poenale” yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman/ pidana/sanksi”.
12
Pengertian Hukum Pidana (Mezger)
Hukum Pidana merupakan aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. IHP terdiri dari: PERBUATAN, mencakup PERBUATAN yang dilarang dan ORANG yg melanggar PIDANA
13
Pengertian Hukum Pidana (Simons)
Keseluruhan larangan atau perintah yg oleh negara diancam dg nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati. Keseluruhan peraturan yg menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana Keseluruhan ketentuan yg memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana
14
Pengertian Hukum Pidana (Van Hamel)
Keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yg melanggar larangan tsb.
15
Pengertian Hukum Pidana Prof. Moeljatno
Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yg berlaku di suatu negara, yg mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk : 1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yg tidak boleh dilakukan, yg dilarang, dg disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tsb; Criminal Act
16
2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yg telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yg telah diancamkan ; Criminal Liability/ Criminal Responsibility 1) dan 2) = Substantive Criminal Law / Hukum Pidana Materiil Pidana
17
3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tsb. Criminal Procedure/ Hukum Acara
18
Pengertian Hukum Pidana Prof. Pompe
Hukum Pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu
19
Hukum Pidana dalam arti Subyektif
Hukum Pidana dalam arti subyektif, yang disebut juga “Ius Puniendi”, yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang”.
20
RESUME Di samping IUS POENALE ada IUS PUNIENDI.
Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Ius puniendi harus berdasarkan ius poenale (HK Pidana)
21
FUNGSI HUKUM PIDANA UMUM = mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat KHUSUS = melindungi kepentingan hukum thd perbuatan yang hendak memperkosanya dg sanksi yg berupa pidana yg sifatnya lebih tajam jk dibandingkan dg sanksi yg tdp pd cabang hukum lainnya.
22
Objek IHP Adalah Hukum Pidana
23
Tujuan Mempelajari Hk Pidana
Petugas hukum dapat menerapkan aturan-aturan Hukum Pidana secara tepat dan adil (Prof Sudarto, h. 21)
25
Pidana dirasakan sebagai sesuatu yang tidak enak, menyebabkan penderitaan (nestapa) sbg ultimum remidium (obat terakhir) oleh karena itu tidak boleh menjatuhkan pidana secara sembarangan. Penggunaannya harus dibatasi. Kalau masih ada jalan lain, jangan menggunakan Hukum Pidana.
26
Kritik Prof Moeljatno terhadap Yuridis Formal (1963)
1.Revolusi dalam bidang tata hukum menghendaki penghapusan dari segala hal yang sifatnya lapuk dan usang (KUHP) untuk diganti dengan yang segar bermanfaat dan progresif, maka jalan pikiran yang yuridis formal tadi hendaknya diganti dengan yang yuridis materiil dalam arti bahwa kata-kata yang dipakai dalam peraturan hendaknya ditafsirkan sehingga
27
makna peraturan menjadi sesuai sekali dan seirama dengan dinamika dan progresivitas masyarakat dimana peraturan tadi diharapka memberi manfaatnya. 2. kata-kata dalam peraturan adalah penting dan merupakan batasan untuk pengertian daripada isi peraturan. Tetapi batasan itu janganlah ditetapkan secara minimal
28
Artinya hanya mengingat norma atau wujudnya peraturan bahkan jika perlu diperluas sampai maksimal, sehingga aturan itu tidak langsung sebagai perintang setidaknya tanpa guna ke arah penyelesaian revolusi kita.
29
Nilai-Nilai Pokok dalam Hukum Pidana:
Keamanan Ketertiban Keadilan
30
KEAMANAN AMAN ialah suatu keadaan pribadi dengan perasaan bebas dari ketakutan akan kemungkinan adanya suatu bahaya atau berbagai hal yang tidak diinginkan.
31
KETERTIBAN TERTIB adalah suatu keadaan antar pribadi yang serba teratur dengan segala hal terjadi atau berlangsung menurut ukuran yang seharusnya.
32
KEADILAN Terdapat 2 pandangan:
Pandangan Awam (orang kebanyakan) KEADILAN ialah suatu nilai yang nampak sebagai keamanan dan ketertiban seseorang dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya dalam batas-batas yang dibenarkan hukum. Pada hakekatnya menjamin kebebasan individu untuk menggunakan hak dan melaksanakan kewajiban sekaligus membatasi kebebasan itu agar tidak mengganggu kebebasan dan kepentingan orang lain.
33
2. Pandangan dari sudut hukum
2. Pandangan dari sudut hukum. KEADILAN ialah suatu nilai yg mrpk titik keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum. Hakim di samping harus tegas (agar hukum itu pasti) juga bijaksana (agar hukum itu berlaku setimpal dg kesalahan pelaku masing-masing)
34
Fungsi Hukum Pidana: Sebagai alat pemaksa yg tegas thd semua orang dlm hidup bermasyarakat untuk tidak mengganggu keamanan dan ketertiban atau keadilan dlm kehidupan bermasyarakat ybs dg disertai sanksi negatif atau hukuman terhadap setiap pengganggunya.
35
Abad lahirnya materialisme; sekulerisme; legisme
8/23/2018 MOBIL KUNO/ANTIK KUHP (WvS) Berlaku di Indonesia (UU:1/1946 jo. UU:73/ 1958) Keluaran 1915 Buatan Belanda (Type : S. 1915:732) Code Penal Perancis 1791 Copy/tiruan WvS Belanda 1881 Code Penal Perancis 1810 Abad 18 Wajar diubah? UU Nas saja 2 – 10 th sdh diubah. Sudah 97 th (hampir 1 abad) dihitung dari 1915 Sudah memasuki 2 abad, dihitung dari 1881 Sudah memasuki 3 abad, dihitung dari 1791 Abad 19 Abad lahirnya materialisme; sekulerisme; legisme Barda\I.Hk.Pid\HP-I
36
Prof. Sudarto : Primair : Policing society
8/23/2018 Prof. Sudarto : Primair : Policing society Umum : Mengatur hidup kemasyarakatan Peters : “the juridische taak van het strafrecht” (the juri-dical task of criminal law). FUNGSI HK PID. Sekunder : Policing the Police Khusus : Melindungi Kepentingan Hk (Rechtsgüterschutz) Membatasi “kekuasaan apa”? Barda\I.Hk.Pid\HP-I
37
KUHP dan Sejarahnya Andi Hamzah - Jaman VOC - Jaman Hindia Belanda
- Jaman Jepang - Jaman Kemerdekaan Utrecht -Jaman VOC -Jaman Daendels -Jaman Raffles -Jaman Komisaris Jenderal -Tahun -KUHP tahun sekarang
38
Jaman VOC Statuten van Batavia Hk. Belanda kuno Asas2 Hk. Romawi
Di daerah lainnya berlaku Hukum Adat mis. Pepakem Cirebon
39
Jaman Hindia Belanda Dualisme dalam H. Pidana
1. Putusan Raja Belanda 10/2/1866 (S.1866 no.55) > Orang Eropa 2. Ordonnantie 6 Mei 1872 (S.1872) --> Orang Indonesia & Timur Asing Unifikasi : Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie - Putusan Raja Belanda 15/10/1915 Berlaku 1/1/1918 disertai - Putusan Raja Belanda 4/5/1917 (S.1917 no. 497) : mengatur peralihan dari H. Pidana lama --> H. Pidana baru.
40
Jaman Jepang WvSI masih berlaku
Osamu Serei (UU) No. 1 Tahun 1942, berlaku 7/3/1942 H. Pidana formil yang mengalami banyak perubahan
41
Jaman Kemerdekaan (1) UUD 1945 Ps. II Aturan Peralihan
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini
42
Jaman Kemerdekaan (2) UU No. 1 Tahun 1946 : Penegasan tentang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia Berlaku di Jawa-Madura (26/2/1946) PP No. 8 Tahun 1946 : Berlaku di Sumatera UU No. 73 Tahun 1958 : “ Undang-undang tentang menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah RI dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”
43
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA DI INDONESIA
TERTULIS KUHP (beserta UU yang merubah & menambahnya) UU Pidana di luar KUHP Ketentuan Pidana dalam Peraturan perundang-undangan non-pidana TIDAK TERTULIS Hukum Pidana Adat. Untuk beberapa daerah masih harus diperhitungkan juga. MvT (Memorie van Toelicting) = Memori Penjelasan KUHP
44
KUHP Buku I : Aturan Umum (ps 1 – ps 103)
Pasal 103 Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku I juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain Buku II : Kejahatan (ps 104 – 488) Buku III : Pelanggaran (ps 489 – 569)
45
Beberapa UU yang merubah & menambah KUHP (1)
UU No.1/1946 : berlakunya KUHP, perubahan beberapa istilah, penghapusan beberapa pasal, penambahan pasal-pasal baru : Bab IX - XVI UU No. 20/1946 : tambahan jenis pidana Ps 10 a KUHP --> pidana Tutupan UU drt No. 8/1955 : menghapus Ps 527 UU No. 73/1958 : menyatakan UU No. 1/1946 berlaku di seluruh Indonesia, tambahan Ps 52a, 142a, 154a UU drt No. 1/1960 : menambah ancaman pidana dari Ps 188, 359, 360 menjadi 5 Tahun penjara atau 1 tahun kurungan
46
Beberapa UU yang merubah & menambah KUHP (2)
Perpu No. 16/1960 : penambahan nilai terhadap beberapa kejahatan ringan : Ps 364, 373, 379, 384, 407 (1) Perpu No. 18/1960 : pidana denda dilipatgandakan 15 X UU No. 1/PNPS/1965 : tambahan Ps 156 a UU No. 7/1974 : tambahan sanksi untuk judi Ps 303 menjadi 10 juta & denda 25 juta, Ps 542 (1) menjadi Kejahatan, Ps 303 bis pidana menjadi 4 tahun, denda 10 juta. UU No. 4/1976 perubahan dan penambahan tentang Kejahatan penerbangan : Ps 3, Ps 4 angka 4, Ps 95a, 95b,95c, Bab XXIX A. UU No. 20/2001 : menghapus pasal-pasal tentang korupsi dari KUHP
47
PEMBAHARUAN PARSIAL KUHP (WvS)
8/23/2018 PEMBAHARUAN PARSIAL KUHP (WvS) NO UU M A T E R I 1. UU No. 1/1946 Mengubah nama “WvS voor Ned. Indie” menjadi “WvS” dan disebut dgn. nama KUHP (Psl. VI); Menghapus Pasal 94 Bab IX Buku I KUHP tentang pe-ngertian istilah “kapal Belanda” (“Nederlandsche schepen”) ; mengubah & mencabut beberapa pasal Buku II (Psl. VIII); 2. UU No. 20/1946 (Pasal 1) Menambah pidana pokok baru dalam Pasal 10 sub a KUHP dengan pidana tutupan; 3 UU No. 8/1951 menambah Psl. 512a (menjalankan pekerjaan dokter/dokter gigi tanpa surat izin); 4. UU No. 73/1958 (Pasal II) Menambah Pasal 52a (pemberatan pidana karena melakukan kejahatan dengan menggunakan bendera kebangsaan); Menambah Psl. 142a (menodai bendera kebangsa-an negara sahabat); Menambah Psl. 154a ( menodai bendera kebang-saan & lambang negara RI) Barda\I.Hk.Pid\HP-I
48
8/23/2018 NO UU M A T E R I 5 UU No. 1/1960 mengubah ancaman pidana utk. delik-delik culpa dlm. Psl. 188, 359, 360 (menjadi maksium 5 th penjara atau 1 th. kurungan) 6 UU No. 16 Prp. 1960 mengubah kata-kata “vijf en twintig gulden” dalam Psl. 364, 373, 379, 384, 407:1 menjadi Rp. 250,- 7 UU No. 18 Prp. 1960 melipatgandakan 15 x denda dlm. KUHP dan ketentuan lainnya sebelum tgbl dan dibaca dalam rupiah; Perma No. 2/2012 : denda dlm KUHP x 8 UU No. 1 Pnps. 1965 memasukkan Psl. 156a ttg. delik penodaan agama; 9 UU NO. 7/1974 Mengubah ancaman pidana delik perjudian dlm. Psl dan 542; Mengubah sebutan Psl menjadi Psl. 303 bis. Barda\I.Hk.Pid\HP-I
49
PEMBAHARUAN PARSIAL KUHP (WvS)
8/23/2018 PEMBAHARUAN PARSIAL KUHP (WvS) 10. UU No. 4/ 1976 Mengubah : Pasal 3 KUHP (perluasan asas teritorial ke pesawat udara) dan Pasal 4 ke-4 KUHP (perluasan asas universal ke beberapa kejahatan penerbangan); Menambah : Pasal 95a (tentang pengertian “pesawat udara Indonesia”), Pasal 95b (tentang pengertian “dalam penerbangan”), dan Pasal 95c (tentang pengertian “dalam dinas”); Bab XXIX A (Psl. 479 a s/d r) ttg. kejahatan penerbangan. Barda\I.Hk.Pid\HP-I
50
Menyatakan tidak berlaku lagi Pasal 45, 46, dan 47 KUHP.
8/23/2018 NO UU M A T E R I 11. UU No. 3/1997 (Pasal 67) Menyatakan tidak berlaku lagi Pasal 45, 46, dan 47 KUHP. 12 UU No. 27/1999 Menambah Psl. 107a s/d f KUHP 13 UU No. 20/2001 (Psl. 43 B) menyatakan tidak berlaku pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435 KUHP. 14 UU 21/2007 (Ps. 65) Mencabut & menyatakan tdk berlaku lagi Psl. 297 dan 324 KUHP 15 PERMA No. 2/2012 Psl. 1 : Kata-kata "dua ratus puluh lima rupiah " dalam pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp ,00 Psl. 3 : semua max denda di x 1.000 Barda\I.Hk.Pid\HP-I
51
8/23/2018 RESUME Aturan umum Buku I KUHP tidak mengalami perubahan yang mendasar, karena asas-asas/prinsip-prinsip umum (“general principle”) hukum pidana dan pemidanaan yang ada dalam KUHP masih seperti WvS Hindia Belanda. Masih sangat relevan pernyataan 40 tahun yang lalu dari Tim Penyusun Konsep Pertama Buku I KUHP Baru tahun yang menyatakan di dalam "penjelasan umum" nya, bahwa : Walaupun UU No. 1 tahun 1946 telah berusaha untuk disesuaikan dengan suasana kemerdekaan, namun pada hakikatnya asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana masih tetap dilandaskan pada ilmu hukum pidana dan praktek hukum pidana kolonial; Pada hakikatnya asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana kolonial masih tetap bertahan dengan selimut dan wajah Indonesia. Barda\I.Hk.Pid\HP-I
52
UU Pidana di luar KUHP UU Anti Subversi, UU No. 11/PNPS/1963 (Sudah dihapus) UU Pemberantasan T.P. Korupsi, UU No. 20/2001 jo UU No. 31/1999 UU Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 7/drt/1955 Perpu 1/2002 UU 15/2003 Anti Terorisme UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)
53
Contoh UU non pidana yang memuat sanksi pidana
UU Lingkungan UU Pers UU Pendidikan Nasional UU Perbankan UU Pajak UU Partai Politik UU pemilu UU Merek UU Kepabeanan UU Pasar Modal
54
Pembagian Hukum Pidana
Hukum Pidana Materiil (Hukum Pidana) Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana)
55
Hukum Pidana Materiil 1. Hukum Pidana Materiil.
Hukum Pidana Materiil berisikan peraturan- peraturan tentang : perbuatan yang diancam dengan hukuman ; mengatur pertanggungan jawab terhadap hukum pidana ; hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Produk Hukumnya: KUHP
56
Hukum Pidana Formil 2. Hukum Pidana Formil.
Hukum Pidana Formil merupakan sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan haknya untuk mengadili serta memberikan putusan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Produk Hukumnya: KUHAP
57
Ruang Lingkup Hukum Pidana
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab.
58
Ruang Lingkup Hukum Pidana
Jadi unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu : Sikap tindak atau perikelakuan manusia ; Masuk lingkup laku perumusan kaedah hukum pidana (pasal 1 ayat 1 KUHP) yang berbunyi : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”; Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran ; Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan.
59
Sikap Tindak Yang Dapat Dikenai Sanksi
Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai sanksi adalah: Perilaku manusia ; Bila seekor singa membunuh seorang anak rnaka singa tidak dapat dihukum. Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut melanggar hukum, misalnya anak yang bermain bola menyebabkan pecahnya kaca rumah orang. Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya kaca jendela rumah orang tersebut tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan menimbulkan kerugian orang lain. Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap tindak tersebut.Orang yang memecahkan kaca tersebut adalah orang yang sehat dan bukan orang yang cacat mental.
60
Dilihat dari perumusannya, maka peristiwa pidana/delik dapat dibedakan dalam :
1. Delik formil. Tekanan perumusan delik ini ialah sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya. Misalnya pasal 297 KUHP: “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. 2. Delik materiil. Tekanan perumusan delik ini adalah akibat dari suatu sikap tindak atau perikelakuan. Misalnya pasal 359 KUHP : “Barang siapa karena kelalaiannya, menyebabkan matinya seseorang...”
61
Hukum Pidana Umum & Khusus
H. Pidana Umum 1. H.Pidana non militer 2. KUHP & UU yg merubah & menambahnya 3. H. Pidana yg. Berlaku umum H. Pidana Khusus 1. H. Pidana militer 2. TPE,TPK,TPS, H.Pid. militer, H.Pid. Fiskal 3. UU non pidana yg. Bersanksi pidana
62
Asas-Asas Berlakunya KUHP
1.Asas teritorial atau Wilayah. Asas ini mengatur mengenai “tempat terjadinya tindak pidana”. Terdapat dalam pasal 2 dan 3 KUHP. Pasal 2 KUHP : “Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di wilayah Indonesia”. Pasal 3 KUHP : “Ketentuan pidana per-UU-an Indonesia berlaku bagi setiap orang yang berada di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia (telah diubah dg UU No.4 / 1976).
63
Asas-Asas Berlakunya KUHP
2. Asas Nasionalitas Aktif (Personalitas). Peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap WNI, yg melakukan tindak pidana baik di dalam negeri, maupun di luar negeri. (Lihat Pasal 5 dan 6 KUHP)
64
Pasal 5 berbunyi “Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang diluar Indonesia melakukan salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut peraturan perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana”.
65
Asas-Asas Berlakunya KUHP
3. Asas Nasionalitas Pasif (Asas Perlindungan) Memuat prinsip bahwa peraturan pidana Indonesia berlaku thd Tindak Pidana yg menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik itu dilakukan oleh WNI atau bukan, yg dilakukan di luar Indonesia.
66
Kejahatan tersebut dibagi dalam 5 kategori:
Kejahatan thd keamanan negara dan martabat Presiden (Ps 4 sub 1). Kejahatan ttg materai atau merk (Ps 4 sub 2) Pemalsuan surat hutang .... (Ps 4 sub 3) Kejahatan jabatan dlm BAB XXVIII buku II yg dilakukan oleh pegawai negeri Indonesia di luar negeri (Ps 7) Kejahatan Pelayaran dlm BAB XXIX buku II. (Ps 8)
67
Asas-Asas Berlakunya KUHP
4. Asas Universal (asas “der Weltrechtspflege”) berlaku thd TP baik itu dilakukan di dalam negeri atau di luar negeri, baik dilakukan oleh WNI atau WNA. Kepentingan yg dilindungi adalah kepentingan internasional. Dasar hukumnya adalah kepentingan hukum seluruh dunia (Lihat Ps 4 sub 2 dan 4).
68
ASAS LEGALITAS Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali", artinya tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam per-UU-an yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang merupakan asas legalitas.
69
Pasal 1 KUHP (1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. (2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan .
70
ASAS YG TERCAKUP DLM PASAL 1 (1) KUHP
Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali : Tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yg terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yg dapat dijatuhkan atas delik itu
71
Asas-asas dalam Pasal 1 ayat (1 ) KUHP
1. Asas Legalitas 2. Asas Larangan berlaku surut 3. Asas Larangan penggunaan Analogi
72
ASAS LARANGAN BERLAKU SURUT
Undang-undang pidana berjalan ke depan dan tidak ke belakang : X UU Pidana
73
Larangan berlaku surut (dan pengecualiannya) dalam berbagai ketentuan
Nasional Ps 28i UUD 1945 Ps 18 (2) dan Ps 18 (3) UU No. 39 Tahun 1999 Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000 Perpu 1/2002 & 2/2002 UU 15/2003 ; UU 16/2003 Internasional Ps 15 (1) dan (2) ICCPR Ps 22, 23, dan 24 ICC
74
Ps 28i UUD 1945 “… hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
75
UU No. 39/ 1999 ttg HAM Ps 18 (2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan Ps 18 (3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka
76
UU No. 26/ 2000 ttg Pengadilan HAM (bisa berlaku surut ?)
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yg berat yg terjadi sebelum diundangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul DPR Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dg. Keputusan presiden. Penjelasan Ps 43 (2) “ Dalam hal DPR Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yg dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yg terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
77
UU Anti Terorisme dan Putusan MK
MK membatalkan ketentuan berlaku surut dalam UU Anti Terorisme krn bertentangan dengan UUD 1945
78
8/23/2018 MASALAH POKOK HUKUM PIDANA Barda\I.Hk.Pid\HP-I
79
Criminal resposibility
8/23/2018 MASALAH POKOK HP Materiel SISTEM HP MATERIEL/SUBSTANTIF PERBUATAN (TINDAK PIDANA) ORANG (KESALAHAN/PJP) PIDANA (SANKSI) Strafbaar feit Criminal Act Actus Reus Schuld Criminal resposibility Mens rea Straf Punishment Poena Barda\I.Hk.Pid\HP-I
80
SYARAT PEMIDANAAN = + TUJUAN PIDANA PIDANA Tindak Pidana Kesalahan
8/23/2018 SYARAT PEMIDANAAN TUJUAN PIDANA PIDANA Tindak Pidana Kesalahan (PJP) = + + Perbuatan Memenuhi UU SMH Td. Ada Alsn Pembenar KBJ Dolus/Culpa Td. Ada Alsn. Pemaaf Barda\I.Hk.Pid\HP-I
81
SYARAT/ASAS PEMIDANAAN
8/23/2018 SYARAT/ASAS PEMIDANAAN TUJUAN PIDANA PIDANA Tindak Pidana Kesalahan (PJP) = + + DAAD (Unsur Objektif) DADER (Unsur Subjektif) Asas LEGALITAS (Kemasyarakatan) Asas CULPABILITAS (Kemanusiaan) Alsn Pembenar Alsn Pemaaf Barda\I.Hk.Pid\HP-I
82
8/23/2018 TINDAK PIDANA Barda\I.Hk.Pid\HP-I
83
PERISTILAHAN Indonesia : Belanda : strafbaar feit
8/23/2018 PERISTILAHAN Indonesia : Tindak pidana; Perbuatan pidana; Peristiwa pidana; Delik. Belanda : strafbaar feit Inggris : criminal act; criminal offence; crime; Latin : actus reus; delictum; Barda\I.Hk.Pid\HP-I
84
MONISTIK DUALISTIK TP : keseluruhan syarat pemidanaan;
8/23/2018 MONISTIK TP : keseluruhan syarat pemidanaan; menyatukan unsur objektif (patut dipidananya perbuatan) & unsur subjektif (patut dipidananya orang); Pidana = TP DUALISTIK TP : sebagian syarat pemidanaan; Memisahkan TP & PJP (Kesalahan) TP : hanya unsur objektif/lahiriah; Pidana = TP + PJP (Kesalahan) Perbuatan Memenuhi UU Ber-SMH KBJ Dolus/culpa PJP (Keslhn): KBJ Dolus/cul- pa Tdk. ada Alsn. Pem- aaf TP : Perbuatan Memenu- hi UU SMH Barda\I.Hk.Pid\HP-I
85
SIFAT MELAWAN HUKUM Ajaran SMH Formal MH = melawan UU
8/23/2018 SIFAT MELAWAN HUKUM Ajaran SMH Formal MH = melawan UU Alasan hapusnya smh (alsn. Pembenar) : hanya berdasar UU. Ajaran SMH Materiel MH = melawan UU & hk tidak tertulis (hk. Yg hidup); Alasan pembenar : berdasr UU & hk tdk tertulis; Fungsi negatif : hal-hal di luar UU dpt. menghapus (menega-sikan) smh-nya perbuatan; Fungsi positif : hkm di luar UU dpt digunakan sbg dasar/sbr hkm positif utk. menyatakan perbuatan ber-smh (sbg. TP). Barda\I.Hk.Pid\HP-I
86
JENIS TINDAK PIDANA Pembagian juridis : 1) Kejahatan & 2) Pelanggaran;
8/23/2018 JENIS TINDAK PIDANA Pembagian juridis : 1) Kejahatan & 2) Pelanggaran; merupakan “kualifikasi juridis”; ada “konsekuensi juridis”nya yang berbeda. Pembagian teoritik/keilmuan : - Dari sdt. Perbuatan : 1) delik commissionis; 2) delik omissionis; 3) Commisionis per ommisionim commissa Dari sdt. Sikap batin: 1) Delik dolus; 340, 187 2) delik culpa; 359, 197 3) delik pro-parte dolus, pro-parte culpa; Dari sdt. titik berat formulasi : 1) delik formal; 2) delik materiel; 338(berdasarkan akibat dr kjht) Dari sdt. proses penuntutan : 1) delik biasa; 2) delik aduan. Delik aduan absolut : 284 (2), 310, 332 Delik aduan relatif : 367, 376, 394, 411 Barda\I.Hk.Pid\HP-I
87
KUALIFIKASI DELIK Kualifikasi delik adalah nama/sebutan/ penggolongan jenis tindak pidana. Ada 2 (dua) pembagian kualifikasi delik : Kualifikasi juridis, yaitu “kualifikasi resmi/formal” yang ditetapkan oleh pembuat UU dan mempunyai “konsekuensi/akibat juridis” tertentu. Kualifikasi “non-juridis” atau kualifikasi teoritik/ilmiah/ keilmuan, yaitu kualifikasi (nama/sebutan/jenis delik) menurut teori atau pendapat para sarjana atau menurut istilah umum.
88
KUALIFIKASI JURIDIS “kualifikasi resmi/formal” yang ditetapkan oleh pembuat UU dan mempunyai “konsekuensi/akibat juridis (materiel & formal)” tertentu. penentuan kualifikasi juridis mengan-dung fungsi : harmonisasi kesatuan sistem. “menjembatani” berlakunya aturan umum KUHP ke UU Khusus
89
KUALIFIKASI NON-JURIDIS (KUALIFIKASI TEORITIK/ILMIAH)
yaitu kualifikasi (nama/sebutan/jenis delik) menurut teori atau pendapat para sarjana atau menurut istilah umum. Kualifikasi/Sebutan non-juridis ini cukup banyak, antara lain : Dari sudut perbuatan : 1) delik commissionis; 2) delik omissionis; 3) delik commissionis per omissionem commissa (atau disebut juga “delik omisi tidak murni”- oneigenlijke omissie-delicten atau “delicta commissiva per omissionem”). Dari sudut unsur subjektif (sikap batin): 1) Delik dolus; 2) delik culpa; 3) delik pro-parte dolus, pro-parte culpa; Dari sudut titik berat formulasi : 1) delik formal; 2) delik materiel; Dari sudut proses/kewenangan penuntutan : 1) delik biasa; 2) delik aduan (absolut atau relatif). Dari sudut aspek tertentu/sudut pandang masyarakat : delik politik, delik ekonomi, delik kesusilaan/pornografi, delik agama, delik administrasi, kejahatan biasa (ordinary crime) dan luar biasa (extra ordinary crime), white collar crime, top-hat crime, cyber crime, hitech crime, dsb.
90
(Petty/summary offences)
8/23/2018 ISTILAH KEJAHATAN PELANGGARAN Misdrijven Overtredingen Serious Offence Less Serious Offence (Petty/summary offences) Felony Misdemeanor Zbrodnia Wijstepek Mala in se (mala per se) Mala (quia) prohibita Intrinsically wrong Legally wrong Rechtsdelict Wetsdelict Barda\I.Hk.Pid\HP-I
91
SUMBER/DASAR HUKUM PENENTUAN TINDAK PIDANA
8/23/2018 SUMBER/DASAR HUKUM PENENTUAN TINDAK PIDANA KUHP (WvS) hanya merumuskan dasar legalisasi (landasan juridis), kapan suatu perbuatan dinyatakan sebagai “tindak pidana”; tidak memberikan “batasan/pengertian juridis”. Pasal 1 LANDASAN JURIDIS (LEGALITAS) : KONSEP KUHP Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesa daran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat me-lawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. PENGERIAN JURIDIS (Psl. 11) Barda\I.Hk.Pid\HP-I
92
ASAS LEGALITAS (PSL. 1 KUHP)
8/23/2018 ASAS LEGALITAS (PSL. 1 KUHP) Pasal 1 ayat 1 KUHP : Asas “nullum delictum sine lege” (dikenal dg “asas legalitas”). Asas “lex temporis delicti” Asas “non retro-aktif”; Pasal 1 ayat 2 KUHP : Penyimpangan asas non-retroaktif; Bisa “berlaku surut”, apabila : Ada perubahan perundang-undangan; Perubahan itu menguntungkan terdakwa. Barda\I.Hk.Pid\HP-I
93
PASAL 1 KUHP Dapat RETROAKTIF, apabila : Ada perubahan UU
8/23/2018 PASAL 1 KUHP PN PT MA LTD (Psl. 1:1) UU LAMA UU BARU UU BARU UU BARU UU BARU TP Psl. 1:2 Dapat RETROAKTIF, apabila : Ada perubahan UU Perubahan itu menguntung- kan TERDAKWA. TDK BISA RETRO- AKTIF Barda\I.Hk.Pid\HP-I
94
SUMBER HUKUM TIDAK TERTULIS (HK. PIDANA ADAT)
8/23/2018 SUMBER HUKUM TIDAK TERTULIS (HK. PIDANA ADAT) Bertolak dari Psl. 1 (1) KUHP: hukum tidak tertulis, bukan sumber hukum; Namun diakui sbg sumber hukum, di dalam : Psl. 5:3 sub b UU No. 1 Drt. 1951; Psl. 25 (1) UU :4/2004 (dulunya Psl. 23 UU:14/70 jo. UU : 35/1999) : Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Psl. 18B (2) UUD’45 – amandemen ke-2. Barda\I.Hk.Pid\HP-I
95
ASAS LEGALITAS PERKEMBANGAN DI LUAR KUHP sbg masalah sbg masalah
8/23/2018 ASAS LEGALITAS PERKEMBANGAN DI LUAR KUHP sbg masalah “sumber hukum” sbg masalah “ruang berlakunya HP” Hk Adat (hk yg hidup) menjadi sumber hukum : UU No. 1 Drt/1951; UU Keks. Kehak. No. 19/1964; UU Keks. Kehak. No. 14/70 jo. No. 35/1999; UU Keks. Kehak.No. 4/2004; Pasal 18B (2) UUD’45 (aman- demen ke-2/2000) RETRO AKTIF diberlakukan terhadap : pelanggaran HAM berat / ke- jahatan kemanusiaan : - "penjelasan Psl. 4" UU:39/'99 - Psl. 43 UU:26/2000 terorisme (Perpu No. 2/2002 jo. UU No. 16/2003) Dinyatakan tdk mempunyai kekuatan hukum mengikat Put. MK No.: 013/PUU-I/2003, Barda\I.Hk.Pid\HP-I
96
PERKEMBANGAN SUMBER HP DI INDONESIA
8/23/2018 PERKEMBANGAN SUMBER HP DI INDONESIA HP TERTULIS (dg induk WvS) HK. ADAT HP TERTULIS HP ADAT (Tdk. tertulis) Zmn. penjajahan Zmn. kemerdekaan Pra penjajahan HP Adat dimatikan/ ditenggelamkan Dimunculkan dgn. : UU: 1 Drt. 1951 UU: 19/1964 UU: 14/70 jo. No. 35/1999; UU: 4/2004 UUD’45 amandemen-2/2000 Barda\I.Hk.Pid\HP-I
97
“NO LIABILITY WITHOUT UNLAWFULNESS”
8/23/2018 PERKEMBANGAN ASAS “NO LIABILITY WITHOUT UNLAWFULNESS” AVAW DALAM KUHP DI LUAR KUHP tidak dimasukkan sebagai asas umum Buku I; tersimpul dari perumusan delik di Buku II; terkesan sebagai asas APP formal; lebih menekankan SMH ma- teriel dalam fungsinya yang negatif. Dalam UU TPK (3/’71; 31/’99 Jo. 20/2001) : SMH Materiel dalam fungsi- nya yang positif, dengan kriteria dipandang sebagai “perbuatan tercela” karena : tidak sesuai dengan rasa keadilan; atau tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial. PUT. MK 2006 (Td memp kekt mengikat) Barda\I.Hk.Pid\HP-I
98
Tindak Pidana (1) Istilah, Definisi, & jenis2 Tindak Pidana
Subyek Tindak Pidana Cara merumuskan & Unsur-unsur Tindak Pidana
99
Tindak Pidana (2) Istilah
Strafbaar feit Perbuatan pidana Peristiwa pidana Tindak pidana Delict / Delik Criminal act Jinayah
100
Tindak Pidana (3) Definisi
Simons : “kelakuan yg diancam dg pidana, yg bersifat melawan hukum yg berhubungan dg kesalahan & dilakukan oleh orang yg mampu bertanggung jawab” Van Hamel : “kelakuan manusia yg dirumuskan dalam UU, melawan hukum, yg patut dipidana & dilakukan dg kesalahan” Vos : “suatu kelakuan manusia yg oleh per UU an diberi pidana; jadi suatu kelakuan manusia yg pada umumnya dilarang & diancam dengan pidana”
101
Tindak Pidana (4) Pembagian Tindak Pidana (Jenis Delik)
Delik Kejahatan & Delik pelanggaran Delik Materiil & Delik Formil Delik Komisi & Delik Omisi Delik Dolus & Delik Culpa Delik Biasa & Delik Aduan Delik yg Berdiri sendiri & Delik Berlanjut Delik Selesai & Delik yg diteruskan Delik Tunggal & Delik Berangkai Delik Sederhana & Delik Berkualifikasi; Delik Berprivilege Delik Politik & Delik Komun (umum) Delik Propia & Delik Komun (umum) Pembagian delik menurut kepentingan yg dilindungi : Lihat judul-judul bab pada Buku II dan Buku III KUHP
102
Jenis Delik (1) Kejahatan Pelanggaran (misdrijf) (overtreding)
dlm. MvT : sebelum ada UU sudah dianggap tidak baik (recht-delicten) Hazewinkel-Suringa : tidak ada perbedaan kualitatif, hanya perbedaan kuantitatif a) Percobaan : dipidana b) Membantu : dipidana c) Daluwarsa : lebih panjang d) Delik aduan : ada e) Aturan ttg Gabungan berbeda KUHP : Buku II Pelanggaran (overtreding) dlm MvT : baru dianggap tidak baik setelah ada UU (wet delicten) Perbedaan dg kejahatan: a) Percobaan : tidak dipidana b) Membantu : tidak dipidana c) Daluwarsa : lebih pendek d) Delik aduan : tidak ada e) Aturan ttg Gabungan berbeda KUHP : Buku III
103
Jenis Delik (2) D. Formil : yang dirumuskan bentuk perbuatannya --> Ps 362, Ps 263, dll D. Omisi : melakukan delik dg perbuatan pasif a) D. Omisi murni : melanggar perintah dg tidak berbuat, mis. Ps 164, Ps 224 KUHP b) D. Omisi tak murni : melanggar larangan dg tidak berbuat, mis Ps 194 KUHP D. Culpa : Delik dilakukan dg kealpaan, mis. Ps 359, Ps 360 D. Materiil : Yang dirumuskan akibatnya --> Ps 338, Ps 187, dll D. Komisi : melanggar larangan dg perbuatan aktif D. Dolus : delik dilakukan dg sengaja, mis. Ps 338, Ps 351
104
Jenis Delik (3) D. Biasa : penuntutannya tidak memerlukan pengaduan, mis. Ps 340, Ps 285 D. Aduan : penuntutannya memerlukan pengaduan, mis. Ps 310, Ps 284
105
Tindak Pidana (5) Subyek
KORPORASI, BADAN HUKUM UU TPE UU Pemberantasan T.P. Korupsi Draft RUU KUHP adanya kebutuhan untuk memidana korporasi Korporasi ? Ps. 169, 398, 399 KUHP Badan hukum ? Ps. 59 KUHP. Subyek TP adl manusia. MANUSIA (natuurlijk personen) a) syarat merumuskan : “Barangsiapa ….” b) hukuman : mati, penjara, kurungan, dll (Ps 10 KUHP) c) Hukum Pidana disandarkan pada kesalahan orang
106
Tindak Pidana (6) Cara Merumuskan Tindak Pidana
Disebutkan unsur-unsurnya & disebut kualifikasinya --> mis, Ps 362 KUHP disebutkan kualifikasinya tanpa disebut unsur-unsurnya --> mis. Ps 184, Ps 297, Ps 351 disebutkan unsur-unsurnya, tidak disebut kualifikasinya --> mis. Ps 106, Ps 167, Ps 209
107
Tindak Pidana (6) Unsur-unsur (van Bemmelen)
Di dalam perumusan (bagian) dimuat dalam surat dakwaan semua syarat yg dimuat dalam rumusan delik merup-akan bagian-bagian, sebanyak itu pula, yg apabila dipenuhi membuat tingkah laku menjadi tindakan yg melawan hukum 1. Tingkah laku yg dilarang 2. Bagian subyektif : kesalahan, maksud, tujuan, niat, rencana, ketakutan 3. Bagian obyektif : secara melawan hukum, kausalitas, bagian2 lain yg menentukan dapat dikenakan pidana (syarat tambahan; keadaan) 4. Bagian yg mempertinggi dapatnya dikenakan pidana Di luar perumusan (unsur) : syarat dapat dipidana 1. Secara melawan hukum 2. Dapat dipersalahkan 3. Dapat dipertanggung jawabkan
108
Tindak Pidana (7) Unsur-unsur (Prof. Moeljatno)
a. kelakuan dan akibat ( = perbuatan) b. hal ikhwal atau keadaan yg menyertai perbuatan c. keadaan tambahan yg memberatkan d. unsur melawan hukum yg obyektif e. unsur melawan hukum yg subyektif
109
Unsur-Unsur Tindak Pidana: (Simons)
Perbuatan manusia Diancam dengan pidana Melawan hukum Dilakukan dengan kesalahan Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
110
Tindak pidana (8) Unsur-unsur
Unsur2 dalam perumusan A. Unsur Obyektif - perbuatan (aktif/pasif) - akibat - melawan hukum - syarat tambahan - keadaan B. Unsur Subyektif - kesalahan : (a) sengaja (b) kealpaan Unsur2 di luar perumusan - secara melawan hukum - dapat dipersalahkan - dapat dipertanggungjawab kan
111
Contoh unsur2 dalam rumusan tindak pidana (1)
Pasal 362 KUHP barangsiapa mengambil barang - yg sebagian/ seluruhnya kepunyaan orang lain dengan maksud memiliki secara melawan hukum Pasal 338 KUHP barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain
112
Contoh unsur2 dalam rumusan tindak pidana (2)
Pasal 285 barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan Pasal 259 barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati
113
Kategorisasi Tindak Pidana
Menurut Doktrin, tindak pidana dapat berupa : Dolus dan Culpa : Dolus/sengaja adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja agar terjadi suatu delik. (Pasal 338 KUHP) ; Culpa/tidak disengaja adalah terjadinya delik karena perbuatan yang tidak disengaja atau karena kelalaian. (Pasal 359 KUHP).
114
Kategorisasi Tindak Pidana
Delik Materiil dan Delik formil dalam perumusan delik. 1. Delik materiil yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang/diancam pidana oleh undang-undang. Contoh: Delik materiil yaitu Pasal 360 KUHP berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”. 2. Delik formil yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang/diancam pidana oleh undang-undang. Contoh: Delik formil yaitu pada Pasal 362 KUHP berbunyi . “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”;
115
Kategorisasi Tindak Pidana
Comisionis Omisionis Comisionis Peromisionim Commisa Comisionis adalah Terjadinya delik karena melanggar larangan (Ps. 338 KUHP)
116
Omisionis adalah terjadinya delik karena seseorang melalaikan suruhan/tidak berbuat.
Contoh : Pasal 164 KUHP yang berbunyi : “Barang siapa mengetahui ada sesuatu permufakatan untuk kejahatan ... sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan tentang itu kepada... dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan dengan pidana penjara...., Ps. 224 KUHP (dipanggil menjadi saksi)
117
Comisionis peromisionim Commisa yaitu tindak pidana yang pada umumnya dilaksanakan dengan perbuatan, tapi mungkin terjadi pula bila tidak berbuat. Contoh : Pasal 341 KUHP yang berbunyi : “Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”, 304 (membiarkan orang lain sengsara)
118
Bentuk-bentuk Tindak Pidana
CONSPIRACY = PERMUFAKATAN JAHAT (Ps. 110 KUHP) PREPARETION = PERSIAPAN ATEMPT = PERCOBAAN CRIMINAL ACT = TINDAK PIDANA COMPLICITY (PARTICIPATION OF CRIME) = PENYERTAAN CONCURSUS = PERBARENGAN RECIDIVE = PENGULANGAN
119
8/23/2018 KESALAHAN Barda\I.Hk.Pid\HP-I
120
KESALAHAN Pengertian 1. Dapat dipersalahkan
2. Arti luas : Dolus & culpa 3. Arti sempit : culpa
121
8/23/2018 PENGERTIAN KESALAHAN Dlm arti luas : sama dg “pertanggungjawaban dalam HP” dapat dicelanya (“pencelaan”) si pembuat atas perbuatannya; Barda\I.Hk.Pid\HP-I
122
PENGERTIAN KESALAHAN 2) Dlm arti juridis (bentuk-bentuk kesalahan) :
Kesengajaan (dolus); Kealpaan (culpa); 3) Dlm arti sempit : kealpaan (culpa)
123
KESALAHAN DALAM ARTI LUAS
8/23/2018 KESALAHAN DALAM ARTI LUAS Mengandung unsur : KBJ (kemampuan bertanggung jawab); keadaan jiwa yang normal; Hubungan batin (subjektif) dg perbuatannya, berupa : dolus atau culpa; Tidak ada alasan pemaaf / Tidak ada alasan penghapus kesalahan. Barda\I.Hk.Pid\HP-I
124
Culpa (1) Istilah2 Culpa (dalam arti luas) : berarti kesalahan pada umumnya Culpa (dalam arti sempit) : bentuk kesalahan yg berupa kealpaan Istilah2 : - culpa - schuld - nalatigheid – sembrono - teledor istilah 2 yg digunakan dalam rumusan : - kelalaian - kealpaan - kesalahan - seharusnya diketahuinya - sepatutnya diketahuinya
125
Culpa (2) pengertian, jenis, syarat
KUHP : tidak ada definisi MvT : kealpaan di satu pihak berlawanan benar2 dg kesengajaan dan di fihak lain dengan hal yg kebetulan
126
Macam2 Culpa : (a) culpa levis ; culpa lata
(b) culpa yg disadari (bewuste) : culpa yg tidak disadari (on bewuste)
127
Syarat adanya kealpaan :
(a) Hazewinkel-Suringa : 1) kekurangan menduga-duga; 2) kekurangan berhati-hati (b) van Hamel : 1) tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan hukum; 2) tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan hukum ( c) Simons : pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai 2 unsur : 1) tidak berhati-hati; 2) dapat diduganya akibat.
128
Syarat Pemidanaan: - Sifat melawan hukumnya perbuatan - Kesalahan - Pidana TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (NULLA POENA SINE CULPA). Asas ini tidak tercantum dalam KUHP namun berlakunya tidak diragukan lagi karena bertentangan dengan asas keadilan (Ps. 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman)
129
Sejarah Asas Kesalahan
Semula: asas kesalahan tidak diakui secara umum. Pidana dijatuhkan hanya melihat kepada perbuatan yang merugikan tanpa memperhatikan sikap batin si pembuat. Sekarang: mulai ada perubahan, sehingga pertanggungjawaban seseorang atas perbuatannya didasarkan pula atas sikap batin orang itu yang berupa kesalahan.
130
POSISI KESALAHAN DALAM SISTEM HP (SISTEM PEMIDANAAN)
8/23/2018 POSISI KESALAHAN DALAM SISTEM HP (SISTEM PEMIDANAAN) Merupakan salah satu masalah pokok HP (masalah sentral/masalah dasar). MASALAH POKOK HP : SAUER menyebutnya sbg “salah satu Trias dalam hkm. Pidana”. Trias dalam HP (menurut Sauer) : Sifat melawan hukumnya perbuatan; Kesalahan Pidana Barda\I.Hk.Pid\HP-I
131
Herbert L. Packer menyebutnya dgn istilah “3 konsep” (three concepts) yang mengandung “3 masalah dasar” (the three basic problems), yaitu : Offence; Guilt; dan punishment
132
ASAS KESALAHAN (CULPABILITAS)
8/23/2018 ASAS KESALAHAN (CULPABILITAS) Sebagai masalah dasar muncul asas yg mendasar (fundamental) “tiada pidana tanpa kesalahan”, atau dikenal dgn. istilah lain : Asas kesalahan (asas culpabilitas); Nulla poena sine culpa; Asas mens rea “actus non facit reum nisi mens sits rea” “an act does not make a person guilty unless his mind is guilty”; No punishment without guilt (fault); No liability without blameworthiness; Geen straf zonder schuld; Keine strafe ohne schuld; AVAS (afwezigheids van alle schuld); Asas TAKSI (tidak ada kesalahan sama sekali); Asas TANPASILA (tanpa sifat tercela). Barda\I.Hk.Pid\HP-I
133
PENYIMPANGAN ASAS KESALAHAN
8/23/2018 PENYIMPANGAN ASAS KESALAHAN Strict liability (p.j. yang ketat) : (Inggris) “liability without fault”; pd bbrp tindak pidana ttt tidak diperlukan adanya mens rea Vicarious liability (p.j. pengganti): “the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another”; Barda\I.Hk.Pid\HP-I
134
Hubungan antara kebebasan Kehendak dg Kesalahan:
Kaum indeterminis; berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak Tidak ada kesalahan Tidak ada pencelaan Tidak ada Pidana. KUHP berpijak pada indeterminisme
135
Hubungan antara kebebasan Kehendak dg Kesalahan:
2. Kaum Determinisme; berpendapat manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dan motif. Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak maka ada pertanggungjawaban dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi thd perbuatan yg dilakukan berupa tindakan (maatregel) untuk ketertiban masyarakat dan bukannya pidana dalam arti penderitaan pd pelaku kesalahan.
136
Hubungan antara kebebasan Kehendak dg Kesalahan:
3. Golongan ketiga ; ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk Hukum Pidana tidak menjadi soal (irrelevant). Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas.
137
Kesalahan dapat dilihat dari 2 sudut:
Menurut akibatnya; ia adalah hal yang dapat dicelakan Menurut hakekatnya; ia adalah hal dapat dihindarkannya perbuatan yang melawan hukum.
138
Kesalahan mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yg telah melakukan tindak pidana. PENCELAAN berdasarkan hukum yg berlaku (Van Hamel). Juga harus ada pencelaan ethis betapa pun kecilnya (Prof Sudarto) sejalan dg pendapat “das Recht ist das ethische minimum”. Setidaknya pembuat dapat dicela krn tidak menghormati tata dalam masyarakat.
139
KESALAHAN ITU MENGANDUNG UNSUR ETHIS (KESUSILAAN) tidak boleh dibalik
KESALAHAN ITU MENGANDUNG UNSUR ETHIS (KESUSILAAN) tidak boleh dibalik. Tidak berarti bahwa orang yang melanggar kesusilaan, dapat dikatakan bersalah dan patut dicela oleh hukum.
140
Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas) sebagai dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psikologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif.
141
8/23/2018 PENENTUAN KESALAHAN 1. Pengertian kesalahan secara psikologis/subjektif 2. Pengertian kesalahan secara objektif / normatif Barda\I.Hk.Pid\HP-I
142
PENENTUAN KESALAHAN ad.1 Psikologis/Subjektif
Kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psikologis (batin) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin bisa berupa kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan hubungan batin berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya). Kealpaan tidak menghendaki demikian
143
PENENTUAN KESALAHAN ad.1 Psikologis/Subjektif
Yang menjadi ukuran (kriteria) ; SIKAP BATIN yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan.
144
PENENTUAN KESALAHAN ad.2 Normatif/Objektif
Penentuan kesalahan tidak hanya berdasarkan sikap batin antara pembuat dengan perbuatannya, juga harus ada UNSUR PENILAIAN (UNSUR NORMATIF) thd perbuatannya. “Penilaian dari luar” mrpk pencelaan dg memakai ukuran yang tdp dalam masyarakat. Yg memberi penilaian terakhir adl HAKIM.
145
SYARAT PEMIDANAAN = + TUJUAN PIDANA PIDANA Tindak Pidana Kesalahan
8/23/2018 SYARAT PEMIDANAAN TUJUAN PIDANA PIDANA Tindak Pidana Kesalahan (PJP) = + + Perbuatan Memenuhi UU SMH Td. Ada Alsn Pembenar KBJ Dolus/Culpa Td. Ada Alsn. Pemaaf Barda\I.Hk.Pid\HP-I
146
2 Pasang SYARAT PEMIDANAAN:
Dapat dipidananya perbuatan Dapat dipidananya orangnya atau pembuatnya
147
8/23/2018 K B J Barda\I.Hk.Pid\HP-I
148
PENGERTIAN KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB
8/23/2018 Diatur dalam Psl. 44 KUHP; TIDAK mampu bertanggung jawab, apabila : jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, TIDAK DIPIDANA Barda\I.Hk.Pid\HP-I
149
PENGERTIAN KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB
SIMONS : jika jiwanya SEHAT, yakni apabila: Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
150
PENGERTIAN KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB
VAN HAMEL, normalitas psikis dan kematangan (kecerdasan) yg membawa 3 kemampuan: Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu mnrt pandangan masyarakat tidak diperbolehkan Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu
151
PENGERTIAN KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB
Memorie van Toelicting (Memori Penjelasan) TIDAK ADA kemampuan bertanggung pada si pembuat : 1. dalam hal tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yg dilarang atau diperintahkan oleh UU. 2. Dalam keadaan shg tidak dapat menentukan perbuatannya bertentangan dg hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.
152
Pasal 44 KUHP Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat: menyangkut akal atau jiwa yg cacat Psikiater Penentuan hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan perbuatannya hakim Sistem yg dipakai KUHP dalam menentukan tidak dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat adalah deskriptif-normatif.
153
Tidak termasuk Ps 44 KUHP Cacat kemasyarakatan, misalnya keadaan seseorang yg karena kurang pendidikan atau terlantar menjadi liar dan kejam. Watak yg sangat perasa dan mudah tersinggung.
154
Jenis tidak mampu bertanggung jawab untuk sebagian: h. 161
Kleptomania; penyakit jiwa untuk mengambil brg milik orla ttp tak sadar perbuatannya dilarang. Pyromanie: penyakit jiwa melakukan pembakaran tanpa alasan sama sekali. Claustrophobia: penyakit jiwa ketakutan berada di ruang yg sempit. Penyakit berupa perasaan senantiasa dikejar-kejar oleh musuh-musuhnya.
155
Kleptomaan menganiaya?
TETAP DAPAT DIPIDANA. Karena antara penyakit dengan perbuatannya tidak ada hubungannya.
156
Orang Gila Membunuh? Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab merupakan alasan penghapus pidana / penghapus kesalahan / alasan pemaaf. Akan tetapi penganjur/pembujuk/uitlokker dan pembantu/medeplichtige (jika ada) tetap dapat dipertanggungjawabkan dan dipidana.
157
8/23/2018 kesengajaan Barda\I.Hk.Pid\HP-I
158
Dolus/ opzet/ sengaja Apakah sengaja itu ? Sengaja = willens (menghendaki) en wetens (mengetahui) (MvT- 1886)
159
Teori2 Kesengajan : (a) Teori Kehendak (wills theorie) “ opzet ada apabila perbuatan & akibat suatu delik dikehendaki si pelaku” (b) Teori Bayangan/Pengetahuan (voorstellings-theorie) “opzet ada apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada bayangan yg terang bahwa akibat yg bersangkutan akan tercapai, maka dari itu ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu” (3) Teori Apa Boleh Buat
160
Teori Apa Boleh Buat. Dalam teori ini keadaan batin si pembuat terhadap perbuatannya adalah sbb:
Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci dan takut akan kemungkinan timbulnya akibat itu. Akan tetapi meskipun tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaan akibat itu timbul, apa boleh buat hal itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul resiko.
161
Dolus/ opzet/ sengaja istilah2 dalam rumusan tindak pidana
Dengan sengaja : Ps 338 KUHP Mengetahui bahwa : Ps 220 KUHP tahu tentang : Ps 164 KUHP dengan maksud : Ps 362, 378, 263 KUHP niat : Ps 53 KUHP dengan rencana lebih dahulu : Ps 340, 355 KUHP - dengan rencana : (a) saat pemikiran dg tenang ; (b) berpikir dg tenang; ( c ) direnungkan lebih dahulu. - ada tenggang waktu antara timbulnya niat dengan pelaksanaan delik
162
Macam2 / Corak Kesengajaan :
Sengaja sebagai maksud/ tujuan (opzet als oogmerk /dolus directus) contoh: A menempeleng B. A menghendaki sakitnya B, dg tujuan agar B tidak membohong Sengaja dg sadar kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) contoh : kasus peti kemas bawa dinamit yg diasuransi. 3. Sengaja dg sadar kemungkinan (dolus eventualis) contoh: A bunuh B dg kue tar beracun yg kemungkinan dimakan isteri dan anaknya.
163
Dolus/ opzet/ sengaja (5) Dolus eventualis
Teori “inkauf nehmen” : untuk mencapai apa yang dimaksud , resiko akan timbulnya akibat atau keadaan di samping maksudnya itu pun diterima Prof. Moeljatno : “teori apa boleh buat” : kalau resiko yg diketahui kemungkinan akan adanya itu sungguh-sungguh timbul (disamping hal yg dimaksud), apa boleh buat, dia juga berani pikul resiko
164
8/23/2018 Kealpaan Barda\I.Hk.Pid\HP-I
165
KEALPAAN (CULPA) dalam arti sempit
SCHULD NALATIGHEID RECKLESSNESS NEGLIGENCE FAHRLASSIGKEIT SEMBRONO TELEDOR
166
Syarat utama pemidanaan
KESALAHAN Sehinga dapat di-CELA-nya PEMBUAT KESALAHAN. Meliputi: Perbuatan yg bersifat melawan hukum Kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat Hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, yg berupa kesengajaan atau kealpaan.
167
DELIK-DELIK CULPA 188 231 (4) 359 360 409
168
DELIK KESENGAJAAN 187 231 (1), (2), (3) 338 354 361 (2)
169
Alasan Pembentuk UU M.v.T ada keadaan yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yg sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, shg UU jg bertindak thd kekuranghatian, sikap teledor (sembrono), pendek kata yg menyebabkan keadaan tadi.
170
PENGERTIAN KEALPAAN (dalam arti sempit)
KUHP tidak memberi definisi M.v.T: kealpaan di satu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan di pihak lain dengan hal yang kebetulan. KEALPAAN merupakan BENTUK KESALAHAN YG LEBIH RINGAN DARIPADA KESENGAJAAN, AKAN TETAPI BUKANNYA KESENGAJAAN YG RINGAN.
171
SYARAT UNTUK ADANYA KEALPAAN:
Hazewinkel-Suringa: - kekurangan penduga-duga - kekurangan penghati-hati 2. Van Hamel: - tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum - tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum
172
3. Simons: - tidak adanya penghati-hati, di samping - dapat diduganya akibat 4. Pompe: - dapat mengirakan timbulnya akibat - mengetahui adanya kemungkinan - dapat mengetahui adanya kemungkinan
173
Bagaimana Menetapkan adanya Kealpaan pada seseorang?
KEALPAAN DITENTUKAN SECARA NORMATIF, dan TIDAK SECARA FISIK (PSIKIS). Yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan adalah HAKIM, seraya memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan keadaan pribadi si pembuat. Dalam delik culpa tdk mungkin diajukan alasan pembenar.
174
KESALAHAN Beberapa masalah !
Apa beda dolus eventualis dg culpa yg disadari ? Apa yg dimaksud dg : (a) pro parte dolus proparte culpa (b) dolus directus; dolus indirectus (c ) dolus determinatus; dolus indeterminatus (d) dolus premeditatus; dolus repentinus (e) dolus malus Di Indonesia sebagaimana di Belanda dianut pendapat bahwa sengaja itu tidak berwarna. Apa maksudnya ?
175
KAUSALITAS 1. Pengertian ? 2. Kapankah diperlukan ajaran kausalitas ?
Ilustrasi : B pinjam uang ke rumah A, karena kedatangan B, maka A terlambat ; karena terlambat A mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi; A menubruk C sehingga luka-luka; C dibawa ke RS dan dioperasi oleh dokter D; D meminta E merawat dengan suntikan tertentu; E salah memberikan obat pada C; C mati.
176
Pengertian Kausalitas
Hal sebab-akibat Hubungan logis antara sebab dan akibat Persoalan filsafat yang penting Setiap peristiwa selalu memiliki penyebab sekaligus menjadi sebab peristiwa lain Sebab dan akibat membentuk rantai yang bermula di suatu masa lalu Yang menjadi fokus perhatian ahli hukum pidana (bukan makna di atas), tetapi makna yang dapat dilekatkan pada pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu akibat tertentu
177
Kapankah diperlukan ajaran Kausalitas ?
Delik Materiil : perbuatan yang menyebabkan konsekuensi-konsekuensi tertentu, dimana perbuatan tersebut kadang tercakup dan kadang tidak tercakup sebagai unsur dalam perumusan delik, mis. Ps. 338, Ps 359, Ps 360 Delik Omisi tak murni/semu (delicta commissiva per omissionem/ Oneigenlijke Omissiedelicten) : Pelaku tidak melakukan kewajiban yang dibebankan padanya dan dengan itu menciptakan suatu akibat yang sebenarnya tidak boleh ia ciptakan. Ia sekaligus melanggar suatu larangan dan perintah; ia sesungguhnya harus menjamin bahwa suatu akibat tertentu tidak timbul. Delik yang terkualifikasi/dikwalifisir : tindak pidana yang karena situasi dan kondisi khusus yang berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yang bersangkutan atau karena akibat-akibat khusus yang dimunculkannya, diancam dengan sanksi pidana yang lebih berat ketimbang sanksi yang diancamkan pada delik pokok tersebut. (pengkualifikasian delik juga dapat dilakukan atas dasar akibat yang muncul setelah delik tertentu dilakukan, mis. Ps 351 (1) Ps 351 (2)/ Ps 351 (3)
178
Ajaran Kausalitas Conditio Sine Qua Non/ Ekuivalensi (Von Buri)
Teori-teori Individualisasi / Causa Proxima : Birkmeyer , Mulder Teori-teori menggeneralisasi : teori Adekuat (Von Kries, Simons, Pompe, Rumelink) Teori Relevansi : Langemeyer
179
Ajaran Conditio Sine Qua Non
Semua faktor yaitu semua syarat, yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor ybs. Harus dianggap causa (sebab) akibat itu. Semua syarat nilainya sama (ekuivalensi) Ada beberapa sebab Syarat = sebab
180
Pembatasan Ajaran Von Buri
Pembatasan ajaran Von Buri oleh Van Hamel [dibatasi dg ajaran kesalahan (dolus/culpa)] Pengesampingan semua sebab yang terletak di luar dolus atau culpa; dalam banyak kejahatan dolus atau culpa merupakan unsur-unsur perumusan delik. Jika hal itu bukan merupakan unsur delik, maka solusinya harus dicari dengan bantuan alasan atau dasar-dasar yang meniadakan pidana.
181
Teori-teori Individualisasi / Causa Proxima
Birkmeyer : Teori ini berpangkal dari teori Conditio Sine Qua Non . Di dalam rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu itu, yang paling banyak membantu untuk terjadinya akibat. G.E Mulder : Sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan dari akibat.
182
Teori-teori menggeneralisasi (1)
Von Bar : teori ini tidak menyoal tindakan mana atau kejadian mana yang in concreto memberikan pengaruh (fisik/psikis) paling menentukan. Yang dipersoalkan adalah apakah satu syarat yang secara umum dapat dipandang mengakibatkan terjadinya peristiwa seperti yang bersangkutan mungkin ditemukan dalam rangkaian kausalitas yang ada
183
Teori-teori menggeneralisasi (2)
Von Kries (Teori Adequat Subjectif) : Sebab adalah keseluruhan faktor positif & negatif yang tidak dapat dikesampingkan tanpa sekaligus meniadakan akibat. Namun pembatasan demi kepentingan penetapan pertanggungjawaban pidana tidak dicari dalam nilai kualitatif/kuantitatif atau berat/ringannya faktor dalam situasi konkret, tetapi dinilai dari makna semua itu secara umum, kemungkinan dari faktor-faktor tersebut untuk memunculkan akibat tertentu. Sebab = syarat-syarat yang dalam situasi dan kondisi tertentu memiliki kecenderungan untuk memunculkan akibat tertentu, biasanya memunculkan akibat itu, atau secara objectif memperbesar kemungkinan munculnya akibat tersebut. Apakah suatu tindakan memiliki kecenderungan memunculkan akibat tertentu hanya dapat diselesaikan apabila kita memiliki 2 bentuk pengetahuan : (a) hukum umum probabilitas dalam peristiwa yg terjadi / pengetahuan Nomologis yg memadai (b) situasi faktual yg melingkupi peristiwa yg terjadi/ pengetahuan Ontologis/ pemahaman fakta (empirik)
184
Teori-teori menggeneralisasi (3)
Rumelink (Teori Adequat Objectif) : Faktor yang ditinjau dari sudut objektif , harus (perlu) ada untuk terjadinya akibat. Ihwal probabilitas tidak berdasarkan pada apa yang diketahui atau mungkin diketahui pada waktu melakukan tindakannya, melainkan pada fakta yang objektif pada waktu itu ada, entah diketahuinya atau tidak – jadi pada apa yang kemudian terbukti merupakan situasi dan kondisi yang melingkupi peristiwa tersebut. Simons : Sebab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umum pengalaman manusia dapat menimbulkan akibat Pompe : Sebab adalah hal yang mengandung kekuatan untuk dapat menimbulkan akibat
185
Teori Relevansi Langemeijer
Teori ini ingin menerapkan ajaran von Buri dengan memilih satu atau lebih sebab dari sekian yang mungkin ada, yang dipilih sebab-sebab yang relevan saja , yakni yang kiranya dimaksudkan sebagai sebab oleh pembuat undang-undang.
186
Sifat Melawan Hukum Arti : - tanpa hak sendiri (zonder eigen recht)
- bertentangan dg hak orang lain (tegen eens anders recht) tanpa alasan yg wajar Bertentangan dengan hukum positif Melawan hukum : formil & materiil - aliran formil : melawan hukum = melawan UU, sebab hukum adalah UU. -aliran materiil : melawan hukum adalah perbuatan yg oleh masyarakat tidak dibolehkan.
187
Perbedaan Ajaran Materiil dan Formil
mengakui adanya pengecualian / penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis Formil : hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja/ mis, Ps. 49. Materiil : sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap tindak pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut Formil : sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur delik, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata barulah menjadi unsur delik
188
Pembuktian Melawan Hukum
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur delik, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan nyata-nyata, jika tidak dinyatakan maka tidak perlu dibuktikan.
189
Alasan Pencantuman unsur Melawan Hukum
Pada umumnya dalam perundang-undangan , lebih banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum dalam rumusannya Alasan pencantuman sifat melawan hukum dalam perumusan tindak pidana : - untuk melindungi orang2 yg memiliki hak dari tuntutan pidana.
190
Konsekuensi aliran Materiil
Apakah konsekuensi ajaran bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik ? Jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur itu dianggap diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa.
191
Arti “dan” diantara unsur dengan sengaja & unsur melawan hukum
Van Hamel, simons, pompe : perbedaan itu mempunyai arti. Mis. Ps 406 KUHP : dengan sengaja dan melawan hukum ; Ps 333 KUHP : dengan sengaja melawan hukum Vos, zevenbergen, langemeijer : tiadanya kata “dan” tidak berarti apa2, semuanya mesti dibaca “dengan sengaja dan melawan hukum” Remelink, van Bemmelen : kata penghubung “dan” tidak mempunyai arti, jadi istilah “dengan sengaja” meliputi pula “melawan hukum.”
192
PERCOBAAN (POGING) PASAL 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun. (4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Pasal 54 Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana
193
POGING (PERCOBAAN) “Permulaan kejahatan yang belum selesai”
Poging bukan suatu delik, tetapi poging dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang Poging adalah perluasan pengertian delik Suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang sebab perbuatan itu melanggar kepentingan hukum atau membahayakan kepentingan hukum KUHP tidak memberi perumusan/ definisi Harus diketahui kapan suatu delik dianggap selesai Delik selesai berbeda antara delik formil dan delik materiil Pada delik formil : delik selesai apabila perbuatan yang dilarang telah dilakukan Pada delik materiil : delik selesai apabila akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang telah timbul atau terjadi
194
Percobaan Menurut KUHP:
Percobaan sebagai Suatu Delik yang Telah Selesai (voltooid delict) Percobaan Melakukan Tindak Pidana yang Tidak Dilarang Percobaan Melakukan Pelanggaran Percobaan terhadap Delik Kealpaan
195
Percobaan sebagai Suatu Delik yang Telah Selesai (voltooid delict)
Pasal , 139a dan 139b KUHP Pasal 110, 116, 125, 139c KUHP Pasal 250, 261, 275 KUHP
196
Percobaan Melakukan Tindak Pidana yang Tidak Dilarang
Pasal 184 KUHP) Pasal 351 ayat 5 dan 352 ayat 2 KUHP Pasal 302 ayat 4 KUHP)
197
Percobaan Menurut Doktrin
Percobaan yang Tidak Sempurna (Ondeugdelijk Poging) Percobaan yang Dikualifisir (Gequalificeerde Poging) Percobaan yang Ditangguhkan (Geschorste Poging) Percobaan yang Selesai / Sempurna (Voleindigde Poging)
198
Syarat Percobaan yg dapat dipidana
Niat Permulaan Pelaksanaan Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
199
NIAT “Voornemen” Menurut doktrin dan yurisprudensi :”voornemen” harus ditafsirkan sebagai kehendak, “willen” atau “opzet” Seseorang harus mempunyai kehendak, yaitu kehendak melakukan kejahatan Karena ada 3 macam opzet, apakah opzet di sini harus dtafsirkan dalam arti luas atau hanya opzet dalam arti pertama (sebagai “ogmerk” atau tujuan) ?
200
Permulaan Pelaksanaan
“Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaan” een begin van uitvoering Harus ada suatu perbuatan(handeling) apa yang dimaksud “perbuatan sebagai permulaan pelaksanaan” ? Undang-undang tidak merumuskan pelaksanaan atau”uitvoering” dan bagaimana bentuknya Perlu digunakan penafsiran
201
Pelaksanaan Kehendak atau Pelaksanaan Kejahatan ?
Secara gramatika, harus dihubungkan dengan kata yang mendahuluinya yaitu “voornemen”/ niat/kehendak Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaan. Jadi : pelaksanaan itu ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kehendak” TEORI POGING SUBYEKTIF Tetapi, jika dihubungkan dengan anak kalimat berikutnya “… tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” maka secara sistematis maka ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kejahatan” TEORI POGING OBYEKTIF
202
CONTOH KASUS A menghendaki untuk membunuh B , untuk melaksanakan maksudnya, A harus melakukan beberapa perbuatan, yaitu : a. A pergi ke tempat penjualan senjata api b. A membeli senjata api c. A membawa senjata api ke rumahnya d. A berlatih menembak e. A menyiapkan sebjata apinya dengan membungkusnya rapat-rapat f. A menuju rumah B g. Sesampai di rumah B, A mengisi senjata itu dengan peluru h. A mengarahkan senjata kepada B i. A melepaskan tembakan ke arah B
203
MANA YANG MERUPAKAN PELAKSANAAN
MANA YANG MERUPAKAN PELAKSANAAN ? APAKAH TIAP2 PERBUATAN DALAM KASUS TSB DAPAT DIHUKUM ? 1. Menurut Teori Poging Subyektif : perbuatan a sudah merupakan “permulaan pelaksanaan” karena telah menunjukkan “kehendak yang jahat” 2. Menurut Teori Poging Obyektif : perbuatan a f belum merupakan “permulaan pelaksanaan” karena semua perbuatan itu “belum membahayakan kepentingan hukum si B
204
Contoh Percobaan Pembunuhan Berencana
KASUS A bermaksud menghabisi nyawa B dengan meletakkan bom di mobil B. Bom meledak sebelum B masuk mobil dan mengakibatkan B luka-luka parah. PASAL YG DIDAKWAKAN Pasal 340 jo Pasal 53 KUHP ( Percobaan pembunuhan berencana) ANCAMAN PIDANA 15 tahun penjara (lihat Ps. 53 ayat 3)
205
PEMBATASAN TERHADAP TEORI SUBYEKTIF
Perbuatan dibedakan : 1. tindakan atau perbuatan persiapan (belum dapat dihukum) 2. tindakan atau perbuatan pelaksanaan (sudah dapat dihukum) Tetapi, pertanyaannya : mana yang merupakan “perbuatan persiapan” dan mana yang merupakan “perbuatan pelaksanaan” ?
206
PENDAPAT PARA AHLI DALAM MASALAH TSB
1.Van Hamel : “apabila dari perbuatan itu telah terbukti kehendak yang kuat dari si pelaku untuk melaksanakan perbuatannya” 2.Simons melihat dari jenis deliknya : delik materiil atau delik formil. Pada delik formil apabila perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU, apabila perbuatan itu merupakan sebagian dari perbuatan yang dilarang; jika ada beberapa unsur maka jika sudah melakukan salah satu unsur Pada delik materril apabila perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan yang menurut sifatnya adalah sedemikian rupa , sehingga secara langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU 3.Vos : ada “permulaan pelaksanaan” apabila perbuatan itu mempunyai sifat terlarang terjadap suatu kepentingan hukum. 4.Pompe : ada “permulaan pelaksanaan” apabila suatu perbuatan yang bagi orang normal memungkinkan terjadinya suatu delik.
207
Pendapat Hoge Raad Ada “permulaan pelaksanaan” apabila antara perbuatan yang dilakukan dan kejahatan yang dkehendaki oleh seseorang itu terdapat hubungan erat langsung; yaitu apabila seorang melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan kejahatan , perbuatan itu baru dianggap sebagai permulaan pelaksanaan apabila disamping perbuatan itu tidak dibutuhkan lagi perbuatan-perbuatan yang lain untuk menyelesaikan kejahatan.
208
Macam2 Percobaan (Doktrin)
Percobaan yg Sempurna : Voleindigde Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, tetapi kejahatan tidak selesai karena suatu hal Percobaan yg Tertangguh : Geschorte Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan beberapa perbuatan yg diperlukan bagi tercapainya kejahatan, tetapi kurang satu perbuatan ia terhalang oleh suatu hal Percobaan yg Tidak Sempurna : Ondeugdelijke Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan suatu kejahatan, dimana ia telah melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, namun tidak berhasil disebabkan alat (sarana) tidak sempurna atau obyek (sasaran) tidak sempurna. Tidak sempurna : mutlak atau relatif
209
Penyertaan (1) (Deelneming)
Pengertian penyertaan Saat terjadinya Macam/ bentuk - melakukan - menyuruh melakukan - turut serta melakukan - menggerakkan untuk melakukan - membantu melakukan Pengertian & syarat Pertanggung jawaban masing-masing Penyertaan mutlak perlu Tindak pidana dg alat cetak
210
Penyertaan : turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana (Wirjono.P) Ps 55 KUHP a. pelaku b. penyuruh c. turut serta d. pembujuk --> dipidana sebagaimana pelaku Ps 56,57 KUHP e. pembantu ---> ancaman pidana berbeda dg pelaku , maksimum dikurangi : a. penjara --> dikurangi 1/3 b. mati/ seumur hidup --> maks 20 tahun
211
8/23/2018 A P P Barda\I.Hk.Pid\HP-I
212
ALASAN PENGHAPUS PIDANA
8/23/2018 ALASAN PENGHAPUS PIDANA Alasan Pembenar Daya paksa (48) Pembelaan terpaksa (49:1) Melaksanakan UU (50) Melaksanakan perintah jabatan yg sah (51:1) Alasan Pemaaf Td mampu BJ (44) Noodweer exces / Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas(49:2) Dgn itikad baik melaksanakan pe-rintah jabatan yg tidak sah (51 : 2) Barda\I.Hk.Pid\HP-I
213
KD itu ditandai dg adanya perbenturan antara; 1.dua kewajiban hukum
Alsn Penghps Pid Dlm UU ALASAN PEMBENAR Pasal 48 Wvs secara teoritik DP (Daya Paksa) dlm pengertian Absolut dan Relatif. Namun Ps 48 adalah DP Relatif ukurannya, adanya keseimbangan antara paksaan di satu pihak dg Kep. Huk. yang dilanggar di lain pihak DP relatif ini di samping paksaannya datang dari manusia, juga paksaan yang datang dari keadaan; inilah yg dikenal dg “noodtoestand”/keadaan darurat. KD itu ditandai dg adanya perbenturan antara; 1.dua kewajiban hukum
214
2. perbenturan antara kewajiban dan kepentingan hukum dan 3
2.perbenturan antara kewajiban dan kepentingan hukum dan 3. perbenturan antara dua kepentingan hukum. Noodtoestand ini sebagai alasan pembenar dan juga sebagai alasan pemaaf. Dasar KD sebagai alasan pemaaf, karena perbuatannya tidak diterima oleh masyarakat, sebaliknya jika KD alasan pembenar, maka perbuatanya diterima oleh masyarakat.
215
Dalam kasus DP yang seharusnya pelaku tidak dipidana karena alasan penghapus pidana, namun pelaku tetap dipidana apabila dia sendiri yang bertanggungjawab atas terjadinya DP tersebut. Misal, dalam kasus perampokan Bank terbukti ada kerjasama antara pelaku (kasir) dengan perampok. Dalam hal demikian, maka pelaku (kasir) tetap dapat dipidana dan kasus ini dikenal dg “CULPA IN CAUSA” (Ps. 56 Konsep)
216
Pasal 49 ayat (1) WvS; pembelaan terpaksa dg syarat;
adanya serangan yg melawan hukum yg masih berlangsung , ditujukan pd badan, perikesopanan dll baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, sehingga pembelaannya tidak bersifat melawan hukum. Ukurannya, adanya keseimbangan antara serangan di satu pihak dg pembelaan di pihak lain. Oki Pembl. Terpaksa merupakan alasan pembenar.
217
Pasal 49 ayat (2)WvS ; tentang Pembelaan Terpaksa yg Melampaui Batas/noodweer exes.
Syaratnya adalah ayat (1) ditambah dg palampauan batas serangan dan berakibat terjadinya kegoncangan jiwa yg hebat. Maka pembelaan sesuai dg kondisi serangan tersebut, art. pembelaannya merupakan alasan pemaaf. Jadi perbuatan pembela tetap bersifat melawan hukum.
218
Pasal 50 WvS ; Melaksanakan Perintah Undang-Undang
Pasal 50 WvS ; Melaksanakan Perintah Undang-Undang. Syarat; adanya hub sub ordinasi antara yg berhak memerintah dg yang diperintah, perintah yg dilaksanakan ada dalam kewenangannya, sehingga perbuatan yang melaksaakan perintah tidak bersifat melawan hukum, oki Pasal 50 ini sebagai alasan pembenar.
219
Contoh “Satuan Regu Tembak” yg melaksanakan “eksekusi pidana mati” terhadap terpidana. Undang-Undang Pelaksanaan Pidana.. Mati Nomor 5 tahun 1969. Pasal 51 ayat (1) WvS; tentang “Melaksanakan Perintah Jabatan yang Sah. Syarat Pasal 51 ayat (1); 1 adanya hubungan subordinasi antara yang memerintah/pejabat/atasan dg yang diperintah/bawahan , 2 perintah dilaksanakan ada dalam kewenangan yang diperintah, 3. isi perintah perintah sebenarnya bersifat melawan hukum. Sbg. Al. Pembenar.
220
ALASAN PEMAAF Pasal 44 WvS; “Ketidak mampuan bertanggungjawab”
ALASAN PEMAAF Pasal 44 WvS; “Ketidak mampuan bertanggungjawab”. Hal-hal pokok dlm ketentuan tersebut; 1. rumusan Ps. 44 bersifat negatif, 2. bersisi deskripsi oleh psikiater tentang kondisi kejiwaan pelaku, 3. penentuan secara normatif oleh hakim tg ketidak mampuan tersebut sbg alasan pemaaf. Pasal 44 WvS sebagai alasan pemaaf.
221
Syarat Pasal 51 ayat (2); 1. sama dengan syarat ayat (1), 2
Syarat Pasal 51 ayat (2); 1. sama dengan syarat ayat (1), 2. perintah dilaksanakan dg iktikat baik, bahwa yang melaksanakan merasa wajib terhadap perintah tersebut, sekalipun tidak ada dalam kewenangannya. Oki perbuatan pelaku tetap bersifat melawan hukum, namun sikap bathin pelaku dimaafkan, sehingga ayat (2) ini merupakan alasan pemaaf.
222
Alasan Penghapus Pidana Di luar Undang-Undang;
1. hak orang tua untuk mendidik anak, 2. hak yg muncul dari pekerjaan/profesi seseorang, 3. consent of victim, 4. TAKSI, 5. Tanpasila (tanpa sifat tercela) dan 6. sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif. Nomor 1, 2 3 dan 6 merupakan alasan pembenar, sedang nomor 4 dan 5 merupakan alasan pemaaf.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.