Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
Relasi gender dalam agama Buddha
Oleh Lingga Irfa Binangkit Mahfudloh Ricky Setiawan
2
A. Gender dalam Perspektif Buddhis
Masyarakat India pra Buddha, sangat tidak menghormati perempuan. Sampai sekte Brahmanisme berpendapat bahwa yang boleh menjadi pemimpin upacara hanya kalangan laki- Buddha hadir membawa pembaharuan. Kasta dihapuskan, perempuan diberi hak dan kesempatan yang hampir samadengan laki-laki dalam menjalani kehidupan religius maupun sosial. Buddha sendiri berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan sama saja. Tidak ada sistem kasta, orang yang mulia ialah orang yang mampu menjalankan Dhamma terlepas dia laki-laki atau perempuan. Totalitas sikap Buddha yang adil gender ialah didirikannya Sangha Bhikkhuni atau komunitas perempuan yang menjalanihidup suci secara selibat. Perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atas jalanhidupnya sendiri: menjadi perumah-tangga biasa, atau meninggalkan peran tradisional tersebutdan hidup sebagai bhikkhuni
3
Kesetaraan gender dalam agama Budha didasari kewajiban dan tanggungjawab bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Menurut agama Budha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di muka bumi ini. Dan dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing- masing, sehingga kedudukan antara laki-laki maupun perempuan dalam agama budha tidak dipermasalahkan. Agama Buddha membimbing umatnya untuk menghargai gender.
4
B. Status Perempuan dalam Ajaran Agama Buddha
Dalam kemitrasejajaran pria dan wanita yang berkeluarga, agar perkawinan harmonis dan berlangsung lama, ajaran dalam Samajivi Sutta dusebutkan: “Para Bhikku, bila suami dan istri mengharapkan saling bertemu dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang, keduanya hendaknya menjadi orang yang memiliki keyakinan atau Saddha yang sebanding, memiliki tatasusila yang sebanding memiliki kemurahan hati yang sebanding, dan kebijaksanaan yang sebanding. Dalam artian lain sebenarnya sudah setara. Tradisi Buddhisme, sejak awal memberikan tempat kepada perempuan egaliter dengan laki-laki. Hal ini misalnya dapat dilihat betapa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menempuh jalan spiritual untuk mencapai nirwana Buddhisme juga memiliki ordo rahib perempuan, dia dapat mencapai Nirwana. Karenanya, rintangan utama untuk mencapai pencerahan bukanlah perempuan, tetapi sikap mental. Selain itu kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan. Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang dari samsara
5
Buddha menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan. asal tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi (konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan) Namun, setelah Buddha meninggal timbul pandangan bahwa kelahiran sebagai perempuan lebih rendah karena karma buruk telah hilang sebelumnya. Jadi ada anggapan bahwa sampai saat ini kelahiran sebagai perempuan sebagai karma buruk masa lampau dibanding kelahiran sebagai laki-laki. C. Peran Perempuan dalam Sejarah Perkembangan Agama Buddha Dalam berbagai vihara, para pendeta wanita sebagai pembantu para bhikku dan bikhhuni memberi pembinaan kepada umat baik pria maupun wanita, demikian pula dalam memberikan upacara perkawinan, kematian, tidak ada perbedaan dengan pendeta pria, karena dibutuhkan kerjasama yang sebaiknya untuk umat
6
Perempuan dalam agama Buddha bukan hanya berperan aktif pada masa klasik. Mereka juga aktif di masa modern, dapat di ambil contoh, pada tanggal 9 Mei tahun 1979 telah berdiri suatu organisasi agama Buddha yang bernama Perwalian Umat Buddha Indonesia (Waluba). Kemudian Girirakkhito Mahathera ketua umum DPP Waluba telah menugaskan dengan kepercayaan penuh Dra. Siti Hartati Murdaya, untuk melaksanakan misi, untuk menyelesaikan kemelut yang terjadi di dalam Perwalian Umat Buddha Indonesia Dalam kehidupan masyarakat, Sang Buddha tidak membedakan peran laki-laki maupun perempuan. Mereka memiliki kemampuan yang setara dan adil. Seperti laki-laki, perempuan juga bisa menjadi majikan, atasan, guru (Brahamana) sesuai khotbah sang Buddha Selain Menurut agama Buddha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di dunia ini. Dan Dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing. Sehingga kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam agama Buddha tidak dipermasalahkan. Agama Budddha membimbing umatnya untuk menghargai gender
7
Dalam Paninivana Sutta, sang Buddha mengatakan seluruh umaat manusia tanpa tertinggal memiliki jiwa Buddha. Laki- laki dan perempuan memliki tugas yang agunng, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalankan fungsi kehidupannya D. Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-Peran Gender Tradisional Untuk memebuat kesejajaran gender dikembangkan konsep Bhodisatwa. Bodisatwa mempunyai pengertian yang lebih luas daripada Bhodisatta yaitu orang yang mampu menjadi Buddha namun tidak langsung memasuki nirwana, tetapi mengabdikan dirinya demi orang lain. Jadi Bhodisatwa bukan hanya ada satu orang seperti halnya dengan Bhodisatta.Evolusi Bhodisatwa Guan-Yin menjadi perempuan juga memberikan dampak kehormatan terhadap perempuan dan memberikan arti bahwa perempuan juga bisa menjadi Buddha Tetapi kalau kita melihat dalam konteks sekarang, di mana kesejajaran laki-laki dan perempuan sudah sedemikian gencarnya diperjuangkan, hal tersebut masih cacat karena Sang Budha harus khawatir dengan pergolakan masyarakat
8
Adanya ketidak sejajaran ini berdampak pada permasalahan gender dalam kehidupan sekuler (kehidupan rumahtangga). Dalam agama Budha, kehidupan dicapai dalam dua komunitas, yaitu komunitas religius dan sekuler Dalam komunitas religius, jelas bahwa diskriminasi muncul, yaitu hilangnya hak perempuan untuk ditahbiskan menjadi bikhuni, seperti pada waktu Sang Budha hidup. Dalam lapangan sekuler (kehidupan rumahtangga), cacat ini tidak begitu terlihat.Sehingga ada ilmuwan yang menyatakan kesempurnaan teori Sang Budha karena tidak menemukan teks-teks yang bersifat metogenis dalam ajaran dasarnya. Maka seakan-akan, dalam ajaran Sang Budha, kesetaraan gender ini sudah terwujud, padahal sebenarnya tidak juga. Pembaharuan yang dibawa oleh Buddha tersebut mengajarkan kemuliaan seseorangtidak berasal dari kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.