Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
STUDI KASUS MANAJEMEN SUPPLY OBAT
Disusun Oleh : PETER DENDI H /373324/PFA/1443 IRFANIANTA ARIF S /373389/PFA/1469 MUFARRIHAH /373396/PFA/1472 IKHSAN AMIR SENE /373406/PFA/1477
2
Pendahuluan Pengelolaan obat merupakan salah satu segi manajemen rumah sakit yang sangat penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan secara keseluruhan, karena ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat akan memberi dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medik, sosial maupun secara ekonomi. Instalasi farmasi rumah sakit adalah unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat/perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit Siregar, C.J.P., dan Amalia, L., 2004, Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3
Dasar Hukum UU RI No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 15 ayat 3 menyebutkan bahwa pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 068/Menkes/Per/I/2010 Bab II Pasal 5, Instalasi Farmasi Rumah Sakit berkewajiban mengelola obat rumah sakit secara berdaya guna dan berhasil guna serta membuat prosedur perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pemantauan obat yang digunakan rumah sakit
4
KASUS Sebuah Rumah Sakit (RS) Swasta kelas C dengan jumlah tempat tidur 70 buah, BOR 75% dan pasien rawat jalan per hari 150 pasien. Tingkat keterjaringan resep 80%. RS ini memiliki IFRS, dengan 2 Apoteker dan 5 tenaga teknis kefarmasian. Pengelolaan obat di IFRS ini sudah dilakukan analisis, yang hasilnya sebagai berikut: Tahap Seleksi: kesesuaian item obat dengan DOEN 11,46% 2. Tahap Pengadaan: Persentasi dana yang tersedia untuk pengadaan obat 75,37%, Anggaran obat untuk seluruh anggaran RS 30,38%, Jumlah item obat yang dipakai dibandingkan yang direncanakan 102,91%. Frekuensi pengadaan obat 9,25 kali dalam setahun, dianalisis dengan EOQ 12,57 kali. Frekuensi kesalahan faktur/ketidakcocokan faktur 0,36%. Rata-rata tertundanya pembayaran 6 hari
5
KASUS 3. Tahap Distribusi: 4. Tahap Penggunaan:
Kecocokan antara obat dan kartu stok 43,71% ITOR (Inventory Turn Over Ratio) 13,76 kali/tahun Nilai obat yang kadaluwarsa dan rusak 0,25% Persentasi obat yang mati 3,13% 4. Tahap Penggunaan: Rata-rata waktu untuk melayani resep 24,15 menit (racikan) dan 19,54 (non racikan) Persentasi resep obat dengan generik 12,06% Presentasi obat yang tidak dilayani 2,0% untuk rawat inap, rawat jalan 1,22% Jumlah item obat per lembar resep untuk rawat inap dan 4,3 item untuk rawat jalan. Persentase kesesuaian dengan formularium RS 86,6%
6
KASUS Dari uraian hasil analisis pengelolaan obat di atas, jawablah pertanyaan di bawah ini: Jelaskan permasalahan pengelolaan obat di IFRS di atas! Upaya apa yang harus dilakukan IFRS untuk meningkatkan keterjaringan pasien? Faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja IFRS di atas? Bagaimana pengendalian obat yang harus diterapkan di IFRS? Bagaimana kinerja pengelolaan obat pada masing-masing tahap IFRS di atas? Bagaimana upaya perbaikan yang akan anda lakukan untuk IFRS di atas?
7
PEMBAHASAN 1. Permasalahan pengelolaan obat di IFRS tersebut adalah:
Kesesuaian item obat dengan DOEN 11,46% berarti banyak obat-obat esensial yang tidak disediakan oleh IFRS tersebut, padahal DOEN merupakan acuan dalam membuat formularium RS. Persentase dana yang tersedia untuk pengadaan obat 75,37% sehingga pengadaan obat belum optimal. Item obat yang dipakai lebih besar dari yang direncanakan artinya banyak obat yang di luar formularium diresepkan sehingga jumlah item obat menjadi lebih banyak.
8
PEMBAHASAN Adanya masalah penggunaan dana, ditunjukkan dengan tertundanya pembayaran yang rata-rata 6 hari. Frekuensi pengadaan obat 9,25 kali dalam setahun, dianalisis dengan EOQ 12,57 kali berarti ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama IFRS tersebut melakukan order dalam jumlah banyak sehingga persediaan yang seharusnya diorder 12 kali tetapi diorder dalam 9 kali sehingga meningkatkan biaya inventory, kemungkinan kedua adalah terjadi keterlambatan order, harusnya sudah order sebanyak 12 kali masih order sebanyak 9 kali sehingga kemungkinan banyaknya obat yang tidak tersedia besar.
9
PEMBAHASAN Kecocokan antara obat dan kartu stok 43,71%, berarti banyak pemasukan maupun pengeluaran obat yang tidak tercatat, sehingga kemungkinan obat hilang besar. Di samping itu, ketidakcocokan antara obat dan kartu stok dapat mempengaruhi pengadaan yang akan berakibat pada terjadinya kekosongan atau menumpuknya obat tertentu. Terlihat dari jumlah obat yang kadaluarsa 0,25% dan obat yang mati 3,13% Persentase kesesuaian dengan formularium RS 86,6%, seharusnya kesesuaian resep dengan formularium adalah 100%. Ketidak sesuaian dengan formularium akan berhubungan dengan masalah ketersediaan obat dan penggunaan obat yang tersedia. Ketika peresepan tidak sesuai formularium kemungkinan obat yang diresepkan tidak tersedia di IFRS, di lain pihak obat yang tersedia di IFRS tidak diresepkan sehingga terjadi penumpukan obat tertentu atau bahkan obat mati yang pada akhirnya meningkatkan jumlah obat yang kadaluarsa.
10
PEMBAHASAN 2. Upaya yang harus dilakukan IFRS untuk meningkatkan keterjaringan pasien Menerapkan sistem pelayanan satu pintu Menerapkan e-prescribing Lokasi IFRS mendekati pelayanan medik seperti Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap 3. Faktor yang mempengaruhi kinerja IFRS: Ketersediaan dana untuk pengadaan obat. Letak lokasi IFRS di RS tersebut apakah mendekati pusat pelayanan medik sehingga mudah terjangkau oleh pasien. Sumber Daya Manusia, apakah jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian lain cukup untuk melayani seluruh pasien sehingga tidak over load, apakah mereka merasakan kepuasan kerja. Sistem Informasi Manajemen (SIM), dengan adanya SIM masalah pengelolaan obat berkaitan dengan ketersediaan obat, stok, obat kadaluarsa, dan obat mati dapat segera diketahui sehingga dapat segera diatasi atau diminimalkan.
11
PEMBAHASAN 4. Pengendalian obat yang harus diterapkan di IFRS
Ketersediaan obat dalam jumlah cukup Inventory, jangan sampai berlebih Tidak ada obat kadaluarsa Tidak ada obat mati
17
KESIMPULAN Membentuk PFT untuk menyusun formularium dan fungsi PFT didalam memilih obat yang memenuhi standar efficacy, safety serta berbagai kriteria dalam seleksi obat. Selain itu pemberdayaan PFT dalam rangka evaluasi dan monitoring terhadap pengelolaan dan penggunaan obat. Perlu adanya SIM berbasis di dalam mengawasi dan menjamin kualitas obat dan kondisi stock sehingga terhindar dari kerusakan, kehilangan, kekurangan dan kelebihan. SIM juga dapat berguna untuk menyediakan jumlah persediaan, data persediaan sehingga dapat memberikan masukan berbasis data kepada manajemen untuk melibatkan IFRS dalam proses pengadaan sehingga proses pengadaan obat menjadi bagian integral.
18
KESIMPULAN Rumah Sakit harus merealisasikan anggaran pengadaan obat sesuai dengan perencanaan agar ketersediaan obat dapat berjalan optimal. Menggunakan data sisa persediaan tahun lalu dan data penggunaan periode yang lalu sebagai dasar perencanaan. Pemantauan dan pengawasan terhadap stock setiap bulan agar dapat diketahui adanya obat yang merupakan stock mati dan obat-obat yang mendekati tanggal kadaluwarsa. Melakukan perencanaan obat dengan selektif yang mengacu pada prinsip efektif, aman, ekonomis dan rasional dan diadakan koreksi dengan metode ABCVEN. Akan lebih baik jika dapat dikombinasi dengan menggunakan data 10 penyakit teratas di dalam proses seleksi dan perencanaan. Mengadakan/mengikutsertakan tenaga instalasi farmasi di dalam kegiatan pelatihan mengenai inventory control management.
19
KESIMPULAN Melakukan kebijakan sistem penerapan satu pintu disertai dengan sarana dan prasarana serta SDM yang menunjang serta mengevaluasi dan melakukan sistem perencanaan dan pengadaan obat dengan selektif disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit serta mengacu pada prinsip efektif, aman, ekonomis dan rasional. Melakukan koordinasi rutin kepada supplier atau distributor dan bekerjasama dengan beberapa apotek di luar rumah sakit di dalam penyediaan obat-obatan cito. Pemilihan supplier harus dilakukan secara selektif (pabrikan, distributor) yang memenuhi aspek mutu produk yang terjamin, aspek legal dan harga yang sesuai. Peran PIO dalam memberikan informasi obat sehingga peresepan obat lebih rasional, efektif dan efisien. Menetapkan SOP dan waktu pengadaan dengan berbagai kondisi (pembelian langsung, kontrak, dan tender).
20
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI., 2002, Pedoman Supervisi Dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Depkes RI., 2010, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit, Kementrian Kesehatan RI., Jakarta. Depkes, 2009, Undang - Undang No. 44 tentang Rumah Sakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Fakhriadi, A., Marchaban, Pudjaningsih, D., 2011, Analisis Pengelolaan Obat Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung Tahun 2006, 2007 Dan 2008, Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, Vol. 1 No. 2 / Juni 2011, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
21
DAFTAR PUSTAKA Lilihata R.N., 2011, Analisis Manajemen Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah (Tesis). Jogjakarta : Fakultas Farmasi. Universitas Gadjah Mada Siregar, C.J.P., dan Amalia, L., 2004, Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Siregar,C.J.P., dan Amalia, L., 2003, Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. WHO, 1993., How to Investigate Drug Use in Health Facillities, Selected Drug Use Indicator, Action Program on Essential Drug, WHO, Geneve
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.