Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Penentuan Waktu Shalat dan Shaum

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Penentuan Waktu Shalat dan Shaum"— Transcript presentasi:

1 Penentuan Waktu Shalat dan Shaum

2 Posisi Matahari untuk Penentuan Waktu Shalat & Shaum

3 Posisi Matahari untuk Penentuan Waktu Shalat & Shaum

4 Posisi Matahari Penentu Waktu Shalat
Posisi matahari memberikan fenomena penentu waktu shalat 1 hari = 24 jam rata-rata periode rotasi bumi Fajar Kidzib, hamburan debu antarplanet

5 Waktu shaum “... dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, ...” (QS 2:187). “Malam” dalam prakteknya bermakna saat matahari terbenam, bukan dalam konteks waktu malam sebagai awal isya.

6 Fajar sebelum matahari terbit.
Fajar shadiq dari hamburan partikel atmosfer

7 Dalil Fiqih “… makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar" (QS 2:187). Sedangkan tentang awal waktu shubuh disebutkan di dalam hadits dari Abdullah bin Umar, “… dan waktu shalat shubuh sejak terbit fajar selama sebelum terbit matahari” (HR Muslim). Hadits dari Jabir merincinya, “Fajar ada dua macam, pertama yang melarang makan, tetapi membolehkan shalat, yaitu yang terbit melintang di ufuk. Lainnya, fajar yang melarang shalat (shubuh), tetapi membolehkan makan, yaitu fajar seperti ekor srigala” (HR Hakim).

8 Dalil Fiqih Dalam hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari disebutkan, “Rasulullah SAW shalat shubuh saat kelam pada akhir malam, kemudian pada kesempatan lain ketika hari mulai terang. Setelah itu shalat tetap dilakukan pada waktu gelap sampai beliau wafat, tidak pernah lagi pada waktu mulai terang.” (HR Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad yang shahih). Lebih lanjut hadits dari Aisyah, “Perempuan-perempuan mukmin ikut melakukan shalat fajar (shubuh) bersama Nabi SAW dengan menyelubungi badan mereka dengan kain. Setelah shalat mereka kembali ke rumah tanpa dikenal siapapun karena masih gelap.” (HR Jamaah).

9 Pemahaman Astronomi

10 Pemahaman Astronomi Secara astronomi, fajar (morning twilight) dibagi menjadi tiga: fajar astronomi, fajar nautika, dan fajar sipil. Fajar astronomi didefinisikan sebagai akhir malam, ketika cahaya bintang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Biasanya didefinisikan berdasarkan kurva cahaya, fajar astronomi ketika matahari berada sekitar 18 derajat di bawah ufuk. Fajar nautika adalah fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut, pada saat matahari berada sekitar 12 derajat di bawah ufuk. Fajar sipil adalah fajar yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada sekitar 6 derajat.

11 Dalil vs Astronomi Dari hadits Aisyah disebutkan bahwa saat para perempuan mukmin pulang dari shalat shubuh berjamaah bersama Nabi SAW, mereka tidak dikenali karena masih gelap. Jadi, fajar shadiq bukanlah fajar sipil karena saat fajar sipil sudah cukup terang. Juga bukan fajar nautika karena seusai shalat pun masih gelap. Kalau demikian, fajar shadiq adalah fajar astronomi, saat akhir malam

12 Pemahaman Astronomi Apakah posisi matahari 18 derajat mutlak untuk fajar astronomi? Definisi posisi matahari ditentukan berdasarkan kurva cahaya langit yang tentunya berdasarkan kondisi rata-rata atmosfer. Dalam kondisi tertentu sangat mungkin fajar sudah muncul sebelum posisi matahari 18 di bawah ufuk, misalnya saat tebal atmosfer bertambah ketika aktivitas matahari meningkat atau saat kondisi komposisi udara tertentu – antara lain kandungan debu yang tinggi – sehingga cahaya matahari mampu dihamburkan oleh lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Akibatnya, walau posisi matahari masih kurang dari 18 derajat di bawah ufuk, cahaya fajar sudah tampak.

13 Pemahaman Astronomi Para ulama ahli hisab dahulu sudah merumuskan definisi fajar shadiq dengan kriteria beragam, berdasarkan pengamatan dahulu, berkisar sekitar 17 – 20 derajat. Karena penentuan kriteria fajar tersebut merupakan produk ijtihadiyah, perbedaan seperti itu dianggap wajar saja. Di Indonesia, ijtihad yang digunakan adalah posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk, dengan landasan dalil syar’i dan astronomis yang dianggap kuat, antara lain karena atmosfer di atas Indonesia yang berada di wilayah ekuator relatif lebih tebal dari lintang tinggi (misalnya tebal troposfer di lintang tinggi sekitar 10 km, di wilayah ekuator sekitar 17 km). Kriteria tersebut yang kini digunakan Departemen Agama RI untuk jadwal shalat yang beredar di masyarakat.

14 Perbedaan Penafsiran Kalau saat ini ada yang berpendapat bahwa waktu shubuh yang tercantum di dalam jadwal shalat dianggap terlalu cepat, hal itu disebabkan oleh dua hal: Pertama, ada yang berpendapat fajar shadiq ditentukan dengan kriteria fajar astronomis pada posisi matahari 18 derajat di bawah ufuk, karena beberapa program jadwal shalat di internet menggunakan kriteria tersebut, dengan perbedaan sekitar 8 menit. Kedua, ada yang berpendapat fajar shadiq bukanlah fajar astronomis, karena seharusnya fajarnya lebih terang, dengan perbedaan sekitar 24 menit. Pendapat seperti itu wajar saja dalam interpretasi ijtihadiyah.

15 Waktu Shalat Dzhuhur Waktu dzhuhur adalah sejak matahari meninggalkan meridian, biasanya diambil sekitar 2 menit setelah tengah hari. Untuk keperluan praktis, waktu tengah hari cukup diambil waktu tengah antara matahari terbit dan terbenam.

16 Waktu Shalat Asar Dalam penentuan waktu asar, tidak ada kesepakatan karena fenomena yang dijadikan dasar pun tidak tegas. Dasar yang disebutkan di dalam hadits, Nabi SAW diajak shalat asar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya. QS 2:238 tentang shalat pertengahan identik dengan ketentuan panjang bayangan = panjang bendanya, tan (za) = tan 45o = 1. Dengan memperhitungkan panjang bayangan pada musim dingin yang bisa beberapa kali panjang bendanya, maka ditambahkan faktor perubahan posisi musiman matahari berupa panjang bayangan pada waktu dzhuhur. Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama RI menggunakan rumusan: panjang bayangan waktu asar = bayangan waktu dzhuhur + tinggi bendanya; tan(za) = tan(zd) + 1.

17 Waktu Shalat Maghrib Waktu maghrib berarti saat terbenamnya matahari. Matahari terbit atau berbenam didefinisikan secara astronomi bila jarak zenith z = 90o50' (the Astronomical almanac) atau z = 91o bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat ketinggian pengamat 30 meter dari permukaan tanah. Untuk penentuan waktu salat maghrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit karena ada larangan melakukan salat tepat saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi atas.

18

19 Waktu Shalat Isya Waktu isya ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah di ufuk barat, yaitu tanda masuknya gelap malam (Al-Qur'an S. 17:78). Dalam astronomi itu dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight) bila jarak zenit matahari z = 108o). Faktor kontras dari terang ke gelap, tampaknya berpengaruh pada pengambilan z=108o, tidak seperti pada fajar yang terkait dengan kontrak gelap ke terang.

20 Waktu Shaum Awal = awal waktu shubuh Akhir = awal malam = maghrib

21 Waktu Shalat Dhuha Hadits menyebutkan waktu shalat dhuha ketika matahari mulai tinggi sehingga teriknya mulai membangunkan anak unta. Ketentuan matahari setinggi tombak atau penggalah, tidak dapat dipastikan ukurannya. Secara astronomi tidak bisa dipastikan secara kuantitatif ketinggian matahari penentu waktu dhuha. Perkiraannya yang biasa disarankan sekitar pukul bisa digunakan, walau tidak bisa dipastikan awal waktunya.

22 Senja, syafak merah, sesudah, matahari terbenam.
Cahaya senja dari hamburan partikel atmosfer


Download ppt "Penentuan Waktu Shalat dan Shaum"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google